“Oke.” Danu mengecek jam yang melingkari pergelangan tangannya, lalu beralih menatap amplop merah jambu di tangannya dengan tatapan sendu. “Dengan berat hati, gue harus bilang kalau ini adalah cerita terakhir.”
Suara gumaman serentak bermunculan. Beberapa dari kami saling melempar pandang. Seolah-olah meminta penguatan jika tidak hanya dia seorang yang merasa jika ada sesuatu yang salah dari pernyataan Danu.
“Kok terakhir? Kan baru dibaca tiga? Katanya ada lima?”
“Ini gue yang ngga bisa hitung atau gimana sih?” Oni berkomentar sambil garuk-garuk kepala.
“Oni, Sayang. Nilai Matematika lo emang hampir selalu remedial, tapi bukan berarti lo ngga bisa hitung-hitungan sesederhana itu,” cetus Tasya.
“Kenapa jadi berkurang satu, Dan?” tanya Rangga mewakili pertanyaan kami semua.
Aku menunggu penjelasan Danu dan saat itu juga aku melihat bola mata di balik kacamatanya bergulir pelan ke arah seseorang. Sebenarnya aku tidak terlalu yakin ke arah siapa itu, tapi setelah kulihat Sonya menundukkan kepala alih-alih mencabuti rerumputan di bawah kedua kakinya yang menyilang, mungkinkah ceritanya tidak jadi dibacakan?
Ngga ada lagi cerita yang perlu dibacain.
Suara Sonya tiba-tiba terngiang di telingaku. Jadi ini yang dimaksud olehnya sewaktu mengobrol denganku di saat istirahat beberapa menit lalu?
Danu membenarkan posisi kacamatanya. Meski sudah didesak dengan setidaknya dua puluh delapan orang di sini—tentunya selain Sonya dan Danu sendiri—aku berani jamin Danu tidak akan mengatakan yang sebenarnya sebelum cerita yang terakhir ini dibacakan. Dan pastinya, orang-orang masih akan mengira bahwa cerita terakhir ini adalah cerita Sonya.
“Jadi, gue kasih info aja kalau ada satu orang yang ambil balik amplopnya.”
“Emangnya boleh mundur?” tanya Jonathan.
Danu mengangkat bahu. “Ngga ada ketentuan kalau ngga boleh mundur.”
“Ah, ngga seru banget.”
“Iya, gue udah minum kopi nih. Kalau acaranya selesai cepet, terus mata gue masih melek 100% gimana?”
“Ya itu derita lo!” sahut Bella.
“Eh, Bella mau disumpel mulutnya pakai ampas kopi?” balas Eca meladeni.
“Sumpel pakai yang lainlah,” kekeh Jonathan yang diikuti tawa serta gumaman-gumaman nakal dari kubu lelaki.
“Mulut lo semua sini yang gue sumpel pakai high heels!”
“So sorry, guys,” Danu membalas dengan nada yang sama kecewanya.
“Ya udah ngga apa-apa,” cetus Dinda memaklumi. “Lanjut aja ke cerita yang paling melegenda seantero sekolah.”
Bahkan Dinda pun benar masih berpikir seperti itu. Menyampingkan tentang Sonya, aku jadi bertanya-tanya cerita siapa yang akan menjadi penutup acara malam ini. Acara yang awalnya kukira konyol, tapi ketika mengikuti dengan saksama keseluruhan prosesnya, ternyata tidaklah buruk. Malahan kuakui kalau aku sedikit tidak terima juga jika acara ini akan berakhir dalam satu kali bacaan lagi. Selain karena keseruan dalam menebak-nebak siapa tokoh dalam ceritanya, tapi juga karena momen seperti ini tidak akan terulang lagi. Bahkan kupikir dari cerita-cerita sederhana tadi pun—meski lebih mendominasi hal buruknya dibanding hal baiknya—jika benar-benar diresapi maknanya, ternyata ada poin-poin yang bisa dijadikan perhatian, bahkan bisa dijadikan sebuah pelajaran juga sebuah pengingat.
“Jadi, siapa nih yang mau jadi pembaca cerita penutup kita?” tanya Danu menawarkan. “Spesial banget loh ini.” Detik itu juga aku menangkap Danu langsung memucat. “Maksud gue, karena ini terakhir, jadi spesial,” ralatnya segera berusaha menolak keinginan untuk menoleh ke arah kiri dimana Sonya berada. Entah kenapa juga dia harus meralat ucapannya.
“Gue mau kasih saran,” cetus Rangga dan kami otomatis memasang telinga. “Karena kata Danu yang terakhir ini spesial, gimana kalau pembuat ceritanya aja yang bacain?”
Usai mencetuskan itu, dia tergelak sendiri.
Sebungkus kuaci yang masih penuh melambung sempurna dari arah Dinda. “Ah, bisa aja lo!”
“Thanks, Din!” Rangga menerima sebungkus kuaci Dinda dengan senang hati. Eca yang berada tak jauh darinya langsung menengadahkan tangan dengan maksud meminta sebagian, tapi Rangga langsung memukul tangan Eca seperti anak kecil yang menolak berbagi makanan.
“Tapi iya juga sih. Biar lebih ngena aja ceritanya.”
“Gimana lebih ngena? Kalau sekarang juga kalian pada setuju penulisnya yang bacain, berarti udah langsung ketahuan dong?” Yogi berpendapat.
“Ya biar kita ngga banyak mikir, Yog. Capek mikir mulu. Di kelas disuruh mikir, ini di acara perpisahan juga disuruh mikir. Dikata otak kita sama kayak lo kali ya,” gerutu Oni menyelonjorkan kaki, sementara kedua tangannya menjadi penyangga tubuhnya di belakang.
“Dih, kita? Lo aja kali. Gue mah masih sebelas-dua belas sama Yogi,” timpal Eca merasa tidak termasuk dalam ‘kita’ itu.
“Pret!” sembur Jonathan.
Jeff di sampingku tertawa. Sebetulnya aku tidak tahu apa dia mengerti atau tidak atas apa yang sedang dibicarakan orang-orang ini, tapi melihatnya tertawa lepas seperti itu aku tahu dia baik-baik saja—bahkan sangat baik.
“Ah, mau penulisnya yang bacain atau ngga, juga kita udah tau siapa.” Dinda menengahi sambil tersenyum licik.
Mendengar itu, aku hanya geleng-geleng kepala. “Dinda, udah stop, daripada lo bakal nyesel nanti,” kataku.
“Maksud lo?” tanyanya agak ngeyel.
“Lama. Sini gue aja yang bacain.”
Kami semua melongo begitu Randa berdiri—tidak terkecuali aku. Suara-suara pun juga teredam dengan sendirinya. Danu yang seharusnya merasa lega karena sudah ada yang bersedia membacakan cerita terakhir, malah termenung di tempat, padahal Randa sudah berdiri di sampingnya dan meminta agar amplop diberikan padanya.
“Eh, iya. Ini.” Danu akhirnya menyerahkan amplop terakhir pada Randa. Setelahnya berlari pergi, membiarkan Randa mengambil alih keseluruhan waktu dan tempat.
“Bacainnya jangan datar-datar ya, Randa.” Tasya berpesan. Perempuan ini memang suka menggoda. Aku sudah tidak heran, toh Randa tidak pernah menggubris sama sekali.
“Ngga usah sok imut deh. Udah ada yang punya,” cetus Dinda yang menoleh ke arahku sambil tersenyum dengan alis terangkat dan aku memutar mata.
“Eh, masih?” sahut Bella dengan mata melebar.
Aku sengaja menutup telinga dan sebaliknya kubuka mataku lebar-lebar. Kulihat Randa membuka amplop di tangannya. Bagaimana cara dia berdiri di sana, bagaimana cara dia membuka amplop, tidak tahu kenapa—apa pun yang dia lakukan, sesederhana apa pun itu—selalu saja menarik di mataku. Selalu saja mataku menancap padanya dengan begitu lekat layaknya sebuah jangkar kapal yang dijatuhkan ke dasar laut. Tertambat. Tidak bisa berpindah posisi. Sepertinya untuk kali ini aku sudah mengaku kalah sebelum berperang, sebab aku tahu kalau aku sudah pasti tidak akan fokus mendengar cerita yang akan dibacakannya. Sudah pasti aku akan lebih fokus padanya, yang mungkin setelah acara perpisahan ini, tidak mungkin bisa kulihat lagi dalam waktu lama.
“Ini sih udah pasti bukan ceritanya Randa,” celetuk Adis yang tengah sibuk mengikat rambut sebelum bergelayut lagi di lengan Eric. Aku yakin di dalam hatinya, Eric sudah meringis pegal karena sejak tadi lengannya dijadikan bantalan sang pacar.
“Se-happy-happy-nya Randa kalau pacaran, gue ngga yakin kalau dia bisa nulis surat cinta.” Rangga berkomentar. Bibirnya yang rapat melengkung turun disertai gelengan kepala.
“Eh, udah sih. Jangan berisik,” desis Grace.
Perempuan yang satu ini memang suka takut kalau Randa marah. Padahal setahuku Randa tidak pernah benar-benar marah, dia hanya bersikap tegas. Menyampaikan sesuatu dengan gayanya yang memang ketus. Namun, mungkin yang begitu saja sudah cukup menyeramkan bagi Grace. Penilaian tiap orang sudah tentu berbeda-beda.
Randa sudah menjerengkan kertas yang hendak dibacakan. Melihat amplop merah jambu ada di genggamannya saja sudah terlihat aneh. Rasa-rasanya tidak cocok Randa memegang amplop itu.
“Oke, gue mulai bacain.”
“Sonya sama Gerry!” pekik Jonathan yang tertawa terpingkal-pingkal setelahnya. Tahu jika waktunya dipermainkan, Randa terlihat mendengkus sebal. Eca pun ikut tergelak. Tangan kanannya terjulur ke arah Jonathan untuk memberikan high five. Sementara aku hanya bisa menepuk jidat selagi Dinda nimbrung tertawa sampai menepuk-nepuk paha. Yang lainnya pun merespons celetukan Jonathan dengan cara mereka masing-masing. Tidak peduli dengan riuh-riuh gelak tawa kami yang mungkin berganti mengganggu vila sebelah, karena yang terpenting adalah semuanya tampak terhibur.
“Emang sialan lo ya, Jo.”
Kecuali Sonya dan Gerry, tentunya.