“Jadi, adakah yang mau jawab?” tawar Danu.
Dalam hitungan sepersekian detik, satu per satu tangan dengan cepat terangkat. Sekalinya mudah mendapatkan jawaban, saingannya terlalu banyak.
“Danu, gue, Dan!” seru Tito yang semakin tinggi menaikkan tangannya. Bahkan dia sampai berdiri. Tidak sabar mengutarakan jawaban yang sudah sejak tadi dia temukan.
“Eh bagian sana kan udah diwakilin sama Randa, giliran bagian sini belom,” protes Dinda tak terima.
“Lah emangnya ini perkelompok? Udah kayak tugas Kewarganegaraan aja. Gue dong, Dan!” seru Vino tak mau kalah. Kenapa justru para lelaki yang sangat agresif ingin menjawab? Sedangkan para perempuannya sudah terhanyut dengan suasana malam.
Di tengah banyaknya tangan yang terangkat, ditambah Danu juga bingung untuk memutuskan, dengan percaya dirinya Bella baru saja mengangkat tangannya. “Gue mau tebak ceweknya. Kalian semua pada mau tebak yang cowok, ‘kan?”
“Jangan cari masalah,” timpal Dinda.
Kedua tangan Danu mulai bergerak menenangkan keadaan. “Tenang dulu semuanya.”
“Gue juga mau jawab deh.”
Sontak wajah kami semua serentak menoleh pada sumber suara. Hanya satu orang di kelas kami yang memiliki suara lembut semacam itu.
“Wah, kalau lo pilih Nina, lo ngga boleh tidur di kamar!” ancam Vino.
“Danu! Jangan pilih kasih lo ya!” seru Dinda.
“Lagian Nina ngapain angkat tangan sih?” tanya Aldi kesal.
Aku yang melihat tingkah mereka hanya tersenyum heran. Kelemahan Danu adalah Nina. Terkadang Danu menjadi tidak adil karena perempuan itu. Apa yang Nina ingin, Nina sarankan, hampir selalu dituruti oleh Danu. Tidak peduli dengan kami yang akan kesal nantinya.
Terlalu banyak membuang waktu, aku pun mengangkat tangan.
“Yah, ngapain Ana ikutan juga?” tanya Tito yang langsung menurunkan tangan dengan lemas.
“Jangan salah paham. Gue cuma mau kasih saran ke Danu. Mending jawab tokoh perempuannya dulu aja, Dan. Soalnya penulisnya perempuan. Dua cerita yang sebelumnya kan juga begitu. Tebak penulisnya dulu,” jelasku berusaha mendamaikan perang.
“Bener kata Ana, kalau gitu gue yang mau jawab,” ujar Yogi tenang.
“Enak aja! Gue duluan kali!” teriak Bella. Lengkingan teriakannya bisa saja mengganggu penghuni vila lain.
Danu yang masih tampak bingung, akhirnya mengambil keputusan dan berkata, “Yaudah, karena Bella yang paling pertama kali mau tebak tokoh perempuan alias si penulis, jadi siapa yang nulis, Bel?”
Bukannya langsung menjawab, Bella justru sibuk mengikat rambutnya, lalu mengaca sebentar lewat layar handphone. Saat itu juga aku mendengar Dinda menggerutu sebal. Terlalu banyak gaya.
“Nih, orangnya di samping gue,” jawabnya yakin. Menunjuk orang yang dimaksud dengan gerakan bahu.
“Sisi?” Adis menekankan. “Kalau gitu cowoknya Evan anak IPS dong?”
Reflek Adis segera menutup mulutnya. Wajah-wajah lemas dari para calon penjawab tokoh lelaki muncul secara bersamaan. Aku tahu bagaimana kecewanya mereka. Rasanya seperti apa yang sudah diperjuangkan selama ini, berakhir dengan sia-sia.
“Bener-bener deh, Adis. Nasehatin cewek lo lah, Ric!” celetuk Eca dibumbui dengan tawa khasnya yang mengesalkan jika didengar.
“Tau nih. Kan yang jawab harusnya gue,” omel Tito kembali duduk bersila sambil bersungut-sungut.
“Tapi lo sama Evan emang di luar dugaan sih.”
“Pada ngga percaya kan dulu.”
“Bisa juga ya Evan pacaran.”
"Waktu nembak gimana, Si? Pasti kocak."
“Tuh, Eca. Masa kalah sama Evan,” ujar Bella.
“Kenapa gue ikutan dibahas dah?” sahutnya bingung.
“Kok lo mau sih, Si?” tanya Jonathan penasaran. Kedua tangannya melingkar di kedua kakinya yang tertekuk ke atas.
Mungkin dia merasa tersaingi. Seorang Evan bisa punya pasangan. Seorang Evan yang hobi mencelanya lebih parah dari Eca, lebih banyak tingkah dari Jonathan, dan lebih bawel dari Bella, justru bisa memberi pesonanya pada seorang perempuan seperti Sisi yang setauku pernah diincar oleh Jonathan sewaktu kelas X. Jangan heran. Jonathan memang punya banyak mantan incaran. Hanya saja sampai sekarang tidak ada satu pun yang jadi dengannya.
“Kenapa sih, Jo? Iri aja,” balas Rangga dimana Jonathan langsung memberikan lirikan maut padanya.
“Sisi tuh maunya cowok yang bisa buat dia ketawa, bukan cowok yang bisa buat dia was-was karena suka nemplok sana sini kayak cicak!" sembur Bella ada benarnya. Sengaja menyindir Jonathan. Bahkan dia bicara itu sambil menyisir rambut, seakan tidak ada rasa bersalah.
“Ngga tau ya, gue tiba-tiba jadi suka aja. Mungkin karena satu ekskul juga, jadi sering ketemu,” jelas Sisi sembari tersenyum seakan dirinya tengah mengingat-ingat kembali momen-momennya bersama Evan.
“Oh, lo ekskul band juga ya?” tanya Dinda.
“Iya, tapi gue ngga pernah ikut manggung. Cuma iseng-iseng jadi vokalis aja.”
Aku juga baru tahu jika Sisi termasuk anggota ekskul band sekolah. Kalau Evan sudah jelas aku tahu, sebab dia suka tampil sebagai gitaris saat acara sekolah maupun jika ada kompetisi. Permainannya pun sangat bagus. Ternyata perasaan suka, cinta, sayang—apalah itu—tumbuhnya memang bisa di mana saja dan kapan saja. Cukup hati-hati bila tidak mau dan cukup berharap bagi yang mau.
Sama halnya denganku. Perasaanku juga muncul entah sejak kapan dan entah karena apa. Tiba-tiba saja datang. Padahal tidak ada sedikit pun pikiran bahwa dia yang akan kusukai, karena awalnya aku memang tidak terlalu mengenalnya. Malahan awalnya aku sempat menganggap dia adalah orang yang cuek, ketus, dan tidak bersahabat. Jangankan sampai jalan berdua, berharap bisa bicara dengannya pun sulit. Setiap kali berpapasan, baik itu di dalam kelas maupun di tempat lain, aku takut untuk mengajaknya bicara ataupun sekadar menyapa. Namun, ketika sekalinya dia menyapaku lebih dulu, apa yang tadinya kupikirkan tentangnya ternyata salah.
Setelah itu segala sesuatunya berubah. Aku dengannya tidak lagi canggung. Walau terkadang dia merespons cuma dengan senyuman singkat, tapi aku senang. Dia semakin sering mengajakku bicara, meski tidak sesering Dinda. Kelakuannya juga semakin sering membuatku salah tingkah dan gugup. Kalau membuat senyum atau tertawa, dia memang bukan ahlinya. Makanya aku selalu menunggu saat-saat dimana dia, dengan tingkahnya yang tak terduga, bisa membuatku tersipu malu.