Cinta sejati…?
Hatiku bergetar mengejanya. Cinta sejati. Ya, cinta sejati. Cinta yang bisa membuat seseorang merasa bahagia. Yang membuat seseorang menemukan dunia sesungguhnya. Karena memang sudah galibnya yang dicari manusia di dunia ini adalah cinta.
Karena cinta sumber kebahagiaan. Cinta sumber kehidupan. Dengan cinta orang bisa hidup dan melanjutkan hidupnya. Cinta adalah telaga energi tak pernah kering, yang senantiasa menyuntikkan semangat dan gairah pada jiwa, yang senantiasa menyejukkan dan mendamaikan hati.
Karena itu, siapa yang rela mengorbankan cintanya? Siapa pun pasti tidak mau. Sangat bodoh dan kerdil jiwanya jika seseorang mau memberikan cintanya pada orang lain. Itu sama juga membunuh hidupnya sendiri.
Bila ada orang bilang mengorbankan cinta demi kebahagiaan orang lain, itu omong kosong belaka. Cinta seharusnya diperjuangkan, kalau perlu dengan mengorbankan jiwa dan harta benda. Cinta harus dimiliki, apapun taruhannya. Sekalipun harus disingkirkan dan diasingkan oleh keluarganya!
Bicara tentang cinta, banyak hal bisa diungkapkan. Benar kata orang, kehidupan cinta banyak diwarnai dengan suka-duka, tawa-tangis, manis-pahit, dan bahagia-derita.
Aku bisa mengatakan demikian, karena cinta memang bagai dua sisi mata uang. Satu sisi menawarkan keindahan, keceriaan, dan kebahagiaan. Namun di sisi lain cinta juga menghadirkan penderitaan, kemalangan, dan duka lara. Kisah cinta yang romantis, heroik, sekaligus tragis. Itulah yang kualami dan akan kututurkan kisahnya…
Aku akan mulai dari Tina. Hari itu seisi rumah heboh ketika Tina pulang membawa seorang laki-laki. Apalagi laki-laki itu diaku sebagai kekasihnya. Namanya Budi. Dia kakak kelas Tina dan sudah menjelang wisuda.
Orangnya cukup ganteng, gagah, dan keren. Ayah dan Ibu terlihat resah. Mereka lalu menarik tangan Tina, membawanya ke kamar untuk diinterograsi.
Jika orangtua lain cukup bahagia anak gadisnya sudah punya pacar, tidak demikian dengan orangtuaku.
“Sudah berapa lama kamu mengenal dia, Tina?” tanya Ayah seperti anggota intel negara.
“Sebenarnya sih, sudah lama, Yah. Tapi kita jadian baru satu minggu ini!” jawab Tina.
“Apa? Baru satu minggu kamu sudah menganggapnya pacar?” seru Ibu kaget.
“Memangnya kenapa, Bu? Tidak boleh aku pacaran? Aku kan sudah dewasa. Sebentar lagi aku juga lulus!”
“Ibu tahu, Nak. Tapi kenapa secepat itu. Kamu belum mengenal dia lebih jauh, tapi sudah memutuskan untuk pacaran. Ibu takut nanti dia akan menyakiti hatimu. Dia akan meninggalkanmu dan akhirnya kamu…”
“Sudahlah, Bu. Kenapa Ibu jadi nyinyir begitu. Dulu, waktu SMA aku tidak boleh pacaran, bahkan sampai aku kuliah di tingkat dua. Aku mencoba menuruti keinginan Ibu. Tapi sekarang aku sudah cukup dewasa!”
“Ya, Ibu mengerti. Tapi…?”
Aku yang mendengar pembicaraan itu dari balik pintu hanya senyum-senyum. Aku jadi penasaran, seperti apa cowok yang dibawa Tina. Aku segera menghampiri dia yang sedang duduk sendirian di ruang depan. Kasihan, tamu dibiarkan menganggur.