Mereka tiba di depan gerbang rumah Tisha bersamaan dengan berkumandangnya azan Dzuhur. Sambil membuka gembok, Tisha menimbang, haruskah menawarkan Sawala untuk salat di rumahnya? Mengingat bagaimana taatnya gadis itu dalam melaksanakan ibadah tepat waktu.
"Mampir salat, Kak?" ucap Tisha akhirnya.
Sawala yang semula memperhatikan tanaman di pekarangan rumah Tisha, menoleh. "Boleh?"
Tisha menahan diri untuk tidak berdecak. Sahutan Sawala barusan yang jelas seperti bertanya, dianggapnya terlalu basa-basi. Jika Tisha sudah menawarkan, maka jelas memperbolehkan. "Mari ke musala." Tisha mendahului ke bagian pinggir rumah, menuju ruangan kecil di belakang garasi.
Sawala mengekor saja. Sampai akhirnya menemukan keran air dan berwudhu. Setelahnya sambil berjalan masuk, dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
Tisha baru menyadarinya sesaat setelah pintu ruangan terbuka. "Kakak bawa mukena?" Eh, Tisha ingin menepuk kening sendiri. Tadi dia mengatai Sawala yang bertanya basa-basi padahal sudah tahu jawabannya, tetapi ternyata kini dia juga tak jauh beda. Sungguh memalukan.
Sawala mengangguk. "Kebetulan ada di tas."
Tidak mungkin hanya kebetulan. Tisha mencibir dalam hati. Pasti Sawala memang mempersiapkannya. Mengingat seminggu ini dia selalu salat di sekolah dengan mengguakan muken sendiri, bukan tak mungkin bahwa itu adalah benda yang wajib Sawala bawa, sehingga selalu ada dalam tasnya.
Rasa lega menyelusup hati Tisha. Setidaknya pilihan untuk membawa Sawala ke tempat ini tidak terlalu salah. Dengan begini, dia tidak akan membuat Sawala berdosa karena melalaikan ibadahnya.
"Berjamaah?"
Tisha mengerjap. Memandang penuh tanya Sawala yang ternyata sudah mengenakan mukena. Oh, pasti Sawala sedang menjalankan kiat meraih mimpinya, mengejar pahala terbesar. Kalau tidak salah ingat, Tisha pernah mendengar bahwa pahala orang yang salat berjamaah lebih bagus 27 derajat daripada yang salat sendirian.
Jadi, Tisha segan untuk menolak, tak mau menghambat Sawala meraih mimpinya. Akhirnya Tisha pun mengangguk dan mengambil tempat di belakang Sawala, menjadi makmumnya.
Sekian menit kemudian, dua salam terdengar, menandakan salat selesai. Seperti biasa, sementara Sawala masih terlihat berdoa, Tisha sudah cepat-cepat melepas mukena kemudian menggulung-gulungnya.
Sawala menoleh dengan memajukan tangan, hendak bersalaman. Tepat saat Tisha menyambutnya, terdengar suara khas perut. Keduanya makin saling pandang dengan raut tanya.
"Kakak lapar?" tanya Tisha begitu tangan mereka terlepas. Menyadari suara itu berasal dari Sawala.
Sawala menyengir di tengah kegiatan melipat mukena. "Sedikit," balasnya dengan wajah bersemu, mungkin malu.
"Yuk, makan!" ajak Tisha tiba-tiba. Entahlah, dia hanya merasa harus melakukannya. Mengingat waktu sudah masuk tengah hari. Tiba saatnya makan siang.
"Eh?" Sawala yang baru selesai memasukkan mukena ke tas dan membenahi kerudung agak terkejut. "Di mana?"
"Di sini." Tisha bangkit dan menuju meja kecil di sudut ruangan, tempat meletakkan alat-alat salat.
Refleks Sawala ikut bangkit. "Gimana?"
"Ayo makan di rumahku!"
"Tapi, Dek ...."
"Ayo!" Tak membiarkan Sawala membantah, Tisha segera menggandeng Sawala ke luar.
Begitu hampir mencapai pintu utama rumahnya, Tisha baru menyadari pergerakannya yang di luar kebiasaan, menggandeng Sawala, segera saja dia melepaskannya. "Maaf," ungkapnya tak enak.
Selama ini Tisha tidak pernah melakukan hal seperti itu. Dia tidak pernah memaksa apalagi menyeret sembarang orang, kecuali Riana. Ah, Tisha makin tak mengerti dengan dirinya sendiri.
Setelahnya Tisha memilih diam. Bahkan saat sampai ruang makan, Tisha hanya menggunakan tangan dan kepala untuk mengisyaratkan Sawala duduk, sementara dirinya memanaskan makanan sebentar, kemudian menghidangkannya di hadapan Sawala, dan mereka pun melahap dalam keheningan.
"Alhamdulillah." Sawala mengusap bibir dengan tisu setelah menghabiskan isi piringnya. "Makanannya sangat-sangat enak. Terima kasih, ya, Dek."
Tisha mengulum senyum. "Sama-sama."
"Ini semua buatan kamu?" Sawala teringat dengan obrolan Riana di panti yang mengatakan makanan yang tadi dibawa adalah hasil olahan Tisha.
Tisha mengangguk.
Mata Sawala berbinar. "Wah ... keren!"
Kini berbalik, Tisha lah yang bersemu malu. Dia memainkan tisu di tangannya.
Sawala tersenyum melihatnya. Sangat menggemaskan. Membuatnya mengingat seseorang yang berharga baginya.
"Maaf, ya, Dek."
Tisha mendongak. Kali ini apa alasannya?
"Maaf aku pernah agresif, karena kamu ... mengingatkan aku pada adikku."
Tisha menaikkan sebelah alis. "Adik?"
Sawala mengangguk. "Maaf sebelumnya, tapi di mata aku, kamu ... seperti adikku yang sudah meninggal." Jeda sejenak, Sawala mengambil napas. "Bukan secara fisik, tapi entah kenapa aku merasa memiliki tarikan khusus untuk berdekatan dengan kamu. Aku jadi senang bersama denganmu."
"Me-meninggal?"
"Iya, dia meninggal dua tahun lalu, bersama orang tuaku, karena longsor yang menimpa rumah kami." Sawala mengembuskan napas sejenak. "Maaf sekali, ya, sudah lancang menyamakan kamu dengan orang yang sudah tidak ada."
"Enggak!" Tisha menggeleng cepat. "Enggak apa-apa. Kakak boleh menganggap aku ... adik Kakak." Oh, lagi-lagi Tisha tak bisa mengendalikan diri. Entah apa yang mendorongnya memberikan tawaran itu.
"Terima kasih, Dek." Sawala tersenyum haru. Bahkan tangannya naik mengusap sudut mata.
"Itu ...." Ragu-ragu Tisha menunjuk tangan Sawala.
Sawala mengusap tangan. "Iya, ini bekas kejadian itu. Aku juga tertimpa reruntuhan, tapi gak sebanyak keluarga yang lain karena aku baru pulang ngaji. Jadi, ya, aku selamat."
"Sekarang ... Kakak tinggal dengan siapa?" Tisha sebenarnya tak enak mengeluarkan tanya itu. Namun, dia tak bisa lagi menahan rasa penasaran. Kepalang tanggung sudah mendengar sedikit cerita latar belakang Sawala, jadi sekalian gali sebanyak-banyaknya saja. Toh tujuannya mencari tahu juga bukan untuk melakukan kejahatan.
"Kakek-nenek. Orang tua ayah dan Bu Santi."
Tisha membulatkan mulut. Sekarang jelas sudah hubungan Sawala dengan guru bahasa Inggris itu. Sambil memainkan jemari di meja, Tisha kembali bertanya, "Jauh dari sini?"
Sawala turut menyimpan tangan berlipat di meja. "Enggak terlalu. Rumahku ada di desa sebelah. Daerah kamu ini kelewatan kalau mau ke sekolah."
Tisha bernapas lega. Setidaknya dia tidak terlalu merasa bersalah karena harus membuat Sawala bolak-balik memutar jalan saat mengantar jemputnya.
"Eh!" Sawala merasakan getaran dari ponsel yang ada di saku roknya.
Tisha heran. "Kenapa, Kak?"
"Bu Santi udah di luar." Sawala kembali mematikan ponsel. "Maaf, ya, kayaknya aku mau SMP."
"Hah?"
Sawala terkekeh. "Sudah makan pulang. Aku mau pamit pulang, ya."
"Oh, iya, Kak. Silakan." Tisha pun bangkit, menemani Sawala ke halaman.
***
Setelah kepergian Sawala, Tisha kembali masuk dan menuju ruang keluarga. Sembari melempar kerudung ke sembarang arah, dia meraih bantal sofa dan menatanya di karpet, kemudian menjatuhkan tubuh, merebah dengan tatapan tertuju pada langit-langit ruangan.
Embusan napas panjang Tisha keluarkan. Ternyata latar belakang Sawala mirip dengannya. Sama-sama yatim piatu, telah kehilangan orang-orang tersayangnya. Bedanya Sawala juga kehilangan saudara, sementara Tisha masih memiliki Riana di sisinya.
Perbedaan lainnya, Sawala tidak terlihat muram. Sorot wajahnya senantiasa cerah. Keberadaannya selalu memancarkan aura positif pada orang-orang di dekatnya. Berbeda dengan Tisha, yang senantiasa bersikap dingin, kaku, membatasi interaksi, menunjukkan kegelapan.
Ah! Tisha menjambak rambut. Sebenarnya dia tak ingin terus seperti ini, yang berkubang dengan rasa sakit karena masa lalu. Dia juga ingin sembuh, lalu menjalani hari dengan lebih baik. Namun, Tisha terlalu bingung. Tak tahu bagaimana langkah awalnya.
Mungkinkah harus dengan membenahi tujuan hidupnya? Namun, untuk apa?
Selain mencari kenyamanan sendiri, hidup ini untuk apa?
"Menjadi ... sebaik-baiknya manusia, yang bermanfaat. Untuk meraih keberkahan dari Allah SWT. Aku sangat-sangat berharap bisa meraih itu."
Ucapan Sawala kembali terngiang.
"Meraih keberkahan dari Allah SWT." Tisha terpejam. "Allah ... Allah ...." Untuk beberapa detik Tisha terus mengulang-ulang kata itu sembari meremas dada. Sampai tanpa sadar sebulir air mata jatuh ke pipinya. Allah, Tuhannya, yang seharusnya menjadi tujuan hidupnya.
Astaghfirullah. Segelap ini Tisha. Terbelenggu luka, sampai jauh dari Sang Pencipta. Tisha menangkup muka. Bisakah ... dia memperbaiki diri dan kembali ke jalan-Nya?
Premium
Dunia Tanpa Gadget
7845
2335
32
True Story
Muridmurid SMA 2 atau biasa disebut SMADA menjunjung tinggi toleransi meskipun mereka terdiri dari suku agama dan ras yang berbedabeda Perselisihan di antara mereka tidak pernah dipicu oleh perbedaan suku agama dan ras tetapi lebih kepada kepentingan dan perasaan pribadi Mereka tidak pernah melecehkan teman mereka dari golongan minoritas Bersama mereka menjalani hidup masa remaja mereka dengan ko...
ASA
2770
1094
0
Romance
Ketika Rachel membuka mata, betapa terkejutnya ia mendapati kenyataan di hadapannya berubah drastis. Kerinduannya hanya satu, yaitu bertemu dengan orang-orang yang ia sayangi. Namun, Rachel hanya diberi kesempatan selama 40 hari untuk memilih. Rachel harus bisa memilih antara Cinta atau Kebencian. Ini keputusan sulit yang harus dipilihnya. Mampukah Rachel memilih salah satunya sebelum waktunya ha...
Jelek? Siapa takut!
2104
1002
0
Fantasy
"Gue sumpahin lo jatuh cinta sama cewek jelek, buruk rupa, sekaligus bodoh!"
Sok polos, tukang bully, dan naif. Kalau ditanya emang ada cewek kayak gitu? Jawabannya ada! Aine namanya. Di anugerahi wajah yang terpahat hampir sempurna membuat tingkat kepercayaan diri gadis itu melampaui batas kesombongannya.
Walau dikenal jomblo abadi di dunia nyata, tapi diam-diam Aine mempunyai seorang pac...
The Skylarked Fate
4097
1508
0
Fantasy
Gilbert tidak pernah menerima takdir yang diberikan Eros padanya. Bagaimanapun usaha Patricia, Gilbert tidak pernah bisa membalas perasaannya. Seperti itu terus pada reinkarnasi ketujuh. Namun, sebuah fakta meluluhlantakkan perasaan Gilbert. Pada akhirnya, ia diberi kesempatan baru untuk berusaha memperbaiki hubungannya dengan Patricia.
Lebih dari Cinta Rahwana kepada Sinta
541
420
0
Romance
Pernahkan mendengarkan kisah Ramayana?
Jika pernah mendengarnya, cerita ini hampir memiliki kisah yang sama dengan romansa dua sejoli ini. Namun, bukan cerita Rama dan Sinta yang akan diceritakan. Namun keagungan cinta Rahwana kepada Sinta yang akan diulas dalam cerita ini. Betapa agung dan hormatnya Rahwana, raksasa yang merajai Alengka dengan segala kemewahan dan kekuasaannya yang luas. Raksas...
Cinta di Sepertiga Malam Terakhir
3702
1080
1
Romance
Seorang wanita berdarah Sunda memiliki wajah yang memikat siapapun yang melihatnya. Ia harus menerima banyak kenyataan yang mau tak mau harus diterimanya. Mulai dari pesantren, pengorbanan, dan lain hal tak terduga lainnya. Banyak pria yang datang melamarnya, namun semuanya ditolak. Bukan karena ia penyuka sesama jenis! Tetapi karena ia sedang menunggu orang yang namanya sudah terlukis indah diha...
MAMPU
4154
1844
0
Romance
Cerita ini didedikasikan untuk kalian yang pernah punya teman di masa kecil dan tinggalnya bertetanggaan. Itulah yang dialami oleh Andira, dia punya teman masa kecil yang bernama Anandra. Suatu hari mereka berpisah, tapi kemudian bertemu lagi setelah bertahun-tahun terlewat begitu saja. Mereka bisa saling mengungkapkan rasa rindu, tapi sayang. Anandra salah paham dan menganggap kalau Andira punya...
DI ANTARA DOEA HATI
703
343
1
Romance
Setelah peristiwa penembakan yang menewaskan Sang mantan kekasih, membuat Kanaya Larasati diliputi kecemasan. Bayang-bayang masa lalu terus menghantuinya. "Siapapun yang akan menjadi pasanganmu akan berakgir tragis," ucap seorang cenayang.
Hal tersebut membuat sahabat kecilnya Reyhan, seorang perwira tinggi Angkatan Darat begitu mengkhawatirkannya. Dia berencana untuk menikahi gadis itu. Disaa...
Rembulan
645
342
2
Romance
Orang-orang acap kali berkata,
"orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan."
Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta.
Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Gunay and His Broken Life
4551
1852
0
Romance
Hidup Gunay adalah kakaknya. Kakaknya adalah hidup Gunay.
Pemuda malang ini telah ditinggal ibunya sejak kecil yang membuatnya secara naluri menganggap kakaknya adalah pengganti sosok ibu baginya.
Hidupnya begitu bergantung pada gadis itu. Mulai dari ia bangun tidur, hingga kembali lagi ke tempat tidur yang keluar dari mulutnya hanyalah "kakak, kakak, dan kakak"
Sampai memberi makan ikan...