Read More >>"> Rumah (Sudah Terbit / Open PO) (Bab 5) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rumah (Sudah Terbit / Open PO)
MENU 0
About Us  

“Cihuy, ganteng amat bang, mau kemana nih?”
Gala bergidik ngeri ketika Fajar yang sedang duduk di depan tv kini menatapnya genit. Seruan Fajar sontak mengundang perhatian Bintang yang sedang berbaring di sofa sambil memainkan game di ponselnya, membuatnya terkekeh. Diam-diam Bintang menyetujui sorakan Fajar (yang entah itu cuma bercanda atau tidak). Gala dengan kemeja flannel biru dongker dan celana jeans terlihat asing di mata saudara-saudaranya. Biasanya si nomor lima itu hanya akan memakai kaus dan celana seadanya saja. Toh, Gala cuma nongkrong di warkop komplek sebelah. 
“Tumben pake baju gituan?” giliran Bintang bertanya. Gala menoleh sekilas lalu duduk di samping Fajar. 
‘Biar Bapak seneng.’ 
Pikiran Gala menerawang. Ia masih ingat jelas kejadian itu. Ketika Gala kecil yang baru pulang sekolah berlari kecil menuju teras rumah, menghampiri Bapak yang sedang memberi makan ayamnya di halaman rumah. Dengan wajah kusut, Gala duduk di kursi bambu di dekat Bapak, bercerita bahwa di sekolah, Ucup bercerita bahwa dirinya baru saja di belikan ayahnya hadiah berupa mobil remot. 
“Gala juga pengen dikasih hadiah sama Bapak!” Gala kecil begitu menggebu-gebu sementara Bapak tertawa melihat Gala yang masih menunggu jawaban darinya. 
“Yo kalo mau dikasih hadiah harus berbuat baik dulu dong.”
“Ucup gak ngapa-ngapain tapi dikasih hadiah sama Ayahnya,” sahut Gala tak terima. Namun, bukannya marah putranya ngeyel, justru Bapak semakin tertawa melihat wajah Gala yang pipinya kini sudah memerah karena kesal.
“Yowes yowes, kapan-kapan tak kasih hadiah.”
Gala pikir, Bapak hanya mengiyakan agar ia tidak lagi merengek setiap pulang sekolah dengan kisah Ucup, Ayahnya dan mobil remot. Namun rupanya, saat Gala dinyatakan diterima di SMP negeri dengan nilai memuaskan, suatu malam Bapak menyerahkan sebuah bungkusan kepadanya. Bukan bungkusan kotak dengan kertas kado dan pita. Hanya bungkusan bersampul keresek hitam yang tidak begitu rapi berisi kemeja flannel yang ukurannya kebesaran.
“Bapak ndak tau caranya nyampul, jadi berantakan gini. Maaf ya.. Bapak cuma bisa ngasih ini, padahal kamu pengennya mobil remot,” ucap Bapak sambil menepuk pelan bahu Gala yang terperangah melihat bungkusan keresek hitam di depannya. Padahal jika Bapak hanya memberinya sebungkus nasi goreng saja, Gala sudah pasti sangat senang.
Dan kemeja flannel kebesaran itulah yang membuat Gala ingin cepat dewasa. Hanya agar dirinya bisa memakai kemeja itu dengan ukuran yang pas.
“Pengen aja,” jawabnya acuh.
Di tempatnya, diam-diam Gala mengabsen saudara-saudaranya. Di ruang tengah hanya ada Fajar dan Bintang. Bara ada kelas, baru tadi tadi sore ia berangkat. Mas Bumi pasti masih kerja. Total lima orang termasuk dia. Siapa yang tidak ada?
“Guntur mana, Mas?” Tanya Gala ketika menyadari siapa yang absen. 
“Keluar tadi, habis maghrib,” jawab Fajar tanpa menoleh. Pantas saja sejak sore tadi, Gala tidak mendengar suara Guntur. Padahal biasanya, sore sore begini sudah terdengar suara Guntur yang sedang mengomel di ruang makan gara-gara tidak bisa membuang sampah karena tempat sampah dapur penuh sebab Bintang yang selalu lupa untuk membuangnya. 
“Keluar kemana, Mas?”
“Tadi sih izinnya pergi main bareng temennya.”
‘temen apanya.’ Gala menyandarkan punggungnya. Diam-diam si nomor lima itu memikirkan apa yang terjadi pada Guntur. Kemana ia pergi, apa yang ia lakukan disana, main sama temen yang mana. Guntur termasuk anak yang jarang keluar rumah setelah Bintang. Apalagi dengan teman sekelasnya. Biasanya Guntur akan keluar rumah jika Mas Bumi atau Gala memintanya untuk pergi membeli masako atau bahan dapur lainnya di toko Pak Sanusi. Paling mentok Guntur akan keluar untuk membeli nasi goreng atau cilok Pak Sumali.
Memang tidak biasanya, tapi Gala paham benar kenapa Bara mengizinkan Guntur keluar walau sudah masuk waktu isya’. Sebelumnya, Guntur belum pernah mengenalkan teman-temannya pada saudara-saudaranya. Walau terlihat baik-baik saja setiap pulang sekolah, banyak sedikit, Mas Bumi dan lainnya mengkhawatirkan pergaulan Guntur dan teman-temannya.
“Diizinin sama Mas Bara udah harus di rumah sebelum Mas Bara pulang,” sahut Bintang tanpa memalingkan wajahnya. Rupanya, game happy mall lebih menarik ketimbang melihat wajah Mas Galanya.
“Gue berangkat,” ucap Gala sesaat setelah melihat arloji yang melingkar di tangannya yang disambut anggukan dari Fajar. Lain halnya dengan Bintang yang awalnya terlihat fokus dengan game di ponselnya. Melihat Gala yang sedang memakai sepatunya, tiba-tiba saja Bintang bangkit dari posisinya dan menegakkan punggungnya.
“Mas, pake motor gue aja,” ucap Bintang sambil tersenyum lebar. Sontak saja penuturan dari bungsu kedua membuat Gala menoleh dan menatapnya bingung. Bagaimana tidak? Pasalnya, Bintang memang sangat pelit jika menyangkut motornya. 
Ah, sebenarnya tidak bisa dibilang motornya juga. Waktu itu Mas Bumi mengiyakan permintaan Bintang untuk membeli motor lagi karena Bintang sering sekali ikut lomba. Dalam seminggu, Bintang bisa mengikuti lima kali bimbingan belajar untuk olimpiade akhir bulan. Dan waktu itu, Mas Bumi sedang sibuk-sibuknya kerja, Bara dan Fajar pun tidak selalu bisa mengantarkan Bintang. Bintang juga tidak bisa terus-terusan meminjam sepeda Guntur (karena biasanya Guntur pakai untuk belanja bahan dapur ke toko). Dan pada akhirnya, setelah menabung sekian lama –ditambah uang Mas Bumi– Bintang akhirnya berhasil membeli motor beat berwarna putih biru yang kini terparkir apik di garasi rumah dengan syarat; hanya boleh dipakai Bintang untuk les saja. Bintang harus tetap izin jika ingin memakainya di luar jam bimbel.
“Kek gini biasanya ada apa-apa. Mau apa lo?” ucap Gala sambil menunjuk Bintang dengan dagunya. Tangannya kini sibuk menenteng helm yang baru ia ambil dari rak samping etalase sepatu.
“Hehehe… seblak dong, Mas,” ucap Bintang sambil tersenyum penuh arti. Sementara Gala di tempatnya bergidik ngeri. “Uangnya?”
“Pake uang lo aja nanti gue bayar.”
“Piki uwing li iji ninti gui biyir.” Gala mendecak sebal, kontras dengan Bintang yang masih tersenyum lebar. Bukannya apa-apa, Gala sudah sangat hafal dengan keadaan seperti ini. Setelah Gala membelikan pesanan Bintang, bocah itu pasti akan berterimakasih dan sebelum Gall meminta kembali uangnya, Bintang akan kembali tersenyum sambil mengatakan mantra jitunya; “Inget Mas, kata Bapak. Sesama saudara itu harus saling memberi.” Kalau sudah begitu, Gala juga tidak berani menagih uangnya.
Gala –setelah berdehem sebagai isyarat ‘iya’– melangkahkan kakinya menuju garasi. Dicarinya motor beat putih biru yang biasanya terparkir sebelah pojok kanan dekat motor vario merah Mas Fajar. Namun yang ia temukan hanya sepeda Guntur yang belum sempat di parkirkan dengan benar. Sepersekan menit mencari, dirasa tidak menemukan motor Bintang, Gala kembali dengan perasaan bingung (lagi).
“Bintang, motor lo mana dah?”
Bintang mengerjap sebentar, lalu kembali tersenyum. Kali ini bukan tersenyum lebar agar Gala mau membelikannya seblak, tapi tersenyum seperti Guntur yang ketahuan menghilangkan Tupperware Mas Bumi tempo hari.
“Oh iya… di bengkel Mas,” ucap Bintang masih dengan cengirannya. Gala menggeleng kesal. Segera ia langkahkan kakinya menuju gantungan di atas etalase sepatu, mengambil kunci motor milik Fajar. “Seblaknya buat Mas Fajar aja,” ucapnya sebelum kembali ke garasi yang dibalas sorakan kecewa dari Bintang dan acungan jempol dari Fajar yang masih sibuk dengan kartun spongebob di televisi.
+++
Gala menyandarkan punggungnya setelah puas mentertawakan Jhonny yang kini mengusap hidungnya menggunakan tissue setelah tersedak es jeruk beberapa menit yang lalu. Laki-laki blasteran Chicago itu mengusap hidungnya yang terasa sangat perih dan panas. Namun, bukannya berhenti tertawa, teman-temannya justru semakin tergelak melihat hidung Jhonny memerah.
Kisahnya bermula ketika Gala baru saja kembali setelah mengambil pesanan mereka. Sepanjang perjanalan, laki-laki berkemeja flannel itu mengernyit. Mereka hanya berempat, tapi ada banyak sekali makanan yang tersaji di atas nampan. Seingatnya, mereka hanya memesan kentang goreng, jamur dan es jeruk (disamakan menunya karena Mahatma gamau ribet). Tapi di nampan lebar ini ada beberapa makanan yang tidak mereka pesan. Atensi Gala berpusat pada Mahatma yang masih ia ingat jelas perkataannya; “Lo pada pesen kentang, jamur sama es jeruk aja, kalo gamau pesen sendiri.” Kalau bukan karena hanya Mahatma yang tau cara pesan makanan di café ini, mereka pasti sudah foya-foya sekarang.
“Gitu bilangnya pesen kentang, jamur sama es jeruk doang. Kalo tau lo pesen spaghetti mah, gue juga ikut tadi,” ucap Gala masam sambil meletakkan nampan di atas meja.
“Spaghetti apaan?”
Mahatma bingung, Gala semakin bingung. “Lah ini spaghetti, gamungkin gue yang pesen kan?”
“Gamungkin gue juga,” sahut Mahatma semakin bingung.
Gala mengerjap. Mereka berempat lalu mengabsen makanan yang ada di atas nampan. Rupanya, selain spaghetti, di atas nampan masih ada cumi-cumi, sosis bakar dan es cola. Belum selesai dengan kebingungan mereka, panggilan yang terdengar dari pengeras suara semakin membuat mereka bingung.
“Pesanan atas nama Kak Mahatma!”
Gala salah tingkah. Pesanan atas nama Gala baru saja disebutkan, dan sekarang ada pesanan atas nama Mahatma. Hardi, setelah mencoba mencerna kejadian singkat membingungkan ini lalu mengusap kasar wajahnya. “Atma, lo tadi pesen atas nama siapa?” Tanya Hardi.
“Atas nama gue,” jawab Mahatma seketika.
“Terus, tadi lo ngambil pesenan atas nama siapa?” Tanya Hardi beralih ke Gala.
“Atas nama gue. Gue kira tadi Atma pesennya atas nama gue,” jawab Gala polos.
“Berarti lo salah ambil pesenan. Sekarang balik, tuker nampannya,” ucap Hardi sambil memijat pangkal hidungnya. Gala bukannya sekali dua kali seperti ini. Hampir setiap mereka jajan, selalu Gala yang tidak teliti dengan pesanannya. Pernah waktu itu Gala salah mengambil pesanan seorang bapak-bapak di warung yang berisi STMJ dan sebungkus rokok. Maunya Gala tidak perlu ikut andil dalam pesan-memesan, tapi nanti keenakan Gala dong.
Sontak saja kejadian itu membuat mereka tergelak bukan main. Melihat Gala yang tergopoh-gopoh mengembalikan nampan ke kasir, membuat Jhonny entah kenapa sangat tergelitik. Jhonny yang awalnya tertawa tiba-tiba saja terbatuk-batuk sebab tersedak ludahnya sendiri. Dengan segera, tangannya menggapai sebotol susu jeruk yang ia bawa dari rumah dan meneguknya brutal. Namun sayang seribu sayang, bukannya mereda, justru laki-laki bule itu malah tersedak hebat. Hardi bilang ada air yang keluar dari hidungnya, tapi bukan ingus.
“Kualat itu Jhon, istighfar dulu yok, astaghfirullah…” ucap Mahatma sambil menepuk pelan bahu Jhonny.
“Astaghfirullah…”
“Lo bukannya Kristen Jhon?”
“Eh iya, Atma sesat anjir,” ucapnya sambil memukul bahu Mahatma yang kembali tergelak.
Gala menggeleng pelan. Sepersekian detik kemudian menyalakan ponselnya. Bubble chat dari Bintang yang memintanya untuk tetap membelikannya seblak membuatnya terkekeh pelan. Bagaimana tidak? Bintang bilang jika Gala tetap membelikannya seblak, maka Bintang akan benar-benar mengganti uangnya kali ini. Walau sebenarnya Gala tau bagaimana akhirnya, Gala tetap mengiyakan permintaan si bungsu kedua itu.
Sebenarnya yang terpenting bagi Gala bukan lagi keramaian di café atau music di pengeras suara yang tidak sesuai dengan selera Gala. Tawa kencang Hardi dan Mahatma  dan cerita panjang Jhonny sejujurnya sudah cukup mengalihkan dunianya. Termasuk tawa anak-anak SMA yang tak jauh dari meja mereka. Seharusnya Gala tidak terganggu dengan mereka. Toh, ini tempat umum. Tapi mendengar mereka terus menyebut nama yang tidak asing di telinganya, secara tidak langsung, atensi Gala terpecah.
“Yang bayar Guntur, ya nggak?”
Gala terdiam, mencoba menajamkan telinganya hanya demi mendengar sepatah kata selanjutnya yang membuatnya resah.
“Simpel aja sih Tur, lo tinggal bayar pesenan kita, terus kita nemenin lo. Saling untung kan?”
Dengan segera, Gala menyalakan kembali ponselnya. Angka 8 yang terpampang di layar lockscreennya membuat jari-jarinya dengan segera mencari nomor Fajar dan menanyakan apa Guntur sudah pulang. Bara seharusnya sudah pulang jam segini. Kalau Mas Bumi pasti nanti pulangnya jam 10 malam, hari ini dia shift sore. Karena Bara (seharusnya) sudah pulang, dalam diam, Gala berharap jawaban dari Fajar bahwa Guntur sudah pulang sejak satu jam yang lalu.
‘Belom pulang, di chat di baca doang’
Gala semakin resah. Di tengah ramainya teman-temannya melempar canda dan tertawa, justru kepala Gala ramai dengan pertanyaan tentang Guntur dan kemungkinan-kemungkinan buruk lainnya. Memberanikan diri, Gala lalu menoleh sedikit ke belakang. Bukan gerombolan anak SMA kelas satu yang membuatnya takut, tapi kenyataan bahwa ‘Guntur’ yang mereka sebut adalah ‘Guntur’nya.
Namun, belum sempat Gala melihat wajah ‘Guntur’, mereka sudah lebih dulu bangkit meninggalkan meja mereka. Atensi Gala tidak lepas dari gerombolan anak kelas sepuluh itu demi memastikan keraguannya. Gerombolan itu menuju kasir, membayar pesanan mereka tentunya.
“Gue ke kamar mandi dulu,” alibi Gala. Laki-laki berkemeja flannel itu berjalan menuju kasir, mengantre di belakang mereka seolah akan membayar pesanan juga. Di perhatikan-nya gerombolan anak kelas sepuluh itu dengan seksama. Seorang laki-laki dengan kemeja biru langit yang merangkul laki-laki lainnya dengan hoodie berwarna krem memimpin di depan. Berdiri di depan kasir untuk membayar pesanan mereka.
“Maaf kak, uangnya kurang 50 ribu,” ucap pegawai kasir ramah, namun kontras dengan wajah pucat laki-laki dengan hoodie kremnya. Terlihat laki-laki itu dengan panic merogoh saku celana dan hoodienya, berharap ada uang disana. Gala melihatnya, laki-laki dengan hoodie krem yang membuat gerombolan yang seharusnya tertawa karena sudah di bayar pesanannya justru bermuka masam. Hoodie krem itu, Gala sangat kenal siapa pemiliknya.
“Mas! Pinjem hoodie yang di jemuran yang warna krem yak? Punyaku belum kering!”
Hoodie itu milik Gala. Dan yang sedang panic merogoh sakunya saat ini adalah Guntur adiknya.
+++
“Gue udah bilang kan? Bawa uang yang banyak!” 
Jefan, bocah laki-laki dengan rambut keriting dan berkemeja biru langit memukul kepala Guntur yang sedang berlutut di depan mereka dengan ponselnya. Guntur diam, tak berkutik. Tak berani pula ia menangis, karena jika ia menangis, Guntur akan semakin di permalukan.
Mereka sedang berada di gang sempit di dekat perempatan jalan dekat jembatan merah. Tak ada yang akan datang kesana. Gang sempit itu buntu dan hanya berisi tempat sampah besar dengan baunya yang memabukkan. Kebetulan jalan raya sedang sepi. Dan itu jelas malapetaka bagi Guntur.
Jam sudah menunjukkan angka 8:45. Mas Bara pasti sudah ada di rumah. Tadi dia bilang akan mengizinkan Guntur keluar dan harus kembali sebelum Mas Bara pulang dari kampusnya. Dan ini sudah lewat 45 menit sejak Mas Bara pulang ke rumah. Guntur tidak bisa membayangkan betapa marahnya Mas Bara nanti di rumah saat tau Guntur terlambat pulang dan tidak menepati janjinya.
“Untung tadi gue bawa uang, kalo ga bawa nanti gimana hah?” Kini giliran Rio yang memukul kepala Guntur dengan tangannya sendiri.
“Maaf, gue cuma punya segitu.”
Guntur tidak berbohong. Dia benar-benar hanya membawa uang yang ia simpan selama berminggu-minggu. Sebulan sekali, tepatnya ketika awal bulan, Mas Bumi akan memberi jatah mereka untuk sebulan. Hanya uang jajan. Untuk SPP dan perlengkapan sekolah masih menjadi tanggungan Mas Bumi –kecuali yang sudah kuliah, karena mereka terkadang masih punya uang simpanan hasil kerja sampingan. Dan sejujurnya, Guntur tidak pernah memakai uang jajannya. Uang jajannya yang ia jatah sehari 20 ribu itu ia berikan pada Jefan dan gerombolannya agar mereka berhenti memukuli Guntur. Membawa bekel agar tidak kelaparan saat jam istirahat dan pulang ke rumah dengan cerita yang sebenarnya hanya khayalan. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Terus berpura-pura dunianya berjalan lancar. Berharap tak ada yang tau apa yang terjadi padanya, terutama Mas Bumi.
Karena Mas Bumi adalah segalanya. Ia sudah teralu hancur untuk di hantam kembali dengan masalah-masalah kecilnya.
“Halah, basi!”
Guntur terbaring seketika ketika Dika menendang kepalanya sesaat setelah me-nyelesaikan kata-katanya barusan. Telinganya berdengung, pandangannya buram. Air matanya ia tahan habis-habisan. Gerombolan di depannya mentertawakannya. Entah apa yang lucu dari menendang seorang yang menurut mereka lemah.
Namun tak berlangsung lama, Guntur yang mencoba meredam sakit kepalanya tak lagi mendengar suara tawa sumbang Jefan dan teman-temannya. Entah memang tak bersuara atau telinganya yang berdengung hebat yang membuatnya tak mendengar suara apapun walau jelas-jelas dirinya melihat pertengkaran hebat di depannya. Perkelahian antara Jefan dan kawan-kawannya melawan,
Gala?
“Lo kalo mau nyari masalah langsung tawuran sama gue aja! Gausah gebuk-gebuk adek gue!” bentak Gala setelah melayangkan pukulan keras di wajah Jefan dan membuat pipi kanannya memar. Wajah Gala sungguh tak bersahabat sekarang. Suasana hatinya benar-benar buruk. Sedikit buram, namun Guntur masih bisa melihat wajah kakak kelimanya itu merah padam. Gala benar-benar marah.
“Kenapa lo? Gak terima adeknya gue gebuk?”
“Masih nanya lo? Goblok atau idiot nih?” ucap Gala setelah terkekeh sebentar. Dengan berani, menatap wajah Jefan sambil mengibaskan tangannya yang ia gunakan untuk memukul Jefan beberapa saat yang lalu.
“Oh iya, lupa. Lo kan gaada otak,” ucap Gala sebelum akhirnya terkekeh. Mata Guntur menyipit setelah dirasa dengung di telinganya sedikit mereda. Dengan segala kekuatan yang ia punya, Guntur mencoba meraba permukaan tanah yang tak rata itu dan mencoba bangkit. Jangan sampai masalah ini semakin besar atau dia akan mendapat masalah baru. Ia jelas akan dimarahi Mas Bara karena pulang terlambat, ia juga akan diperlakukan lebih buruk keesokan harinya, dan kemungkinan terburuknya adalah Mas Bumi akan kecewa padanya.
Guntur meringis saat melihat dalam waktu sekejap Gala terbaring di tanah karena pukulan yang dilayangkan Rio dari belakang kepalanya, disusul dengan pukulan bertubi-tubi di wajahnya. Membuat memar beberapa bagian wajahnya.
“Mas…” Suara Guntur terlalu lemah jika dibandingkan dengan suara Mahatma yang menggelegar penuh amarah.
“WOI ANJING!”
Itu teman-teman Gala. Guntur ingat jelas siapa mereka. Mahatma yang biasanya sering numpang ngecharge di rumahnya saat main ke rumah. Jhonny yang kebiasannya kolor atau kaosnya ketinggalan di rumah ketika menginap semalam saat mengerjakan tugas atau belajar untuk materi bimbingan belajar besok. Dan Hardi yang biasanya sokab. Sudah tau tidak kenal, masih saja di ajak bercanda. Jokes bapak-bapak lagi. Guntur tau mereka semua. Yang biasanya meramaikan rumah ketika Mas Bumi dan Bara tidak pulang untuk urusan mereka masing-masing. Tapi kali ini, Guntur pikir ia tak melihat Mahatma, Jhonny dan Hardi yang biasanya mampir ke rumah.
“Dih, cemen banget bawa pasukan,” Jefan terkekeh.
“Perlu kaca Jat?” Hardi berkacak pinggang. Wajahnya benar-benar menyebalkan sekarang. Sedangkan Jhonny yang sepertinya berniat ikut menyeringai seperti Hardi terlihat urung. “Jat?”
“Ijat,” jawab Hardi tanpa menoleh. Jhonny mengangguk singkat dan segera berkacak pinggang dengan wajah paling sangar yang pernah Guntur lihat.
Mahatma mengulurkan tangannya, membantu Gala yang kini menyeka kasar bibirnya yang berdarah untuk bangkit. Tangannya mengusap bagian belakang kepalanya dan wajahnya. Seakan mengatakan bahwa tangan mereka terlalu kotor untuk menyentuh wajah-nya.
“Kalo sampe gue liat lo gebukin adek gue lagi, gue bonyokin muka lo,” ucap Gala. Kakinya lalu melangkah ke tempat Guntur terduduk menahan sakit di kepalanya yang lumayan mereda. Gala berjongkok, menatap sendu Guntur yang menunduk tak berani menatap wajahnya. Gala belum sempat mengatakan sepatah katapun ketika Rio dengan gerakan cepat menedang lengan Gala dan membuatnya kembali terjatuh.
“Kalo gue ga takut?” 
Gala masih menunduk. Tak lagi membiarkan dirinya menahan emosi yang sedaritadi mencoba menguasainya. Sedangkan Guntur di tempatnya panik. Di antara mereka, Gala adalah yang tidak pernah sama sekali marah. Mungkin ia hanya mengomel, namun untuk benar-benar marah, Guntur belum pernah tau. Atau mungkin memang sengaja tidak ia tunjukkan di depannya. Boro-boro marah, Gala sengaja tidak merespon ucapannya saja Guntur sudah takut setengah mati. 
“Kalo gitu dari awal aja gue gebukin lo.” Kejadiannya benar-benar cepat. Gala menyelesaikan kata-katanya sambil melayangkan pukulan di wajah Rio. Pukulan itu benar-benar brutal. Rio yang sebesar itu saja tidak di beri celah untuk melawan. Jefan dan Dika jelas tidak membiarkan temannya begitu saja. Begitu juga dengan Mahatma, Hardi dan Jhonny yang juga tidak membiarkan Jefan dan Dika membantu temannya.
Perkelahian tak bisa dihindari. Wajah mereka benar-benar babak belur. Melihat Gala yang semakin brutal menyerang Jefan dan teman-temannya dengan wajah yang sama babak belurnya membuat Guntur sesak. Tidak pernah ada kekerasan di rumah. Dan sekarang ia melihat Gala dengan amarah yang berkobar memukul dan juga dipukul tepat di depannya. 
Guntur tak tau harus berbuat apa. Kepalanya benar-benar pusing dan dengung di telinganya masih terasa. Lagipula ia juga tidak memiliki kemampuan berkelahi. Sebelum Gala lebih babak belur dan keadaan semakin di luar kendali, Guntur jelas harus melakukan seusatu. 
Netranya tanpa sengaja menangkap ponselnya yang sepertinya ikut terjatuh saat Dika menendangnya tadi. Tangannya mencoba meraih ponselnya yang tergeletak tak jauh dari tempatnya. 
Harus menelpon siapa? Guntur tak punya banyak waktu. Jika ia terus-teruan ragu seperti ini, bisa-bisa keadaan semakin memburuk. Dengan cepat dan penuh keyakinan, Guntur mengetikkan nomor darurat polisi setempat. Ia tak sempat berpikir apakah lebih baik menelpon Mas Bara daripada polisi atau menelpon Mas Fajar jauh lebih aman daripada polisi. Melihat Gala dengan wajah memar, yang ada di kepalanya hanya satu;
yaitu agar Gala tidak lebih terluka dari ini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Through This Letter (Sudah Terbit / Open PO)
4239      1334     0     
Romance
Dia—pacarku—memang seperti itu. Terkadang menyebalkan, jail, sampai-sampai buatku marah. Dan, coba tebak apa yang selalu dia lakukan untuk mengembalikan suasana hatiku? Dia, akan mengirimkanku sebuah surat. Benar-benar berbentuk surat. Di tengah-tengah zaman yang sudah secanggih ini, dia justru lebih memilih menulis sendiri di atas secarik kertas putih, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah a...
Adiksi
6326      2106     2     
Inspirational
Tolong ... Siapa pun, tolong aku ... nafsu ini terlalu besar, tangan ini terlalu gatal untuk mencari, dan mata ini tidak bisa menutup karena ingin melihat. Jika saja aku tidak pernah masuk ke dalam perangkap setan ini, mungkin hidupku akan jauh lebih bahagia. Aku menyesal ... Aku menyesal ... Izinkan aku untuk sembuh. Niatku besar, tetapi mengapa ... mengapa nafsu ini juga sama besarnya!...
Cinta dalam Impian
101      80     1     
Romance
Setelah ditinggal oleh kedua orang tuanya, seorang gadis dan abangnya merantau untuk menjauh dari memori masa lalu. Sang gadis yang mempunyai keinginan kuat untuk meraih impian. Voska belajar dengan rajin, tetapi dengan berjalannya waktu, gadis itu berpisah dengan san abang. Apa yag terjadi dengan mereka? Mampukah mereka menyelesaikan masalahnya atau berakhir menjauh?
My Soulmate Coco & Koko
4993      1739     0     
Romance
Menceritakan Isma seorang cewek SMA yang suka dengan hewan lucu yaitu kucing, Di hidupnya, dia benci jika bertemu dengan orang yang bermasalah dengan kucing, hingga suatu saat dia bertemu dengan anak baru di kelasnya yg bernama Koko, seorang cowok yang anti banget sama hewan yang namanya kucing. Akan tetapi mereka diharuskan menjadi satu kelompok saat wali kelas menunjuk mereka untuk menjadi satu...
Cinta Sebelum Akad Itu Palsu
115      86     1     
Inspirational
Hayy dear...menurut kalian apa sih CINTA itu?? Pasti kalian berfikir bahwasanya cinta itu indah, menyenangkan dan lainnya. Namun, tahukah kalian cinta yang terjadi sebelum adanya kata SAH itu palsu alias bohong. Jangan mudah tergiur dan baper dengan kata cinta khususnya untuk kaum hawa niii. Jangan mudah menjatuhkan perasaan kepada seseorang yang belum tentu menjadi milikmu karena hal itu akan ...
AUNTUMN GARDENIA
131      115     1     
Romance
Tahun ini, dia tidak datang lagi. Apa yang sedang dia lakukan? Apa yang sedang dia pikirkan? Apakah dia sedang kesulitan? Sweater hangat berwarna coklat muda bermotif rusa putih yang Eliza Vjeshte kenakan tidak mampu menahan dinginnya sore hari ini. Dengan tampang putus asa ia mengeluarkan kamera polaroid yang ada di dalam tasnya, kemudian menaiki jembatan Triste di atas kolam ikan berukura...
Langit Indah Sore Hari
113      98     0     
Inspirational
Masa lalu dan masa depan saling terhubung. Alka seorang remaja berusia 16 tahun, hubungannya dengan orang sekitar semakin merenggang. Suatu hari ia menemukan sebuah buku yang berisikan catatan harian dari seseorang yang pernah dekat dengannya. Karena penasaran Alka membacanya. Ia terkejut, tanpa sadar air mata perlahan mengalir melewati pipi. Seusai membaca buku itu sampai selesai, Alka ber...
RIUH RENJANA
399      300     0     
Romance
Berisiknya Rindu membuat tidak tenang. Jarak ada hanya agar kita tau bahwa rindu itu nyata. Mari bertemu kembali untuk membayar hari-hari lalu yang penuh Renjana. "Riuhnya Renjana membuat Bumantara menyetujui" "Mari berjanji abadi" "Amerta?"eh
Kanvas Putih
130      115     0     
Humor
Namaku adalah Hasywa Engkak, yang berarti pengisi kehampaan dan burung hitam kecil. Nama yang memang sangat cocok untuk kehidupanku, hampa dan kecil. Kehidupanku sangat hampa, kosong seperti tidak ada isinya. Meskipun masa depanku terlihat sangat tertata, aku tidak merasakannya. Aku tidak bahagia. Wajahku tersenyum, tetapi hatiku tidak. Aku hidup dalam kebohongan. Berbohong untuk bertahan...
The Skylarked Fate
5597      1932     0     
Fantasy
Gilbert tidak pernah menerima takdir yang diberikan Eros padanya. Bagaimanapun usaha Patricia, Gilbert tidak pernah bisa membalas perasaannya. Seperti itu terus pada reinkarnasi ketujuh. Namun, sebuah fakta meluluhlantakkan perasaan Gilbert. Pada akhirnya, ia diberi kesempatan baru untuk berusaha memperbaiki hubungannya dengan Patricia.