“Hari ini kita bakal main basket. Gue diminta Pak Sony buat bagi kelompok, jadi dengar baik-baik ya.”
“Iya, Danuu,” seru para personel geng perayu.
Aku sudah tahu siapa saja anggota kelompokku. Selama ada Dinda, aku tidak perlu bekerja ekstra untuk memperoleh poin. Sambil menunggu giliran bermain, aku memilih pergi ke kantin untuk membeli minuman dan mau tak mau harus bertemu dengan sekumpulan anak lelaki yang tidak terlalu kukenal, karena sebelumnya di kelas X maupun XI aku memang tak pernah sekelas dengan mereka. Hanya Jonathan dan Dino yang aku kenal.
Mendekati kantin, aku mencoba berjalan dan bersikap normal.
“Pak, tolong buatin satu jus mangga buat Ana ya!”
Jonathan mendadak berteriak dari atas meja kantin saat aku baru saja ingin memesan pesanan yang serupa.
“Lo mau beli minuman kesukaan lo itu, 'kan? Jangan heran kalau seorang Jonathan tau,” katanya tersenyum dengan kedua alis terangkat sewaktu aku menoleh padanya.
Akibat tidak tahu harus menanggapi seperti apa, jadi sebisa mungkin aku tetap bersikap biasa saja. Menunggu. Berdiri memunggungi para lelaki di belakang dengan perasaan canggung. Membuatku mau tak mau terpaksa ikut mendengar perbincangan mereka yang tidak penting, mengenai siapa saja junior perempuan yang cantik di tahun ini.
Dasar. Apa hal seperti itu sudah menjadi tema obrolan wajib bagi lelaki?
Selesai menunggu, aku mengambil dan membayar jus yang sudah dibuat oleh bapak kantin.
“Makasih, Jon—” kalimatku terpotong saat tidak menemukan Jonathan di meja kantin.
Dino yang menyadari bahwa aku mencari Jonathan, langsung menunjuk ke satu arah dan … oh, di sanalah aku menemukan lelaki itu sedang berbincang dengan seorang perempuan. Playboy. Tidak pernah bisa sekali saja mengabaikan perempuan-perempuan cantik yang lewat di dekatnya. Selalu mempergunakan kesempatan yang datang dengan sebaik mungkin. Kelihatannya aku memang tidak boleh terbang tinggi terlalu mudah, karena kenyataannya Jonathan akan bersikap baik pada banyak perempuan.
Sesaat kupikir untuk apa memperhatikannya begitu lama?
Saat aku berbalik dengan cepat, tanpa diduga tubuhku bertubrukkan dengan seseorang yang tahu-tahu melintas tepat di belakangku. Menyebabkan gelas plastik jus mangga yang kugenggam terlepas dan terjatuh ke atas lantai. Nasib. Padahal jus itu belum sempat kucicipi.
“Wah, lo kalau jalan liat-liat dong, Yogi!” seru Dino yang berlari kecil menghampiriku. Aku hanya bisa meratapi sepatu serta kaus olahraga yang tak sengaja terkena cipratan jus.
“Aduh, maaf banget. Sebentar ya!”
Tidak tahu kenapa aku masih berdiri di sini. Seharusnya aku bisa saja langsung pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan semua ini. Namun, sewaktu mendengar Yogi memintaku agar tetap di sini, aku justru menurutinya.
“Tisu?"
Sesosok tangan yang menggenggam sebungkus tisu terjulur dari arah belakangku. Melihat wajahnya, otakku langsung bekerja. Mencari-cari informasi yang kumiliki tentang dirinya. Sayangnya tidak satu pun yang kutahu.
Aku menerima tisu yang dia tawarkan.
“Thanks," kataku.
“You're welcome.”
Lelaki ini pun melangkah melewatiku dan sekilas kudapati dia duduk di kursi kantin untuk kembali memakan makanannya. Sedangkan aku sibuk membersihkan noda jus pada kaus.
“Ini pakai tisu,” ujar Yogi yang kembali datang. Panik. Seketila matanya langsung tertuju pada tanganku yang sudah menggenggam sebungkus tisu. “Eh, gue telat ya? Sorry baju lo jadi kotor gini. Mau gue bantu bersihin?”
Tiba-tiba botol plastik air mineral melayang dan mendarat sempurna pada bahu Yogi.
“Yakali, Yog! Bisa aja cari kesempatan,” timpal Dino setengah tertawa.
“Yailah apa salahnya berbuat baik?” sahut Yogi.
“Alah, itu sih cuma kedok lo doang!”
“Sialan lo.” Yogi melempar balik botol plastik tadi. Keduanya tertawa.
Sebaliknya, perasaanku malah jadi tidak enak. Berada di antara orang-orang ini membuatku merasa risi. Aku serasa berdiri di tengah-tengah para penyamun yang hendak berniat jahat.
Suara remukan sterofoam terdengar ngilu di telinga. Ternyata itu ulah si lelaki pemberi tisu.
“Maksudnya Dino … kalau mau cari kesempatan, ajak-ajak,” cetusnya sambil beranjak dari kursi, kemudian berjalan menuju tempat sampah untuk membuang sterofoam bekas makanannya.
“Haha ini orang lebih sialan lagi,” komentar Yogi.
“Ayo cabut,” kata si lelaki pemberi tisu pada Yogi dan Dino, tapi dia menyempatkan waktu untuk berhenti sebentar di dekatku. “Gue saranin jangan deket-deket sama mereka berdua. Apalagi Dino,” tambahnya, setelah itu benar-benar pergi.
“Sial. Lagak lo udah kayak pahlawan kesiangan, Randa. Woy, tunggu!”
Dino berteriak seraya berlari mengejar Randa. Sekarang nama itu terdengar familier di telingaku. Seperti semacam nama yang sering diperbincangkan anak perempuan di kelasku sewaktu kelas X dulu.
“Hei Ana, sekali lagi maaf ya. Ini lo bawa aja tisu dari gue. Gue pergi dulu. Hati-hati jangan sampai ketabrak lagi. Bye!” ujar Yogi diakhiri dengan senyuman tipis, dimana setelahnya dia langsung bergerak pergi menyusul dua orang temannya tadi.
Tubuhku jadi beraroma mangga. Jika tercampur dengan keringat usai bermain basket nanti, akan jadi seperti apa baunya? Sudah dicuci dengan air sabun yang ada di toilet, tetap saja noda kuningnya tidak hilang. Tapi aku masih terbilang beruntung. Setidaknya bukan kuah sup, santan, atau semacamnya yang tumpah.
“Ana! Ayo main!” Dinda memanggilku dari tengah lapangan. Dia berdiri di sana layaknya seorang pemain basket profesional yang sudah siap mencetak skor. Meski kenyataannya, dia memang mengikuti ekskul basket.
Dua tim sudah siap bermain. Entah kenapa pertandingan ini menjadi semacam pertandingan antara tim garang melawan tim sorak-sorai. Kurasa Danu membaginya tidak terlalu adil. Aku senang dengan anggota kelompokku, tapi merasa kasihan dengan anggota tim lawan. Mereka berisikan lima orang dengan tipe pemain seperti Bella, Tasya, dan Joy. Pemain yang lebih banyak berteriak histeris selama pertandingan berlangsung dibanding dengan men-dribble bola.
“Ayo Tasya! Ambil bolanya, Tasya! Aduh,” teriak para lelaki di pinggir lapangan. Kehebohan Tasya dan Joy ketika bermain basket menjadi pemandangan asyik tersendiri buat mereka.
Kami bermain kurang lebih dua puluh menit. Namun, Danu memberi tahu bahwa masih ada lima menit lagi dan skor yang diperoleh sudah 11-0. Jangan tanya tim mana yang masih belum berhasil memecah telur, juga jangan tanya siapa yang berkali-kali mencetak skor hingga sebanyak itu.
“Joy, lempar!”
PRAK!