Puncak, Juni 2016
“Ada yang bisa dibantu ngga nih?”
“Ngga perlu. Cowok bantu di dapur malah jadi petaka.”
“Ih, galaknya Ana."
Aku kembali pada tugasku. Tidak mempedulikan Eca yang akhirnya pergi ketika tahu bahwa ternyata tawaran membantunya sangat tidak diperlukan. Seharusnya dia sadar kalau jari-jari kapalannya itu tidak cocok memegang spons, piring, juga gelas. Bisa-bisa semuanya pecah tepat sebelum sampai di atas rak.
“Yee apaan sih, Eca. Ngga jelas. Bantuin buat api unggun sana!” seru seseorang yang kurasa sedang melangkah mendekat ke arahku.
Dinda—dengan rambut pixie-nya yang makin tampak menyala sejak berubah warna menjadi ash blonde—sudah berdiri di sampingku yang masih berkutat pada cucian. Tanpa basa-basi dia langsung membantu menempatkan satu per satu piring beserta gelas ke atas rak.
“Ngapain dia?”
“Cuma ambil minum. Jangan galak-galak sih, Din.”
“Kirain mau godain,” celetuknya.
Aku tertawa. “Ngga mungkinlah. Ngaco deh kadang-kadang pikiran lo.”
“Yah, siapa tau dia mau manfaatin situasi lo yang lagi galau.”
“Apa sih,” elakku. “Di luar udah pada siap?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Sama sekali tidak tahu-menahu juga soal persiapan acara. Yang aku tahu hanyalah akan ada acara konyol yang akan dilakukan setelah makan malam dan anehnya anak-anak justru setuju dengan ide itu.
“Tadi gue liat sih udah sedikit beres. Tinggal tunggu aja panggilan dari Danu.”
Keran wastafel kumatikan. Dinda juga sudah selesai meletakkan piring terakhir dengan teramat hati-hati. Sepertinya dia ingin menunjukkan adanya sisi feminin di balik sifatnya yang tomboi.
Tak lama kemudian, tepukan khas milik Danu menggema di ruang depan. Tepukan milik sang ketua kelas yang mungkin tidak akan pernah kami dengar lagi sesering biasanya. Dan setidaknya, jabatan ketua kelas itu masih berlaku hingga saat ini. Saat malam perpisahan.
“Ayo semuanya kumpul. Jangan lupa pake jaket, cukup dingin di luar.”
“Iya, Danu sayaang.”
Seseorang langsung merespons diikuti dengan cekikikan yang sudah bisa ditebak milik siapa itu. Jelas milik si centil—Tasya—atau lebih buruknya lagi kami menyebutnya sebagai ratu bagi para spesies ulat bulu, karena sangat susah membuatnya diam. Begitu gatal ingin nimbrung ke sana kemari.
❤️❤️❤️
Sebanyak tiga puluh orang yang mengikuti acara perpisahan kelas XII IPA 2 sudah berkumpul duduk mengelilingi api unggun. Mulai dari raut wajah yang masih segar, wajah kekenyangan, kelelahan, sampai yang teramat sangat mengantuk, semuanya dapat ditemukan. Termasuk raut wajah terpaksa dariku yang sebenarnya lebih memilih ingin langsung tiduran saja di dalam kamar. Namun, apalah dayaku dan beberapa dari kami yang hanya merupakan anggota di dalam kelas. Mau tak mau harus menurut apa kata ketua. Lagi pula, ini adalah acara perpisahan SMA yang kami adakan sendiri. Tanpa campur tangan para guru. Hanya sekali. Tidak akan ada lagi hal yang seperti ini. Sekalinya senang, senanglah semuanya. Sekalinya aneh, buatlah yang paling aneh. Agar terkenang sampai kapan pun.
Suasana sekitar kami bisa dibilang cukup hangat. Perlahan-lahan rasa hangatnya menyamarkan hawa dingin kawasan Puncak di malam hari. Kehangatannya pun seolah mempererat kedekatan di antara kami semua. Padahal faktanya setelah pengumuman kelulusan nanti, kami semua akan mulai berpencar dan melanjutkan pilihan hidup masing-masing.
Jujur saja aku benci dengan perpisahan semacam ini. Selama tiga tahun susah payah menjalin sekaligus mempertahankan tali persahabatan yang ada, tapi di ujungnya mau tak mau harus kembali berpisah. Apa tidak bisa begini terus? Apa tidak bisa selamanya dengan orang-orang ini saja? Sudah tentu jawabannya adalah tidak bisa. Entah mengapa aku bisa-bisanya menanyakan hal sebodoh itu.
Aku juga benci karena harus berpisah dengannya.
Perpisahan ini membuatku tidak bisa lagi bertemu dengannya sesering dulu. Biasanya sepanjang waktu di dalam kelas kuhabiskan hanya untuk melihatnya. Lantas setelah ini aku bisa apa? Cuma bisa memikirkannya dari jarak jauh sambil harap-harap cemas. Jadi, kupikir sekarang ini adalah waktu yang tepat untukku bisa berpuas diri menatapnya. Oleh karena itu, aku sengaja memilih posisi duduk berhadapan dengannya agar bisa melihat tawa dan senyumnya seleluasa mungkin.
“Yogi, mana kopi gue?” tanya Eca yang baru sadar jika segelas kopinya telah lenyap masuk ke dalam perut orang lain.
“Lah, tanya kok gue? Randa tuh.”
“Jangan cari perkara deh,” elak Randa dengan gaya bicaranya yang khas. Datar dan dingin.
“Ah, Yogi nih emang. Kurang-kurangin jail lo lah. Ngga cocok sama otak lo,” gerutu Eca dengan bibir meruncing ke depan. Seruncing jambul miliknya.
Sudah biasa menghadapi kejailan dua orang temannya, Eca pun hanya bisa mengeluh sembari beranjak dari posisi. Kelihatannya dia ingin membuat kopi lagi. Sementara Yogi dan Randa malah tertawa puas di belakang Eca yang sedang dalam perjalanan kembali ke dalam vila dengan mulut berkomat-kamit menyumpah.
Seperti itulah Yogi. Lelaki berambut keriting yang dikenal jail, terutama di kalangan para lelaki. Meskipun begitu, dia termasuk salah satu siswa terpintar di angkatan kami. Banyak siswa maupun guru yang menyayangkan sifat jailnya, karena dianggap seperti benalu yang hinggap di otaknya yang pintar.
Sementara Randa, entahlah. Setahuku lelaki berambut plontos ini tidak terlalu jail seperti Yogi. Biasanya dia hanya berperan sebagai pihak yang menambahkan atau sekedar menikmati kejailan Yogi. Dan, hal itulah yang menjadikan mereka berdua terlihat ‘serasi’.
Akan tetapi aku tidak peduli. Seperti apa pun dia, perasaanku padanya tidak akan hilang. Bahkan sifat dan sikapnya itulah yang justru menarikku, mencuri perhatianku. Sayangnya untuk saat ini—dari jarak yang tak jauh ini—aku hanya bisa menahan senyum ataupun tawa setiap kali melihatnya. Aku tidak ingin dia sampai sadar kalau sedari tadi aku terus memperhatikan gerak-geriknya.
Danu sudah berdiri di tengah-tengah kami. Postur tubuhnya yang tak seberapa tinggi, mendadak menjadi pusat perhatian. Warna kemerahan di wajahnya akibat pantulan kobaran api unggun, membuat sosok Danu yang lembut menjadi terlihat sangar juga menyeramkan.
“Selamat malam semuanya,” ujar Danu menyapa dan kami membalas dengan saling bersahutan. “Akhirnya acara yang ditunggu-tunggu datang juga nih. Udah pada siap belum?”
“Siap ngga siap hajar aja, Dan.”
“Main hajar aja lo. Emangnya kita mau ngapain?”
“Mantap. Gitu dong. Suka nih sama semangatnya,” sahut Danu semringah. “Semoga pada antusias ya. Semoga ngga ngebosenin juga, karena gue—kita semua—tentunya mau malam perpisahan kita ini jadi malam yang sulit banget buat dilupain.”
Dari sekian banyak hal yang dapat kulihat—termasuk sosok Eca yang akhirnya kembali bergabung di tengah-tengah Yogi dan Randa sambil membawa secangkir kopi baru—mataku akhirnya tertuju pada tangan kanan Danu yang menggenggam beberapa amplop berwarna merah jambu. Ketika Danu berdeham sekaligus membenarkan penyangga kacamata bulatnya, saat itulah acara yang kusebut konyol ini dimulai.