Selaras. Sebuah hubungan.
Mimpikah? Menjadikannya nyata.
Angan-angan tercipta seperti awan putih yang terus bergumul memberikan tanda sebelum hujan.
Ada pertengkaran hebat layaknya petir di tengah hujan lebat, atau bagai perumpamaan petir di siang bolong. Pertengkaran yang memiliki sebab atau terjadi begitu saja.
Dikira kuat padahal hanya masih menahan. Jika tanggul sudah runtuh. Tidak ada lagi yang tertahan.
Hancur.
Putus. Sebuah hubungan.
Tidak ada selaras. Tidak lagi atau memang tidak pernah. Mungkin saja, sejak awal pertanda itu sudah bermunculan. Jangan diterusin sebelum berakhir menyedihkan.
Tapi, terlambat. Nasi sudah jadi bubur. Penyesalan datang membelenggu asa untuk beranjak. Sebaliknya, mungkin juga awal untuk bangkit. Aku perlu melewati waktu menyesal sebelum memutuskan memulai lagi dan bertekad.
Tekad perlu upaya. Seperti arus air mengalir, penyesalan berlarut-larut berujung apa?
Curamnya air terjun?
Batas waktu diambil diri sendiri, sebelum terjatuh dan mati asa.Tekad dan upaya. Itulah yang selaras.
"Ayo ke luar," ajaknya.
Waktu hampir dini hari setelah film selesai di putar. Tidak ramai orang yang keluar dari gedung bioskop.
Pergantian hari ini ke besok sebentar lagi. Pergantian malamku mengulang tanggal lahir.
Tepat. Sudah terlewati. Jam 12 lewat beberapa detik.
"Selamat mengulang hari lahir," katanya.
"Terimakasih."
Di malam hari, saat awan tidak menutupi langit, aku ingin menemukan gemintang.
Jika bagiku berangan-angan seperti mengumpulkan awan mendung sebelum hujan, apa mungkin hadirnya gemintang bisa menciptakan kembali asa?
Tapi dia bukan gemintang, karena aku tidak ingin berangan-angan padanya. Biarkan aku sebagai "gemintang" untuk diriku sendiri.
"Hari ini sudah selesai. Kita lanjut atau sudahi?" Dia bertanya.
Pintu mobil tertutup tapi mesin mobil belum menyala.