Entah, dari mana aku harus memulai kisah ini. Semua yang terjadi merupakan rangkaian peristiwa demi peristiwa sejak aku kecil hingga dewasa. Mungkin bisa dimulai dari masa kecilku.
Terlahir sebagai anak bungsu dari lima bersaudara. Orang bilang anak bungsu menjadi anak kesayangan ayah bunda. Tapi menurutku tidak. Kasih sayang orang tuaku terbagi rata pada semua anak-anaknya. Bahkan kurasakan kasih sayang yang diberikan ayah dan ibuku kepada Tina, kakak perempuan nomer empat, jauh lebih besar.
Mungkin karena Tina lahir lebih dulu ketimbang aku. Dulu, orang tuaku menginginkan anak perempuan setelah memiliki tiga anak laki-laki. Dan harapan itu terkabul ketika Tina lahir. Selang tiga tahun kemudian barulah aku lahir.
Tapi kelahiranku mungkin tak memberikan surprise lagi, karena mereka sudah memiliki Tina sebelumnya. Apalagi Tina sering sakit-sakitan saat masih kecil, sehingga perhatian orang tuaku lebih banyak tercurah padanya.
Bahkan kudengar cerita dari bulikku, saat usiaku baru tiga bulan ibuku terpaksa harus menyapih aku karena beliau tak punya banyak waktu untuk mengurusku. Beliau harus bolak-balik ke rumah sakit menunggu Tina yang panas dan kejang-kejang.
Ketika aku mulai tumbuh besar, perhatian orangtuaku pun lebih banyak tercurah pada Tina. Kondisi Tina yang lemah dan ringkih memang membutuhkan pengawasan ekstra. Orang tuaku tidak menginginkan Tina jatuh sakit.
Itulah mengapa segala upaya mereka lakukan demi melindungi dan menjaga Tina. Mereka meminta anak-anaknya yang lain ikut menjaga Tina. Jangan sampai Tina tercederai, terluka, apalagi tersakiti.
Sejak kecil aku dibiasakan untuk mengalah pada Tina. Jika kami sedang bermain bersama dan mainanku diminta Tina, maka aku harus memberikannya. Sebaliknya, aku tak boleh merebut atau meminta mainan Tina. Aku selalu teringat pada kata-kata Ibu setiap kali aku berebut mainan dengan Tina. “Asti, kamu harus mengalah. Kak Tina kan lagi sakit. Ayo, dong kasih mainannya. Kalau nanti Kak Tina jatuh sakit lagi, bagaimana? Kan ibu yang susah…!”