“Gimana kabar teman-teman di panti?” Riana membuka obrolan setelah makan malam.
“Baik,” sahut Tisha sembari memotong-motong buah untuk hidangan penutup. “Eh, Teh, itu Kak Sawala tuh orang kaya, ya?”
“Kurang tahu, sih. Kenapa emang?”
“Dia tuh sering mentraktir aku, ngasih makanan, bahkan bayarin ongkos angkot. Udah gitu dia juga rutin ngirim makanan ke panti.” Tadi juga Sawala hampir membayarkan mi ayamnya, tetapi Tisha menolak dan mengatakan dia ingin balas mentraktir Sawala.
“Teteh enggak tahu keadaan finansial keluarga mereka gimana jelasnya. Cuma pernah ke rumah Bu Santi beberapa kali dan modelnya itu umum orang pedesaan, cenderung antik pake dinding bambu gitu.
“Kaya kalau gitu mah, low profile.” Tisha tahu rumah antik itu tidak murah.
“Tapi Teteh ada ngasih uang, sih, ke Sawala sebelum kalian mulai bersama.”
Netra Tisha melebar. “Teteh nyogok Kak Sawala?”
Riana mendengkus. “Enggak, lah. Itu niatnya berbagi aja.”
“Kalau gitu Teteh harus kasih lagi.”
“Hah?”
“Aku juga mau berbagi ke Kak Sawala. Pake jatah jajan aku dua minggu ini buat ngasih hadiah ke Kak Sawala. Karena kemungkinan dia kaya, tolong kasih suatu benda yang enggak mahal, tapi berharga. Oh, buku, belikan Kak Sawala buku. Teteh pasti tahu seleranya, kan?”
“Kenapa enggak kamu aja yang ngasih langsung? Kamu juga pasti udah tahu seleranya, kan? Kalian dua minggu bareng-bareng, lho. Kamu merhatiin dia, kan?”
Tisha tak membalas, hanya menyodorkan buah untuk Riana.
“Oh, ya.” Riana kembali bersuara di tengah kunyahan. “Kamu mau minta hadiah apa? Sekarang udah tepat dua minggu, nih. Tantangan dinyatakan berhasil. Silakan katakan permintaan kamu. Tapi jangan yang berat-berat, ya.” Riana berkedip-kedip menggoda.
Tisha mendengkus. “Teteh udah janji mau ngabulin apa aja.”
Riana berdecak. “Ya udah, apa?”
Tisha mengusap dagu. Jika rencana awal dia akan meminta untuk tidak direcoki perkara interaksi, kini sudah berganti. Tisha tidak menginginkan itu lagi. Tisha mau berhenti jadi apatis.
“Aku ... mau diberi kebebasan untuk bepergian sendiri dengan motor.”
Riana memelotot. “Heh, enggak boleh.”
Tisha cemberut. “Plis, lah, Teh. Aku tuh enggak mau tiap mau harus terus-terusan bergantung sama Teteh, apalagi orang lain kayak Kak Sawala. Enggak enak, enggak bebas.”
“Tapi—”
“Ingat, Teteh udah janji mau mengabulkan keinginan aku apa pun!” Tisha menekankan. “Lagian bentar lagi aku 17 tahun, mau punya KTP dan SIM, legal, deh.”
Riana hanya bisa menghela napas, kemudian mengangguk. Dia terjebak dengan permainannya sendiri. “Yang kedua apa?”
“Aku mau Teteh dukung aku meraih mimpi terbaruku.”
“Apa?”
Tisha membasahi bibir. “Ini berkaitan dengan tantangan tambahan, yang Teteh nyuruh aku nyari tahu alasan Kak Sawala.”
Riana manggut-manggut. “Terus, gimana?”
Tisha menghirup udara dalam-dalam. “Ternyata alasan Kak Sawala melakukan semua kebaikan itu untuk meraih mimpi tertingginya.”
Alis Riana terangkat sebelah. “Mimpi tertinggi?”
Tisha menggerak-gerakkan kepala. “Sesuai prediksi aku waktu itu, Kak Sawala memang ingin menjadi sebaik-baiknya manusia. Dia berusaha meraih impian untuk menjadi orang bermanfaat dan mendapat keberkahan dari Allah SWT.”
“Jadi mimpi dia meraih rida Allah SWT?” Riana memastikan.
“Iya.”
“Terus sekarang kamu memimpikan hal yang sama?”
Tisha mengangguk mantap.
“Alhamdulillah.” Riana langsung berdiri dan meraih Tisha ke dalam dekapan. Seketika bulir bening jatuh ke pipi Riana. Dia terharu. Tak menyangka sang adik akan sampai ke titik ini. Memimpikan sesuatu berkaitan dengan akhirat. Padahal selama ini dia hanya tampak berorientasi pada kebahagiaan semu dalam dunia sendiri.
Sungguh, Riana bahagia luar biasa. Ini di luar rencananya. Tadinya dia menyuruh Tisha bersama-sama dengan Sawala hanya agar adiknya itu mau kembali bersosialisasi, membuka diri, dan memulai pertemanan.
Namun, jika sampai begini, Riana harus berterima kasih banyak-banyak pada Sawala. Karena pengunjung setia perpus itu telah menjadi pembawa cahaya yang mengetuk bongkahan keras dalam hati Tisha. Pokoknya Riana sangat-sangat mensyukurinya.
“Pasti. Teteh pasti akan support kamu untuk itu. Jadi, semangat, ya.” Tangan Riana bergerak mengelus kepala Tisha.
Setelah cukup mengeluarkan euforianya, Riana mengurai pelukan. “Kalau mimpi kamu sebelumnya ... apa?”
Tisha menahan napas. Bukan hal menyenangkan untuk membeberkan bagian kelamnya.
“Sha!” Riana menoel pipi Tisha yang digembungkan.
Tisha berdeham, tetapi suaranya tetap terdengar canggung. “Mimpi lama aku cuman pengin bisa menjadi sosok pemberani ... yang mandiri dalam dunia sendiri. Aku ... ingin nyaman hidup sendiri tanpa dicampuri apalagi mencampuri orang lain.”
Bahu Riana agak turun. Dia memang tidak terkejut dengan jawaban itu. Namun, sendu agak menggelayuti, mengingat bagaimana murungnya Tisha dulu, yang sampai memiliki mimpi terbesar seperti itu.
“Kamu itu udah jadi orang pemberani, Sha.” Riana meraih jemari Tisha. “Kamu sekarang ini ludeungan (pemberani). Udah enggak lagi banyak takut dan malas seperti saat kecil dulu.”
Tisha menggerak-gerakan kepala, berusaha menghindari bertemu pandang dengan Riana. Dia malu.
Riana yang menyadarinya tersenyum, lalu mengalihkan. “Yang ketiga mau apa?” Nadanya mulai agak was-was. Dia berdebar. Permintaan-permintaan Tisha barusan lumayan tidak biasa, maka dia yakin terakhir pun tak akan jauh beda, pasti mengejutkan.
“Aku mau Teteh mulai memikirkan diri sendiri.”
“Hah?” Riana cengo. Tak dapat mengontrol wajah. Apa lagi ini? Sungguh di luar prediksi.
Tisha menangkup tangan Riana. “Aku sadar, selama ini aku begitu membebani Teteh.”
“Eng—”
Kepala Tisha bergeleng, melarang Riana menyanggah. “Aku saksi gimana Teteh tiba-tiba harus berubah dewasa. Memikul tanggung jawab kepala rumah tangga dan membesarkan aku. Itu semua enggak mudah, kan? Teteh mengorbankan kesenangan di masa akhir remaja cuma buat aku.”
Tisha melepas pegangan, kemudian mengusap muka. Menghilangkan aura sedih. Tersenyum lebar. “Sekarang, aku sudah besar, ya, walaupun belum benar-benar jadi dewasa, tapi aku udah bisa ditinggal-tinggal sendiri. Jadi, ini waktunya Teteh mencari kebahagiaan Teteh sendiri. Entah itu mau jalan-jalan sendiri, hura-hura sama teman, atau bahkan mencari pasangan. Silakan. Aku enggak akan lagi jadi penghalang.”
Hati Riana menghangat. Ternyata sang adik begitu memperhatikan dan mengharapkan kebahagiaannya.
“Plis, ya ....” Tisha menyatukan tangan di depan dada. “Kabulkan semua permintaanku.”
“Buat hadiah satu dan dua ... oke, jelas ACC. Tapi, buat yang ketiga ....” Riana menggaruk pipi. “Masih dalam proses, hehe.”
“Kok?” Tisha mengernyit.
Riana menyengir. “Sebenarnya kemarin-kemarin, setiap selesai pelatihan Teteh ke rumah Paman, menjalani ta'aruf dengan calon suami Teteh yang melamar lewat Paman satu bulan lalu.”
Tisha memelotot. “Kenapa aku enggak dikasih tahu?!”
***
“Bunda, Ayah, sekarang aku udah jadi anak pemberani.” Tisha mengusap kaca pigura yang ada di atas nakas samping tempat tidur.
Sebelum tidur, dia ingin curhat dulu pada orang tuanya. Meskipun dia sadar mereka sudah berada di alam yang berbeda, dan jelas mereka tak akan mendengar suaranya, tetapi Tisha akan tetap melakukannya. Sebab, dengan begitu dia bisa mengurai isi hati.
Perkara luka karena kepergian mereka, kini Tisha sudah berdamai dengannya. Tisha belajar untuk ikhlas. Menerima takdir terbaik yang ditetapkan atas keluarganya.
Sekarang Tisha tidak akan mau lagi meratap. Dia hanya akan berdoa, memohonkan ampunan untuk mereka, dan berbuat amal saleh agar kelak bisa kembali berkumpul di surga.
Tisha telentang. Menaikkan selimut sebatas dagu, senyumnya mengembang kala terngiang ucapan Riana tadi.
Sungguh, Tisha sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia mendapat validasi bahwa kini sudah bukan anak yang merepotkan lagi, seperti ledekan Riana dulu saat orang tua mereka masih ada.
“Kesambet, ya?” Riana muncul sambil menggerakkan bahu seolah bergidik.
Tisha cemberut. “Sembarangan.”
“Ya, lagian kamu tengah malam bukannya tidur malah cengar-cengir enggak jelas.”
Tisha tak acuh. Terserah sajalah Riana mau meledek seperti apa. Tisha tak mau merusak suasana hati. Dia ingin segera tidur dalam keadaan senang.
“Dih, malah merem.”
“Emang mau apa, sih?” tanya Tisha kesal tanpa membuka kelopak netra.
Riana maju dan meletakkan tangan di kepala Tisha. Mengusap-usapnya dengan penuh kelembutan. “Enggak ada apa-apa, sih. Teteh cuman mau menemani kamu tidur.”
Tisha menepis tangan Riana. “Jangan gini, ah. Entar aku keenakan. Teteh kan bentar lagi nikah. Nanti aku sendiri yang susah.”
Riana terkekeh, kembali menegakkan tubuh. “Ya udah, silakan tidur, sendiri.”
“Terima kasih atas pengertiannya, Bu Guru. Besok jangan lupa bangunin aku jam 3 pagi, ya.”
Riana mengernyit. “Buat apa? Masa hari Senin mau masak buat anak-anak panti?”
Tisha berdecak. “Bukan! Aku mau salat tahajud dan sahur buat puasa.”
“Eh?”
“Di buku agama yang aku baca katanya kita itu harus banyak-banyak nyari bekal pahala, salah satunya dengan melakukan amalan-amalan Sunnah. Jadi, besok aku akan memulainya.” Akhir-akhir ini Tisha memang mulai mencari tahu tentang Islam di buku dan media sosial. Dia ingin membuktikan perkataan Guru Pai, dan ternyata makin dia berusaha mengenal, makin banyak hal indah yang ditemukan.
Saat Riana akan kembali membuka mulut, Tisha mengangkat telapak tangan. “Tolong matikan lampunya, dan oh, tolong bonusin hadiahku dengan bantu aku masuk Rohis dan bikin klub baca, ya.”
Riana menggeleng-geleng, tetapi tetap memberikan jempol, kemudian menekan saklar. Membiarkan sang adik menjemput mimpinya.
Sebelum benar-benar meninggalkan kamar itu, tatapan Riana tertuju pada bingkai foto yang walaupun dalam gelap tetap dapat dia kenali gambarannya.
“Bunda, Ayah, aku lega, Tisha sudah menemukan jalan terbaiknya.”
~Tamat~