Sepertinya sudah lebih dari setahun. Aku datang ke bioskop menonton genre film romance. Aku jadi berpikir.
Sudah berapa lama aku sendiri?
Sendiri merasa sepi, suka, duka, pilu, nyaman, tangis, dan bahagianya.
Sendiri itu tidak terus menerus sedih. Tidak jarang aku begitu menikmati.
Ada kalanya manusia butuh waktunya sendiri, bisa karena keadaan, atau karena sedang ingin. Betul. Perkataan klise. Seperti alasan orang-orang yang masih jomblo (belum berpasangan).
Klise namun juga kenyataan.
Kenyataannya bagiku. Aku juga tidak ingin seterusnya sendiri. Aku juga ingin bersama seseorang.
Rasanya seperti...
Seperti apa ya??
Di bumi ini begitu banyak manusia.
Kenapa aku masih sendiri?
Bumi ini juga begitu luas. Kenapa hanya dinikmati sendiri?
Di balik riuh, ribut, dan kisruh dari berbagai spekulasi dan peristiwa yang menimpa manusia di bumi. Disebut masalah- masalah hidup.
Hal-hal yang tidak menyenangkan juga terjadi dalam proses interaksi dan adaptasi. Penyesuaian yang terjadi berulang kali bisa menimbulkan kekecewaan, bahkan meninggalkan traumatis. Belum lagi kejadian-kejadian yang jika didengar saja sudah sangat menyesakkan.
Itu fakta. Kerena jika bukan, itu adalah dongeng yang ciptakan manusia. Hidup yang manusia alami bukan dongeng, tapi kenyataan. Kasarnya jika bukan, itu kebohongan.
Lalu, apakah sendiri adalah solusi? agar tidak mengalami segala kemungkinan buruk yang ditakutkan saat memiliki hubungan. Kemungkinan yang bisa berubah nyata saat proses interaksi dan adaptasi.
Aku pikir, itu karena tiap-tiap manusia memiliki masalah sendiri-sendiri. Spesifikasi masalanya juga berbeda-beda.
Jujur. Aku juga ingin hidup bersama seseorang. Menimati waktu bersama dalam macam-macam keadaannya.
Tapi, apa yang dipikirkan bisa berbanding terbalik dengan tindakan.
"Jangan genggam!" sikapku tegas.
"Ada apa?" Jelas dia kaget.
"Mungkin nanti.., juga dilepasin lagi, disuruh pergi," ucapan yang terlanjur diucap. Rem yang blong.
Dia tampak lebih kaget.
"Kamu bisa tau masa depan?"
Aku menggeleng. "Prediksi."
Dia menarik kembali kedua tangannya.
"Bisa juga prasangka buruk," kilahnya.
"Atau bisa juga waspada," sahutku.
Aku mencoba tersenyum melihatnya juga tersenyum.
Kedua sudut bibirnya ditarik melengkung. Aku sebut senyum menghargai bukan senyuman asli.
"Berapa lama lagi kita duduk di sini?" tanyaku.
"Ayo pergi," dia berdiri lebih dulu, beranjak dari tempat duduknya di hadapanku.
Tidak ada meja yang menghalangi. Kursi rotan yang saling berhadapan itu tetap di posisi sebelumnya saat aku dan dia pergi dari sana.
"Pemandangan matahari terbit yang bagus," kataku tentang pagi yang baru saja datang.
Perjalanan masih dilanjutkan.
Bisa jadi kisah yang panjang atau singkat.
"Malam mau nonton?"