Sudah hampir dua minggu, aku menghadapi ujian akhir semester. Sepanjang ujian itu duduk kami dipindah dan diatur berdasarkan nomor absen. Anehnya aku satu ruangan dengan Ranti. Padahal jelas-jelas namaku dan namanya berawalan dengan abjad yang beda beberapa huruf. Entahlah serasa alam memberi tanda agar aku selalu dekat dengannya.
Hari ini ujian terakhir, setelah itu kami akan libur panjang. Kebetulan aku duduk di bagian paling belakang sementara Ranti duduk dua bangku di depanku, tapi di deret yang berbeda. Hari itu Ranti tampak sedang asyik membaca mengulang catatan yang ia pelajari semalam.
Aku meliriknya sambil meletakkan tas di bangkuku. Aku mengulum senyum sendiri sambil memperhatikan sosok manisnya.
“Akh ... dia masih saja sama selalu menggerak-gerakkan bibirnya jika sedang membaca,” gumamku lirih.
“Dit!! Kamu udah belajar?” tanya Erwin.
Sahabatku berambut brokoli itu tiba-tiba muncul masuk ke ruanganku. Memang ruang ujian kami berbeda. Entah bagaimana sistem sekolahku mengacaknya. Aku hanya bersyukur bisa satu ruangan dengan Ranti kembali.
“Iya, udah. Kenapa? Mau minta contek?”
Erwin meringis sambil menggaruk rambut brokolinya. “Emang kamu bisa ngirim jawaban ke kelas sebelah?”
“Ya gak bisa. Kamulah yang ke sini.” Erwin langsung cemberut mendengar jawabanku.
Kini dia memilih duduk di bangku kosong sebelahku. Selama ujian kami memang diwajibkan duduk sendiri-sendiri. Kini perhatian Erwin terarah ke Ranti. Erwin menoleh ke arahku lalu menyikut lenganku dan kembali mengarahkan pandangannya ke Ranti.
“Jadi kapan kamu mau nembak dia lagi?” tanya Erwin dengan lirih.
Sebelumnya aku memang sempat bilang ke Erwin kalau batal menyatakan perasaanku dan memilih habis ujian saja. Ternyata makhluk berkepala brokoli ini ingat apa yang aku katakan waktu itu.
“Kamu bilang habis ujian. Buruan keburu libur terus pisah kelas dan kamu gak akan bertemu dia lagi.”
Aku terdiam mendengar ucapan Erwin. Kenapa juga aku jadi kepikiran hal itu sekarang? Namun, sebenarnya aku belum punya niatan untuk menyatakan perasaanku kali ini. Aku ingin menunggu selain itu aku masih malu dengan diriku sendiri.
Lagi-lagi aku tegaskan kalau aku tuh pria dengan pemikiran konvesional yang mengganggap tabu pacaran untuk anak di bawah umur. Entahlah kenapa juga pemikiranku jadi seperti itu di zaman serba modern ini.
“Iya, nanti aku cari saat dan waktu yang tepat.” Akhirnya aku putuskan saja berkata seperti itu. Padahal sejujurnya aku gak tahu kapan waktu yang tepat itu.
Erwin hanya manggut-manggut kemudian sudah bangkit bersiap kembali ke kelasnya. Lima menit lagi ujian akan dimulai. Ranti juga tampak sudah memasukkan bukunya ke dalam tas. Lagi-lagi kenapa mata ini tidak bisa tidak terus memperhatikannya. Aku suka, semua gestur tubuhnya serta gerakannya seakan candu bagiku.
Ranti masih membalikkan badan dan sibuk memasukkan buku sambil mengeluarkan beberapa alat tulisnya. Kemudian perlahan dia mengangkat kepala dan langsung bersiroboh dengan mataku yang sedang mengawasinya. Untuk beberapa saat mata kami bertemu. Secara spontan aku tersenyum. Aku sudah belajar melakukan senyuman jika saat ini terjadi.
Hal yang sama juga dilakukan Ranti. Sayangnya gadis itu terus menunduk usai pertemuan mata kami. Wajahnya sudah semerah tomat ceri dan berusaha menyembunyikan dariku. Lalu tanpa pamit dia sudah membalikkan tubuhnya menyudahi perjumpaan kami.
Segitu saja, hatiku sudah berbunga-bunga melayang ke angkasa bermain dengan awan dan bintang-bintang. Sumpah, kenapa juga jatuh cinta bisa seindah ini. Andai saja aku merasakannya nanti, saat aku sudah siap dan sudah dewasa. Tanpa malu untuk menunjukkan semua perasaanku. Ya ... andai saja.
Pukul 11 saat ujian terakhir hari ini usai. Banyak teman yang langsung berhambur keluar kelas. Sepertinya mereka sudah tidak betah ingin segera menumpahkan kegembiraannya. Aku yakin suasana akan sedikit ramai dari biasanya. Anggap saja ini hari terakhir kami di sekolah. Memang sekolah masih berjalan normal usai ujian, tapi biasanya sudah tidak ada pelajaran. Yang ada hanya classmeet dan lomba-lomba saja.
Semua isi kelas ini sudah keluar hanya tinggal beberapa yang tertinggal termasuk Ranti. Dia tampak sedang berkemas pulang. Aku melihatnya dari jauh. Entah mengapa dadaku tiba-tiba berdebar hebat dan tanpa kuduga aliran oksigen terasa melambat di paru-paruku. Kenapa juga aku terasa sesak seperti ini.
“Apa sebaiknya aku katakan saja perasaanku sekarang?” gumamku lirih.
Aku sibuk mengatur udara, menarik dan mengeluarkannya dengan seksama. Sungguh, kenapa juga proses respirasi ini seakan berjalan lambat bagiku. Aku melihat Ranti sudah berdiri siap keluar kelas. Aku ikutan bangkit dan sigap mengejarnya.
Namun, langkahku terhenti saat melihat Ranti malah asyik berbincang dengan salah satu teman kami. Entah apa yang sedang diobrolkan, mereka tampak asyik dan Ranti juga terus tertawa mendengarnya. Akhirnya aku putuskan berjalan melaluinya saja. Aku tidak enak dengan tatapan penuh selidik dari temanku itu.
Aku melihat Erwin di depan pintu sedang menungguku. Tampangnya tampak penasaran seakan sedang menunggu laporan yang akan aku berikan.
“Gimana? Gak jadi?”
Tuh, kan. Bener tebakanku makhluk berkepala brokoli ini pasti bertanya tentang rencanaku. Apa dia gak tahu pria kecil ini sangat penakut. Aku diam tidak menjawab hanya menghela napas panjang sambil menarik Erwin untuk menjauh dari kelas.
“Gak jadi lagi, Dit? Beneran kamu gak nyesel kalau nanti gak satu kelas lagi ama Ranti.’
Aku hanya diam sambil sibuk menghela napas. Kami sudah berjalan beriringan menuju parkiran saat ini. Memang semua yang dikatakan Erwin ada benarnya, tapi fokus utamaku saat ini bukan itu. Aku hanya berharap nilai ujianku bagus dan tidak membuat kecewa mamaku. Itu saja.
Akhirnya hari itu, terpaksa aku melewatkan kesempatan emasku untuk bersama lebih lama dengan Ranti. Awalnya aku tidak kecewa, tapi beberapa hari kemudian aku benar-benar menyesal sudah melewatkan waktu begitu saja.
Hari ini hari penerimaan rapor. Aku bersyukur nilaiku cukup lumayan, meskipun tidak masuk sepuluh besar kelasku. Aku sudah cukup puas dengan kemampuanku. Harusnya aku senang dengan pencapaianku, tapi hari itu aku harus kecewa. Aku baru mendapat kabar kalau kelas sembilan nanti kami akan kembali diacak. Itu artinya bisa jadi aku tidak akan bertemu Ranti lagi.
Aku terdiam membisu sambil menatap gadis manis yang berdiri sedikit jauh dariku. Dia tampak sibuk berbincang dengan beberapa teman. Ranti memang masuk lima besar di kelas ini dan beberapa temanku tadi sibuk memberinya ucapan selamat. Ingin sekali aku menghampirinya dan ikut mengucapkan selamat, tapi kenapa juga teman yang lain masih bercokol di sana. Aku malu kalau melakukan pedekate ke Ranti dengan sepengetahuan mereka.
Lima menit, sepuluh menit hingga akhirnya dua puluh menit berlalu. Aku lega saat beberapa teman sudah berlalu pergi. Ranti sendiri dan sepertinya siap hendak pulang. Saat ini dia memang kembali duduk di bangkunya yang dulu saat belum duduk di depanku.
Dengan langkah pasti aku berjalan menghampirinya.
“Hai!!” sapaku ramah. Ranti mendongakkan kepala dan tersenyum menatapku.
“Belum pulang, Dit?”
“Iya, habis ini. Kamu juga belum pulang?”
Ranti tersenyum lagi kemudian bangkit dari duduknya. “Iya, ini mau pulang.”
“Jadi aku ganggu waktumu.”
Ranti cepat-cepat menggelengkan kepala sambil menatapku sekilas. Selebihnya dia menundukkan kepala menghindariku. Padahal jujur, aku pengen banget melihat wajah imutnya, hidung bangirnya, bibir mungil dan mata bak buah almondnya.
“Selamat ya, aku dengar kamu masuk lima besar kelas kita.” Aku memulai ucapan selamat untuknya. Terdengar lancar dan tanpa kendala, padahal jantungku rasanya sedang marathon sedari tadi.
“Iya, makasih. Rapormu juga bagus, kan?”
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Iya, lumayan untuk yang punya otak pas-pasan kayak aku.”
Ranti mengangkat kepala sekilas dan tersenyum ke arahku. Adem banget hati ini saat melihat senyum semanis gula jawa itu.
“Katanya kelas sembilan nanti kita diacak lagi, ya?” Aku memulai obrolan lagi. Entah mengapa kenapa juga banyak ide tentang topik pembicaraan kami kali ini.
“Iya.” Lagi-lagi Ranti menjawab singkat dan itu membuatku kebingungan. Padahal otakku sudah loading terus mencari bahan pertanyaan. Kenapa dia seenaknya menjawab singkat seperti ini? Harusnya aku memberi perintah untuk menjawab dengan penjelasan tidak sesingkat ini, layaknya perintah di soal ujian kemarin.
Perlahan aku mengangkat kepala dan entah mengapa dia tiba-tiba secara berbarengan mengangkat kepala juga. Lagi-lagi mata kami bertemu. Seakan mendapat bisikan, aku merasa yakin kalau mungkin ini waktu yang tepat untuk memberi tahu perasaanku. Aku menarik napas panjang kemudian mengeluarkannya dengan perlahan. Aku sudah membuka mulut siap bersuara. Saat tiba-tiba, Yanti temanku yang super cerewet berteriak memanggil Ranti.
“RANTI!! Kamu dijemput mamamu di depan.”
Ranti langsung menoleh dan menganggukkan kepala. Kemudian dia kembali melihat ke arahku.
“Aku pulang dulu ya, Dit. Sampai ketemu lagi.”
Bagai terhipnotis aku hanya diam sambil menganggukkan kepala. Ranti sudah berlalu pergi meninggalkan aku, tapi langkahnya tiba-tiba terhenti dan kembali menoleh ke arahku. Alisku mengernyit saat Ranti melihat ke arahku penuh tanya.
“Eng ... maaf. Kamu tadi mau ngomong apa?”
Aku menelan saliva membuat jakunku naik turun. Aku ragu ingin berkata jujur atau menyembunyikan selamanya.
“Gak ada. Gak ada yang penting, kok.” Aku terpaksa bohong meski hatiku sakit.
Ranti kembali mengangguk kemudian kembali membalikkan tubuhnya dan berjalan menghampiri Yanti. Mereka sudah berjalan beriringan keluar kelas meninggalkan aku. Aku hanya diam menatap punggung gadis manis itu hingga menghilang. Lirih dari bibirku sudah terlontar kalimat yang seharusnya aku tujukan ke Ranti.
“Aku suka kamu, Ranti.”