Hari ini sama seperti hari sebelumnya, pulang sekolah aku tidak bisa pulang cepat karena harus latihan futsal. Pertandingan futsal semakin dekat dan latihan kami juga semakin sering. Kadang aku merasa capek, tapi ini adalah salah satu passion yang aku sukai. Aku berharap jika aku bisa meraih prestasi dari hal yang aku senangi. Jujur saja otakku tidak seencer dua kakakku, itu sebabnya aku memilih jalur olah raga saja.
“Dit, kamu langsung pulang, gak?” tanya Erwin usai latihan.
Aku mengangguk dengan cepat. Aku sudah lelah apalagi besok hari libur pasti aku memilih pulang dan menghabiskan waktu di atas kasur.
“Memangnya kamu gak datang ke ultahnya Melan. Bukannya hari ini acaranya?”
Aku terkejut dan baru ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahun Melan.
“Eh iya, aku lupa, Win. Tapi beneran aku capek banget, lagian gak bawa baju ganti. Masa iya, aku dateng ke ultahnya pake baju futsal.”
Erwin tertawa mendengar ucapanku. “Jangan-jangan kamu memang sengaja pengen gak datang. Mungkin lain ceritanya kalau Ranti yang ngundang.”
Aku tidak menjawab hanya nyengir kuda sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Eh ya, tahu gak kapan hari pas Arik katanya mau nembak itu ternyata gak jadi.” Erwin bersuara kembali dan aku tertarik untuk mendengarnya.
“Oh ya? Kenapa?”
“Ranti keburu mau les katanya.” Aku hanya manggut-manggut mendengarnya. Pantes saja saat itu, aku langsung ketemu Ranti di parkiran. Namun, jauh di lubuk hatiku aku senang sekali. Itu artinya aku masih punya kesempatan untuk mendekati Ranti.
“Yuk, Dit!! Kita pulang, aku laper banget.”
Aku mengangguk sambil menyambar tas ranselku. Hari menjelang malam saat aku keluar dari gerbang sekolah. Ini adalah saat paling lama aku menghabiskan waktu di sekolah.
Pukul 7 malam saat aku tiba di rumah. Mama menyambutku dengan senyum lembutnya. Senyuman wanita kesayanganku itu memang paling mujarab menghilangkan rasa lelahku.
“Memang kapan sih, Dit lombanya kok kamu tiap hari pulang malem terus?” tanya Mama.
Aku hanya menghela napas panjang sambil meletakkan tasku di meja. “Minggu depan, Ma. Mama bisa nonton, gak?”
Mama tersenyum kembali sambil menatapku dengan sendu. “Lihat besok, ya!! Kamu tahu sendiri kalau gak hari libur Mama gak bisa.”
Aku hanya mengangguk mengiyakan. Mamaku memang ibu rumah tangga biasa bukan pekerja kantoran, tapi kesibukannya mengalahkan wanita karir saja. Aku empat bersaudara dan aku anak ketiga. Dua kakakku sudah kuliah dan SMA sedangkan adikku masih kelas 3 SD. Kami bukan keluarga kaya dan bisa dibilang sederhana. Namun, Mama dan Papa selalu berusaha mencukupi kebutuhan kami hingga aku tak kekurangan sesuatu apa pun.
“Mandi dulu, Dit. Makan terus istirahat,” pinta Mama.
Aku mengangguk. Aku memang ingin tidur sampai pagi. Aku tidak ingat lagi kalau ada undangan dari Melan. Lagipula tidak ada hal penting yang harus aku katakan padanya. Aku bisa melakukannya senin pagi esok.
**
Senin pagi, baru saja aku tiba di sekolah dan memarkir sepeda, aku kembali dikejutkan dengan ekspresi aneh teman-temanku. Aku melihat teman-teman berkasak-kusuk sambil menatap kesal ke arahku. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, yang pasti banyak dari mereka melihatku dengan tatapan benci.
Aku mengacuhkannya dan terus berjalan menuju kelas. Aku merasa tidak ada hal yang harus dirisaukan lagi pula aku merasa tidak membuat kesalahan. Hingga akhirnya aku tahu begitu Erwin memberitahu setibanya aku di kelas.
“Kamu beneran gak datang ke pestanya Melan, Dit?” tanya Erwin. Aku mengangguk dan menatap Erwin tanpa rasa bersalah.
“Pantes ... .” Aku mengernyitkan alis menatap Erwin dengan bingung.
“Emang kenapa, Win?”
“Gara-gara kamu gak datang, semalam Melan ngamuk di pestanya.”
“HAH!!!” Aku membelalakkan mata menatap Erwin dengan tak percaya.
“Emang apa hubungannya denganku. Kamu tahu sendiri kita pulang jam berapa kemarin. Aku capek banget, Win.”
Erwin menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala. “Iya, aku tahu, tapi teman-teman yang lain gak tahu. Mereka malah berpikir kalau kamu sombong, sok kecakepan jadi gak datang di pesta Melan.”
Aku menghela napas panjang sambil menyandarkan tubuhku di bangku.
“Itu sebabnya tadi teman-teman melihatku dengan penuh kebencian saat di parkiran.”
Erwin terkejut dan menoleh ke arahku. “Memang sampai segitu, Dit.”
Aku mengendikkan bahu. “Buktinya begitu. Sudahlah, aku gak mau mikirin gituan. Aku datang ke sekolah buat belajar bukan untuk yang lain.”
Erwin berdecak sambil menggelengkan kepala. “Dari dulu pikiranmu cuman study oriented mulu ya, Dit. Kagum aku sama kamu.”
“Aku memang harus mikir gitu. Otakku pas-pasan, Win. Kalau aku gak belajar giat, pasti aku gak naik kelas gak kayak kamu.”
Erwin hanya tertawa mendengar ucapanku. Percakapan kami terhenti saat Bu Ina, guru bahasa Inggris sudah masuk ke dalam kelas. Akhirnya aku melupakan apa yang baru saja diceritakan Erwin dan kembali konsen dengan pelajaran hari ini. Aku pikir semuanya akan beres saja, tapi nyatanya pulang sekolah aku malah dikejutkan dengan kehadiran Melan di kelasku.
Gadis cantik berwajah blasteran itu sudah berdiri menungguku di depan kelas. Bahkan semua teman sekelasku memberi tahu kalau Melan sedang menungguku. Hanya Ranti saja yang tidak berkomentar. Gadis manis pujaanku itu memilih pulang lebih awal dari biasanya. Apa yang terjadi? Apa Ranti juga tahu apa yang sedang aku alami?
“Aku mau bicara sama kamu, Dit,” ujar Melan begitu aku menghampirinya.
Aku hanya mengangguk. Kemudian Melan sudah berjalan lebih dulu dan aku mengekor langkahnya. Ternyata dia memilih berbicara di taman samping yang sudah sepi. Hanya beberapa anak saja yang berlalu lalang di sebelah sana. Mereka juga sepertinya tidak ingin mau tahu apa yang sedang aku lakukan dengan Melan di taman.
“Kenapa kamu gak datang ke pestaku?” Tepat dugaanku kalau Melan akan menanyakan hal itu.
“Sory, Mel. Aku kemarin kecapekan. Aku habis latihan futsal dan pulang larut. Sampai di rumah saja aku langsung tidur saking capeknya.”
Melan terdiam sesaat sambil menatap mataku dengan tajam. Mungkin dia sedang menyidikku kali ini, seperti layaknya seorang detektif yang sedang mencurigai pelaku kejahatan berkata bohong atau tidak.
“Lalu kenapa kamu tidak menghubungiku. Kalau tahu begitu aku bisa memakluminya.”
Aku tersenyum. “Sudah kubilang tadi kalau sampai rumah, aku langsung tidur. Jadi gak sempat menghubungimu.” Aku terpaksa bohong, padahal aku tidak tahu nomor teleponnya dan sama sekali tidak ingin tahu.
Melan mengangguk, wajahnya yang cemberut kini berubah ceria bahkan sebuah senyuman terukir di wajah blasterannya.
“Terus ... gimana kemarin? Kamu mau jadi pacarku?”
Aku hampir lupa kalau pokok utama pembicaraan kami adalah pernyataan ini. Rasanya aku memang harus mengatakannya. Aku tidak mau memberi harapan palsu apalagi kepada gadis yang sama sekali tidak aku sukai.
Aku menarik napas panjang sambil menatap Melan dengan tajam.
“Maaf, Mel. Aku hanya ingin kita berteman saja. Aku tidak punya perasaan yang sama dengan kamu.”
Melan tampak terkejut mendengar ucapanku bahkan matanya langsung berkabut kemudian berganti berkaca-kaca dan tak lama turun buliran bening dari sudut matanya. Dia menangis. Duh, padahal aku sama sekali gak pengen membuat seorang wanita menangis. Itu adalah pantangan bagiku, tapi mau gimana lagi. Aku harus berterus terang padanya.
“Sorry, Mel. Sebenarnya dari kemarin aku sudah mau bilang, tapi kamu keburu pergi.” Aku menambahkan.
Melan hanya diam sambil terus terisak. Dia masih menangis sambil menutup kedua tangan ke wajahnya. Aku tidak tega melihatnya, aku mengulurkan tangan mencoba menenangkannya. Aku bersyukur, dia mau menghentikan tangisannya dan kini mau membuka tangannya. Matanya sembab, wajahnya juga terlihat lesu, tapi dia sudah bisa tersenyum.
“Iya, gak papa, Dit. Aku terima alasanmu. Mungkin kita hanya bisa berteman saja.”
Aku mengangguk, kemudian tanpa izin tiba-tiba Melan berhambur memelukku. Tentu saja aku terkejut, aku ingin melepasnya. Ini sangat tidak nyaman dan tidak pantas jika dilihat seseorang. Apalagi posisi kami masih di lingkungan sekolah. Bisa mati aku kalau salah satu guru melihat kami.
Tidak kusangka firasatku tepat. Baru saja aku ingin mengurai pelukan Melan, seketika melihat Ranti yang baru saja turun dari tangga. Memang taman tempat aku berbincang dengan Melan dekat dengan tangga yang menuju ke perpustakaan. Ranti melihatku dan mataku juga melihatnya. Ranti langsung berdiri mematung di tangga sambil menatapku dengan tatapan marah. Aku buru-buru menggelengkan kepala seakan mengelak apa yang sedang dipikirkan Ranti.
Namun, sepertinya Ranti tidak melihat reaksiku. Secepat kilat dia berlalu pergi meninggalkan aku dan Melan yang masih erat memelukku. Aku benci hari ini. Aku sangat membencinya.