Read More >>"> Seharap (7. Hero Parkiran) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Seharap
MENU
About Us  

“Sip, beres!” Tisha menepuk-nepuk tangan dan tersenyum senang usai meletakkan piring terakhir. Dia menatap bangga beberapa masakan yang tersaji di meja makan, hasil karyanya di pagi buta cukup beragam. Ada sayur oyong, pepes ayam, perkedel tahu, dan susu jahe.

Tanpa membuang waktu, Tisha segera menyamankan badan di salah satu kursi. Dengan cekatan dia mengambil nasi dan teman-temannya, kemudian menyantap penuh suka cita.

Beberapa menit kemudian terdengar pintu yang dibanting keras. Tanpa berniat memutar kepala, Tisha setia melanjutkan makannya. Meski tidak melihat pun, dia sudah dapat menebak kebisingan itu pasti ulah sang kakak.

Tak jeda lama, Riana memasuki dapur dengan tangan yang dipenuhi tas dan atribut berkendara. Tisha tak menyimpan atensi berarti, tetap anteng melanjutkan tegukan susu jahenya sebagai penutup makan.

“Wih ... enak-enak, nih, masakanku!” Usai meletakkan barang bawaannya di dekat pintu, Riana mendekat ke meja makan sambil mengendus-endus asap hidangan yang masih mengepul.

“Dih, mengaku!” Akhirnya Tisha membuka mulut sembari memutar bola mata. Dia mendumel dalam hati. Enak sekali kakaknya bicara, tak sadar diri bahwa selama ini turun ke dapur saja jarang sekali.

Riana yang bisa menangkap itu, malah tertawa renyah. Ekspresi masam Tisha mengocok perutnya. Riana bahagia, menyambut Selasa pagi dengan interaksi mereka yang memang tidak biasa. Dipenuhi pertengkaran atau kejahilan.

Usia Riana dan Tisha berbeda hampir dua belas tahun. Namun, dalam beberapa keadaan mereka bisa bercanda dan bermain layaknya teman sebaya. Meski tak jarang ada saat-saat serius yang mengharuskan Riana bersikap keras–seperti Jumat lalu–karena kini dia satu-satunya wali Tisha. Yang artinya segala hal yang berkaitan dengan gadis itu adalah tanggung jawabnya.

“Maaf, barusan Teteh cuman bercanda. Kamu yang jago masak, Teteh mah mana bisa.” Riana meredakan tawa, menatap Tisha teduh, sarat kasih sayang.

Riana memang tak pandai bertempur dengan alat masak. Sejak orangtua mereka masih ada pun, dia lebih memilih membantu ayah membersihkan halaman daripada harus membantu pekerjaan di dapur. Berbeda sekali dengan Tisha. Meski sering manja, tetapi Tisha selalu semangat menemani sang bunda memasak, sampai menjadi cukup andal untuk bertanggung jawab membuat asupan perut mereka sekarang.

“Terima kasih untuk makan paginya, Chef Tisha.” Riana memanjangkan tangan kanan, hendak mengusap lembut kepala sang adik.

Namun, Tisha menghindar. Gadis berhidung bangir itu malah membuang muka, kemudian menjauh ke kursi lain.

Riana memandang heran. Tak biasa sekali sang adik tampak kesal hanya karena candaannya tentang masakan. Selama ini setiap Riana melakukan hal itu—mengaku-ngaku masakan—biasanya Tisha hanya akan menanggapi dengan kerucutan bibir dan rengekan. Namun, sekarang gadis itu malah memasang wajah judes, bibirnya tertekuk juga bola matanya memicing tajam.

“Kenapa?” Riana bertanya sembari mencomot sebuah perkedel.

Bukannya menjawab, Tisha malah mendengkus keras. Meski wajahnya menunduk pada gelas, tetapi Riana dapat melihat bibirnya berkomat-kamit. Kentara sekali tengah mendumel.

Riana menggali ingatan. Mencari celah dari dirinya yang barangkali telah membuat Tisha kesal. Oh! Riana menjentikkan jari. “Kamu marah karena makan sendiri?” 

Terkadang Tisha memang suka merajuk jika makan di rumah tanpa ditemani, terlebih jika di pagi hari, karena katanya dia selalu sendu tatkala sendiri dan teringat kehangatan keluarga mereka dulu.

Tanpa mengangkat wajah, Tisha membalas ketus, “Enggak!”

Riana mengusap dagu. “Apa jangajangan kamu masih marah gara-gara semalam?”

Tisha berdecak. “Udah tahu masih nanya.”

Riana terkekeh. “Jelek, ah, pake ngerajuk gitu. Lagian itu kan konsekuensi dari persetujuan kamu akan tantangan Teteh. Jadi, ya, terima aja semuanya.”

Tisha bergeming.

Riana menghela napas. “Kalau enggak sanggup batal—”

“Oke, oke!” Tisha memutar bola mata. “Aku tetap nyanggupin.” Pantang untuknya menyia-nyiakan calon hadiah.

Good!” Riana menunjukkan dua jempol.

Lalu hening. Keduanya sibuk menekuni porsi makan masing-masing. Sampai beberapa saat kemudian, Riana kembali bersuara setelah menyelesaikan bagiannya. “Teteh bentar lagi berangkat, habis makan.”

Tisha menoleh pada bagian atas dinding di belakaang Riana, memperhatikan jam. “Pagi banget, baru setengah enam ini.”

“Teteh emang harus berangkat pagi.” Riana mengusap bibir dengan tisu. “Kemarin berangkat agak siang itu sampainya mepet masuk banget, jadi enggak sempat istirahat. Ngos-ngosan!”

 Tisha mengerjap. “Terus aku gimana? Jalan kaki sampai nemu angkot atau ojek?”

“No!” Riana menggeleng tegas.

“Terus?”

“Nanti ada yang jemput, sekitar jam enam lebihan.” Riana mengusap bibir. “Kamu tunggu aja di teras. Jangan ke mana-mana sebelum dia datang.”

Tisha mengernyit. “Dia siapa?

“Rahasia.” Riana tersenyum ganjil.

Melihatnya, bola mata Tisha langsung melebar. Refleks dia menggebrak meja. “Jangan bilang Kak Sawala?!”

Riana mengedikkan bahu saja.

***

“Mau turun di sini aja atau ikut ke parkiran, Dek?” tanya Sawala begitu motor birunya telah melewati gerbang sekolah. Dia menurunkan kaki dan menoleh pada Tisha yang ada di belakangnya.

Ternyata benar, tebakan Tisha sangat tepat sasaran. Tadi satu jam dari keberangkatan sang kakak, Sawala tiba untuk menjemputnya. Gadis berkerudung lebar itu memamerkan senyuman begitu berhenti di depan pagar rumahnya rumahnya.

Tisha yang sudah mempersiapkan diri, tidak terlalu kaget karenanya. Maka, setelah mengenakan helm, dia segera ikut melaju bersama Sawala sampai akhirnya tiba di sekolah.

 Kini, setelah sepanjang perjalanan melamun, akhirnya Tisha berdeham. “Di sini saja, Kak,” ucapnya sembari menuruni motor.

 Sawala tersenyum. “Ya udah, tunggu sebentar, ya, nanti aku antar sampai kelasmu.”

“Eng—” Belum juga tuntas sanggahan Tisha, Sawala malah sudah menarik stang gas dan berlalu menuju area parkiran.

Tisha menghela napas. Saat tangannya terangkat ke atas untuk membenahi kerudung, dia baru menyadari bahwa helmnya masih ada di sana. Akhirnya, Tisha pun memutuskan untuk membuntuti Sawala, karena ingin numpang menggantung helm di motor kakak kelasnya itu. Pengalaman kemarin membawa helm ke kelas itu merepotkan.

Tepat saat kakinya tinggal beberapa meter untuk mencapai parkiran, Tisha melihat seorang siswi sedang kesusahan di lahan yang sudah penuh. Gadis itu berusaha menggeser beberapa motor yang berada tak jauh darinya.

Tisha memerhatikan kejadian itu lamat-lamat, sepertinya gadis itu butuh bantuan, mengingat postur tubuhnya tampak kecil, Tisha perkirakan tingginya bahkan kurang dari 150 sentimeter, sedangkan berat motor-motor di area sana sudah dipastikan tidaklah ringan karena kebanyakan modelnya besar-besar khas yang biasa digunakan laki-laki.

Sekian detik berlalu, tetapi lagi-lagi Tisha hanya sanggup memupuk rasa kasihan yang hinggap di hati, tanpa siap beraksi. Dia terlalu ragu untuk maju dan membantu.

“Mau keluar, Dek?” Samar-samar suara seorang perempuan yang kini Tisha cukup kenali mengudara. Dia datang bak pahlawan, kemudian dengan tubuh tinggi proposionalnya dapat begitu mudah menggeser-geser motor di sana.

Begitu motornya sudah terbebas, ternyata gadis mungil itu masih menghadapi masalah. Saat menstater, mesin motornya tak mau menyala. Sehingga Sawala kembali mengajukan bantuan untuk menyelahnya, sampai beberapa kali percobaan baru motor itu hidup dan gadis mungil itu tampak sangat bahagia. Dia segera berterima kasih dengan penuh penghormatan pada Sawala, kemudian mengambil alih motor dan menjalankannya dengan laju yang tak santai.

Tisha yang terlalu fokus memperhatikan gadis itu hingga menghilang dari gerbang, begitu terkejut kala tangannya digandeng. Dia menoleh kaku dan mendapati Sawala sedang tersenyum.

“Buku tugasnya ketinggalan,” tutur Sawala, menginfokan tentang gadis yang baru dibantunya.

Tisha tak membalas. Pura-pura tak acuh. Lagipula dia tak ada urusan dengannya.

“Ayo!” ajak Sawala kemudian.

Tisha menahan gerakan Sawala. “Sebentar, Kak. A-apa boleh aku titip helm di motor Kakak?” Dalam hatinya sendiri, dia bilang tak mau membantu orang lain, tetapi kini malah meminta bantuan orang lain. Ah, bagaimana cara menarik kalimatnya?

Sawala mengangguk mantap, mengambil alih pelindung kepala itu dari tangan Tisha yang terbebas. “Boleh banget. Sini, aku simpan ke sana.”

“E-eh!” Bagaimana Tisha harus berterima kasih?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Premium
Dunia Tanpa Gadget
7845      2335     32     
True Story
Muridmurid SMA 2 atau biasa disebut SMADA menjunjung tinggi toleransi meskipun mereka terdiri dari suku agama dan ras yang berbedabeda Perselisihan di antara mereka tidak pernah dipicu oleh perbedaan suku agama dan ras tetapi lebih kepada kepentingan dan perasaan pribadi Mereka tidak pernah melecehkan teman mereka dari golongan minoritas Bersama mereka menjalani hidup masa remaja mereka dengan ko...
ASA
2770      1094     0     
Romance
Ketika Rachel membuka mata, betapa terkejutnya ia mendapati kenyataan di hadapannya berubah drastis. Kerinduannya hanya satu, yaitu bertemu dengan orang-orang yang ia sayangi. Namun, Rachel hanya diberi kesempatan selama 40 hari untuk memilih. Rachel harus bisa memilih antara Cinta atau Kebencian. Ini keputusan sulit yang harus dipilihnya. Mampukah Rachel memilih salah satunya sebelum waktunya ha...
Jelek? Siapa takut!
2102      1000     0     
Fantasy
"Gue sumpahin lo jatuh cinta sama cewek jelek, buruk rupa, sekaligus bodoh!" Sok polos, tukang bully, dan naif. Kalau ditanya emang ada cewek kayak gitu? Jawabannya ada! Aine namanya. Di anugerahi wajah yang terpahat hampir sempurna membuat tingkat kepercayaan diri gadis itu melampaui batas kesombongannya. Walau dikenal jomblo abadi di dunia nyata, tapi diam-diam Aine mempunyai seorang pac...
The Skylarked Fate
4097      1508     0     
Fantasy
Gilbert tidak pernah menerima takdir yang diberikan Eros padanya. Bagaimanapun usaha Patricia, Gilbert tidak pernah bisa membalas perasaannya. Seperti itu terus pada reinkarnasi ketujuh. Namun, sebuah fakta meluluhlantakkan perasaan Gilbert. Pada akhirnya, ia diberi kesempatan baru untuk berusaha memperbaiki hubungannya dengan Patricia.
Lebih dari Cinta Rahwana kepada Sinta
541      420     0     
Romance
Pernahkan mendengarkan kisah Ramayana? Jika pernah mendengarnya, cerita ini hampir memiliki kisah yang sama dengan romansa dua sejoli ini. Namun, bukan cerita Rama dan Sinta yang akan diceritakan. Namun keagungan cinta Rahwana kepada Sinta yang akan diulas dalam cerita ini. Betapa agung dan hormatnya Rahwana, raksasa yang merajai Alengka dengan segala kemewahan dan kekuasaannya yang luas. Raksas...
Cinta di Sepertiga Malam Terakhir
3702      1080     1     
Romance
Seorang wanita berdarah Sunda memiliki wajah yang memikat siapapun yang melihatnya. Ia harus menerima banyak kenyataan yang mau tak mau harus diterimanya. Mulai dari pesantren, pengorbanan, dan lain hal tak terduga lainnya. Banyak pria yang datang melamarnya, namun semuanya ditolak. Bukan karena ia penyuka sesama jenis! Tetapi karena ia sedang menunggu orang yang namanya sudah terlukis indah diha...
MAMPU
4154      1844     0     
Romance
Cerita ini didedikasikan untuk kalian yang pernah punya teman di masa kecil dan tinggalnya bertetanggaan. Itulah yang dialami oleh Andira, dia punya teman masa kecil yang bernama Anandra. Suatu hari mereka berpisah, tapi kemudian bertemu lagi setelah bertahun-tahun terlewat begitu saja. Mereka bisa saling mengungkapkan rasa rindu, tapi sayang. Anandra salah paham dan menganggap kalau Andira punya...
DI ANTARA DOEA HATI
703      343     1     
Romance
Setelah peristiwa penembakan yang menewaskan Sang mantan kekasih, membuat Kanaya Larasati diliputi kecemasan. Bayang-bayang masa lalu terus menghantuinya. "Siapapun yang akan menjadi pasanganmu akan berakgir tragis," ucap seorang cenayang. Hal tersebut membuat sahabat kecilnya Reyhan, seorang perwira tinggi Angkatan Darat begitu mengkhawatirkannya. Dia berencana untuk menikahi gadis itu. Disaa...
Rembulan
645      342     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Gunay and His Broken Life
4551      1852     0     
Romance
Hidup Gunay adalah kakaknya. Kakaknya adalah hidup Gunay. Pemuda malang ini telah ditinggal ibunya sejak kecil yang membuatnya secara naluri menganggap kakaknya adalah pengganti sosok ibu baginya. Hidupnya begitu bergantung pada gadis itu. Mulai dari ia bangun tidur, hingga kembali lagi ke tempat tidur yang keluar dari mulutnya hanyalah "kakak, kakak, dan kakak" Sampai memberi makan ikan...