Kalau kata Dilan, rindu itu berat ternyata memang benar dan kali ini aku yang merasakannya. Padahal biasanya liburan kenaikan kelas itu adalah saat yang paling aku nantikan. Namun, nyatanya kali ini aku benar-benar membencinya. Aku tidak bisa bertemu gadis pujaanku, bodohnya lagi gadis itu tidak pernah tahu perasaanku.
Hari-hari kulalui dengan terpaksa. Setiap malam aku hanya berharap liburan ini segera berakhir. Akhirnya doaku terkabul, hari ini hari pertama aku masuk sekolah kembali. Aku baru saja meletakkan sepedaku di parkiran saat Erwin berlari menghampiriku.
“DIT!!! Kita satu kelas lagi,” seru Erwin. Rambut brokoli Erwin terus bergoyang seakan ikut merasakan kegembiraan pemiliknya.
“Syukur, deh. Aku bisa nyontek kamu kalau ulangan,” ucapku sambil tersenyum lebar.
Kami berjalan beriringan menuju kelas baru kami. Kemudian tiba-tiba Erwin menyikut lenganku saat melewati deretan kelas-kelas. Aku menoleh dan melihat ke arah Erwin dengan tatapan bertanya.
“Itu kelasnya Ranti. Dia gak satu kelas dengan kita,” Erwin menambahkan.
Mataku mengarah ke kelas yang ditunjuk dan aku melihat Ranti sedang asyik bercengkrama dengan beberapa teman wanitanya. Seketika hatiku mencelos, padahal aku berharap bisa satu kelas lagi dengannya.
“Tuh, kan bener kataku. Kamu sih kelamaan ngomongnya.” Lagi-lagi Erwin bersuara kembali.
Aku hanya diam bergeming di tempatku sambil menatap kelas Ranti yang berada jauh di seberangku. Aku memang sedih karena kita tidak satu kelas lagi, tapi sisi lain hatiku ada yang bersorak kesenangan. Untuk sekian lama kerinduanku pada gadis manis itu sudah tertuntaskan kali ini.
Meskipun aku hanya bisa melihatnya dari jauh, itu sudah cukup. Rasanya begitu indah dan menenangkan. Rindu memang benar-benar berat dan tidak akan tuntas jika tidak bertemu sumber penyebabnya. Yaitu kamu, Ranti.
“Dit!! Kok malah ngelamun, sih. Buruan!! Nanti terlambat masuk.”
Erwin langsung menarik tanganku dan menyeretku masuk ke dalam kelas. Padahal aku masih asyik menuntaskan kerinduanku pada gadis manis itu. Dasar Erwin, tidak tahu apa yang aku rasa.
Selang beberapa saat aku sudah masuk ke kelas. Aku duduk di bagian paling belakang pojok dekat jendela. Entah kenapa juga Erwin memilih duduk di sini. Mungkin karena di area ini yang paling adem, sehingga tidak akan kepanasan selama mengikuti pelajaran nantinya.
Bel tanda masuk kelas sudah berbunyi, tapi belum ada tanda-tanda pelajaran akan dimulai. Mungkin karena masih hari pertama masuk sekolah, kami hanya diberi beberapa pengenalan saja. Hanya ketua kelas yang sibuk memberi catatan di papan tulis.
Aku merasa bosan dan memutuskan untuk berdiri sambil duduk di sandaran kursi. Memang sebelah kelasku ini adalah lapangan voli dengan beberapa tumbuhan hijau di sekitarnya. Angin semilir bertiup menerpa rambutku dan membuat aku merasa nyaman. Lalu aku mengedarkan pandangan mataku dan terhenti di seberang sana. Aku terbelalak kaget saat melihat siapa yang bisa ditangkap jelas mataku. Posisi kelasku dan kelas Ranti memang membentuk huruf L dan kali ini aku bisa melihatnya sedang duduk di bangku paling depan.
Aku tidak salah lagi kalau gadis manis yang tampak sibuk menulis dengan mulut komat-kamit itu adalah Ranti. Aku mengulum senyum sambil menggelengkan kepala. Ternyata Tuhan sangat baik padaku hingga mengizinkan aku melihat gadis pujaanku itu. Akhirnya kembali lagi hobby lamaku yang sempat beberapa minggu terjeda, aku lakukan lagi.
Kalian pasti tahu apa hobbyku itu. Yap, tepat sekali mengamati Ranti dari jauh. Sudah segini saja, aku sudah cukup senang, Tuhan. Aku masih asyik mengamati, aku senang dan mengizinkan taman bunga di hatiku bermekaran. Ini benar-benar indah dan aku suka.
“DIT!!!” Sebuah tepukan di bahu mengagetkan aku.
Aku menoleh dan melihat Erwin berdiri di sebelahku.
“Kamu ngapain? Dari tadi senyum-senyum sendiri.” Aku tidak menjawab pertanyaan Erwin dan kembali melanjutkan aktivitasku.
Karena penasaran, Erwin ikut duduk di sebelahku dan melakukan hal yang sama dengan yang aku lakukan. Erwin langsung tertawa dan berulang menepuk bahuku lagi.
“Ya ampun, Dit!!! Pantes saja kamu duduk anteng di sini, ternyata ada pemandangan indah di seberang sana.”
Aku meringis sambil mengacungkan telunjukku ke depan bibir. Aku tidak ingin ucapan Erwin didengar semua murid di kelas. Aku malu dan tidak mau teman-temanku tahu kalau aku sedang menyukai seseorang. Erwin menurut kemudian menutup mulutnya sambil terus menganggukkan kepala.
Erwin memilih menyingkir dan membiarkan aku menikmati momen berharga dalam hidupku ini. Untung saja hari ini jam kosong sehingga aku bisa menghabiskan waktu sepanjang hari untuk menikmati wajah manis gadis pujaanku itu.
Aku masih mengamatinya dari jauh. Kali ini Ranti masih asyik menulis, entah apa yang ditulisnya. Bisa jadi dia sedang mencatat jadwal pelajaran yang baru, sama dengan yang sedang berlaku di kelasku. Hanya saja kali ini yang mencatat Erwin. Aku akan meminjamnya saja nantii.
Kemudian tiba-tiba teman sebangku Ranti melihat ke arahku dan berganti melihat ke arah Ranti. Tak lama mereka tampak berbincang sekilas. Ranti menghentikan aktivitasnya dan langsung menoleh kemudian melihat ke arahku.
Mata almondnya tampak terkejut dan aku suka reaksi kagetnya kali ini. Apalagi ditambah pipinya yang tiba-tiba merona bak tomat ceri. Dia buru-buru menunduk dan tak berani melihat apalagi melakukan gerakan yang cepat.
Aku tersenyum dan tidak tahan melihat aksinya. Akhirnya aku sudahi saja hobby-ku kali ini. Cukup saja untuk kali ini. Bukankah seterusnya aku masih bisa melakukannya kembali. Aku duduk di bangkuku dan kini mulai menulis semua catatan yang tertera di papan tulis.
Selang beberapa saat bel tanda istirahat berbunyi. Erwin langsung mengajakku ke kantin. Meski tidak ada pelajaran sepanjang pagi ini, tapi perutku keroncongan. Aku dan Erwin langsung memesan bakso di kantin. Suasana kantin sangat ramai, untung saja kelasku dekat kantin sehingga aku bisa dengan cepat mendapatkan tempat duduk.
Suasana kantin berangsur sepi, mungkin karena sudah ada bangunan kantin baru di bagian lain sekolah. Jadi murid-murid tidak bepusat di satu tempat saja. Aku masih asyik menikmati baksoku saat tiba-tiba gadis manis pujaanku datang bersama beberapa temannya.
Dia tidak membeli bakso, tapi langsung memilih beberapa roti dan permen. Sepanjang aku mengamati Ranti, dia sangat jarang sekali makan makanan berat setiap istirahat. Mungkin itu juga sebabnya tubuhnya selangsing sekarang.
“Dit!!” Erwin menyenggol lenganku seakan memberi isyarat tentang kedatangan Ranti. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Kemudian aku bangkit, hendak menghampiri.
Sebenarnya aku sudah selesai makan dan kali ini hendak melakukan transaksi pembayaran. Aku berdiri di belakangnya dan Ranti tidak menyadari. Dia tampak asyik memilah permen di dalam toples. Ada dua warna dan pasti dua rasa permen di toples itu. Warna pink untuk rasa strawberi dan warna orange untuk rasa jeruk. Kali ini aku melihat Ranti hanya mengambil yang warna pink saja.
Aku mengulum senyum geli. Aku baru tahu kalau dia sepemilih itu. Dia masih asyik memilah permen saat tiba-tiba mbak penjual menyapaku.
“Kamu mau bayar?” tanya mbak penjual.
“Iya, Mbak.” Seketika Ranti menoleh begitu mendengar aku bersuara. Aku memang sudah menunggu momen seperti ini.
Kepala Ranti perlahan terangkat berbarengan dengan mata kami yang saling bertemu. Untuk beberapa detik mata kami beradu. Entah dia tahu atau tidak yang pasti mataku sedang sibuk menceritakan tentang kerinduanku padanya. Andai saja bukan hanya mata kami yang berbicara saat itu pasti sangat indah rasanya.
“Ranti!! Ayo, buruan!!” Tiba-tiba seorang teman Ranti menepuk bahunya dan langsung menarik tangan Ranti.
Ranti mengangguk, gegas menyerahkan sejumlah uang ke mbak penjual. Kemudian berlalu pergi begitu saja tanpa pamitan padaku. Aku hanya membisu, mematung di tempatku sambil menatap bayangan gadis manis itu menjauh. Andai saja aku tak sepenakut ini pasti sudah kukatakan padamu, kalau aku sangat merindukanmu, Ranti. Sekali lagi aku ingatkan jangan merindu, itu berat.