“Lha, masih tidur-tiduran.” Riana menggeleng-geleng melihat sang adik yang asyik merebahkan tubuh di sofa ruang keluarga. Padahal di luar sana matahari sudah cukup tinggi menampakkan diri.
“Heum ....” Tisha hanya menggeliat sedikit dan makin mengeratkan pelukan pada bantal sofa. Meski memang tidak sedang terlelap, tetapi netranya masih setia menutup.
“Bangun, hei!” Riana mengguncang bahu Tisha tidak santai.
Tisha berdecak, lantas membuka mata malas dan menyahut sewot. “Apa, sih? Ganggu banget.”
Riana menunjuk jam di dinding. “Udah lewat pukul delapan, tuh. Ayo berangkat!”
Tisha berguling, mengubah posisi, menghadap sandaran sofa, membelakangi Riana. “Aku enggak ikut hari ini!”
“Tumben?” Riana mengernyit. “Enggak kangen sayuranmu?” Dia heran. Aneh sekali baginya mendengar sang adik menolak ajakan pergi ke desa sebelah untuk mengunjungi kebun peninggalan orang tua mereka yang dikelola paman dan bibi. Sebab, biasanya jika akhir pekan atau hari libur tiba, Tisha akan selalu dengan semangat mempersiapkan keberangkatan demi melihat berbagai sayuran yang telah ditanam tangan dinginnya.
Meskipun bukan termasuk keluarga kaya raya dengan harta berlimpah, tetapi kehidupan mereka berkecukupan. Selain dari tabungan dan asuransi orang tua, hasil kebun itulah yang menjadi penopang hidup dua saudari itu.
“Teteh kan bisa bantu fotokan,” gumam Tisha kurang jelas karena wajahnya kian menelusup pada bantal.
Riana merotasikan bola mata. “Teteh juga punya perasaan malas kali, Sha. Apalagi seminggu ini kegiatan Teteh padat, tiap hari pulang malam, capek sebenarnya.”
“Ya udah, enggak usah pergi. Mari tiduran bareng di sini.”
“Enggak gitu, Tisha!” Riana menggeram dengan kedua tangan terkepal erat. “Maksud Teteh, kalau mau ngikutin malas mah jelas mendingan enggak usah ke mana-mana, tapi kan malas bukan untuk dituruti, justru harus dilawan.”
“Iya, iya, aku bakal lawan, tapi nanti. Kalau sekarang aku udah enggak ada tenaga banget.”
Riana memindahkan telapak tangan ke kening Tisha. “Enggak hangat, kok.”
Tisha menepisnya, lalu duduk bersandar menghadap Riana. “Bukan fisik aku yang enggak baik-baik aja, tapi batinku.”
“Kenapa?”
Tisha menghela napas. “Ternyata menjalani tantangan dari Teteh benar-benar menguras energi.”
Riana membulatkan mulut. Oh, itu ternyata masalahnya. Dia duduk di sofa seberang Tisha sambil mengulum senyum. “Tapi sepadan kan dengan hadiahnya? Katanya kamu mau minta hadiah yang besar dari Teteh?”
Tisha mengacak rambut. “Tapi aku enggak nyangka akan seberat ini.”
“Jadi?” Riana menyangga dagu dengan sebelah tangan. “Mau mundur aja, nih? Udah sampai setengah jalan padahal.”
“Ya ... ya ....” Ah, Tisha tidak tahu harus bagaimana. Dia dilema.
Riana berdeham. “Emang ada apa, sih? Sawala ngapain kamu lagi?”
Tisha memelas. “Tolong, Teh, bisa enggak sehari aja aku enggak dengar nama itu?”
Netra Riana menyipit. “Lho?”
“Aku terguncang karena dia, Teh!”
Riana memandang Tisha penuh selidik. “Tolong jelaskan dengan benar. Apa yang terjadi?”
Sesaat Tisha mempersiapkan diri, menarik napas dalam-dalam. “Teteh ingat aku pernah ngira kalau Kak Sawala itu gila karena banyak menolong orang dan melakukan berbagai kegiatan baik lainnya?”
Riana mengangguk. Dia tidak mungkin lupa, itu adalah kesan pertama perjumpaan sang adik dengan orang pilihannya. “Terus?”
Tisha mendongak. “Ternyata itu salah, Teh. Kak Sawala enggak gila. Dia ... justru lagi otw jadi sebaik-baiknya manusia.”
Alis Riana bertaut. “Gimana?”
Tisha menegakkan punggung. “Kemarin dia bawa aku ke kumpulan Rohis. Di sana ada kegiatan semacam ceramah gitu. Terus pematerinya bahas kalau salah satu cara untuk bahagia adalah menjadi sebaik-baiknya manusia. Nah, contoh kegiatannya adalah melakukan apa saja yang memberikan kebermanfaatan, dan ... itu semua sesuai dengan apa yang Kak Sawala lakukan.”
Riana manggut-manggut, kemudian tersenyum. “Ya, berarti bagus dong, dia bukan sedang melakukan hal yang dilarang.”
“Tapi, Teh ....”
“Apa lagi, sih, Sha?” Riana memotong gemas. Tidak mau mendengarkan alasan ataupun asumsi sang adik yang terlalu memutar-mutar.
Tisha kicep. Matanya sayu. Ah, memang salah bercerita pada sang kakak yang punya cara pandang berbeda. Seharusnya Tisha cukup memendam semua perasaan yang dia alami dalam diam. Tidak perlu melibatkan orang lain atas segala pemikirannya. Memang baiknya Tisha tetap sendirian.
“Gini, deh.” Riana menepuk paha. “Tadi itu kan yang kamu bilang baru asumsi, ya? Masih belum jelas yang sebenarnya bagaimana. Enggak menutup kemungkinan kalau bisa aja ada teori konspirasi di balik semua tingkah Sawala.” Dia menahan mual karena berasa membual.
Tisha tak bereaksi.
Riana mencondongkan tubuh mendekati Tisha. “Gimana kalau kamu coba membuktikan kebenarannya?”
Kening Tisha mengerut. “Hah?”
Riana menjentikkan jari. “Teteh tambah tantangannya. Kalau sebelumnya cuma menyuruh kamu berdekatan dengan dia, sekarang Teteh minta kamu ikut melakukan apa yang dia lakukan, terus cari tahu alasan sebenarnya dari semua yang dia lakukan. Nanti Teteh kasih dua hadiah lagi.”
Tisha mengusap dagu. Untuk urusan mengikuti apa yang Sawala lakukan, mungkin dia tidak akan ada masalah, toh selama seminggu ini memang sudah sedikit melakukannya tanpa sengaja. Namun, untuk urusan mencari tahu alasanya ... Tisha bingung. “Caranya?”
“Ya, tanya-tanya dia, lah! Deep talk gitu.”
Tisha menggeleng lemah. “Enggak akan bisa.”
“Kenapa?”
Jemari Tisha bertautan. Dalam kepalanya terbayang lagi kejadian kemarin lalu saat Sawala banyak mendiaminya. “Kak Sawala itu udah jenuh sama aku. Kayaknya dia bakal menghentikan kebersamaan kami, deh.”
Riana memundurkan kaki dan menepuk kening sendiri. “Hadeuh, berasumsi lagi.”
“Bukan gitu, Teh!” Refleks Tisha menggebrak meja yang membatasi mereka. “Pemikiran ini enggak mengada-ada. Aku bicara berdasarkan fakta yang terjadi akhir-akhir ini. Dia itu berubah jadi ... pendiam, enggak kayak pas awal-awal. Kemarin dia enggak lagi banyak memulai pembicaraan, dan kalau aku tanya pun jawabannya singkat-singkat. Menunjukkan kalau dia memang udah bosen sama aku.”
Itu tuh asumsi, Sha! Kalimat itu tertahan di tenggorokan Riana. Dia hanya sanggup meneriakkan dalam hati. Mengingat di usia Tisha itu memang biasanya cukup keras kepala dan merasa benar sendiri, maka Riana tidak mau memantik konflik dengan terus menerus mendebat apalagi sampai terkesan menggurui. Riana akan memilih jalan lembut saja untuk menggiring sang adik pada arah yang dia harapkan.
“Ya sudah, Teteh akan coba cari tahu tentang itu.” Riana bangkit. “Kalau nanti ternyata perkiraan kamu enggak benar dan Sawala masih mau bersama dengan kamu, maka kamu harus melakukan tantangan tambahannya.”
Tisha sudah membuka mulut untuk menyela, tetapi Riana memajukan telapak tangan sebagai isyarat melarang penyanggahan. “Enggak ada nego. Pokoknya kerjakan. Nanti Teteh akan tambah dua reward-nya. Jadi, nanti kamu boleh minta tiga hadiah.”
Bola mata Tisha berbinar. Kepalanya mulai bercabang, memikirkan hal-hal menyenangkan yang diinginkan.
“Sekarang Teteh mau berangkat. Kamu tetap enggak mau ikut, nih?”
“Enggak.” Tisha kembali berbaring. “Mau boboan. Titip salam dan permintaan maaf saja untuk Mamang dan Bibi.”
“Huh, baiklah.” Sesaat sebelum melangkah, Riana menajamkan mata dan mengangkat telunjuk tangan kiri. “Awas jangan kebablasan. Pokoknya harus tetap makan dan mandi.”
Tisha mengerang. Padahal dia berencana untuk libur mandi seharian ini.