Bel berbunyi.
Tatkala teman-teman sekelasnya bersorak gembira karena akan menikmati waktu istirahat, Tisha malah diam dengan posisi duduk tegak. Baru setelah guru yang ada di depannya menutup pembelajaran, gadis dengan kerudung segiempat yang sebelahnya tersampir ke bahu itu melemaskan punggung, barusan pelajaran matematika wajib begitu menegangkan.
Untuk memulihkan energi, Tisha mengeluarkan sekotak susu coklat dari tasnya. Sembari minum, Tisha memutar kepala, melihat keadaan di sekitarnya. Isi ruangan hampir lengang karena barusan bersamaan dengan keluarnya guru, para siswa yang sepertinya sudah sangat kelaparan itu berbondong-bondong ikut meninggalkan kelas demi menyerbu kantin.
Kini, di sana hanya tersisa Tisha dan lima orang yang sedang duduk bersama di bangku jajaran pertama untuk menikmati jajanan yang mereka beli saat Tisha dan yang lainnya masih berkutat dengan soal-soal.
Bukan, mereka bukan siswa nakal. Mereka malah merupakan para pemegang peringkat tertinggi di kelas, yang biasa keluar lebih dulu karena dapat mengerjakan pertanyaan dengan sangat cekatan. Tipe-tipe siswa pandai dan berorientasi nilai.
Adapun Tisha bukan bagian dari mereka. Sebab, dia tidak merasa expert dalam pelajaran apa pun. Dia hanya murid teramat biasa yang sekadar bisa mencapai nilai standar, tanpa perlu melakukan remedial juga tak mendapat penghargaan.
Dengan segala keminimalisan itu, anehnya saat pembagian kelas Tisha malah masuk ke salah satu kelas yang terkenal unggulan. Jelas hal itu tidak mungkin disebabkan campur tangan Riana, karena Tisha kenal sekali watak sang kakak yang teramat berprinsip untuk menegakkan kejujuran, mustahil Riana akan mau melakukan aksi orang dalam.
Namun, Tisha tidak mau ambil pusing tentang itu. Di mana pun kelasnya dan siapa pun yang ada di sana, tidak masalah untuknya. Yang penting dia bisa tenang sendirian.
Omong-omong tentang ketenangan, Tisha jadi ingat sosok yang pengusik ketenangannya, Sawala. Seketika Tisha bangkit. Dengan mata yang tertuju pada arloji di tangan kirinya, Tisha beranjak meninggalkan bangku. Ya ampun, lagi-lagi terlambat, Tisha sudah membuang tiga menitnya hanya untuk memikirkan hal yang sangat-sangat tidak penting.
Begitu tiba di luar kelas, Tisha melihat Sawala berjalan melewatinya. Kakak kelas itu membawa setumpuk buku paket, mengikuti seorang guru wanita berperut besar–hamil tua–yang melangkah dengan teramat lambat.
Tisha segera mengikutinya, berusaha menyamakan langkah hingga posisi mereka sejajar.
Sawala yang menyadari kehadiran Tisha, lantas tersenyum dan menyapa dengan ceria. “Hai, Dek!”
Oleh karena jarak mereka tidak terlalu jauh, sang guru yang dapat mendengar Sawala langsung memutar kepala ke belakang. Seketika matanya berbinar tatkala menyadari keberadaan Tisha. “Nah, ada temannya. Coba Tisha, Ibu minta tolong kamu bantu Sawala membawa sebagian bukunya, ya. Kasihan dia pasti keberatan dari tadi membawa buku sebanyak itu sendirian.”
“Tidak usah, Bu,” sanggah Sawala sambil menggeleng-geleng.
“Tapi dahi kamu sudah banjir keringat tuh.” Dagu guru itu tergerak menunjuk. “Sudah, dibantu saja. Kamu mau kan, Tisha?”
Tisha gelagapan. Selama ini dia sangat terbiasa menghindar dari menolong orang. Namun, kali ini entah kenapa dia terpaku, rasanya teramat segan untuk memberikan penolakan. Tatapan sang guru dan keadaan muka Sawala yang memang sudah basah membuatnya tanpa sadar memberikan anggukan.
“Nah, coba dibagi dua.”
Tidak dapat lagi menolak perintah, Sawala pun berjongkok. Dia turunkan belasan buku tebal itu di lantai, kemudian membaginya dalam jumlah yang tidak sama. Yang lebih sedikit dia geser ke arah Tisha yang juga ikut berjongkok di depannya, dan yang lebih banyak dia bawa ke dekapan.
Belum sempat Tisha mempertanyakan ketidakseimbangan itu, Sawala malah sudah bangkit sembari mengedip-kedipkan mata beloknya. “Udah, ambil aja!” katanya tanpa suara.
Tidak mau ambil pusing, Tisha menurut saja. Toh dia senang, tidak perlu terbebani. Akhirnya dua siswi itu berjalan mengikuti sang guru hingga tiba di depan ruang guru.
“Terima kasih, ya,” ucap sang guru setelah buku paket tertata di meja.
“Sama-sama, Bu,” sahut Sawala santun, lalu pamit.
Sedangkan Tisha hanya mengikutinya dengan kebisuan. Bola matanya berputar menahan kekesalan. Dia tak sepenuhnya ikhlas memberikan bantuan, terlebih saat merasakan kedua sikutnya yang pegal. Dia sangat menyesal karena tadi tidak kabur.
Begitu melewati ambang pintu, Tisha dikejutkan dengan aksi Sawala yang tanpa aba-aba menaikkan tangan ke bahu Tisha. Posturnya yang hampir sepuluh sentimeter lebih tinggi begitu memudahkan untuk merangkul erat tubuh mungil Tisha.
“Sekarang, mari kita ke perpus!” ajak Sawala semangat dengan mengambil langkah panjang-panjang. “Ini masih belum lima belas menit dari bel, jadi pasti bakal seru.”
Tisha hanya bisa mengatupkan bibir dan mengikuti Sawala diiringi jantung yang berdegup kencang. Sambil terseret, dia menahan bingung. Jika ternyata Sawala bisa bergerak sekencang sekarang, lalu kenapa tadi saat membawa banyak buku dia malah melangkah dengan sangat lamban mengikuti guru?
***
Begitu tiba di tujuan, mereka melepas sepatu dan masuk. Sementara Tisha mengisi buku pengunjung di meja dekat pintu, Sawala malah akan melenggang ke arah rak. Seketika Tisha refleks mencekal tangannya.
“Kenapa, Dek?” Sawala menaikkan sebelah alis.
“Kakak ... enggak isi ini dulu?” Tisha menggerakkan pulpen di atas buku pengunjung, lantas menggigit bibir bawah. Malu sekaligus kesal pada diri sendiri. Kenapa dia repot mengurusi orang lain?
“Sawala sudah mengisinya.” Bukan Sawala yang menjawab, melainkan Bu Santi. “Tadi sejak sebelum bel Sawala sudah ke sini dan isi buku pengunjung,” tambahnya sembari menarik kedua sudut bibir dengan begitu manis, menampilkan senyuman yang mirip dengan milik Sawala.
Tisha tak membalas lagi. Segera melepas cekalan, membiarkan Sawala berlalu, sementara dia lanjut menyelesaikan pengisian. Setelah selesai, dia beranjak ke meja yang kemarin mereka duduki. Berpikir Sawala ada di sana.
Namun, kosong. Ke mana Sawala? Dengan langkah gontai, akhirnya Tisha terpaksa berkeliling. Sepanjang melangkah pikiran Tisha mulai bercabang. Mempertanyakan alasan Sawala bisa ada di perpustakaan sebelum bel. Apakah dia kabur dari kelas? Tisha menggeleng-geleng. Rasanya tidak mungkin. Kemarin saja Sawala rela pulang telat hanya untuk membereskan mukena, Tisha sangsi Sawala akan berlaku nakal meninggalkan pelajaran hanya untuk duduk di perpus.
Atau ... mungkin Sawala adalah bagian dari siswa cerdas? Tisha meremas jemari, sepertinya itu lebih masuk akal. Mengingat Sawala juga berada di kelas unggulan, bisa saja dia juga seperti lima teman sekelasnya yang terbiasa keluar kelas lebih dulu.
Kesukaan Sawala pada buku juga menyadarkan Tisha bahwa kakak kelasnya itu bukan hanya siswa biasa. Sawala begitu ramah, sopan, perhatian, dan pintar. Semua kebaikan melekat pada gadis itu, hingga membuatnya tampak bersinar bagaikan langit indah luar biasa.
Tisha menghela napas. Sawala sangat berbeda dengannya yang jutek, cuek, dan berotak pas-pasan. Dia bagai tanah tanpa daya tarik yang hanya bergelar biasa saja.
Tisha menggeleng. Tidak, dia sama sekali tidak sedang merasa insecure. Dia hanya sedang tidak habis pikir. Mengapa Sawala mau didekatkan dengan orang sepertinya?