Loading...
Logo TinLit
Read Story - Seharap
MENU
About Us  

“Sip, beres!” Tisha menepuk-nepuk tangan dan tersenyum senang usai meletakkan piring terakhir. Dia menatap bangga beberapa masakan yang tersaji di meja makan, hasil karyanya di pagi buta cukup beragam. Ada sayur oyong, pepes ayam, perkedel tahu, dan susu jahe.

Tanpa membuang waktu, Tisha segera menyamankan badan di salah satu kursi. Dengan cekatan dia mengambil nasi dan teman-temannya, kemudian menyantap penuh suka cita.

Beberapa menit kemudian terdengar pintu yang dibanting keras. Tanpa berniat memutar kepala, Tisha setia melanjutkan makannya. Meski tidak melihat pun, dia sudah dapat menebak kebisingan itu pasti ulah sang kakak.

Tidak lama kemudian, Riana memasuki dapur dengan tangan yang dipenuhi tas dan atribut berkendara. Tisha tak memberikan atensi berarti, tetap anteng menyendok kuah sayur.

“Wih ... enak-enak, nih, masakanku!” Usai meletakkan barang bawaannya di dekat pintu, Riana mendekat ke meja makan sambil mengendus-endus asap hidangan yang masih mengepul.

“Dih, mengaku!” Akhirnya Tisha membuka mulut sembari memutar bola mata. Dia mendumel dalam hati. Enak sekali kakaknya bicara, tidak sadar diri bahwa selama ini turun ke dapur saja jarang sekali.

Riana yang bisa menangkap itu, malah tertawa renyah. Ekspresi masam Tisha mengocok perutnya. Riana bahagia, menyambut Selasa pagi dengan interaksi mereka yang memang tidak biasa. Dipenuhi pertengkaran ala-ala.

Usia Riana dan Tisha berbeda hampir dua belas tahun. Namun, dalam beberapa keadaan mereka bisa bercanda dan bermain layaknya teman sebaya. Meski tidak jarang ada saat-saat serius yang mengharuskan Riana bersikap keras–seperti Jumat lalu–karena kini dia satu-satunya wali Tisha. Yang artinya segala hal yang berkaitan dengan gadis itu adalah tanggung jawabnya.

“Maaf, barusan Teteh cuma bercanda. Kamu yang jago masak, Teteh mah mana bisa.” Riana meredakan tawa, menatap Tisha dengan sorot teduh, sarat kasih sayang.

Riana memang tidak pandai bertempur dengan alat masak. Sejak orang tua mereka masih ada pun, dia lebih memilih membantu Ayah membersihkan halaman daripada harus membantu pekerjaan di dapur. Berbeda sekali dengan Tisha. Meski sering manja, tetapi Tisha selalu bersemangat menemani Bunda memasak, sampai menjadi cukup andal untuk bertanggung jawab membuat asupan perut mereka sekarang.

“Terima kasih untuk makan paginya, Chef Tisha.” Riana memanjangkan tangan kanan, hendak mengusap lembut kepala sang adik.

Namun, Tisha menghindar. Gadis berhidung bangir itu malah membuang muka, kemudian menjauh ke kursi lain.

Riana memandang heran. Tidak biasa sekali sang adik tampak kesal hanya karena candaannya tentang masakan. Selama ini setiap Riana melakukan hal itu—mengaku-ngaku masakan—biasanya Tisha hanya akan menanggapi dengan kerucutan bibir dan rengekan. Namun, sekarang gadis itu malah memasang wajah judes, bibirnya tertekuk juga bola matanya memicing tajam.

“Kenapa?” Riana bertanya sembari mencomot sebuah perkedel.

Bukannya menjawab, Tisha malah mendengkus keras. Meski wajahnya menunduk pada piring, tetapi Riana dapat melihat bibirnya berkamat-kamit. Kentara sekali tengah mendumel.

Riana menggali ingatan. Mencari celah dari dirinya yang barangkali telah membuat Tisha kesal. Oh! Riana menjentikkan jari. “Kamu marah karena makan sendiri?”

Terkadang Tisha memang suka merajuk jika makan di rumah tanpa ditemani, terlebih jika di pagi hari, katanya dia selalu sendu tatkala sendiri dan merindu kehangatan keluarga mereka dulu.

Tanpa mengangkat wajah, Tisha membalas ketus, “Enggak!”

Riana mengusap dagu. “Apa jangan-jangan kamu masih marah gara-gara semalam?”

Tisha berdecak. “Udah tahu masih nanya.”

Riana terkekeh. “Jelek, ah, ngerajuk gitu. Lagian itu kan konsekuensi dari persetujuan kamu akan tantangan Teteh. Jadi, ya, terima aja semuanya.”

Tisha bergeming.

Riana menghela napas. “Kalau enggak sanggup batal—”

“Oke, oke!” Tisha memutar bola mata. “Aku tetap nyanggupin.” Pantang untuknya menyia-nyiakan calon hadiah.

Good!” Riana menunjukkan dua jempol.

Setelah hening beberapa saat karena sama-sana sibuk menekuni porsi makan masing-masing, akhirnya Riana kembali bersuara. “Teteh bentar lagi berangkat, habis makan.”

Tisha menoleh pada bagian atas dinding di belakang Riana, memperhatikan jam. “Pagi banget, baru setengah enam ini.”

“Teteh memang sengaja berangkat lebih pagi.” Riana mengusap bibir dengan tisu. “Kemarin berangkat agak siang itu sampainya mepet masuk banget, jadi enggak sempat istirahat. Ngos-ngosan!”

Tisha mengerjap. “Terus aku gimana? Jalan kaki sampai nemu angkot atau ojek?”

No!” Riana menggeleng tegas.

“Terus?”

“Nanti ada yang jemput, sekitar jam enam lebihan.” Riana mengusap bibir. “Kamu tunggu aja di teras. Jangan ke mana-mana sebelum dia datang.”

Tisha mengernyit. “Dia siapa?”

“Rahasia.” Riana tersenyum ganjil.

Melihatnya, bola mata Tisha langsung melebar. Refleks dia menggebrak meja. “Jangan bilang Kak Sawala?!”

Riana mengedikkan bahu saja.

***

“Mau turun di sini aja atau ikut ke parkiran, Dek?” tanya Sawala begitu motor birunya telah melewati gerbang sekolah. Dia menurunkan kaki dan menoleh pada Tisha yang ada di belakangnya.

Ternyata benar, tebakan Tisha sangat tepat sasaran. Tadi satu jam dari keberangkatan sang kakak, Sawala tiba untuk menjemputnya. Gadis berkerudung lebar itu memamerkan senyuman begitu berhenti di depan pagar rumahnya rumahnya.

Tisha yang sudah mempersiapkan diri, tidak terlalu kaget karenanya. Maka, setelah mengenakan helm, dia segera ikut melaju bersama Sawala sampai tiba di sekolah.

Kini, setelah sepanjang perjalanan melamun, akhirnya Tisha berdeham. “Di sini saja, Kak,” ucapnya sembari menuruni motor.

Sawala tersenyum. “Ya udah, tunggu sebentar, ya, nanti aku antar sampai kelasmu.”

“Eng—” Belum juga tuntas sanggahan Tisha, Sawala malah sudah menarik stang gas dan berlalu menuju area parkiran khusus siswa.

Tisha menghela napas. Saat tangannya terangkat ke atas untuk membenahi kerudung, dia baru menyadari bahwa helmnya masih ada di sana. Akhirnya, Tisha pun memutuskan untuk membuntuti Sawala, karena ingin numpang menggantung helm di motor kakak kelasnya itu. Pengalaman kemarin membawa helm ke kelas itu merepotkan.

Saat kakinya tinggal beberapa meter untuk mencapai parkiran, Tisha melihat seorang siswi sedang kesusahan di lahan yang sudah penuh. Gadis itu berusaha menggeser beberapa motor di dekatnya.

Tisha memperhatikan kejadian itu lamat-lamat, sepertinya gadis itu butuh bantuan, mengingat postur tubuhnya tampak kecil, Tisha perkirakan tingginya bahkan kurang dari 150 sentimeter, sedangkan berat motor-motor di area sana sudah dipastikan tidaklah ringan karena kebanyakan modelnya gede-gede khas yang biasa digunakan laki-laki.

Sekian detik berlalu, tetapi lagi-lagi Tisha hanya sanggup memupuk rasa kasihan yang hinggap di hati, tanpa siap beraksi. Dia terlalu ragu untuk maju dan membantu. Khawatir salah langkah.

“Mau keluar, Dek?” Samar-samar suara seorang perempuan yang kini Tisha cukup kenali mengudara. Dia datang bak pahlawan, dengan tubuh tinggi proposionalnya dia begitu mudah menggeser-geser motor di sana.

Begitu motornya sudah terbebas, ternyata gadis mungil itu masih menghadapi masalah. Saat menstater, mesin motornya tidak mau menyala sehingga Sawala kembali mengajukan bantuan untuk menyelahnya, setelah beberapa kali percobaan baru motor itu hidup dan gadis mungil itu tampak sangat bahagia. Dia segera berterima kasih dengan santun pada Sawala, kemudian mengambil alih motor dan menjalankannya dengan laju yang tak santai.

Tisha yang terlalu fokus memperhatikan gadis itu hingga menghilang dari gerbang, begitu terkejut tatkala tangannya digandeng. Dia menoleh kaku dan mendapati Sawala sedang tersenyum.

“Buku tugasnya ketinggalan,” tutur Sawala, menginfokan tentang gadis yang baru dibantunya.

Tisha tak membalas. Tidak acuh. Lagipula dia tidak ada urusan dengan gadis itu.

“Ayo!” ajak Sawala kemudian.

Tisha menahan gerakan Sawala. “Sebentar, Kak. Apa ... boleh aku titip helm di motor Kakak?” Dalam hatinya dia langsung merutuki diri sendiri, kemarin dia bilang tidak mau berurusan dengan orang lain, tetapi kini malah meminta bantuan orang lain. Ah, bisakah dia menarik kembali kalimatnya barusan?

Namun, Sawala keburu mengangguk mantap, bahkan langsung mengambil alih pelindung kepala itu dari tangan Tisha. “Boleh banget. Sini, aku simpan ke sana.”

“E-eh!” Tisha hanya bisa melongo. Bagaimana Tisha harus berterima kasih pada Sawala?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dandelion
6616      1813     0     
Romance
Kuat, Cantik dan Penuh Makna. Tumbuh liar dan bebas. Meskipun sederhana, ia selalu setia di antara ilalang. Seorang pemuda yang kabur dari rumah dan memilih untuk belajar hidup mandiri. Taehyung bertemu dengan Haewon, seorang gadis galak yang menyimpan banyak masalah hidup.
Memories About Him
4208      1783     0     
Romance
"Dia sudah tidak bersamaku, tapi kenangannya masih tersimpan di dalam memoriku" -Nasyila Azzahra --- "Dia adalah wanita terfavoritku yang pernah singgah di dalam hatiku" -Aldy Rifaldan --- -Hubungannya sudah kandas, tapi kenangannya masih berbekas- --- Nasyila Azzahra atau sebut saja Syila, Wanita cantik pindahan dari Bandung yang memikat banyak hati lelaki yang melihatnya. Salah satunya ad...
The Sunset is Beautiful Isn't It?
2263      693     11     
Romance
Anindya: Jangan menyukai bunga yang sudah layu. Dia tidak akan tumbuh saat kamu rawat dan bawa pulang. Angkasa: Sayangnya saya suka bunga layu, meski bunga itu kering saya akan menjaganya. —//— Tau google maps? Dia menunjukkan banyak jalan alternatif untuk sampai ke tujuan. Kadang kita diarahkan pada jalan kecil tak ramai penduduk karena itu lebih cepat...
Cinta dalam Impian
136      108     1     
Romance
Setelah ditinggal oleh kedua orang tuanya, seorang gadis dan abangnya merantau untuk menjauh dari memori masa lalu. Sang gadis yang mempunyai keinginan kuat untuk meraih impian. Voska belajar dengan rajin, tetapi dengan berjalannya waktu, gadis itu berpisah dengan san abang. Apa yag terjadi dengan mereka? Mampukah mereka menyelesaikan masalahnya atau berakhir menjauh?
Pria Malam
1090      660     0     
Mystery
Semenjak aku memiliki sebuah café. Ada seorang Pria yang menarik perhatianku. Ia selalu pergi pada pukul 07.50 malam. Tepat sepuluh menit sebelum café tutup. Ia menghabiskan kopinya dalam tiga kali tegak. Melemparkan pertanyaan ringan padaku lalu pergi menghilang ditelan malam. Tapi sehari, dua hari, oh tidak nyaris seminggi pria yang selalu datang itu tidak terlihat. Tiba-tiba ia muncul dan be...
SI IKAN PAUS YANG MENYIMPAN SAMPAH DALAM PERUTNYA (Sudah Terbit / Open PO)
5552      1882     8     
Inspirational
(Keluarga/romansa) Ibuk menyuruhku selalu mengalah demi si Bungsu, menentang usaha makananku, sampai memaksaku melepas kisah percintaan pertamaku demi Kak Mala. Lama-lama, aku menjelma menjadi ikan paus yang meraup semua sampah uneg-uneg tanpa bisa aku keluarkan dengan bebas. Aku khawatir, semua sampah itu bakal meledak, bak perut ikan paus mati yang pecah di tengah laut. Apa aku ma...
Teman Berbagi
3569      1319     0     
Romance
Sebingung apapun Indri dalam menghadapi sifatnya sendiri, tetap saja ia tidak bisa pergi dari keramaian ataupun manjauh dari orang-orang. Sesekali walau ia tidak ingin, Indri juga perlu bantuan orang lain karena memang hakikat ia diciptakan sebagai manusia yang saling membutuhkan satu sama lain Lalu, jika sebelumnya orang-orang hanya ingin mengenalnya sekilas, justru pria yang bernama Delta in...
Kisah Kemarin
6792      1674     2     
Romance
Ini kisah tentang Alfred dan Zoe. Kemarin Alfred baru putus dengan pacarnya, kemarin juga Zoe tidak tertarik dengan yang namanya pacaran. Tidak butuh waktu lama untuk Alfred dan Zoe bersama. Sampai suatu waktu, karena impian, jarak membentang di antara keduanya. Di sana, ada lelaki yang lebih perhatian kepada Zoe. Di sini, ada perempuan yang selalu hadir untuk Alfred. Zoe berpikir, kemarin wak...
Aku baik-baik saja ¿?
3710      1381     2     
Inspirational
Kayla dituntut keadaan untuk menjadi wanita tangguh tanpa harus mengeluh, kisah rumit dimulai sejak ia datang ke pesantren untuk menjadi santri, usianya yang belum genap 17 tahun membuat anak perempuan pertama ini merasa banyak amanah yang dipikul. kabar tentang keluarganya yang mulai berantakan membuat Kayla semakin yakin bahwa dunianya sedang tidak baik-baik saja, ditambah dengan kisah persaha...
Prakerin
7809      2049     14     
Romance
Siapa sih yang nggak kesel kalo gebetan yang udah nempel kaya ketombe —kayanya Anja lupa kalo ketombe bisa aja rontok— dan udah yakin seratus persen sebentar lagi jadi pacar, malah jadian sama orang lain? Kesel kan? Kesel lah! Nah, hal miris inilah yang terjadi sama Anja, si rajin —telat dan bolos— yang nggak mau berangkat prakerin. Alasannya klise, karena takut dapet pembimbing ya...