Read More >>"> Seharap (22. Sawala Mampir) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Seharap
MENU
About Us  

    Mereka tiba di depan gerbang rumah Tisha bersamaan dengan berkumandangnya azan Dzuhur. Sambil membuka gembok, Tisha menimbang, haruskah menawarkan Sawala untuk salat di rumahnya? Mengingat bagaimana taatnya gadis itu dalam melaksanakan ibadah tepat waktu. 
    "Mampir salat, Kak?" ucap Tisha akhirnya.
    Sawala yang semula memperhatikan tanaman di pekarangan rumah Tisha, menoleh. "Boleh?"
    Tisha menahan diri untuk tidak berdecak. Sahutan Sawala barusan yang jelas seperti bertanya, dianggapnya terlalu basa-basi. Jika Tisha sudah menawarkan, maka jelas memperbolehkan. "Mari ke musala." Tisha mendahului ke bagian pinggir rumah, menuju ruangan kecil di belakang garasi. 
    Sawala mengekor saja. Sampai akhirnya menemukan keran air dan berwudhu. Setelahnya sambil berjalan masuk, dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
    Tisha baru menyadarinya sesaat setelah pintu ruangan terbuka. "Kakak bawa mukena?" Eh, Tisha ingin menepuk kening sendiri. Tadi dia mengatai Sawala yang bertanya basa-basi padahal sudah tahu jawabannya, tetapi ternyata kini dia juga tak jauh beda. Sungguh memalukan.
    Sawala mengangguk. "Kebetulan ada di tas."
    Tidak mungkin hanya kebetulan. Tisha mencibir dalam hati. Pasti Sawala memang mempersiapkannya. Mengingat seminggu ini dia selalu salat di sekolah dengan mengguakan muken sendiri, bukan tak mungkin bahwa itu adalah benda yang wajib Sawala bawa, sehingga selalu ada dalam tasnya.
    Rasa lega menyelusup hati Tisha. Setidaknya pilihan untuk membawa Sawala ke tempat ini tidak terlalu salah. Dengan begini, dia tidak akan membuat Sawala berdosa karena melalaikan ibadahnya.
    "Berjamaah?"
    Tisha mengerjap. Memandang penuh tanya Sawala yang ternyata sudah mengenakan mukena. Oh, pasti Sawala sedang menjalankan kiat meraih mimpinya, mengejar pahala terbesar. Kalau tidak salah ingat, Tisha pernah mendengar bahwa pahala orang yang salat berjamaah lebih bagus 27 derajat daripada yang salat sendirian.
    Jadi, Tisha segan untuk menolak, tak mau menghambat Sawala meraih mimpinya. Akhirnya Tisha pun mengangguk dan mengambil tempat di belakang Sawala, menjadi makmumnya.
    Sekian menit kemudian, dua salam terdengar, menandakan salat selesai. Seperti biasa, sementara Sawala masih terlihat berdoa, Tisha sudah cepat-cepat melepas mukena kemudian menggulung-gulungnya.
    Sawala menoleh dengan memajukan tangan, hendak bersalaman. Tepat saat Tisha menyambutnya, terdengar suara khas perut. Keduanya makin saling pandang dengan raut tanya.
    "Kakak lapar?" tanya Tisha begitu tangan mereka terlepas. Menyadari suara itu berasal dari Sawala.
    Sawala menyengir di tengah kegiatan melipat mukena. "Sedikit," balasnya dengan wajah bersemu, mungkin malu.
    "Yuk, makan!" ajak Tisha tiba-tiba. Entahlah, dia hanya merasa harus melakukannya. Mengingat waktu sudah masuk tengah hari. Tiba saatnya makan siang.
    "Eh?" Sawala yang baru selesai memasukkan mukena ke tas dan membenahi kerudung agak terkejut. "Di mana?"
    "Di sini." Tisha bangkit dan menuju meja kecil di sudut ruangan, tempat meletakkan alat-alat salat.
    Refleks Sawala ikut bangkit. "Gimana?"
    "Ayo makan di rumahku!"
    "Tapi, Dek ...."
    "Ayo!" Tak membiarkan Sawala membantah, Tisha segera menggandeng Sawala ke luar.
    Begitu hampir mencapai pintu utama rumahnya, Tisha baru menyadari pergerakannya yang di luar kebiasaan, menggandeng Sawala, segera saja dia melepaskannya. "Maaf," ungkapnya tak enak.
    Selama ini Tisha tidak pernah melakukan hal seperti itu. Dia tidak pernah memaksa apalagi menyeret sembarang orang, kecuali Riana. Ah, Tisha makin tak mengerti dengan dirinya sendiri.
    Setelahnya Tisha memilih diam. Bahkan saat sampai ruang makan, Tisha hanya menggunakan tangan dan kepala untuk mengisyaratkan Sawala duduk, sementara dirinya memanaskan makanan sebentar, kemudian menghidangkannya di hadapan Sawala, dan mereka pun melahap dalam keheningan.
    "Alhamdulillah." Sawala mengusap bibir dengan tisu setelah menghabiskan isi piringnya. "Makanannya sangat-sangat enak. Terima kasih, ya, Dek."
    Tisha mengulum senyum. "Sama-sama."
    "Ini semua buatan kamu?" Sawala teringat dengan obrolan Riana di panti yang mengatakan makanan yang tadi dibawa adalah hasil olahan Tisha.
    Tisha mengangguk.
    Mata Sawala berbinar. "Wah ... keren!"
    Kini berbalik, Tisha lah yang bersemu malu. Dia memainkan tisu di tangannya.
    Sawala tersenyum melihatnya. Sangat menggemaskan. Membuatnya mengingat seseorang yang berharga baginya.
    "Maaf, ya, Dek." 
    Tisha mendongak. Kali ini apa alasannya?
    "Maaf aku pernah agresif, karena kamu ... mengingatkan aku pada adikku."
    Tisha menaikkan sebelah alis. "Adik?"
    Sawala mengangguk. "Maaf sebelumnya, tapi di mata aku, kamu ... seperti adikku yang sudah meninggal." Jeda sejenak, Sawala mengambil napas. "Bukan secara fisik, tapi entah kenapa aku merasa memiliki tarikan khusus untuk berdekatan dengan kamu. Aku jadi senang bersama denganmu."
    "Me-meninggal?"
    "Iya, dia meninggal dua tahun lalu, bersama orang tuaku, karena longsor yang menimpa rumah kami." Sawala mengembuskan napas sejenak. "Maaf sekali, ya, sudah lancang menyamakan kamu dengan orang yang sudah tidak ada."
    "Enggak!" Tisha menggeleng cepat. "Enggak apa-apa. Kakak boleh menganggap aku ... adik Kakak." Oh, lagi-lagi Tisha tak bisa mengendalikan diri. Entah apa yang mendorongnya memberikan tawaran itu.
    "Terima kasih, Dek." Sawala tersenyum haru. Bahkan tangannya naik mengusap sudut mata.
    "Itu ...." Ragu-ragu Tisha menunjuk tangan Sawala.
    Sawala mengusap tangan. "Iya, ini bekas kejadian itu. Aku juga tertimpa reruntuhan, tapi gak sebanyak keluarga yang lain karena aku baru pulang ngaji. Jadi, ya, aku selamat."
    "Sekarang ... Kakak tinggal dengan siapa?" Tisha sebenarnya tak enak mengeluarkan tanya itu. Namun, dia tak bisa lagi menahan rasa penasaran. Kepalang tanggung sudah mendengar sedikit cerita latar belakang Sawala, jadi sekalian gali sebanyak-banyaknya saja. Toh tujuannya mencari tahu juga  bukan untuk melakukan kejahatan.
    "Kakek-nenek. Orang tua ayah dan Bu Santi."
    Tisha membulatkan mulut. Sekarang jelas sudah hubungan Sawala dengan guru bahasa Inggris itu. Sambil memainkan jemari di meja, Tisha kembali bertanya, "Jauh dari sini?" 
    Sawala turut menyimpan tangan berlipat di meja. "Enggak terlalu. Rumahku ada di desa sebelah. Daerah kamu ini kelewatan kalau mau ke sekolah."
    Tisha bernapas lega. Setidaknya dia tidak terlalu merasa bersalah karena harus membuat Sawala bolak-balik memutar jalan saat mengantar jemputnya.
    "Eh!" Sawala merasakan getaran dari ponsel yang ada di saku roknya.
    Tisha heran. "Kenapa, Kak?"
    "Bu Santi udah di luar." Sawala kembali mematikan ponsel. "Maaf, ya, kayaknya aku mau SMP."
    "Hah?"
    Sawala terkekeh. "Sudah makan pulang. Aku mau pamit pulang, ya."
    "Oh, iya, Kak. Silakan." Tisha pun bangkit, menemani Sawala ke halaman.
    ***
    Setelah kepergian Sawala, Tisha kembali masuk dan menuju ruang keluarga. Sembari melempar kerudung ke sembarang arah, dia meraih bantal sofa dan menatanya di karpet, kemudian menjatuhkan tubuh, merebah dengan tatapan tertuju pada langit-langit ruangan.
    Embusan napas panjang Tisha keluarkan. Ternyata latar belakang Sawala mirip dengannya. Sama-sama yatim piatu, telah kehilangan orang-orang tersayangnya. Bedanya Sawala juga kehilangan saudara, sementara Tisha masih memiliki Riana di sisinya.
    Perbedaan lainnya, Sawala tidak terlihat muram. Sorot wajahnya senantiasa cerah. Keberadaannya selalu memancarkan aura positif pada orang-orang di dekatnya. Berbeda dengan Tisha, yang senantiasa bersikap dingin, kaku, membatasi interaksi, menunjukkan kegelapan.
    Ah! Tisha menjambak rambut. Sebenarnya dia tak ingin terus seperti ini, yang berkubang dengan rasa sakit karena masa lalu. Dia juga ingin sembuh, lalu menjalani hari dengan lebih baik. Namun, Tisha terlalu bingung. Tak tahu bagaimana langkah awalnya.
    Mungkinkah harus dengan membenahi tujuan hidupnya? Namun, untuk apa?
    Selain mencari kenyamanan sendiri, hidup ini untuk apa?
    "Menjadi ... sebaik-baiknya manusia, yang bermanfaat. Untuk meraih keberkahan dari Allah SWT. Aku sangat-sangat berharap bisa meraih itu."
    Ucapan Sawala kembali terngiang.
    "Meraih keberkahan dari Allah SWT." Tisha terpejam. "Allah ... Allah ...." Untuk beberapa detik Tisha terus mengulang-ulang kata itu sembari meremas dada. Sampai tanpa sadar sebulir air mata jatuh ke pipinya. Allah, Tuhannya, yang seharusnya menjadi tujuan hidupnya.
    Astaghfirullah. Segelap ini Tisha. Terbelenggu luka, sampai jauh dari Sang Pencipta. Tisha menangkup muka. Bisakah ... dia memperbaiki diri dan kembali ke jalan-Nya?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
RIUH RENJANA
313      237     0     
Romance
Berisiknya Rindu membuat tidak tenang. Jarak ada hanya agar kita tau bahwa rindu itu nyata. Mari bertemu kembali untuk membayar hari-hari lalu yang penuh Renjana. "Riuhnya Renjana membuat Bumantara menyetujui" "Mari berjanji abadi" "Amerta?"eh
Depaysement (Sudah Terbit / Open PO)
2455      1150     2     
Mystery
Aniara Indramayu adalah pemuda biasa; baru lulus kuliah dan sibuk dengan pekerjaan sebagai ilustrator 'freelance' yang pendapatannya tidak stabil. Jalan hidupnya terjungkir balik ketika sahabatnya mengajaknya pergi ke sebuah pameran lukisan. Entah kenapa, setelah melihat salah satu lukisan yang dipamerkan, pikiran Aniara dirundung adegan-adegan misterius yang tidak berasal dari memorinya. Tid...
Premium
Di Bawah Langit yang Sama dengan Jalan yang Berbeda
4045      1322     10     
Romance
Jika Kinara bisa memilih dia tidak ingin memberikan cinta pertamanya pada Bian Jika Bian bisa menghindar dia tidak ingin berpapasan dengan Kinara Jika yang hanya menjadi jika karena semuanya sudah terlambat bagi keduanya Benang merah yang semula tipis kini semakin terlihat nyata Keduanya tidak bisa abai walau tahu ujung dari segalanya adalah fana Perjalanan keduanya untuk menjadi dewasa ti...
Kiara - Sebuah Perjalanan Untuk Pulang
1791      911     2     
Romance
Tentang sebuah petualangan mencari Keberanian, ke-ikhlasan juga arti dari sebuah cinta dan persahabatan yang tulus. 3 Orang yang saling mencintai dengan cara yang berbeda di tempat dan situasi yang berbeda pula. mereka hanya seorang manusia yang memiliki hati besar untuk menerima. Kiara, seorang perempuan jawa ayu yang menjalin persahabatan sejak kecil dengan Ardy dan klisenya mereka saling me...
Lebih dari Cinta Rahwana kepada Sinta
652      490     0     
Romance
Pernahkan mendengarkan kisah Ramayana? Jika pernah mendengarnya, cerita ini hampir memiliki kisah yang sama dengan romansa dua sejoli ini. Namun, bukan cerita Rama dan Sinta yang akan diceritakan. Namun keagungan cinta Rahwana kepada Sinta yang akan diulas dalam cerita ini. Betapa agung dan hormatnya Rahwana, raksasa yang merajai Alengka dengan segala kemewahan dan kekuasaannya yang luas. Raksas...
Heliofili
1531      784     2     
Romance
Hidup yang sedang kami jalani ini hanyalah kumpulan berkas yang pernah kami tandatangani di kehidupan sebelumnya— dari Sastra Purnama
Premium
MARIA
5079      1839     1     
Inspirational
Maria Oktaviana, seorang fangirl akut di dunia per K-Popan. Dia adalah tipe orang yang tidak suka terlalu banyak bicara, jadi dia hanya menghabiskan waktunya sebagian besar di kamar untuk menonton para idolanya. Karena termotivasi dia ingin bercita-cita menjadi seorang idola di Korea Selatan. Hingga suatu ketika, dia bertemu dengan seorang laki-laki bernama Lee Seo Jun atau bisa dipanggil Jun...
Wanita Di Sungai Emas (Pendek)
276      188     3     
Fantasy
Beberapa saat kemudian, aku tersandung oleh akar-akar pohon, dan sepertinya Cardy tidak mengetahui itu maka dari itu, dia tetap berlari... bodoh! Akupun mulai menyadari, bahwa ada sungai didekatku, dan aku mulai melihat refleksi diriku disungai. Aku mulai berpikir... mengapa aku harus mengikuti Cardy? Walaupun Cardy adalah teman dekatku... tetapi tidak semestinya aku mengikuti apa saja yang dia...
My World
465      307     1     
Fantasy
Yang Luna ketahui adalah dirinya merupakan manusia biasa, tidak memiliki keistimewaan yang sangat woah. Hidup normal menyelimutinya hingga dirinya berusia 20 tahun. Sepucuk surat tergeletak di meja belajarnya, ia menemukannya setelah menyadari bahwa langit menampilkan matahari dan bulan berdiri berdampingan, pula langit yang setengah siang dan setengah malam. Tentu saja hal ini aneh baginya. I...
The Alpha
1168      584     0     
Romance
Winda hanya anak baru kelas dua belas biasa yang tidak menarik perhatian. Satu-satunya alasan mengapa semua orang bisa mengenalinya karena Reza--teman masa kecil dan juga tetangganya yang ternyata jadi cowok populer di sekolah. Meski begitu, Winda tidak pernah ambil pusing dengan status Reza di sekolah. Tapi pada akhirnya masalah demi masalah menghampiri Winda. Ia tidak menyangka harus terjebak d...