Aku menoleh ke asal suara.
“Kalau mau ayo ke kantin,” ajaknya.
“Ngga usah. Lagi ngga pengen," jawabku baik-baik. Randa pun mengangguk. Bibirnya merapat. Bukannya pergi karena aku sudah menolak ajakannya, tapi dia justru ikut berdiri di sampingku. Seakan bermaksud menemani.
Jujur saja aku adalah orang yang paling sulit membuka percakapan. Kebanyakan memang lawan bicaraku yang selalu memulai, jadinya aku hanya tinggal mengikuti. Masalahnya Randa bukanlah Dinda, Jonathan, atau Eca yang bisa dengan mudah menemukan topik pembicaraan. Bisa-bisa kami berdua terus-terusan membisu padahal sedang berdiri bersebelahan.
“Oya tadi pagi,” kataku tidak terlalu yakin akan melanjutkan atau tidak, tapi tahu-tahu mulutku langsung memutuskan jawaban secara sepihak, jadi aku langsung berkata, “tadi pagi kenapa lo baris di depan? Gue sampai kaget," lanjutku yang sedetik setelahnya langsung menyesal karena bertanya hal itu. Akan tetapi, sudah telanjur. Masa bodoh dengan topik pembicaraan yang tidak jelas. Yang penting aku ingin mencairkan suasana.
“Kenapa mesti kaget?”
“Soalnya yang gue lihat di awalnya itu Nina, tapi tiba-tiba berubah jadi lo,” jawabku sambil tertawa gugup mengingat apa yang terjadi tadi pagi.
Randa tampak berpikir. “Gue ditegur gara-gara ngobrol di belakang. Jadi gue dipindahin ke depan.”
Tubuhku seolah menyusut. Bahuku melorot. Bodoh jika aku sempat mengharapkan jawaban lebih. Penjelasannya jelas lebih masuk di akal dibanding dengan yang ada dalam imajinasiku. Membuatku kehabisan kata-kata serta ide untuk melanjutkan.
“Udah?” tanyanya kemudian.
Aku memandang bingung. “Udah apa?”
“Cuma itu yang mau lo tanya?”
“Oh,” tanganku menggaruk leher. “Iya.”
“Boleh gue buat permintaan?” tanyanya menarik perhatianku.
“Boleh,” jawabku cepat, padahal aku tidak tahu permintaan macam apa yang akan dia minta.
Randa mengubah posisi menjadi bersandar di pinggiran pagar. Agak lama dia melanjutkan. Membuatku bertanya-tanya sekaligus penasaran kira-kira permintaan semacam apa yang dibuat olehnya untukku. Semoga bukan sesuatu yang bisa menusuk perasaanku.
“Gue mau minta supaya lo tetap percaya sama apa yang ada di pikiran lo sekarang," katanya dan aku mengerjap. "Jangan berubah cuma karena ucapan ataupun perbuatan gue yang ternyata ngga sesuai sama apa yang lo pikirin. Soalnya gue belum bisa terlalu terang-terangan.”
Speechless.
Aku dibuatnya dalam keadaan demikian hanya melalui kata-katanya. Menjadikan kami berdua saling memalingkan wajah untuk menyimpan senyum masing-masing. Padahal hatiku sudah melompat-lompat kegirangan.
“Bisa janji ngga?” tanyanya di saat aku masih berusaha menyembunyikan rasa senangku. “Jangan berubah. Janji sama gue,” tuturnya lagi. Menuntut. Tidak sabar karena menunggu responsku yang lama. Dan untuk kali ini Randa sudah memberanikan diri melihatku.
“O-okay. Janji,” jawabku gugup. Terpaksa ikut melihatnya sambil terus menahan senyum.
“Boleh gue kasih saran lagi?”
“Saran apa?” tanyaku balik.
“Senyum yang lo kasih khusus buat gue tadi pagi, gue lebih suka itu," akunya seraya mendekatkan wajahnya yang dihiasi dengan seulas senyuman tipis.
Aku pun tertawa kecil. “Kayaknya ini udah terang-terangan.”
“Belum,” katanya menggelengkan kepala. “Ini belum seberapa.”
Ingin sekali aku segera pergi menjauhi Randa untuk berteriak atau mungkin mencubit pipi sekencang-kencangnya untuk memastikan apa ini mimpi. Bagaimana bisa dia tahu apa yang ada di dalam pikiranku? Jadi ternyata selama ini aku tidak menyimpan perasaan sendiri. Melainkan dia juga membalas perasaanku. Aku merasa lega. Seakan apa yang kuyakini selama ini tidak sia-sia. Memang belum seratus persen terbayarkan, tapi aku yakin Randa adalah tipe orang yang akan dengan segera membayar lunas.
Ya ampun. Aku benar-benar senang.
“Ana, ngapain sendirian? Mau ikut ke kantin ngga? Kayaknya Danu bakal lama. Soalnya dia beli camilan di luar naik motor,” ujar Yogi yang tak lama muncul setelah Randa pergi.
Aku mengaitkan rambutku ke belakang telinga sambil melihat sekeliling.
“Oh, gitu ya,” sahutku berusaha menyembunyikan kecanggunganku, tapi yang ada aku malah salah tingkah. Untung saja Yogi datang di saat aku sudah tidak lagi senyum-senyum sendiri. Bisa-bisa dia menganggapku tidak waras.
Akhirnya aku ikut pergi ke kantin bersama Yogi. Kantin yang buka hanya lantai dasar. Jadi kami harus turun dan baru sampai di pertengahan tangga, sudah terdengar suara-suara ramai. Ada Jonathan, Rangga, Eric, juga Randa. Aku lupa kalau Randa tadi pergi ke kantin. Sekilas aku berpikir. Apakah dirinya akan marah kalau aku pergi bersama lelaki lain? Apalagi sebelumnya dia yang pertama kali mengajakku ke kantin, tapi aku menolaknya. Lantas sekarang dia malah menemukanku pergi dengan Yogi. Saat aku melihatnya pun dia langsung menunduk. Fokus membuka plastik kerupuk.
“Aduh. Barusan gue liat Danu bawa Nina, sekarang Yogi bawa Ana. Kayaknya habis ini Eca bawa Joy nih,” gerutu Jonathan dimana dirinya langsung mendapat lemparan kulit kacang dari Eric.
“Ngaco. Dibawa ke mana?”
“Dibawa ke hatiku," ledek Jonathan. “Eca dateng buat nganterin Joy ke gue, maksudnya gitu.”
“Masih aja ngarep lo. Cari yang serius dong,” timpal Rangga sibuk mengaduk bumbu mi goreng agar merata. Wanginya sungguh meresahkan. Membuatku lapar.
“Ini juga udah serius,” aku Jonathan. Padahal aslinya, niat serius pun juga masih nol persen. “Terus, kok Randa tadi ngga bawa siapa-siapa?”
Mendengar itu aku langsung diam di tempat. Yang ditanya Randa tapi aku yang kebingungan. Sampai-sampai Yogi memberikan lagi uangnya pada bapak kantin, karena aku justru termenung saat diminta uang untuk membayar.
“Bawa kok. Setiap hari. Gue bawa di hati," ujar Randa tanpa diduga-duga.
Suasana kantin mendadak sunyi. Bahkan suara kunyahan kacang sampai begitu nyaring terdengar. Sementara aku hanya mampu menarik napas, kemudian langsung mengembuskannya. Melirik pun tidak berani. Seketika merinding sewaktu mendengar Randa mengatakan itu.
“Serius. Randa sakit kayaknya,” celetuk Jonathan menggeser posisi duduknya. Telapak tangannya terulur ke arah dahi Randa. Hendak memeriksa suhu tubuh temannya yang baru saja bicara melantur.
“Bukan sakit lagi. Stres.” Eric menguatkan.
“Minta dilempar siomay dia mah,” timpal Yogi menambahkan di saat siomay pesanannya sudah jadi. Sementara Randa dengan santainya melanjutkan mengunyah kerupuk. Tidak memedulikan celaan orang-orang di sekitarnya.