Meski Tina kini sudah dewasa, sudah duduk di semester enam dan sudah punya pacar, sikapnya tak juga berubah. Ayah dan Ibu masih memperlakukannya seperti anak kecil. Tina masih suka manja, kolokan, dan selalu ingin diperlakukan seperti putri raja. Aku sendiri tidak merasa iri atau cemburu. Aku sudah terbiasa dengan kondisi itu. Justru aku merasa senang, tidak menjadi sumber kecemasan dan kerisauan.
Dengan status ‘anak terlantar’, aku bisa bebas pergi ke mana aku suka. Tidak ada yang mencari dan menanyakan bila aku tidak ada. Aku pun bebas melakukan apa saja tanpa ada yang melarang dan menghalangi.
Ini berbeda dengan Tina yang mau apa-apa serba dilarang dan dibatasi. Orang tuaku tidak ingin Tina mengalami masalah. Maklumlah, ia punya riwayat kesehatan yang mengkhawatirkan. Acara di luar seperti outbounds, camping, traveling, atau kegiatan lapangan jarang atau hampir pasti tak pernah dinikmati Tina.
Padahal pengalaman di luar itulah yang justru membuat orang terbuka wawasannya dan terpuaskan dahaga kemerdekaannya. Kalau boleh aku bilang, Tina makhluk paling kuper sedunia. Remaja bilang tidak gaul.
Tina tidak bisa menikmati kebebasan seperti anak-anak muda lainnya. Ia tidak bisa merasakan indahnya dunia tanpa tepi (meminjam istilah Dunia Tanpa Koma-nya Leila S. Chudori). Dunia yang dihadapinya hanyalah sebatas ujung kecemasan orangtuanya.
Dengan membandingkan kenyataan seperti itu, membuat aku justru merasa lebih bahagia dibanding Tina. Aku bisa melakukan apa yang tidak bisa dilakukan Tina. Aku bisa mendapatkan apa yang tidak bisa didapatkan Tina. Mungkin Tina bisa mendapatkan lebih banyak cinta dan perhatian dari orangtua, tapi itu tak membuatku berkecil hati.
Toh, menurutku tugas orangtua sudah cukup menghadirkan dan membesarkan anaknya. Setelah itu sang anak bisa mencari sendiri cinta sejatinya!