Loading...
Logo TinLit
Read Story - Of Girls and Glory
MENU
About Us  

Baru dua jam pelajaran dan Annika sudah kelaparan. Padahal ia sudah sarapan. Namun jam pelajaran kedua akan segera mulai dan ia tidak bisa pergi ke kantin. Annika membayangkan makanan yang akan ia beli saat ia berjalan menuju kelas Matematika. Ia akan membeli siomay dan akan menikmatinya sepenuh hati.

Annika duduk di bangku yang berada di barisan tengah. Satu-persatu, para murid pun datang. Gladys yang duduk di depan Annika, melihat gadis itu, ia langsung berbicara dengan semangat, “Piring kamu kan ya, yang gambar bebek itu?”

“Iya. Kenapa, Dys?” tanya Annika, kebingungan dengan maksud Gladys menanyakan hal itu.

“Tadi aku pinjam untuk ambilin Anya buah. Ngga apa-apa, ya,” katanya.

“Ngga apa-apa. Anya … sakit?”

“Iya. Tadi badannya panas banget. Sebenarnya tadi mau berangkat, tapi engga aku bolehin. Punya kamu yang ada di atas meja jadi aku ambil supaya cepat. Udah mau bel soalnya.”

“Oh, ngga apa-apa. Tapi tumben banget Anya sakit. Semoga cepat sembuh, deh.”

Percakapan mereka terhenti saat Kiara datang. Kerudungnya berantakan, sepertinya ini pertama kali Annika melihat kerudung Kiara berantakan. Ia selalu rapi dan enak dilihat, bahkan saat bermain kasti. Saat ini sehelai poninya bahkan sampai keluar dari bagian depan kerudungnya.

“Aku duduk di sini, yaaa,” katanya.

Annika tersenyum dan mengangguk. “Iya. Rambut kamu keluar, tuh, sini aku benerin,” katanya, seraya memasukkan rambut Kiara supaya tersembunyi.

“Udah?”

“Nah, udah,” kata Annika setelah Kiara rapi kembali seperti biasa.

“Tadi habis dari kantor guru dan ngobrol bentar sama Bu Pamela. Huh, untungnya Bu Diana belum datang,” kata Kiara sembari memandang Annika lekat-lekat, lalu matanya melebar, seakan menyadari sesuatu. “Annika! Astaga, maaf ya, semalem aku engga jadi nyusul kamu. Aku mau bilang, tapi waktu keluar dari kamar aku beneran lupa. Kemarin itu aku ada pertemuan olimpiade. Maaf banget. Nanti malem mau, ngga?”

“Nggak apa-apa,” kata Annika, lalu menampilkan bread smile­-nya. Jujur saja, di dalam hatinya ia agak merasa jengah dengan permintaan maaf Kiara. Namun, sedetik kemudian ia merasa kalau perasaannya agak tidak pantas untuk dimiliki terhadap seorang sahabat. Jadi, ia menambahkan, “Boleh. Nanti malam aku belajar di ruang rekreasi lagi. Kalau mau ikutan, naik aja.”

“Oh, oke,” kata Kiara, ia mengeluarkan buku Matematikanya, lalu memiringkan kepala. “Kamu kedengaran kayak … marah.”

“Aku enggak marah, loh, cuma … aku ngerti kamu lagi sibuk banget, Ra. Klub sastra, persiapan olimpiade, banyak tugas juga, jadi kamu engga perlu maksain kalau kamu engga sempat.”

Dahi Kiara berkerut, menimbang-nimbang perkataan Annika. “Aku rasa kamu ngga ngerti. Aku ‘beneran’ mau belajar sama kamu tadi malam. Aku lagi punya waktu kosong. Aku ngga maksain sama sekali.”

Kepala Annika sakit. Percakapan yang bermula lembut dan menyenangkan kini naik ke taraf menegangkan. Untungnya, Bu Diana segera datang dan memecah ketegangan di meja bagian tengah itu. Annika dan Kiara sama-sama mengeluarkan buku mereka. Dan ketika pelajaran dimulai, dengan sifat Bu Diana yang semangat dan ceria, membuat mereka lebih santai. Kedua gadis itu sama-sama lebih dari sekedar tahu bahwa tidak baik membawa emosi dari pembicaraan tadi lama-lama. Sehingga dengan cepat Kiara tampak meminjam pulpen Annika (ia telah menghabiskan satu lusin pulpen bulan ini), dan Annika yang menyelipkan candaan-candaan saat mereka bekerja sama memecahkan ‘teka-teki’ yang diberikan oleh Bu Diana.

Meskipun begitu, percakapan tadi masih diingat Annika. Tampaknya begitu pula dengan Kiara, karena saat bel istirahat berbunyi, dan Bu Diana menutup kelas, Kiara berkata, “Aku bakal ikut ke ruang rekreasi nanti malam.”

“Oke, nanti aku tunggu,” jawab Annika dengan senyumnya.

Mereka keluar dari ruang kelas Matematika. Mereka akan berpisah kelas setelah ini, tetapi mereka ingin membeli camilan dulu di kantin. Annika sudah menginginkan siomay lezat yang akan mengganjal perutnya sampai waktu makan siang nanti.

Saat menuruni tangga, mereka bertemu dengan Kak Farida. Annika dan Kiara memberikan senyum ramah mereka. Semua anak Aqiela Ru’ya memang mengenal gadis itu karena patrolinya setiap malam. Annika terus menuruni tangga, meskipun akhirnya berhenti saat mendengar suara Kak Farida. “Annika Celeste Amaryllis, ya?” tanyanya.

Ah, tapi Kak Farida tidak mengenal semua orang yang dilihatnya.

“Iya, Kak,” kata Annika.

Kak Farida tersenyum, sebuah gestur yang selalu ia sembunyikan di balik topeng wajah tegasnya. Ia memberikan sepucuk surat untuk Annika, lalu berkata, “Ini buat kamu. Selamat, ya. Jangan lupa ke auditorium lebih awal hari Kamis nanti.”

Annika melongo. Ia bahkan tak menyadari kalau Kak Farida telah berlalu. Ia melihat surat itu, terdapat logo prefek Aqiela Ru’ya di penutup luarnya. Oh, ini gawat.

“Kamu daftar prefek, Nik?” tanya Kiara.

“Iya,” kata Annika. Ia merasa sedikit linglung. Dear, datangnya surat dengan logo prefek dan ucapan selamat dari Kak Farida sungguh tak disangka-sangka. Keberadaan Kiara di sisinya juga membuatnya sadar berapa kali ia berkata kalau ia sama sekali tidak mau mendaftar prefek. “Ah, aku baru mutusin untuk daftar hari Kamis kemarin. Malam-malam. Lalu kita engga ketemu sampai hari ini, jadi aku engga kasih tahu kamu.”

“Kita ketemu, Ka. Kenapa sih, kamu? Kita kan ngobrol agak lama di mushola, di ruang makan, kita bahkan duduk deketan waktu pelajaran mufrodat malam-malam. Tapi kamu engga bilang apa-apa.”

Suara Kiara yang dingin dan menyiratkan kekecewaan membuat Annika sadar betapa kacau perbuatannya. Ia menuruni tangga, menuju daerah di bawah tangga yang jarang dilewati orang.

“Iya—jujur aja, aku nggak berani bilang karena aku bakal ‘malu’ kalau taunya engga lolos,” kata Annika, mengingat-ingat pertimbangannya dengan dirinya sendiri minggu lalu.

Kiara meraih suratnya, kemudian membaca isinya, lalu berkata, “Selamat ya, Ka, kamu jadi Prefek Budaya dan Kesenian. Kamu bakal lebih banyak kesempatan ketemu sama Alyssa Mossfield. Sekarang, kamu boleh bilang kalau aku harusnya ‘malu’ karena engga keterima.”

“Oh, maaf, bukan maksudku gitu, Ra,” kata Annika, mulai menyadari kesalahan ucapannya. “Itu cuma perasaanku aja. Aku selalu ngerasa malu kalau gagal, makanya aku ragu-ragu mau bilang. Tapi beneran, aku mau bilang tadi malam di ruang rekreasi. Aku harap aku bisa kayak kamu, tetap santai meskipun gagal, tapi sifat itu engga natural ada di dalam diriku.”

“Aku engga santai sama sekali, Ka. Tahu nggak, sih? Untuk jadi ketua prefek, aku harus jadi prefek tahun ini! Tapi Kak Farida bahkan engga melihatku. Aku nggak ngerti kenapa kamu bisa kayak gitu, Ka. Kenapa kamu pilih prefek budaya juga? Kamu tahu aku udah pilih bagian itu.”

Jantung Annika berdegup kencang. Matanya memanas. Ini pertama kalinya ia dan Kiara bertengkar. “Sebenarnya karena aku berpikir pasti menyenangkan kalau kita bisa ikutan makrab bareng, dan lebih banyak aktivitas bareng. Ah, aku bisa mengundurkan diri, kok. Lagi pula—”

“Aku harap kamu bisa berpikir lebih dewasa, Ka,” ucap Kiara mengakhiri percakapan itu. Ia mengembalikan surat Annika, lalu melenggang pergi meninggalkan lokasi itu.

Annika hanya bisa menatap kepergian Kiara dengan nanar. Ia tak percaya dengan apa yang sudah ia lakukan! Ujung-ujung jarinya terasa dingin. Oh, oh, andai ia bisa mengulang waktu. Apa yang ia lakukan sudah seperti musuh dalam selimut, kan, bagi Kiara? Andai saja ia berani mengatakannya kepada Kiara saat bertemu di mushola, atau di kelas, atau saat berpapasan di koridor.

Annika sudah tidak lapar lagi. Ia berjalan linglung menuju kelas selanjutnya. Melawan arus murid-murid yang berjalan ke arah kantin. Bila dilihat sekarang, ia seakan merebut kesempatan Kiara dengan licik dan penuh rahasia. Tapi sebenarnya … ketika menelusuri lagi jalan pikirannya kemarin, ia sangat yakin Kiara akan diterima. Gadis itu jelas-jelas lebih berhak diterima darinya. Ia bijaksana dan beraura seorang pemimpin. Teman-teman lain selalu mendengarkan pendapat dan sarannya. Ide-idenya selalu dipertimbangkan. Dan … ia juga punya kakak yang merupakan seorang ketua prefek. Sementara dirinya sendiri, ia layaknya tikus kecil yang tak pernah muncul ke pertimbangan para guru, karena sebelumnya ia tak pernah menyibukkan dirinya dalam organisasi maupun perlombaan. Kehidupannya hanyalah belajar seperlunya, bermain dengan puas, dan mengurung diri berjam-jam di ruang musik. Annika mengerutkan dahi. Hasil ini sebenarnya sangat mengherankan …

Perlukah ia bertanya pada Ustazah Soraya?

Ustazah Soraya Keihlani yang merupakan direktur Aqiela Ru’ya merupakan pemegang keputusan utama dalam penetapan prefek setiap tahun. Annika mempertimbangkannya, namun tak bisa memutuskan. Ia tiba di kelas selanjutnya dengan murung dan meletakkan kepalanya di meja begitu mencapai tempat duduk yang ia pilih.

 Air mata berkumpul di pelupuk matanya. Oh dear, apa yang telah ia lakukan?

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Khalisya (Matahari Sejati)
2861      959     3     
Romance
Reyfan itu cuek, tapi nggak sedingin kayak cowok-cowok wattpad Khalisya itu hangat, tapi ia juga teduh Bagaimana jika kedua karakter itu disatukan..?? Bisakah menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi..?? Semuanya akan terjawab disini. Ketika dua hati saling berjuang, menerobos lorong perbedaan. Mempertaruhkan hati fan perasaan untuk menemukan matahari sejati yang sesungguhnya &...
Reality Record
3064      1068     0     
Fantasy
Surga dan neraka hanyalah kebohongan yang diciptakan manusia terdahulu. Mereka tahu betul bahwa setelah manusia meninggal, jiwanya tidak akan pergi kemana-mana. Hanya menetap di dunia ini selamanya. Namun, kebohongan tersebut membuat manusia berharap dan memiliki sebuah tujuan hidup yang baik maupun buruk. Erno bukanlah salah satu dari mereka. Erno mengetahui kebenaran mengenai tujuan akhir ma...
Chrisola
1096      642     3     
Romance
Ola dan piala. Sebenarnya sudah tidak asing. Tapi untuk kali ini mungkin akan sedikit berbeda. Piala umum Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Piala pertama yang diraih sekolah. Sebenarnya dari awal Viola terpilih mewakili SMA Nusa Cendekia, warga sekolah sudah dibuat geger duluan. Pasalnya, ia berhasil menyingkirkan seorang Etma. "Semua karena Papa!" Ola mencuci tangannya lalu membasuh...
The Call(er)
1783      1032     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
A Ghost Diary
5461      1776     4     
Fantasy
Damar tidak mengerti, apakah ini kutukan atau kesialan yang sedang menimpa hidupnya. Bagaimana tidak, hari-harinya yang memang berantakan menjadi semakin berantakan hanya karena sebuah buku diary. Semua bermula pada suatu hari, Damar mendapat hukuman dari Pak Rizal untuk membersihkan gudang sekolah. Tanpa sengaja, Damar menemukan sebuah buku diary di tumpukkan buku-buku bekas dalam gudang. Haru...
Dont Expect Me
522      394     0     
Short Story
Aku hanya tidak ingin kamu mempunyai harapan lebih padaku. Percuma, jika kamu mempunyai harapan padaku. Karena....pada akhirnya aku akan pergi.
Good Art of Playing Feeling
409      303     1     
Short Story
Perkenalan York, seorang ahli farmasi Universitas Johns Hopskins, dengan Darren, seorang calon pewaris perusahaan internasional berbasis di Hongkong, membuka sebuah kisah cinta baru. Tanpa sepengetahuan Darren, York mempunyai sebuah ikrar setia yang diucapkan di depan mendiang ayahnya ketika masih hidup, yang akan menyeret Darren ke dalam nasib buruk. Bagaimana seharusnya mereka menjalin cinta...
Premium
Sakura di Bulan Juni (Complete)
20338      2255     1     
Romance
Margareta Auristlela Lisham Aku mencintainya, tapi dia menutup mata dan hatinya untukku.Aku memilih untuk melepaskannya dan menemukan cinta yang baru pada seseorang yang tak pernah beranjak pergi dariku barang hanya sekalipun.Seseorang yang masih saja mau bertahan bersamaku meski kesakitan selalu ku berikan untuknya.Namun kemudian seseorang dimasa laluku datang kembali dan mencipta dilemma di h...
The Sunset is Beautiful Isn't It?
2290      709     11     
Romance
Anindya: Jangan menyukai bunga yang sudah layu. Dia tidak akan tumbuh saat kamu rawat dan bawa pulang. Angkasa: Sayangnya saya suka bunga layu, meski bunga itu kering saya akan menjaganya. —//— Tau google maps? Dia menunjukkan banyak jalan alternatif untuk sampai ke tujuan. Kadang kita diarahkan pada jalan kecil tak ramai penduduk karena itu lebih cepat...
Bimbang (Segera Terbit / Open PO)
6152      1984     1     
Romance
Namanya Elisa saat ini ia sedang menempuh pendidikan S1 Ekonomi di salah satu perguruan tinggi di Bandung Dia merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara dalam keluarganya Tetapi walaupun dia anak terakhir dia bukan tipe anak yang manja trust me Dia cukup mandiri dalam mengurus dirinya dan kehidupannya sendiri mungkin karena sudah terbiasa jauh dari orang tua dan keluarganya sejak kecil juga ja...