"Maaf, ya, aku gak sempat beli roti." Sawala memandang penuh rasa bersalah pada Tisha. Di Rabu sore keduanya masih duduk di pelataran masjid. "Nanti pulangnya kita makan bareng lagi deh."
"Enggak usah," balas Tisha cepat.
"Eh, kenapa?" Sawala mengernyit. "Apa ... karena rasa mie ayam kemarin gak enak. Duh, maaf banget, ya. Aku kebiasaan, sih, makan di sana karena sayang aja melihat kedainya jarang ramai. Nanti kita pindah tempat aja."
Tisha tertegun. Menangkap makna di balik setiap diksi Sawala. Secara tak langsung Sawala mengakui bahwa dia makan di sana bukan karena suka sekali pada makanannya, tetapi karena dia kasihan melihat kedainya sepi.
Tisha tidak bisa untuk tidak menyusupkan sebersit kagum ke sanubarinya. Sebegitu baiknya Sawala. Bahkan dalam mengisi perut pun dia tetap memikirkan orang lain. Dia memikirkan nasib pedagang yang mungkin kurang bisa bersaing dengan pedagang lainnya. Ah, Sawala sungguh sangat keren.
"Bukan begitu." Gelengan Tisha berikan, seanjutnya dia mengeluarkan dua barang dari tasnya. "Aku bawa ini, untuk ... kita makan." Tangannya menyodorkan kotak plastik bening yang menampakkan sesuatu berwarna kuning.
"Itu ...." Mata Sawala menyipit.
"Tahu sosis kukus." Tisha memotong. "Kakak gak alergi tahu, kan?"
"Enggak," balas Sawala cepat. Merasa familiar dengan ucapan Tisha karena itu pernah diucapkannya di awal pertemuan mereka.
"Ya sudah, ini diambil." Tisha melesakkan satu wadah ke pangkuan Sawala, sementara sisanya dia buka dan mulai dimakan.
"Terima kasih, ya." Sawala segera membukanya. "Buatan kamu selalu enak, Dek," ucap Sawala di tengah mengunyah.
Tisha tersipu karena pujian Sawala yang seperti langsung tahu itu buatannya. Melihat Sawala melahap dengan perlahan, senyum Tisha pun mengembang. Dia senang. Akhirnya bisa memberikan bekalnya pada Sawala.
Sebenarnya dari beberapa hari ini Tisha selalu membawa olahan tangan. Namun, karena Sawala selalu lebih dulu memberinya roti, maka Tisha merasa tidak memiliki kesempatan. Tisha bukan khawatir Sawala tak akan memakannya, justru dia malah takut perut Sawala kepenuhan, karena dia yakin Sawala tak akan kuasa mengabaikan pemberiannya.
"Ini hasil dari resep di buku kemarin." Tanpa ditanya, Tisha ujug-ujug bicara.
Sawala melambatkan kunyahan. "Makanan fungsional?"
Tisha mengangguk mantap. "Isi bukunya resep makanan sehat. Makanya aku buat ini, tahu yang gak digoreng."
"Keren!" Sawala bertepuk tangan.
"Uhm ...." Tisha kembali membuka suara setelah menghabiskan makanan dan kini berdiri di sisi Sawala yang sudah akan kembali memasuki musala karena keloter terakhir yang salat sudah keluar.
"Kenapa, Dek?"
Tisha meremas rok. "Apa ... aku boleh ikut masuk?"
"Boleh." Sawala tersenyum sambil menuntun Tisha. "Mau ngadem, ya?"
Tisha menggeleng. "Kalau boleh aku mau ikut beresin mukena."
Sawala menghentikan gerakan tiba-tiba, membuat Tisha hampir menabraknya. "Yang benar, Dek?"
"Benar," balas Tisha serius.
Mata Tisha berbinar. "Ayo!"
•••
Setelah semua mukena tersusun rapi, Sawala mengarahkan badan menghadap penuh pada Tisha, sorotnya menyelidik.
Tisha yang ditatap sedemikan rupa, salah tingkah. "A-ada apa, Kak?"
"Ada apa denganmu, Dek?"
Tisha mengangkat sebelah alis.
"Kenapa beberapa hari ini sangat berbeda? Kamu seperti ... meringankan tugasku membantu para pengunjung perpus, mengurus pojok baca, juga ... sekarang membereskan mukena. Itu ... apa alasannya?"
Ekspresi Sawala berubah, menyiratkan banyak tanya. Dia kebingungan. Jika di minggu kemarin dia yang banyak mengejutkan Tisha karena tingkah agresifnya, di minggu ini malah dia yang dibuat terkejut karena perilaku Tisha yang tak biasa.
Tiba-tiba saja Tisha senantiasa menawarkan diri untuk membantu Sawala. Dia juga tak jarang mengajak bicara lebih dulu. Interaksi mereka tiga hari ini berkembang dengan sangat pesat. Tisha tak jarang menanyakan pandangannya terkait banyak hal, termasuk agama.
Tisha menelan ludah susah. Dia juga tidak yakin dengan alasannya. Satu sisi dia ingin melirihkan bahwa semua tindakan mencolok itu hanya karena mengikuti tantangan dari Riana, tetapi di sisi lainnya juga ada yang ingin membisikkan bahwa itu adalah panggilan hatinya yang tanpa dapat dicegah kini mulai merajut harap untuk bisa memperbaiki dirinya.
"Dek!" Sawala menoel Tisha.
Tisha terkesiap. "Itu ... aku ... hanya ingin mencoba sesuatu yang baru."
Setelah melalui berbagai penyaringan, akhirnya kalimat itulah yang Tisha pilih untuk disuarakan.
"Enggak terpaksa, kan?"
Tisha mencengkeram roknya. Tanya itu begitu tepat sasaran. Tisha memang terpaksa melakukannya karena tantangan Riana, tetapi ... itu hanya awalnya. Akhirnya, sekarang, dia malah nyaman menjalankan bahkan mulai ketagihan.
Selalu ada perasaan bahagia setiap kali melihat orang-orang berterima kasih atau sekedar tersenyum karena bantuannya. Sedikit demi sedikit, percobaannya ini menumbuhkan benih kesadaran bahwa memang seharusnya Tisha berhenti dari sikap apatisnya.
"Aku sendiri yang mau melakukannya."
Seketika Sawala mengembuskan napas panjang, juga menggumamkan hamdalah.
Giliran Tisha yang mengernyit. "Kenapa, Kak?"
"Aku lega, Dek." Sawala melukis senyum sangat lebar. "Aku pikir kamu melakukan itu di bawah tekanan. Aku khawatir kamu mengalami sesuatu yang buruk. Namun, ternyata ketakutanku tidak benar. Aku bahagia karena itu."
Tisha berdeham. Teringat sesuatu yang mengganjal kepalanya akhir-akhir ini. "Kalau ... aku mau mengejar bahagia yang sama dengan Kakak bagaimana? Apa boleh?"
"Gimana?"
"Aku ... mau seharap dengan Kakak. Mengejar mimpi menjadi orang bermanfaat dan meraih keberkahan Allah. Apa ... itu boleh?"
Pupil Sawala berbinar. Dilepaskannya begitu saja mukena yang baru terlipat sedikit itu. Kini dia beralih ke hadapan Tisha dan meraih tangannya. "Boleh banget, Dek. Setiap orang berhak untuk mengejar rida Allah."
"Bahkan meskipun aku sudah sangat lama melalaikannya?"
Sawala mengeratkan genggamannya. "Allah selalu membuka pintu taubat untuk semua hambanya. Kalau kamu mau berubah menjadi lebih baik, aku yakin Allah akan menerimanya."
Mata Tisha berkaca-kaca. "Bantu aku, Kak."