"Tidurnya di kamar!" seru Riana begitu memasuki rumah dan mendapati sang adik sedang rebahan di karpet ruang keluarga.
Tisha membuka mata. "Aku enggak ngantuk."
"Pulang jam berapa?"
"Setengah dua."
"Capek, ya?"
"Lumayan." Tisha mengedip agak lama. Mengingat serangkaian aktivitasnya hari ini.
Meskipun minggu, tetapi Tisha tidak serta merta bisa berleha-leha. Sejak pukul 3 dini hari, dia sudah sangat sibuk, berkutat di dapur untuk memasak dan membungkus banyak makanan. Begitu matahari muncul Sawala datang menjemputnya. Mereka berkegiatan bersama, dan baru pulang begitu hari menjelang sore. Cukup menguras tenaga.
Riana duduk berselonjor di sebelah Tisha. "Gimana kabar anak-anak?"
"Baik. Mereka lagi suka-sukanya main lilin malam."
"Wah, pasti seru. Jadi, kangen mereka, deh." Riana menopang dagu dengan tangan kanan. "Nanti, deh, kita bareng-bareng Sawala ke panti."
Tisha mengangguk. Jika dulu dia enggan sekali datang ke bangunan itu, kini sudah berbeda. Dia justru senang mengikuti jadwal Sawala untuk berkunjung ke sana. Selain menjalankan tantangan dari Riana, Tisha alasannya karena ... Nala.
Ya, si anak perempuan yang menyukai makanan buatan Tisha. Setelah membuka hadiah dari Nala yang ternyata berupa gambar dari krayon berupa mereka yang sedang bergandengan, Tisha semakin ingin sering bertemu dengannya. Perasaan senasib, sama-sama yatim piatu, membuat Tisha menganggapnya adik dan ingin membahagiakannya.
"Eh, tapi itu kayaknya kamu udah nggak perlu ikut."
Tisha mengernyitkan. "Kenapa gitu?"
Riana memijat-mijat kakinya sendiri. "Ini 'kan udah dua minggu, tantangannya selesai, dan kamu berhasil melewatinya. Jadi, kamu udah nggak harus bareng-bareng lagi Sawala."
Tisha tertegun. Refleks menggeleng. Tidak. Dia tidak mau berhenti bersama dengan Sawala, orang yang membantunya menemukan sesuatu yang selama ini luput dari pikirannya.
"Keasyikan, ya, main-main sama Sawala?"
Tisha diam. Dia tidak akan menyangkal itu. Karena faktanya memang begitu. Dia asik bersama Sawala. Menikmati saat-saat mereka melakukan kegiatan membantu orang.
Setelah kejujuran Tisha tentang keinginannya berubah, Sawala memang sangat mendukungnya. Dia membimbing Tisha, tanpa menggurui, untuk memulainya langkah membuka dirinya. Perlahan-lahan Tisha mencoba berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Mulai dari para pengunjung perpustakaan, sampai dengan teman-teman Sawala di rohis.
"Oh, ya, kamu mau minta hadiah apa buat keberhasilan menyelesaikan tantangan?"
Tisha mengusap dagu. Jika rencana awal dia akan meminta untuk tidak direcoki perkara interaksi, kini sudah berganti. Tisha tidak menginginkan itu lagi.
"Aku ... mau diberi kebebasan untuk bepergian sendiri dengan motor."
Riana memelotot. "Heh, nggak boleh."
Tisha cemberut. "Plis, lah, Teh. Aku tuh gak mau tiap mau harus terus-terusan bergantung sama Teteh, apalagi orang lain kayak Kak Sawala. Enggak enak, gak bebas."
"Tapi—"
"Ingat, Teteh udah janji mau mengabulkan keinginan aku apa pun!" Tisha menekankan.
Riana hanya bisa menghela napas, kemudian mengangguk. Dia terjebak dengan permainannya sendiri. "Yang kedua apa?"
"Aku mau Teteh dukung aku meraih mimpi terbaruku."
"Apa?"
Tisha bangkit, bersila dengan punggung tegak. "Ini berkaitan dengan tantangan tambahan, yang Teteh nyuruh aku nyari tahu alasan Kak Sawala."
Riana membulatkan mulut. "Jadi, gimana?"
Tisha menghirup udara dalam dan melanjutkan. "Ternyata alasan Kak Sawala melakukan semua kebaikan itu untuk meraih mimpi tertingginya."
Alis Riana terangkat sebelah. "Mimpi tertinggi?"
Tisha menggerak-gerakkan kepala. "Sesuai prediksi aku waktu itu, Kak Sawala memang ingin menjadi sebaik-baiknya manusia. Dia berusaha meraih impian untuk menjadi orang bermanfaat dan mendapat keberkahan dari Allah."
"Jadi mimpinya meraih rida Allah SWT?" Riana memastikan.
Tisha mengangguk mantap.
"Terus sekarang kamu memimpikan hal yang sama?"
"Alhamdulillah." Riana langsung meraih Tisha ke dalam dekapan. Seketika bulir bening jatuh ke pipi Riana. Dia terharu. Tak menyangka sang adik akan sampai ke titik ini. Memimpikan sesuatu berkaitan dengan akhirat. Padahal selama ini dia hanya tampak berorientasi pada kebahagiaan semu dalam dunia sendiri.
Sungguh, Riana bahagia luar biasa. Ini di luar rencananya. Tadinya dia menyuruh Tisha bersama-sama dengan Sawala hanya agar adiknya itu mau kembali bersosialisasinya, membuka diri, dan memukau pertemanan.
Namun, jika sampai begini, Riana harus berterima kasih banyak-banyak pada Sawala. Karena dia menjadi pembawa cahaya yang mengetuk bongkahan keras dalam hati Tisha. Pokoknya Riana sangat-sangat mensyukurinya.
"Pasti. Teteh pasti akan support kamu untuk itu. Jadi, semangat, ya." Tangan Riana bergerak mengelus.
Setelah cukup mengeluarkan euforianya, Riana mengurai pelukan. "Kalau mimpi kamu sebelumnya ... apa?"
Tisha menahan napas. Bersiap membeberkan bagian kelamnya.
"Sha!" Riana menoel pipi Tisha yang digembungkan.
Tisha membasahi bibir, lalu menjawab canggung. "Mimpi aku cuman pengen bisa menjadi sosok pemberani ... yang mandiri dalam dunia sendiri. Aku ... ingin nyaman hidup sendiri tanpa dicampuri apalagi mencampuri orang lain."
Bahu Riana agak turun. Dia memang tidak terkejut dengan jawaban itu, karena sudah pernah mendengarnya dulu sebelum dimulainya tantangan. Namun, sendu agak menggelayuti, mengingat bagaimana kelamnya Tisha dulu, yang sampai memiliki mimpi terbesar seperti itu.
"Kamu itu udah jadi orang pemberani, Sha." Riana meraih jemari Tisha. "Kamu sekarang ini ludeungan. Udah nggak lagi banyak takut dan malas seperti saat kecil dulu."
Tisha menggerak-gerakan kepala, berusaha menghindari bertemu pandang dengan Riana. Dia malu.
Riana yang menyadarinya tersenyum, lalu mengalihkan. "Yang ketiga mau apa?" tanyanya mulai deg-degan, agak was-was. Permintaan-permintaan Tisha barusan lumayan tidak biasa, maka dia yakin terakhir pun tak akan jauh beda, mengejutkan.
"Aku mau Teteh mulai memikirkan diri sendiri."
"Hah?" Tisha cengo. Tak dapat mengontrol wajahnya. Apa lagi ini? Sungguh di luar prediksi.
Tisha mengeratkan genggaman mereka. "Aku sadar, selama ini aku begitu membebani Teteh."
"Eng—"
Tangan Tisha tersodor untuk menghentikan Riana menyanggahnya. Setelahnya baru dia meneruskan. "Aku saksi bagaimana Teteh tiba-tiba harus berubah dewasa. Memikul tanggung jawab rumah tangga, dan membesarkan aku. Itu semua nggak mudah. Teteh mengorbankan kesenangan di masa akhir remaja buat aku."
Tisha melepas pegangan, kemudian mengusap muka. Menghilangkan aura sedihnya. "Sekarang, aku sudah besar, ya, walaupun belum dewasa, tapi aku udah bisa ditinggal-tinggal sendiri. Jadi, ini waktunya Teteh mencari kebahagiaan Teteh sendiri. Entah itu mau jalan-jalan sendiri, hura-hura sama teman, atau bahkan mencari pasangan. Silakan. Aku enggak akan lagi jadi penghalang."
Hati Riana menghangat. Ternyata sang adik begitu memperhatikan dan mengharapkan kebahagiaannya.
"Plis, ya ...." Tisha menyatukan tangan di depan dada. "Kabulkan semua permintaanku."
"Buat hadiah satu dan dua jelas ACC. Tapi, buat yang ketiga ...." Riana berdeham. "Masih proses."
"Kok?"
Riana menyengir. "Sebenarnya seminggu kemarin, setiap selesai kegiatan di diknas Teteh ke rumah Paman, menjalani ta'aruf dengan calon suami Teteh yang melamar lewat Paman satu bulan lalu."
Tisha memelotot. "Kenapa aku nggak dikasih tahu?!"
•••
"Ma, Pa, aku sekarang udah jadi anak pemberani." Tisha mengusap kaca pigura yang ada di atas nakas samping tempat tidur.
Sebelum menjemput menjemput mimpinya, kali ini dia ingin curhat dulu pada orang tuanya. Meskipun dia sadar mereka sudah berada di alam yang berbeda, dan jelas orang tuanya tak akan mendengar suara Tisha, tetapi Tisha akan tetap melakukannya. Sebab, dengan begitu dia bisa mengurai isi hatinya.
Perkara luka karena kepergian mereka, kini Tisha sudah berdamai dengannya. Sebab, di kajian rohis Jumat lalu kebetulan pematerinya membahas tentang takdir.
Katanya, ada ayat bermakna, 'Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui'.
Oleh karena itulah Tisha belajar untuk ikhlas. Menerima takdir yang ditetapkan atas keluarganya. Mungkin, kepergian orang tua yang Tisha anggap hal yang buruk, di mata Allah justru sebaliknya. Bisa jadi itu adalah cara Allah menunjukkan rasa sayangnya.
Sekarang Tisha tidak akan mau lagi meratap. Dia hanya akan berdoa, memohonkan ampunan untuk mereka, dan berbuat amal saleh agar kelak bisa kembali berkumpul di surga.
Tisha telentang. Menaikkan selimut sebatas dagu, senyumnya mengembang kala terngiang ucapan Riana ...
"Kamu sekarang ini ludeungan. Udah nggak lagi banyak takut dan malas seperti saat kecil dulu."
Sungguh, Tisha sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia mendapat validasi bahwa kini sudah bukan anak yang merepotkan lagi, seperti ledekan Riana dulu saat orang tua mereka masih ada.
"Kesambet, ya?" Riana muncul sambil berpura-pura menggerakkan bahu seolah bergidik.
Tisha malah cemberut. "Sembarangan."
"Ya lagian kamu tengah malam bukannya tidur malah cengar-cengir enggak jelas."
Bahu Tisha mengedik. Terserah sajalah Riana mau meledek seperti apa. Tisha tak mau merusak suasana hatinya dengan menanggapi. Lebih baik dia segera tidur saja dalam keadaan senang.
"Dih, malah merem."
"Emang mau apa, sih?" tanya Tisha kesal tanpa membuka kelopak netranya.
Riana maju dan meletakkan tangannya di kepala Tisha. Mengusap-usapnya dengan penu kelembutan. "Enggak ada apa-apa, sih, sebenarnya. Teteh cuman mau menemani kamu tidur."
Tisha menepis tangan Riana. "Jangan gini, ah. Entar aku keenakan. Teteh 'kan bentar lagi nikah. Nanti aku sendiri yang susah."
Riana terkekeh, kembali menegakkan tubuhnya. "Ya udah, silakan tidur, sendiri."
"Terima kasih atas pengertiannya. Besok jangan lupa bangunin aku jam 3, ya."
Riana mengernyit. "Buat apa? Masa hari Senin mau masak buat anak-anak panti?"
Tisha berdecak. "Bukan! Aku mau salat tahajud dan sahur buat puasa."
"Eh?"
"Kak Sawala bilang, kita itu harus banyak-banyak nyari bekal pahala, salah satunya dengan melakukan amalan-amalan Sunnah. Jadi, besok aku akan memulainya."
Saat Riana akan kembali membuka mulut, Tisha mengangkat telapak tangannya. "Tolong matikan lampunya."
Riana menggeleng-geleng, tetapi tetap melakukannya. Membiarkan sang adik menjemput bunga tidurnya. Sebelum benar-benar meninggalkan kamar itu, tatapan Riana tertuju pada bingkai foto yang walaupun gelap tetapi tetap dapat dia lihat gambarannya.
"Ma, Pa, aku lega, Tisha sudah menemukan jalan terbaiknya."
~Tamat~