Sebelum masuk ke inti acara, Danu terlebih dahulu menjelaskan kembali seperti apa acara games bertemakan ‘Cerita Cinta Siapa Nih?’ yang merupakan gagasan dari sang wakil ketua kelas, Sonya. Aku tahu Sonya pasti punya maksud tertentu dari dibuatnya ide acara seperti itu. Bisa kulihat bagaimana yakinnya dia dan betapa tajam tatapannya pada Gerry—seorang lelaki berpostur tinggi besar—yang kini justru tampak tegang, terlihat dari rahangnya yang mengeras serta jakun yang naik turun menelan ludah. Kuakui jika masa-masa hubungan mereka berdua selama tiga tahun ini memang terkenal sulit dan melegenda.
Singkatnya, games ini mempersilakan siapa saja dari kami untuk mengisahkan satu buah cerita cinta yang pernah dialami selama tiga tahun ini. Tentunya dengan syarat harus terjadi di sekolah yang sama dan di angkatan yang sama—agar kami bisa menebaknya. Tanpa perlu menuliskan cerita milik siapa itu dan siapa nama orang yang ada di dalam cerita. Sebisa mungkin hanya menulis inisial atau baiknya dijadikan semacam teka-teki saja. Dan, siapa pun dari kami dapat menjadi sukarelawan untuk membacakan cerita. Setelah cerita selesai dibacakan, barulah kami semua dapat berebut menebak cerita milik siapakah itu—siapakah tokoh lelaki dan perempuannya. Para panitia acara juga sudah menyiapkan hadiah menarik bagi kami yang berhasil menjawab teka-teki itu dengan benar. Termasuk pula hadiah bagi para peserta yang bersedia menyumbangkan cerita.
Serentak beberapa puluh orang di halaman vila bersorak dan bertepuk tangan. Sedangkan aku tetap tidak tertarik dan tetap merasa jika acara ini benar-benar konyol.
“Danu, apa ada pengecualian buat Bella?”
Tiba-tiba saja Dinda bertanya, sehingga menyebabkan dirinya menjadi sorotan. Aku yang duduk tepat di sampingnya pun ikut merasa diperhatikan oleh banyaknya pasang mata di sini.
“Gue?” lengkingan suara milik Bella memecah kesunyian.
“Iya, lo. Ratu kepo dan ratu gosip! Lo pasti bisa jawab semuanya. Ngga adil kalau semua hadiahnya lo ambil,” cetus Dinda dengan nada yang tak santai.
Sontak anak-anak yang lain membenarkan ucapan Dinda. Sebenarnya aku juga setuju. Jika bicara masalah hadiah, tentu aku ingin hadiah. Namun, permasalahannya adalah aku sama sekali tidak tahu bahkan tidak pernah peduli tentang kisah cinta orang lain. Lantas bagaimana aku bisa memperoleh kesempatan menebak dengan benar? Lain halnya dengan Bella. Dia itu sudah bagaikan sebuah cawan yang siap menampung hampir segala informasi yang terjadi di sekolah.
“Oke semuanya tenang dulu. Bagi yang udah pernah jawab, di kesempatan lainnya ngga boleh jawab lagi. Jadi cukup sekali aja,” jelas Danu sembari membenarkan lagi posisi kacamatanya yang sebenarnya tidak berubah sedikit pun. Sudah menjadi kebiasaan.
“Okay, Danu,” ujar Bella sambil tersenyum manis. Membuat Danu tersipu malu.
Bella, Tasya, dan Joy memang selalu memperlakukan Danu seperti itu. Begitu ahli membuat pipi Danu merah merona. Entah apa tujuannya. Mungkin karena Danu terlalu baik dan polos, jadi menyenangkan rasanya mengganggu Danu. Memang tidak salah jika mereka bertiga sempat dinobatkan menjadi geng perayu. Namun anehnya, tak satu pun dari mereka yang memiliki pacar.
“Sebenarnya cuma ada lima amplop di tangan gue, but it's okay. Masih mending daripada ngga ada sama sekali,” kata Danu terlihat agak menyayangkan minimnya jumlah amplop yang masuk ke dalam lokernya. “Kalau gitu kita mulai ya dan harap diingat, ini cuma seru-seruan aja kok. Jadi, please jangan ada yang sakit hati.”
“Kalau baper ngga apa-apa kan, Dan?” celetuk Jonathan diikuti dengan tawa dari yang lain. Bagaimana cara dia menyugar rambut model curtain-nya, benar-benar merupakan ciri khas Jonathan yang tidak bisa kulupakan.
Dinda mendadak mendekatkan diri ke arahku. Membisikkan sesuatu.
“Salah satu dari amplop itu gue yakin ada ceritanya Jonathan. Playboy kayak dia pasti mau pamer cerita. Iya ngga sih?”
Aku yang dari tadi cuma menyimak dalam posisi duduk bertopang dagu dimana siku menyangga pada salah satu paha, hanya mampu merespons pertanyaan Dinda dengan mengangkat kedua bahu.
“Yee jawabnya jangan males gitu dong,” gerutu Dinda seraya menyenggol lenganku hingga membuat wajah ini jatuh dan nyaris mencium tanah berumput.
“Apa sih. Resek deh.”
Merasa tak terima, aku pun membalas dengan mencubit pinggangnya yang berlemak. Terus-menerus seperti itu sampai kami berdua bosan dan aku memilih kembali pada posisi.
Menyebabkan kedua mataku tidak sengaja menangkap sekilas tatapan yang datang dari seberang sana. Seperti biasa bola matanya berkilau jernih, walau remang-remang cahaya sekitar sedikit menutupi. Selagi aku memperhatikan, sayangnya jilatan api unggun tiba-tiba muncul layaknya sebuah tembok tinggi yang menjadi penghalang di antara kami.
"Kalau gitu, siapa yang mau bersedia jadi first reader kita?" tanya Danu meminta salah satu dari kami berdiri untuk membacakan cerita.
Satu detik, tiga detik, lima detik terlewat, belum ada yang bersedia menjadi pembaca pertama.
“Oh. Jeff,” cetus Danu setelahnya. Jeff perlahan menurunkan tangannya sewaktu melihat reaksi dari kami semua.
“Waduh. Selesai besok nih,” celetuk Dinda.
“Emangnya itu cerita dia?” tanyaku.
“Lah, siapa tau? Jeff kan pernah pacaran juga. Menurut gue, satu dari lima amplop itu punya dia. Lo tau sendiri kan kalau dia cerita kayak gimana. Dan kalau ternyata yang bakal dia bacain ini ceritanya dia, beuh, kelar kita. Double attack!”
Sebenarnya aku tidak tega untuk mengakuinya, tetapi perkataan Dinda memang ada benarnya.
Jeff adalah seorang murid pindahan ketika kelas XI. Berdasarkan gosip yang beredar di sekolah, dia beserta keluarganya pindah dari tempat yang bukan main-main. Dia dibesarkan di London dan kembali ke Jakarta karena masa tugas orang tuanya di sana sudah habis. Oleh karena itu, dia merasa jika dirinya harus lebih berusaha mempelajari Bahasa Indonesia agar bisa bergaul serta berbaur dengan kami. Sejak saat itulah dia menjadi suka sekali dengan Bahasa Indonesia. Sampai pernah dia rela bercerita satu jam penuh di depan kelas, juga menghabiskan tiga lembar kertas ujian ketika ada tes mengarang bebas.
Itulah yang dimaksud oleh Dinda. Apabila benar Jeff ikut serta menyumbangkan cerita, kami semua sudah bisa menerka-nerka seberapa panjang cerita itu dan kapan acara ini akan berakhir.
Jeff berjalan mendekati Danu dan memilih satu amplop yang dijerengkan di depannya. Sebelum Danu memberikan tempatnya pada Jeff, Jonathan mengangkat tangannya.
“Kenapa, Jo?” tanya Danu.
“Gue cuma mau ngingetin aja sama si Jeff Christopher ini. Lo tinggal baca cerita di situ, jadi ngga perlu lama. Terus gue juga mau tanya satu hal. Lo ikut nyumbang cerita apa ngga?”
“Bener tuh. Gue ngga mau mati kedinginan di sini—eh, ralat deng. Kita semua, tepatnya,” timpal Eca. Aku yang mendengar perkataannya barusan sangatlah tidak suka. Menurutku terlalu berlebihan.
“Nah, gue bener, 'kan?” Jonathan mencoba memancing respons dari yang lain. Merasa bangga karena ada yang setuju dengannya.
“Sorry banget nih, Jo. Ngga bisa gitu. Kita udah sepakat kalau semua orang di sini punya hak buat ikutan nyumbang cerita dan orang itu ngga boleh bocorin info apa pun tentang cerita yang dia tulis."
Dahi Jonathan berkerut. “Tapi kan lo tau sendiri dia kalau cerita—”
Jeff menunduk setengah tersenyum setengah tertawa. Sekilas kulihat dia sangat fresh malam ini walau hanya menggunakan sweater rajut tebal berwarna merah marun, celana sedengkul, ditambah dengan rambut hitam kecokelatannya yang agak messy. Jika jalan karirnya memang mujur, setelah lulus nanti kutebak dia akan segera direkrut menjadi pemain sinetron, bahkan pemain film bertemakan anak muda zaman sekarang.
“Eh, apa maksud lo ketawa nyindir gitu?” tanya Jonathan kesal ketika mendapat reaksi yang tak terduga dari lelaki berdarah asing yang disebut-sebut sebagai rival sejatinya.
Menanggapi itu, Jeff masih tersenyum.
“Maaf jika aku jujur. Tidak apa-apa, ‘kan?” tanya Jeff pada Danu yang sebenarnya masih berpikir. "Jonathan, aku benar-benar tidak menulis cerita. Apa kamu ingin sekali mendengar ceritaku?” lanjut Jeff dengan bahasa yang kaku dan nada bicara yang masih terdengar unik di telingaku.
“Wah, ngajak ribut.”
“Aduh, Jojo. Move on dong,” sela Tasya di saat Jonathan mulai emosi.
“Eh, gue ngga ngomong sama lo.”
Ketegasan Jonathan membuat Tasya mengerut dan kembali bergabung dengan dua sekawannya. Seperti biasa mereka bertiga punya dunia sendiri. Dunia yang heboh dan penuh gosip.
“Alah, udahlah,” cetus Dinda mengomentari tingkah Jonathan. “Percuma juga kalau Jeff ikutan kasih cerita. Dari gaya tulisannya aja udah langsung ketebak kalau itu ceritanya dia. Ngga seru. Lagian ngapain juga lo masih penasaran kenapa Mia lebih pilih Jeff daripada lo, Jojoba Oil? Sadar diri keles!”
Jonathan bisa saja langsung menyerang Dinda, jika orang-orang di sekitarnya tidak sigap menahan. Lagi pula, mulut Dinda terkadang memang asal bicara. Setiap kali berkata tidak pernah dipikir lebih dulu baik atau tidaknya. Rasanya terlampau sulit baginya untuk memilih kata-kata yang tepat. Dan, dia selalu saja seperti itu seolah tidak pernah tahu bagaimana sikap Jonathan terhadapnya.
“Apa lo? Sini kalau berani!” tantang Dinda masih belum puas.
“Dinda, udah ih,” ujarku menahan. “Ayo, Jeff. Dimulai aja,” pintaku pada Jeff yang langsung membuka amplop. Lebih tepatnya, karena aku ingin segera menyelesaikan semua ini. Aku lelah mendengar mereka memperdebatkan hal yang sepele.
Jeff berdeham. Ocehan-ocehan yang tak penting perlahan meredup dengan sendirinya. Berganti dengan perpaduan antara suara percikan api unggun juga suara Jeff.
“Okay, let's get started.”