Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rinai dan Sudut Lampu Kota
MENU
About Us  

RINAI DAN SUDUT LAMPU KOTA

- Untuk mereka, para belia korban Ibukota -

 

Ini lampu merah yang kesekian. Kata mereka ini waktu emas, terlebih pada jam pulang kerja seperti sekarang. Lima pasang kaki yang semula berjajar rapi di bahu jalan bergegas menyebar diberbagai penjuru. Bocah laki-laki berambut ikal, sedikit lebih besar dari keempat temannya, tampak mencolok dengan gitar usang yang melingkar di badannya yang gempal. Mata tajamnya memindai seksama, memilih mobil yang paling bagus diantara belasan mobil yang berhenti sore itu, lantas berjalan dengan satu bocah laki-laki yang mengekor dibelakangnya. Tangannya yang hitam mengetuk kaca mobil malu-malu, seiring dengan petikan gitar sederhana yang disusul lagu dengan lirik yang ia ciptakan sendiri. Sudah bait ke dua lagu ia nyanyikan, sesekali mengintip pengemudi dibalik pintu yang tak kunjung menurunkan kaca mobilnya. Bocah itu tersenyum, petikan gitarnya terhenti, lalu memutar langkah.

Mungkin orang itu tak suka dengan laguku, mungkin orang itu sadar jika ada nada sumbang di petikan gitarku, malam nanti aku akan pikirkan lagu yang baru. Sesederhana itu pikirannya bekerja, tak masalah baginya, masih banyak lampu merah yang lain. Pun sama dengan bocah lainnya, mereka tak marah jika ditolak, justru tersenyum meski tak diberi apa-apa. Pikiran mereka sejalan, masih banyak lampu merah yang lain.

Di sudut lampu kota. Adalah gadis tujuh tahun yang duduk meringkuk berawang-awang. Adalah gadis tujuh tahun yang duduk meringkuk menahan lapar. Rinai. Rinai namanya, artinya bercahaya. Setidaknya itu yang ia dengar dari bibi pengepul sampah yang ia kenal. Rinai memilin bajunya hingga membekas kusut diujung. Perutnya sakit, mata sayunya memandang bungkus biskuit miliknya yang hanya tersisa remahan kecil. Rinai beranjak, melongokan kepala menatap Bimo dan kawan-kawan yang tengah duduk menghitung uang selagi menunggu lampu merah berikutnya.

Ia ingin punya uang, bukan dalam jumlah yang besar. Otak kecilnya mulai berkhayal, Rinai ingin punya uang tiga ribu lima ratus. Itu angka terbesar yang bisa ia pikirkan sekarang. Rinai hanya ingin tiga ribu lima ratus, tidak lebih. Dengan uang itu ia bisa membeli satu bungkus roti sobek tanpa rasa, dan satu gelas air mineral kemasan. Lalu ia terdiam, kenyataan seolah menyentaknya dengan kasar, Rinai tak punya uang. Ia benci pada dirinya sendiri, sesekali iri melihat Bimo dan kawan-kawannya yang bisa mendapat lima ribu dalam sehari. Tidak ada yang bisa diandalkan dari tubuh ringkihnya. Suaranya sumbang, Rinai tak paham nada, menyanyi ngawurpun ia tak bisa, itu membuatnya sedih, Ia tak bisa mengamen seperti Bimo. Tapi Rinai punya prinsip. Ia benci jadi pengemis, otak kecilnya memberontak saat paman Sam – Bos dari perkumpulan anak jalanan- menyuruhnya untuk mengemis di sepanjang jalan pertokoan, atau di sela-sela lampu merah seperti anak lainnya. Semula ia lega karena Paman Sam tidak marah mendengar tolakan mentah-mentah yang ia lancarkan, tapi sejurus kemudian wajahnya pias saat pria paruh baya itu berkata bahwa ia tak akan dapat makan. Dengan egonya, Rinai berjalan meninggalkan rumah susun kumuh milik Paman Sam, yang pria itu gunakan untuk mempekerjakan anak jalanan. Dan Rinai tak menyesal, toh ia tetap bisa hidup esok hari, dengan makan atau tidak sama sekali. Gadis itu tak berbakat, tapi berakal. Hari pertamanya keluar dari rumah Paman Sam ia gunakan untuk merengek seharian di gubuk tua milik Bibi Ros, sambil menangis dengan wajah mencebik gadis itu tak henti-hentinya menarik ujung baju yang wanita itu kenakan.

“ Aku bisa memilih mana sampah plastik dan kertas “ ujarnya meyakinkan. Bibi Ros berdecih, “ Anakku yang masih tiga tahun juga bisa melakukannya “ balasnya acuh. Rinai tak habis akal, “Aku bisa menjual botol bekas yang bibi kumpulkan pada tukang rombeng kenalanku” Detik berikutnya mata gadis itu berbinar, melihat bibi Ros meletakkan kerdus yang tengah dihitungnya, beralih menatapnya dengan pandangan berfikir. Rinai mengigit bibir, lalu menjerit kencang saat melihat wanita itu mengangguk pelan.

“ Terimakasih Bibiii, aku akan menjual botol-botol bekas bibi hingga habis “ jeritnya tak karuan. Bibi Ros berlalu dari hadapannya, meninggalkan Rinai yang sibuk dengan bayangan uang yang dapat dari botol bekas. Tiba-tiba gadis itu terdiam, senyumnya perlahan pudar mengingat yang ia katakan pada bibi Ros tadi seratus persen bohong. Rinai tak punya kenalan tukang rombeng seperti yang ia ceritakan, ia tidak niat berbohong, entah angin dari mana yang membuat kalimat itu mencuat lancar dari bibirnya. Detik berikutnya ia tersenyum. Aku tak punya bakat, tapi aku punya akal.

 

Di sudut lampu kota. Adalah Rinai yang terduduk bingung di kursi panjang persis dibawah lampu kota. Satu hari berhasil ia lewati meski berujung kelaparan. Semalam ia tidur di bangku taman. Bibi Ros pergi, ingin menemui suaminya katanya, wanita itu meminta maaf pada Rinai karena tak bisa memberi sangu, sebagai gantinya ia mendapat satu karung berisi botol bekas. “Jika habis terjual, uangnya bisa kau ambil semua”. Rinai memandang botol-botol bekas yang kini tinggal setengah, setengahnya berhasil ia jual pada pasangan tua yang memang mengepul barang bekas. Dari pasangan tua itu, ia mendapat uang lima ribu. Jumlah uang terbesar yang pernah ia pegang, saking senangnya sampai bingung mau ia pakai apa uang itu. Tadi sebelum pergi, Rinai mengembalikan upahnya seribu. “Boleh kutukar dengan sepuluh batang lidi?” tanyanya, si nenek mengerutkan kepala, sambil mengambil lidi sesuai yang diminta gadis itu. “Untuk apa lidi? “ Rinai tersenyum “ Aku mau jadi anak pintar nek “ jawabnya lalu segera pergi setelah mengucap terimakasih.

Disinilah Rinai, di sudut lampu kota sembari menunggu matahari bersinar. Disakunya terselip uang dua ribu yang terlipat tak karuan, uang dari hasil menjual botol ia gunakan setengah untuk membeli pensil dan tiga lembar kertas putih dari pengepul, dari dulu ia ingin punya alat tulis dan satu buku kosong, dan apa yang ia inginkan terkabul. Semalam Rinai mengabaikan suara perutnya yang lapar, mengurungkan niatnya membeli roti sobek saat ia melihat seorang pengepul memilah-milah kertas kosong dan pensil-pensil bekas yang sudah pendek, untuk kali pertama Rinai tidak ingin roti sobek kesukaannya.

Jalanan ibukota mulai ramai, Rinai memulai langkahnya, meninggalkan sudut lampu kota yang ia singgahi, memikul karung berisi botol bekas yang entah akan ia jual pada siapa. Ia berjalan menuju sebuah sekolah dasar dengan bangunan sederhana yang tampak megah dimatanya. Rinai mengambil rutenya, jalan setapak yang menghubungkannya pada bagian belakang sekolah. Itu tempat yang strategis. Sudah lima kali Rinai kesini, ia mengintip anak-anak seusianya yang tengah belajar di dalam kelas, melalui jendela besar yang beruntung tidak terlalu tinggi letaknya. Gadis itu dengan cekatan menyusun batu-bata, membentuk undakan yang akan ia tumpaki, lalu mengeluarkan lidi yang sudah ia potong-potong menjadi beberapa bagian. Rinai melirik papan tulis, membaca angka-angka yang tertera disana, gadis itu tidak pintar, tapi ia bisa membaca meski tak selancar anak-anak lainnya. Tertera soal  bilangan operasi penjumlahan dengan angka sederhana. 4 + 5 + 3 Rinai mengingat soalnya, lalu turun dari undakan batu-bata, dan mulai menyusun lidi miliknya. Mengelompokan sesuai angka yang tertera pada papan, lalu menghitung jumlah keseluruhan. Semuanya ada dua belas simpulnya. Antusias, Rinai kembali menaiki undakan, melongok kearah jendela, melihat kearah papan, ada angka 12 setelah lambang sama dengan. Rinai memekik senang, hitungannya benar. Detik berikutnya ia terdiam, wanita muda yang mengajar dalam kelas itu menatap tepat kearahnya. Rinai gugup, cepat-cepat ia menurunkan kepala. Bodoh… harusnya aku tidak memekik sekeras itu , rutuknya. Rinai masih jongkok sambil mengatur debaran jantungnya, entah mengapa ia merasa takut, seperti ketahuan mengambil barang yang bukan miliknya.

“Heii… “ Rinai nyaris menjerit saat itu juga. Matanya membulat melihat guru yang mengajar dikelas tadi berada tepat dihadapannya. Ia memunguti lidinya perlahan, sambil takut-takut menatap wanita itu. “ Mau kemana? Kau tidak sekolah? Mana rumahmu? “ Rinai tersnyum ragu. Dari nada suaranya, ia tahu bahwa wanita itu orang yang baik.

“ Aku… aku tidak sekolah. Aku tinggal dipinggiran jalan, sudut lampu kota “ Wanita dihadapannya mendadak diam tergugu. Lalu tersenyum ramah. “ Kau menghitung soal yang kutulis tadi? Berhapa hasil yang kau dapat? “ Rinai menerawang, menatap lidi yang ia genggam.

“Dua belas” cicitnya nyaris tak terdengar. Wanita itu tersenyum lagi, “ Kau pintar, jawabanmu benar. Besok jangan mengintip disini lagi, kau tahu warung seberang sekolah ini? “ Rinai terdiam, lalu mengangguk saat mengingat warung tenda merah yang dimaksud wanita itu. “Besok jam dua belas datanglah kesana, bawa lidimu. Ayo kita belajar “ Rinai terdiam, mengerjap, lalu tersenyum senang. Detik berikutnya ia melihat selembar uang berwarna hijau terulur kearahnya, itu uang dua puluh ribu, ucapnya dalam hati. Wanita itu menyelipkan uangnya disaku baju Rinai.

“ Botol bekas yang ada di karungmu, ku beli. Untuk keperluan prakarya murid-muridku. Sisanya kau ambil ya. Ingat besok jam dua belas, jangan lupa “ Bagai angin, wanita itu sudah berlalu dari hadapan Rinai. Ia merogoh sakunya, memandang takjub pada uang yang ada ditangannya. Banyak… sangat banyak. Rinai berjalan, melewati jalur sempit dengan pikiran mengawang. Otak kecilnya mulai berhitung. Berapa banyak roti sobek yang akan kudapat dengan uang ini?

 

 

 

 

 

Ristifiani Hanindia Putri

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Menuntut Rasa
485      369     3     
Short Story
Ini ceritaku bersama teman hidupku, Nadia. Kukira aku paham semuanya. Kukira aku tahu segalanya. Tapi ternyata aku jauh dari itu.
Rumah Buat Tamu-Tamuku
595      339     3     
Short Story
\"Tenanglah darah-darah di dinding rahimku. Aku tahu kalian ingin keluar sebab tak ada sperma yang membuahi kalian. Kumohon, mengelupaslah dengan santun. Aku masih di jalan...\"
BINTANG, Cahayamu Akan Selalu Ada.
56      49     3     
Short Story
Seorang pelukis bernama senja yang terkurung dalam duka setelah kehilangan tunangannya, Bintang. Dia selalu mengabadikan sosok bintang kedalam bentuk lukisan. Hingga ebuah kotak kenangan misterius dan seorang sahabat lama muncul, membawa harapan sekaligus membuka lembaran baru yang tak terduga. Akankah Senja menemukan kembali cahayanya, dan siapakah sebenarnya yang menantinya di ujung kesedihan? ...
Suka Duka Anak Keberapapun
708      438     2     
True Story
Cerita ini menceritakan tentang Enam anak, enam kisah, enam beban yang berbeda. Mereka adalah representasi dari setiap peran yang mungkin kita alami dalam keluarga: sang sulung yang memikul tanggung jawab tak terucap, sang tengah yang terhimpit di antara harapan dan pengabaian, sang bungsu yang berjuang lepas dari bayang-bayang anak kecil, sang tunggal yang merindukan hangatnya persaudaraan, sang...
April; Rasa yang Tumbuh Tanpa Berharap Berbalas
1486      628     0     
Romance
Artha baru saja pulih dari luka masa lalunya karena hati yang pecah berserakan tak beraturan setelah ia berpisah dengan orang yang paling ia sayangi. Perlu waktu satu tahun untuk pulih dan kembali baik-baik saja. Ia harus memungut serpihan hatinya yang pecah dan menjadikannya kembali utuh dan bersiap kembali untuk jatuh hati. Dalam masa pemulihan hatinya, ia bertemu dengan seorang perempuan ya...
Diskusi Rasa
1127      664     3     
Short Story
Setiap orang berhak merindu. Tetapi jangan sampai kau merindu pada orang yang salah.
My LIttle Hangga
783      509     3     
Short Story
Ini tentang Hangga, si pendek yang gak terlalu tampan dan berbeda dengan cowok SMA pada umunya. ini tentang Kencana, si jerapah yang berbadan bongsor dengan tinggi yang gak seperti cewek normal seusianya. namun, siapa sangka, mereka yang BEDA bisa terjerat dalam satu kisah cinta. penasaran?, baca!.
Peneduh dan Penghujan
317      262     1     
Short Story
Bagaimana hujan memotivasi dusta
Oscar
2263      1090     1     
Short Story
Oscar. Si kucing orange, yang diduga sebagai kucing jadi-jadian, akan membuat seorang pasien meninggal dunia saat didekatinya. Apakah benar Oscar sedang mencari tumbal selanjutnya?
Gray Paper
544      311     2     
Short Story
Cinta pertama, cinta manis yang tak terlupakan. Tapi apa yang akan kamu lakukan jika cinta itu berlabuh pada orang yang tidak seharusnya? Akankah cinta itu kau simpan hingga ke liang lahat?