“Sip, beres!” Tisha menepuk-nepuk tangan dan tersenyum senang usai meletakkan piring terakhir. Dia menatap bangga beberapa masakan yang tersaji di meja makan, hasil karyanya di pagi buta cukup beragam. Ada sayur oyong, pepes ayam, perkedel tahu, dan susu jahe.
Tanpa membuang waktu, Tisha segera menyamankan badan di salah satu kursi. Dengan cekatan dia mengambil nasi dan teman-temannya, kemudian menyantap penuh suka cita.
Beberapa menit kemudian terdengar pintu yang dibanting keras. Tanpa berniat memutar kepala, Tisha setia melanjutkan makannya. Meski tidak melihat pun, dia sudah dapat menebak kebisingan itu pasti ulah sang kakak.
Tak jeda lama, Riana memasuki dapur dengan tangan yang dipenuhi tas dan atribut berkendara. Tisha tak menyimpan atensi berarti, tetap anteng melanjutkan tegukan susu jahenya sebagai penutup makan.
“Wih ... enak-enak, nih, masakanku!” Usai meletakkan barang bawaannya di dekat pintu, Riana mendekat ke meja makan sambil mengendus-endus asap hidangan yang masih mengepul.
“Dih, mengaku!” Akhirnya Tisha membuka mulut sembari memutar bola mata. Dia mendumel dalam hati. Enak sekali kakaknya bicara, tak sadar diri bahwa selama ini turun ke dapur saja jarang sekali.
Riana yang bisa menangkap itu, malah tertawa renyah. Ekspresi masam Tisha mengocok perutnya. Riana bahagia, menyambut Selasa pagi dengan interaksi mereka yang memang tidak biasa. Dipenuhi pertengkaran atau kejahilan.
Usia Riana dan Tisha berbeda hampir dua belas tahun. Namun, dalam beberapa keadaan mereka bisa bercanda dan bermain layaknya teman sebaya. Meski tak jarang ada saat-saat serius yang mengharuskan Riana bersikap keras–seperti Jumat lalu–karena kini dia satu-satunya wali Tisha. Yang artinya segala hal yang berkaitan dengan gadis itu adalah tanggung jawabnya.
“Maaf, barusan Teteh cuman bercanda. Kamu yang jago masak, Teteh mah mana bisa.” Riana meredakan tawa, menatap Tisha teduh, sarat kasih sayang.
Riana memang tak pandai bertempur dengan alat masak. Sejak orangtua mereka masih ada pun, dia lebih memilih membantu ayah membersihkan halaman daripada harus membantu pekerjaan di dapur. Berbeda sekali dengan Tisha. Meski sering manja, tetapi Tisha selalu semangat menemani sang bunda memasak, sampai menjadi cukup andal untuk bertanggung jawab membuat asupan perut mereka sekarang.
“Terima kasih untuk makan paginya, Chef Tisha.” Riana memanjangkan tangan kanan, hendak mengusap lembut kepala sang adik.
Namun, Tisha menghindar. Gadis berhidung bangir itu malah membuang muka, kemudian menjauh ke kursi lain.
Riana memandang heran. Tak biasa sekali sang adik tampak kesal hanya karena candaannya tentang masakan. Selama ini setiap Riana melakukan hal itu—mengaku-ngaku masakan—biasanya Tisha hanya akan menanggapi dengan kerucutan bibir dan rengekan. Namun, sekarang gadis itu malah memasang wajah judes, bibirnya tertekuk juga bola matanya memicing tajam.
“Kenapa?” Riana bertanya sembari mencomot sebuah perkedel.
Bukannya menjawab, Tisha malah mendengkus keras. Meski wajahnya menunduk pada gelas, tetapi Riana dapat melihat bibirnya berkomat-kamit. Kentara sekali tengah mendumel.
Riana menggali ingatan. Mencari celah dari dirinya yang barangkali telah membuat Tisha kesal. Oh! Riana menjentikkan jari. “Kamu marah karena makan sendiri?”
Terkadang Tisha memang suka merajuk jika makan di rumah tanpa ditemani, terlebih jika di pagi hari, karena katanya dia selalu sendu tatkala sendiri dan teringat kehangatan keluarga mereka dulu.
Tanpa mengangkat wajah, Tisha membalas ketus, “Enggak!”
Riana mengusap dagu. “Apa jangajangan kamu masih marah gara-gara semalam?”
Tisha berdecak. “Udah tahu masih nanya.”
Riana terkekeh. “Jelek, ah, pake ngerajuk gitu. Lagian itu kan konsekuensi dari persetujuan kamu akan tantangan Teteh. Jadi, ya, terima aja semuanya.”
Tisha bergeming.
Riana menghela napas. “Kalau enggak sanggup batal—”
“Oke, oke!” Tisha memutar bola mata. “Aku tetap nyanggupin.” Pantang untuknya menyia-nyiakan calon hadiah.
”Good!” Riana menunjukkan dua jempol.
Lalu hening. Keduanya sibuk menekuni porsi makan masing-masing. Sampai beberapa saat kemudian, Riana kembali bersuara setelah menyelesaikan bagiannya. “Teteh bentar lagi berangkat, habis makan.”
Tisha menoleh pada bagian atas dinding di belakaang Riana, memperhatikan jam. “Pagi banget, baru setengah enam ini.”
“Teteh emang harus berangkat pagi.” Riana mengusap bibir dengan tisu. “Kemarin berangkat agak siang itu sampainya mepet masuk banget, jadi enggak sempat istirahat. Ngos-ngosan!”
Tisha mengerjap. “Terus aku gimana? Jalan kaki sampai nemu angkot atau ojek?”
“No!” Riana menggeleng tegas.
“Terus?”
“Nanti ada yang jemput, sekitar jam enam lebihan.” Riana mengusap bibir. “Kamu tunggu aja di teras. Jangan ke mana-mana sebelum dia datang.”
Tisha mengernyit. “Dia siapa?
“Rahasia.” Riana tersenyum ganjil.
Melihatnya, bola mata Tisha langsung melebar. Refleks dia menggebrak meja. “Jangan bilang Kak Sawala?!”
Riana mengedikkan bahu saja.
***
“Mau turun di sini aja atau ikut ke parkiran, Dek?” tanya Sawala begitu motor birunya telah melewati gerbang sekolah. Dia menurunkan kaki dan menoleh pada Tisha yang ada di belakangnya.
Ternyata benar, tebakan Tisha sangat tepat sasaran. Tadi satu jam dari keberangkatan sang kakak, Sawala tiba untuk menjemputnya. Gadis berkerudung lebar itu memamerkan senyuman begitu berhenti di depan pagar rumahnya rumahnya.
Tisha yang sudah mempersiapkan diri, tidak terlalu kaget karenanya. Maka, setelah mengenakan helm, dia segera ikut melaju bersama Sawala sampai akhirnya tiba di sekolah.
Kini, setelah sepanjang perjalanan melamun, akhirnya Tisha berdeham. “Di sini saja, Kak,” ucapnya sembari menuruni motor.
Sawala tersenyum. “Ya udah, tunggu sebentar, ya, nanti aku antar sampai kelasmu.”
“Eng—” Belum juga tuntas sanggahan Tisha, Sawala malah sudah menarik stang gas dan berlalu menuju area parkiran.
Tisha menghela napas. Saat tangannya terangkat ke atas untuk membenahi kerudung, dia baru menyadari bahwa helmnya masih ada di sana. Akhirnya, Tisha pun memutuskan untuk membuntuti Sawala, karena ingin numpang menggantung helm di motor kakak kelasnya itu. Pengalaman kemarin membawa helm ke kelas itu merepotkan.
Tepat saat kakinya tinggal beberapa meter untuk mencapai parkiran, Tisha melihat seorang siswi sedang kesusahan di lahan yang sudah penuh. Gadis itu berusaha menggeser beberapa motor yang berada tak jauh darinya.
Tisha memerhatikan kejadian itu lamat-lamat, sepertinya gadis itu butuh bantuan, mengingat postur tubuhnya tampak kecil, Tisha perkirakan tingginya bahkan kurang dari 150 sentimeter, sedangkan berat motor-motor di area sana sudah dipastikan tidaklah ringan karena kebanyakan modelnya besar-besar khas yang biasa digunakan laki-laki.
Sekian detik berlalu, tetapi lagi-lagi Tisha hanya sanggup memupuk rasa kasihan yang hinggap di hati, tanpa siap beraksi. Dia terlalu ragu untuk maju dan membantu.
“Mau keluar, Dek?” Samar-samar suara seorang perempuan yang kini Tisha cukup kenali mengudara. Dia datang bak pahlawan, kemudian dengan tubuh tinggi proposionalnya dapat begitu mudah menggeser-geser motor di sana.
Begitu motornya sudah terbebas, ternyata gadis mungil itu masih menghadapi masalah. Saat menstater, mesin motornya tak mau menyala. Sehingga Sawala kembali mengajukan bantuan untuk menyelahnya, sampai beberapa kali percobaan baru motor itu hidup dan gadis mungil itu tampak sangat bahagia. Dia segera berterima kasih dengan penuh penghormatan pada Sawala, kemudian mengambil alih motor dan menjalankannya dengan laju yang tak santai.
Tisha yang terlalu fokus memperhatikan gadis itu hingga menghilang dari gerbang, begitu terkejut kala tangannya digandeng. Dia menoleh kaku dan mendapati Sawala sedang tersenyum.
“Buku tugasnya ketinggalan,” tutur Sawala, menginfokan tentang gadis yang baru dibantunya.
Tisha tak membalas. Pura-pura tak acuh. Lagipula dia tak ada urusan dengannya.
“Ayo!” ajak Sawala kemudian.
Tisha menahan gerakan Sawala. “Sebentar, Kak. A-apa boleh aku titip helm di motor Kakak?” Dalam hatinya sendiri, dia bilang tak mau membantu orang lain, tetapi kini malah meminta bantuan orang lain. Ah, bagaimana cara menarik kalimatnya?
Sawala mengangguk mantap, mengambil alih pelindung kepala itu dari tangan Tisha yang terbebas. “Boleh banget. Sini, aku simpan ke sana.”
“E-eh!” Bagaimana Tisha harus berterima kasih?