Menjelang ‘Aqiela Ru’ya Literature Festival,’ Annika merasa sesibuk lebah pekerja. Banyak sekali yang harus diurus. Ia harus kesana kemari membawa dokumen tanpa sempat memperhatikan penampilannya. Meskipun ia menjadi prefek kebudayaan karena suatu alasan konyol, namun ia bertekad untuk melakukan yang terbaik, lalu mundur dari jabatan di akhir kelas empat nanti. Oh, betapa ia tak sabar menantikannya.
Setidaknya pekerjaan mereka telah terbantu oleh para murid yang mendaftar sebagai panitia. Kini taman telah didekorasi dengan tema ‘novel misteri sepanjang sejarah’ yang menghadirkan suasana yang berbeda dari biasanya. Kutipan-kutipan novel dalam kotak kayu telah disebar di sepanjang taman. Murid yang mendapatkan kutipan dari novel tertentu akan mendapatkan hadiah. Ornamen kue kering dan setoples madu dari novel ‘A Honeyed Needle’ yang terkenal menghiasi satu sisi, sementara di sisi lain terdapat reka adegan kereta kuda yang tergelincir dari novel ‘Poison and Peony’. Mereka bekerja sama dengan klub seni rupa untuk merancang konsep dan menciptakannya.
Auditorium juga telah disiapkan. Para panitia telah menyulapnya sesuai dengan tema ‘Aqiela-Lit’ tahun ini. Di sinilah besok penulis Aliyya Mossfield akan berbicara. Annika harap besok dirinya tidak akan terlalu sibuk sehingga bisa menyimak pembicaraan Aliyya Mossfield. Oh, ia masih penasaran, apakah setelah novelnya berakhir, Lulu Fox akan berteman lagi dengan si kembar Pamela dan Pristine? Sayang sekali kalau mereka berakhir dengan saling merasa asing satu sama lain.
Annika berjalan menuruni undak-undakan. Ia menghampiri Kak Katya dan Kak Airis yang tengah duduk di kursi penonton. Kak Airis mengumumkan di panggung bahwa para panitia yang bertugas sudah boleh pulang. Ia juga ingin pulang.
“Udah ngantuk, Nik?” tanya Kak Katya dengan senyum hangat di wajahnya yang lelah. “Merah banget mata kamu.”
“Iya. Udah nggak ada lagi kan, Kak, yang harus dikerjain?”
“Dikit lagi aja, lalu boleh pulang. Tolong kunciin perpus, ya? Tadi bapak satpam nitip ke aku. Aku mau teliti sekali lagi rundown acara buat besok. Enggak apa-apa?”
“Boleh,” ucap Annika. Mengunci perpustakaan saja, lalu bisa pulang dan tidur untuk menyiapkan tenaga menjalankan hari yang melelahkan besok. Ia menerima kunci yang diberikan Kak Katya, lalu berjalan menuju pintu keluar.
Ia menaiki tangga menuju perpustakaan. Tiba-tiba saja ia menyadari kalau ia sendirian. Suasana pun agak gelap. Lampu-lampu telah dimatikan kecuali lampu luar. Annika mempercepat langkahnya. Semakin cepat ia menyelesaikan tugasnya, maka semakin baik.
Namun lampu yang remang-remang membuatnya kesulitan memasukkan kunci di lubangnya. Annika menghela napas. Ia harus menyalakan satu lampu lagi. Ia berbalik untuk mencari dimana saklar lampu disembunyikan.
Ekor matanya menangkap sesuatu. Ada lampu yang menyala di dalam perpustakaan. Annika menghentikan gerakannya. Ia hanya diminta untuk mengunci perpustakaan, sih, tanpa perlu memeriksa apakah lampunya sudah mati sempurna atau belum. Ia bisa saja mengabaikannya. Tapi perasaannya berkata lain. Selain itu, sepasang sepatu yang familier yang diletakkan di rak sepatu membuatnya tak bisa mengabaikan hal ini.
Annika membuka pintu dan masuk ke dalam perpustakaan. Lampu yang menyala berasal dari salah satu ruang belajar. Semakin ia mendekat, sosok di dalam semakin jelas. Annika menyipitkan mata, lalu langkahnya terhenti saat menyadari ia adalah Kiara.
Apa yang ia lakukan di sini? Untung saja ia belum menguncinya. Tanpa ragu-ragu, Annika membuka pintu ruang belajar, membuat Kiara yang tengah belajar di dalam mendongakkan kepala.
“Kiara? Kok kamu ada di sini?” tanya Annika seketika.
Kiara menatapnya lama, lalu mendecak. “Aku lagi belajar.”
“Ini jam setengah sebelas malam. Kamu harusnya tidur. Kalau ketahuan, poinmu bisa dikurangi.”
“Ini udah ketahuan, kan?” tanya Kiara.
Para prefek mempunyai kewenangan untuk mengurangi poin para murid, prefek apa pun itu. Prefek tata tertib tak cukup banyak untuk menangkap pelanggaran yang dilakukan oleh siswa.
Annika terlalu mengantuk untuk bisa menyabarkan diri dengan perilaku Kiara. Ia juga tak habis pikir mengapa gadis itu bisa seperti ini—melanggar peraturan dengan santai dan sadar. Gadisnya, dulu, selalu mengingatkan Annika ketika ia ingin membolos setoran hafalan Alquran. Annika yang kepalanya telah dipenuhi dengan urusan ‘Aqiela-Lit Fest’ dan keinginan untuk tidur hanya bisa menjawab dengan kesal. “Iya udah. Ayo balik ke asrama, nanti aku bisa kurangin poin kamu di sana.”
“Enggak mau. Kurangin aja sekarang. Kamu sendiri aja yang balik, Nona Prefek.”
Annika menghentakkan kaki pelan. Sol sepatunya bergema di ruangan. “Kamu mau di sini semalaman? Aku mau kunci pintunya. Ayolah, jangan membuatku susah. Kiara, bener-bener, deh. Kamu bisa kena masalah kalau begini. Poin kamu bisa berkurang banyak.”
“Kayaknya aku nggak bisa perhatiin pengurangan poin, deh, kalau aku bisa menambahkan jauh lebih banyak poin.”
Annika tak mengerti maksud Kiara. Ia mengantuk dan pusing karena sangat mengantuk. Namun matanya melihat buku yang dibaca Kiara yang bertemakan olimpiade sains. Memenangkan olimpiade memang memberikan banyak tambahan poin bagi pemenangnya.
“Tapi Ra, kamu tahu kan kalau itu belum tentu,” kata Annika.
Kiara menautkan alis. Kedua tangannya terkepal dan gadis itu menatapnya penuh amarah. “Aku bakal jadi juaranya. Apapun yang terjadi. Kamu bisa pergi saja.”
Namun, Annika tak ingin pergi. Sesuatu terjadi pada Kiara, dan menggerogoti kerasionalan gadis itu. Ia merasa Kiara semakin jauh dan jauh darinya. Kalau ia mengutamakan egonya dan pergi, hubungan mereka hanya semakin memburuk. Annika sudah tidak berharap ia bisa dekat lagi dengan Kiara seperti dahulu, tapi cara mereka memperlakukan satu sama lain akhir-akhir ini mengusik ketenangan hatinya. Annika menghela napas. “Sebenarnya apa yang terjadi?”
Iris mata Kiara bergetar. Annika delapan puluh persen yakin kalau tepian mata Kiara telah mengumpulkan air mata. Ia membuka bibirnya—lama—sebelum menjawab, “Engga ada apa-apa.”
Lengangnya perpustakaan saat malam hari mengisi interval percakapan mereka. Tiadanya suara-suara yang mengusik membuat Annika teringat kisah-kisah yang ia lukis di Aqiela Ru’ya bersama Kiara. Tawa mereka di sepanjang koridor sekolah atau bubble chat menyenangkan yang menaikkan mood-nya selama liburan. Kiara adalah bagian dari masa mudanya, yang apabila diibaratkan dengan kue, empat dari lima potong mempunyai rasa manis yang sempurna. Hatinya menghangat. Oh, Kiara sedang melalui sesuatu, dan ia dengan bodohnya hanya memikirkan kenapa gadis itu tak mencurahkan perhatiannya sebanyak sebelumnya.
“Kiara, aku benar-benar berharap kalau—” ucap Annika pelan, seraya melangkahkan kakinya mendekati gadis itu. “Kamu beneran enggak apa—ASTAGA! Kamu panas banget …”
Pelukan itu menyebabkan Annika bisa merasakan hawa panas Kiara yang amat panas. Panik, Annika menyentuhkan punggung tangannya ke dahi Kiara. Panas sekali! Ia tidak tahu bagaimana dengan suhu sepanas ini Kiara masih bisa berbicara seperti tadi.
“Annika.”
“Hum? Kamu beneran harus—"
“Aku takut … tolong jangan tinggalin aku beneran,” ucap Kiara dengan suara bergetar. Air mata mulai berjatuhan di pipinya. Setelah melihatnya dari dekat, wajah Kiara jadi kelihatan lebih pucat dari biasanya. Matanya merah dan sayu. Bibirnya pun pucat. “Annika … aku bakal balik ke asrama, tapi aku engga bisa …”
“Iyaa, tenang aja. Kamu engga akan aku tinggalin. Menurutmu aku bakal setega itu?”
Sorot mata Kiara memandang lurus padanya, mengingatkan Annika tentang sikapnya yang mengabaikan Kiara beberapa minggu terakhir. Oh, oh, sangat canggung. Annika berdehem seraya memutus kontak mata. “Kita ke UKS aja. Kamu beneran engga bisa berdiri?”
Kiara menggeleng.
“Kalau gitu, tunggu di sini, aku panggil Kak Katya dulu di bawah.”
“Aku bisa berdiri. Tapi pusing.”
Annika memiringkan kepala, lalu berkata, “Oke, ngga apa-apa, senderan aja ke aku.”
Maka, kedua gadis itu berjalan berdekatan. Annika menjaga Kiara supaya tidak oleng. Ia tidak jadi mengantuk. Ketika telah mencapai dasar tangga, mereka bertemu dengan Kak Katya yang tengah menunggu Kiara.
“Loh, kenapa? Kiara?” tanya Kak Katya ketika melihat Kiara yang lemas.
“Panas banget, Kak, badannya. Ini mau ke UKS,” jelas Annika.
Kak Katya jelas-jelas ingin bertanya lagi, tapi ia menahannya, dan hanya membantu Annika memapah Kiara. Mereka berjalan menyusuri tepian taman hingga sampai ke gedung utama sekolah. UKS sekolah terletak di lantai dasar, letaknya tak jauh dari lobby utama. Untungnya, Bu Aisy belum tidur. Ia segera memeriksa Kiara dengan sigap.
“Panasnya mencapai 39 derajat. Biar dia di sini dulu aja. Kalian pulang, udah malam,” kata Bu Aisy setelah melihat termometer. Ia melirik lencana yang ada di jas Kak Katya. “Anak prefek, ya?”
“Iya, Bu.”
“Pulang aja. Besok kalian harus ngurusin acara, kan?”
Annika menurut. Ia berpamitan dengan Kiara yang memejamkan mata dan keluar dari UKS mengikuti Kak Katya. Gadis itu kini kelihatan sangat lelah diterpa sinar dari lampu lorong. Ia tidak berkata macam-macam, hanya bertanya, “Perpusnya udah dikunci?” yang langsung membuat Annika meratap dalam hati. Malam ini rasanya terlalu panjang!