Read More >>"> Pembuktian Cahaya
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Pembuktian Cahaya
MENU
About Us  

“Bintang aja ranking satu lho, Cahaya. Masa kamu kalah sama Bintang.” Aku yang sejak tadi duduk di samping ibu hanya bisa diam mendengarkan tanpa berminat menjawab sedikit pun.

Inilah yang aku benci ketika penerimaan raport tiba. Ibu selalu saja membanding-bandingkan rankingku dengan tetanggaku, Bintang. Bintang yang juara satu lah, nilai raportnya yang ini lah, dan selalu saja memberi pujian terus menerus untuk Bintang. Memang sih kebanyakan orang tua bangga sama rangking tertinggi yang dicapai oleh anaknya, tapi kenapa sih setiap anak harus di-judge berdasarkan rankingnya?  Kenapa sih semua orang lebih berorientasi pada hasil akhir saja? Bukan prosesnya?

Bukannya aku tidak mau menjadi ranking satu, aku bahkan sudah berusaha menjadi yang terbaik dengan belajar dengan giat. Nilaiku yang ku raih aman-aman saja, tapi tidak mendapatkan ranking sepuluh besar tentu menjadi permasalahan bagi Ibu.

“Bintang itu pinter banget karena rajin belajar, Ca. Mana ada tuh dia keluyuran kemana-mana, mainnya di rumah mulu.”

Aku mencibir. “Nggak mau keluyuran sama nggak mau bersosialisasi itu beda, Bu.”

“Lagi pula dia itu enggak punya teman, ya makanya di rumah terus,” lanjutku.

“Ah, masa sih dia enggak punya teman? Baik gitu anaknya, kamunya aja mungkin yang enggak mau temenan sama dia,” tuduh Ibu.

“Ibu benar. Aku emang nggak mau temanan sama dia. Siapa juga yang mau temanan sama orang pelit ilmu kayak dia. Percuma pintar, tapi ilmunya enggak mau dibagi ke orang lain.”

Setelah mengatakan itu, aku bangkit dari sofa dan menuju satu-satunya tempat ternyaman yang pernah ku tempati; kamar.

###

         Semester baru, materi baru, dan mata pelajaran baru. Sialnya, di hari pertama proses belajar-mengajar di mulai kelasku bertemu dengan matematika. Mata pelajaran yang satu ini memang seperti hantu bagiku, dia selalu saja menghantuiku dengan rumus-rumusnya dan soalnya yang jarang bisa ku pahami. Memang sih nilai matematikaku tidak begitu buruk, tapi tetap saja aku akan keringat dingin ketika ulangan sudah semakin dekat. Apalagi, Pak Simon selalu memberikan kuis ketika ia usai mengajar. Seperti sekarang ini, Pak Simon sedang menuliskan satu kuis untuk kami.

“Baiklah, coba Nara ke depan untuk menyelesaikan kuis ini,” perintah Pak Simon.

Gila. Jelas Pak Simon sengaja memilih Nara untuk menyelesaikan kuis itu. Sebagai murid paling lemah dalam matematika, Nara selalu saja menjadi nama pertama yang akan Pak Simon tunjuk untuk mengerjakan kuis.

Di sampingku, Nara yang merupakan teman sebangkuku hanya menghela nafas pasrah. Bisa ku lihat tangannya sudah gemetar karena takut.  Pelan-pelan, ia melangkahkan kakinya ke depan, tangannya yang basah karena keringat mengambil spidol dan mulai menuliskan sesuatu di papan tulis.

Usai mengerjakan soal, Nara duduk kembali dengan wajah lesu. “Jawabannya pasti salah, ‘kan?” Tanyanya padaku.

Aku mengangguk pelan, “rumus kamu salah. Nanti deh aku ajarin lagi kalau kamu enggak ngerti.”

“Nara tolong perhatikan saat saya mengajar, jangan melamun terus. Rumus kamu ini saja sudah salah. Kalau kamu enggak mau dianggap bodoh oleh orang lain, maka kamu harus berusaha menjadi pintar,” ujar Pak Simon.

Nara mengangguk lemah. Usai Pak Simon keluar, Nara menoleh ke arahku.

“Emang aku bodoh ya, Ca?” Tanyanya

Aku menggeleng. “Cuma karena matematikamu kurang, bukan berarti kamu bodoh.”

“Tapi kalau enggak bisa matematika kamu bakalan tetap dianggap bodoh,” sahutan seseorang dibelakang kami membuatku menoleh kebelakang.

Bintang. Aku memutar bola mataku malas. Gadis itu memang keterlaluan. Mentang-mentang pintar, mulutnya sudah berani membuat orang lain menjadi krisis percaya diri.

“Jadi menurut kamu harus pandai matematika dulu supaya kita dianggap pintar?” Tanyaku.

“Ya begitulah kenyataannya sekarang,” jawabnya.

“Pemikiran kayak gini nih yang musti dimusnahkan. Matematika seolah-olah menjadi tolak ukur kecerdasan seseorang. Kalau pandai matematika langsung deh semua orang bilang kalau dia pintar, coba kalau pandai menyanyi orang-orang Cuma menganggap mereka Cuma pintar nyanyi ‘doang’. Nggak adil banget, tau gak?”

Bintang hanya diam tanpa membalas apapun. Sedangkan aku, aku kembali menghadap ke depan karena guru Bahasa Inggris sudah masuk ke dalam kelas.

Namun tak lama kemudian, dari belakang Bintang berbisik kepadaku. “Aku tahu kamu Cuma iri sama aku, karena Ibu kamu bahkan enggak bisa bangga sama kamu.”

Aku mendengus, lalu menoleh ke belakang. “Apa yang patut aku iri ‘kan sama kamu? Pintar, tapi sombong. Kalau kamu lupa, di atas langit, masih ada langit.”

###

 

Malamnya, aku terpikir perkataan Bintang tadi siang. Sejak tadi sebuah pertanyaan muncul di benakku; Apakah aku iri?

Iri. Iri. Iri.

Kata itu terus saja berputar-putar di otakku. Jujur saja, aku memang iri pada Bintang. Gadis pintar itu memang selalu menjadi kebanggaan para guru, dan orang tuanya. Nilai akademiknya memang patut dipuji, dan prestasinya dalam olimpiade sains pun sudah mencapai tingkat nasional. Namun, sekali lagi, untuk aku iri?

Bukan ‘kah semua orang dalam hidup ini mempunyai bakatnya masing-masing? Tapi... tunggu dulu, jika semua orang mempunyai bakat, lalu apa bakatku? Aku menyukai menyanyi, tapi suaraku tidak bagus. Aku suka matematika hanya dalam pelajaran SPLTV, dan hanya menjadi penikmat seni, serta sastra namun aku tidak memiliki bakat dari keduanya.

Itu lah yang menjadi pertanyaanku sekarang. Tidak seperti Bintang yang cerdas, dan Nara yang kurang dalam matematika namun suaranya indah, aku tidak tahu apa kelebihanku yang mencolok.

Di sekolah aku biasa-biasa saja, tidak ada prestasi yang kusumbangkan, dan satu-satunya ekskul yang ku ikuti hanya Jurnalistik, dan itu pun sudah bubar karena tak ada perkembangan.

Di tengah kebingunganku, aku melihat ponselku yang berdering.

Bu Indah.

Wali kelasku! Argh! Kenapa Bu Indah menelfonku ketika aku sedang dalam kebingungan?

“Assalamu’alaikum, Bu...”

“Gimana, Ca tawaran Ibuk kemarin? Kamu setuju, nggak?”

Aku benar-benar berada dalam tingkat frustasi. Aku mengusap wajahku kasar.

“Cahaya masih mikir dulu, Bu.”

“Ini kesempatan bagus lho, Ca. Sayang kamu tolak, sebagai orang tuamu yang kedua, Ibuk berhak mendorong kamu untuk menunjukkan bakatmu.”

Aku meringis. Bakat? Aku bahkan tidak tahu apa bakatku. Hanya karena Bu Indah melihat aku sering menulis puisi yang bahkan masih kecil dibandingkan orang-orang, Bu Indah mengusulkanku untuk mengikuti Pekan Bahasa bulan Oktober depan.

“Cahaya tidak tahu, Ibuk... Cahaya masih bingung,” jawabku pelan.

“Kebingungan kamu nggak bakalan terjawab sampai kapanpu kalau kamu bahkan nggak percaya sama diri kamu sendiri, Cahaya.”

“Kasih Cahaya waktu sampai besok, bisa? Cahaya butuh berfikir.”

Dari seberang sana, aku mendengar Bu Indah tertawa. “Kamu udah kayak orang mau ngasih jawaban mau jadi pacar saya apa enggak. Baiklah, Ibu tunggu kepastianmu.”

Dan panggilan itu pun terputus. Malam ini, aku menghabiskan waktu untuk berfikir. Hingga saat jam sepuluh tak ada sedikit pun jalan keluar yang ku dapat, aku memutuskan untuk berbicara empat mata pada Ibu.

###

Ibu jelas terkejut dengan apa yang ku katakan. Sejak dulu, tak ada sedikit pun tanda-tanda bahwa aku menyukai puisi. Aku diam, saat Ibu pun juga tak ada tanda-tanda untuk berbicara.

Namun, beberapa menit kemudian, aku mendengar helaan nafas Ibu.

“Kalau kamu yakin, kamu harus maju,” aku menyerngit, tapi Ibu melanjutkan ucapannya. “Sebelum maju, kamu harus yakin sama diri kamu sendiri, Cahaya. Kamu harus percaya kalau kamu memang pandai dalam bidang itu. Jangan merendah, karena itu yang bakalan bikin kamu jatuh. Tapi jangan juga sombong.

Terlalu merendah, dan sombong adalah dua hal yang harus kamu jauhi kalau kamu ingin maju. Cukup percaya kamu punya bakat, dan maju terus. Kalau kamu takut gagal, itu biasa. Tapi kalau kamu nggak berani mencoba Cuma karena takut gagal, kamu sia-sia.” Wejangan Ibu membuatku kembali merenung.

Ibu mengusap kepalaku lembut, “kamu coba dulu. Kalau kamu kalah, kamu berusaha lagi. Kalau kamu menang, itu bonus.”

Aku tersenyum haru, dan sejurus kemudian aku memeluk Ibu. Erat.

###

Lomba itu telah berakhir. Kini saatnya pengumuman yang membuatku deg-degan. Keringat dingin sudah membasahi telapak tanganku. Di sampingku, Bu Indah selaku wali kelasku dan juga guru bahasa Indonesia memegang tangan kananku erat.

“Dan juara tiga diraih oleh, Diyana dari Smp Indonesia Merdeka...”

Tepuk tangan pun sangat meriah untuk Diyana gadis manis itu memang pantas mendapat juara.

“Juara dua diraih oleh... Cahaya Nadhira dari Smp Pelita Bangsa...”

Ini seperti mimpi. Aku berdiri tak percaya sementara Bu Indah sudah berteriak bangga. Juara dua... meski tidak mendapat juara pertama, sebagai orang yang baru pertama kali mencoba, aku jelas bangga. Dengan haru, aku berjalan menuju panggung. Setelah itu, juara satu pun diumumkan. Juara satu diraih oleh Akhtar dari Sma swasta ternama di Jakarta.

Pemberian piala, serta berbagai penghargaan lainnya berlangsung dengan meriah. Di sampingku, Bu Indah sebagai pembina tak henti-hentinya mengucapkan bangga.

Aku bangga. Aku bangga pada diriku. Meski ini tak sehebat Bintang, tapi aku bangga.

Karena hari ini aku percaya bahwa tak ada yang tak memiliki bakat. Semua orang memiliki bakat, hanya saja banyak orang yang belum bisa mengasah bakat itu dengan baik. Hari ini, ku beritahu padamu. Cukup percaya bahwa kamu bisa, dan kamu pasti tidak akan kecewa.

Pembuktianku pada Ibu, pada Bintang, juga pada yang lainnya, belum berakhir. Ini masih permulaan. Aku tidak melakukan ini hanya untuk pengakuan dari orang lain bahwa aku berprestasi, aku melakukan ini untuk untuk menunjukkan pada orang lain bahwa aku bukan bodoh, atau tak memiliki bakat.

Jangan menyerah, dan terus berusaha.

 

 

 

Tags: remaja

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
SERENITY
5      5     0     
Romance
Tahun ini adalah kesempatan terakhir Hera yang berusia 20 tahun untuk ikut Ujian Nasional. Meskipun guru konselingnya mempertemukannya dengan seorang tutor, namun gadis ini menolak mentah-mentah. Untuk apa? Ia pun tidak memiliki gairah dan tujuan hidup. Sampai akhirnya ia bertemu Daniel, seorang pemuda yang ia selamatkan setelah terjadi tawuran dengan sekolah lain. Daniellah yang membuat Hera me...
Melting Point
4727      994     3     
Romance
Archer Aldebaran, contoh pacar ideal di sekolahnya walaupun sebenarnya Archer tidak pernah memiliki hubungan spesial dengan siapapun. Sikapnya yang ramah membuat hampir seluruh siswi di sekolahnya pernah disapa atau mendapat godaan iseng Archer. Sementara Melody Queenie yang baru memasuki jenjang pendidikan SMA termasuk sebagian kecil yang tidak suka dengan Archer. Hal itu disebabkan oleh hal ...
Pulpen Cinta Adik Kelas
438      251     6     
Romance
Segaf tak tahu, pulpen yang ia pinjam menyimpan banyak rahasia. Di pertemuan pertama dengan pemilik pulpen itu, Segaf harus menanggung malu, jatuh di koridor sekolah karena ulah adik kelasnya. Sejak hari itu, Segaf harus dibuat tak tenang, karena pertemuannya dengan Clarisa, membawa ia kepada kenyataan bahwa Clarisa bukanlah gadis baik seperti yang ia kenal. --- Ikut campur tidak, ka...
Cinta Aja Nggak Cukup!
4660      1499     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...
Ghea
410      260     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
CREED AND PREJUDICE
2424      649     0     
Mystery
Banyak para siswa yang resah karena pencurian beruntun yang terjadi di kelas VII-A. Amar, sebagai salah satu siswa di kelas itu, merasa tertantang untuk menemukan pelaku dibalik pencurian itu. Berbagai praduga kian muncul. Pada akhirnya salah satu praduga muncul dan tanpa sadar Amar menjadikannya sebagai seorang tersangka.
Mistress
1743      976     1     
Romance
Pernahkah kau terpikir untuk menjadi seorang istri diusiamu yang baru menginjak 18 tahun? Terkadang memang sulit untuk dicerna, dua orang remaja yang sama-sama masih berseragam abu-abu harus terikat dalam hubungan tak semestinya, karena perjodohan yang tak masuk akal. Inilah kisah perjalanan Keyra Egy Pillanatra dan Mohamed Atlas AlFateh yang terpaksa harus hidup satu rumah sebagai sepasang su...
Good Art of Playing Feeling
334      248     1     
Short Story
Perkenalan York, seorang ahli farmasi Universitas Johns Hopskins, dengan Darren, seorang calon pewaris perusahaan internasional berbasis di Hongkong, membuka sebuah kisah cinta baru. Tanpa sepengetahuan Darren, York mempunyai sebuah ikrar setia yang diucapkan di depan mendiang ayahnya ketika masih hidup, yang akan menyeret Darren ke dalam nasib buruk. Bagaimana seharusnya mereka menjalin cinta...
For Cello
2349      823     3     
Romance
Adiba jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu ia gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang ia sanggup menikmati bayangan dan tidak pernah bisa ia miliki. Seseorang yang hadir bagai bintang jatuh, sekelebat kemudian menghilang, sebelum tangannya sanggup untuk menggapainya. "Cello, nggak usah bimbang. Cukup kamu terus bersama dia, dan biarkan aku tetap seperti ini. Di sampingmu!&qu...
Love Never Ends
9900      2009     20     
Romance
Lupakan dan lepaskan