Loading...
Logo TinLit
Read Story - Fidelia
MENU
About Us  

Rasanya orang-orang memandangimu dengan sorot ketakutan, sebagian dengan kebencian. Tak ada teman dekat maupun sahabat; kau sendirian, berjuang sendiri untuk apa yang kauanggap benar. Seolah seluruh dunia berbalik menentangmu.

Aku berusaha memberontak, menjerit, dan mencakar-cakar, tidak mau menerima perlakuan yang sudah terlanjur kuterima. Aku dibuat tak bisa bergerak dan terikat di atas ranjang. Aku bisa mendengar apa yang mereka semua katakan ketika mengunjungiku.

Kak Vira mengira aku berhalusinasi ... menurutnya hantu di asrama tidak ada yang jahat, dan sesaat sebelum kejadian itu aku terlihat sangat kacau. Dialah yang terakhir kali melihatku “sebelum serangan itu muncul”.

Serangan apa? Apa aku betulan menyerang seseorang? Aku bahkan tak bisa mengingatnya. Ada suara Elena terakhir kali sebelum si Bocah Hakim terlihat bertengger di ranjangku ... apa aku melukai Elena? Dia tidak ada di antara pengunjung yang datang dan membicarakanku dari balik jendela.

Aku tahu mereka bicara apa saja. Orang tuaku juga datang, juga Kak Faber. Aku sudah mencoba bicara pada mereka, tapi tak ada yang mengerti. Markus datang belakangan, seorang diri, dan dia pun sama saja. Kulihat mata di balik lensa persegi itu seolah sedang menganalisisku, mencocokkan apa-apa saja yang didengarnya tentangku termasuk ketika karaoke dengan anak-anak PSM waktu itu.

Dan tiap kali jatuh tertidur, aku timbul-tenggelam dalam lautan mimpi aneh yang belum kelihatan kesudahannya. Di awal mimpi itu aku selalu melupakan segalanya, seolah ada yang me-reset ingatanku dan menjejalkan kembali seluruh memori menjelang aku terjaga lagi. Rasa aman dan damai yang kurasakan sewaktu masuk dalam mimpi, digantikan dengan kengerian dan kecemasan yang sama.

Aku berjalan-jalan di sebuah hutan asing dengan pohon-pohon berdaun lebat dan tinggi besar yang lebih cocok berada di film-film dongeng. Mungkin aku pernah melihatnya di tayangan televisi, tapi aku tak yakin. Yang jelas, di tempat itu, aku seolah dituntun menuju suatu tempat, didorong oleh sesuatu yang tidak kelihatan, tapi belum pernah aku sampai pada tempat yang kutuju, dan dalam perjalanan itu aku dihadang Fidelia.

Fidelia yang pertama-tama muncul dalam mimpi adalah si Hakim—dan bocah itu mencoba mencungkil mataku sebelum aku terjaga dan kembali ditidurkan oleh penenang. Gara-gara dia, aku jadi takut untuk tidur lagi secara sadar—kalau orang dibius, biasanya tidurnya jadi tanpa mimpi. Berulang kali aku nyaris terlelap tapi tergeragap bangun lagi dengan berdebar-debar, dihantui ketakutan akan makhluk yang tak bisa dilihat orang lain. Pada akhirnya aku kalah dengan rasa lelah, dan di tiap mimpiku yang berikut selalu ada bocah itu, dengan aku yang awalnya melupakan bahayanya berjalan-jalan di hutan mimpi itu. Satu-dua kali dia menarik rambutku, sisanya dia selalu mencakar mataku dan biasanya karena itulah aku terbangun. Sakitnya terbawa sampai ke alam sadar; ketika aku keluar dari mimpi itu, kepala dan mataku terasa amat nyeri. Pernahkah kau merasa demikian pusing dan nyeri hebat melanda bagian kepalamu terus-menerus, sehingga rasanya pendengaranmu ikut berkurang? Ya, seperti itu yang kurasakan sekarang. Suara orang-orang yang berkunjung, suara dokter dan perawat, semuanya makin samar-samar dari hari ke hari.

Tapi kemudian, entah di mimpi yang keberapa—karena aku tak menghitung—ada si Pemberi. Ya, wanita bersayap yang kuasosiasikan dengan burung gagak, Fidelia yang paling tidak kusukai. Kali itu si Bocah Hakim tak tampak di mana pun. Aku masih menjelajah hutan, bertelanjang kaki, tak memerlukan kacamata untuk melihat dengan jelas, dan ketika melihat sosok serbahitam itu sedang duduk di dekat mata air, ketakutanku muncul lagi sama seperti saat aku menemukan si Hakim.

“Ashira.”

Makhluk itu memanggilku. Suaranya tidak parau, melainkan lembut. Kulihat wajahnya tampak sedih. Di luar kehendakku, kakiku melangkah mendekatinya, sementara pikiranku meneriakkan peringatan.

“Kemarilah dan lihatlah bukuku.”

Buku? Bukankah buku itu berisi catatan nama-nama orang yang melanggar kejujuran? Siapa aku ini hingga boleh melihat isinya?

“Bukan isinya, Ashira. Kau bisa membukanya, tapi tidak melihat isinya.”

Dengan tangan gemetar, kuterima buku tebal bersampul bulu hitam itu dan mendapati bahwa lembaran serupa perkamen tua itu kosong semuanya. Aku bergidik, merasa bahwa sesuatu yang mistis sedang terjadi padaku.

“Kau tidak bisa melihat apa yang tertulis di situ,” ujar si wanita, “tapi kau bisa melihat seberapa tebal buku itu.”

Kupikir buku yang kupegang memang agak lebih tebal daripada Farmakope atau Kamus Bahasa Inggris yang bertengger di lemari Papa. Lima belas sentimeter paling sedikit.

“Selama masih ada manusia di bumi ini, ketebalannya akan terus bertambah. Apalagi dengan adanya pembawa bencana besar semacam Hitler.”

Tiba-tiba aku teringat lagi akan bencana besar itu; peringatannya sudah ada sejak beberapa waktu lalu dan kuku jempol si Hakim patah.

“Ya. Bencana besar yang itu sedang berlangsung sekarang.”

Aku merasa makin takut. Apakah karena itu si Hakim tidak lagi muncul? Sesakit apa si Hakim saat ini? Separah apa dampaknya bencana kali ini? Dan siapa pelakunya?

“Bencana ini disebabkan oleh seseorang yang hampir sama dengan Hitler.”

Seseorang yang hampir sama dengan Hitler? Kepalaku terasa berputar. Tunggu dulu. Hitler adalah bentuk terburuk dari seorang berkarakter INFJ. Aku sendiri punya karakter itu dan selintas aku pernah memikirkan apa jadinya kalau ternyata aku di kehidupan yang lalu adalah Adolf Hitler.

Atau jangan-jangan memang benar seperti itu? Tapi di agamaku tidak ada reinkarnasi, meskipun aku banyak membaca itu di manga: orang yang sudah meninggal akan lahir kembali di kehidupan yang baru sebagai orang lain. Di satu sisi, aku ingin menertawai imajinasiku sendiri, tapi di sisi lain, siapa tahu adalah benar bahwa aku reinkarnasinya Hitler?

Dari seorang diktator yang berhasil memengaruhi Jerman dan dunia, kini jadi seorang mahasiswi kuper yang sakit jiwa? Pemikiran ini membuat air mataku mendesak keluar.

Aku tak bisa berbuat apa-apa.

“Tentu saja yang kumaksud bukan dirimu, Ashira.”

Apanya yang ‘bukan’? Penjahat besar yang sedang dibicarakan? Ya, tentu saja bukan. Kuakui aku menuliskan soal Fidelia di internet; tapi orang-orang skeptis bahwa Fidelia itu nyata. Kejahatan seberat apa yang pernah kulakukan selain—kalau kalian menyebutnya usaha pencurian—mengambil mawar dari kebun Suster Eva?

“Ya, Ashira. Soal mawar itu. Lagipula, tulisanmu di internet bukan pelanggaran terhadap janjimu. Orang bisa memilih untuk percaya atau tidak percaya.”

Tapi perihal aku yang tak bisa apa-apa, itu betul, ‘kan? Berkali-kali aku mencoba menghalangi pencurian sebelum terjadi, tapi malah aku yang ketiban sial. Dan sekarang aku terkurung di tempat ini, sementara bencana besar yang kausebut-sebut itu sedang berlangsung dan menghancurkan si Hakim pelan-pelan!

Tiba-tiba, si Pemberi merangkulku, membuatku terkejut setengah mati—yang mungkin memang begitulah adanya kondisiku sekarang.

“Kau manusia yang baik, Ashira,” bisiknya, sementara sepasang sayapnya melingkupiku dengan kehangatan—hangat yang mirip tangan mungil si Hakim di waktu yang telah lama lewat. “Tapi saat ini kau merasa dirimu sama dengan Hitler. Itu hal yang bisa dipahami.”

Bisa dipahami? Tapi aku tidak paham. Bagaimana bisa aku merasa sama dengan Hitler, padahal barusan aku berpikir betapa kontrasnya kami sebagai sesama INFJ?

“Itu dia, Ashira. Kalian punya pandangan yang serupa.”

Aku menggeleng. Mana ada aku punya ide genosida?

Di luar dugaan, si Pemberi terkikik kecil, dan ternyata tawanya mirip tawa Mama. Lembut dan menyenangkan. “Maksudku bukan begitu. Kalian sama-sama punya idealisme terhadap apa yang menurut kalian benar. Dan seluruh dunia seolah menentang kalian.”

Kalimatnya membuatku tertegun. Jadi itu kesamaanku dengan Hitler? Tapi, terlalu berlebihan berpikir bahwa ‘seluruh dunia’ menentangku. Memangnya aku ini siapa?

“Nah, berbeda dengan Hitler, apa yang kauanggap benar memang benar, karena kau tidak melanggar hak orang lain—justru mengusahakannya. Kebalikan dengan Hitler.”

Aku mendongak menatap wanita Fidelia itu. Bagaimana soal dunia versus diriku? Aku belum pernah berpikiran sampai ke situ.

Si Pemberi melepaskan pelukannya.

“Itulah yang membuatmu tertahan di sini, Ashira. Dirimu sendiri yang belum bisa berdamai dengan dunia. Itu juga yang berusaha diperingatkan si Hakim setiap malam.”

Apa maksudnya? Kalau aku tidak bisa mengerti ini, bagaimana caraku untuk keluar? Mendadak, sosok si Pemberi menjadi kabur—tak hanya dirinya, tapi juga pepohonan di sekitarku. Aku mencoba memanggilnya kembali, meminta petunjuk dengan putus asa, tapi sekelilingku berubah menjadi gelap selagi suara-suara dari dunia nyata masuk ke telinga.

“Ashira ... ashira ... ashira ....”

Suara yang akrab di telinga menyambut diriku yang terbangun. Namaku seolah dinyanyikan dengan nada yang familier pula ... sepertinya nada re-sol-sol-re-sol-sol-re-sol-sol ... tapi rupanya bukan si Hakim. Aku mendapat tamu.

Dia ... Pak Teguh? Ya, tukang kebun asrama. Dia duduk di samping ranjang dan menggenggam tanganku.

“Mbak Ashira, masih ingat saya, ‘kan?”

Mana mungkin aku melupakan Pak Teguh? Bapak yang memergoki diriku dan Kristin saat akan mencuri mawar, dan momen itulah yang menyebabkanku berurusan dengan Fidelia.

“Apa Mbak Ashira ingat anak saya, Andika?”

Andika ... anak laki-laki Pak Teguh yang masih SMP dan kemarin ikut bantu-bantu waktu persiapan Dies Natalis asrama ke-75? Ya, tentu ingat. Kenapa dia?

“Sejak Mbak Ashira sakit, Andika jadi kepikiran tentang sesuatu. Katanya dia tahu tentang ini waktu ikut bersih-bersih aula untuk Dies kemarin.”

Oh, ya? Apa itu? Seingatku, Andika sedang mendorong troli berisi pot bunga waktu aku terpeleset di depannya.

“Andika bilang, dia yakin Mbak Ashira orang yang baik karena bisa melihat tiga penjaga.”

Hatiku serasa melompat, tapi rasanya terlalu awal untuk merasa senang. Apa maksudnya?

“Dia hanya bilang begitu. Saya percaya padanya. Makanya saya mengunjungi Mbak Ashira hari ini. Dia titip pesan: jangan takut, kamu tidak sendirian.”

Kepalaku terasa berputar. Jangan takut? Takut pada Fidelia, kah? Benarkah Andika bisa melihat Fidelia?

“Saya ini membesarkan Andika sendirian. Istri saya meninggal waktu melahirkan, perdarahan nggak berhenti-berhenti.” Pak Teguh mulai berkisah, tapi sedikit terjeda. “Mbak Ashira tahu mainan tamiya? Mainan mobil-mobilan yang beken berapa tahun lalu itu. Andika pengin beli itu, tapi saya nggak punya uang.”

Tentu saja aku tahu tamiya. Kak Faber dan Kak Jaeger masing-masing punya satu setelah menabung berbulan-bulan dan dulu rumah kami sering jadi arena balap dadakan.

“Nah, suatu ketika, waktu saya ajak Andika ke sebuah supermarket, dia mengambil salah satu tamiya tanpa bilang ke saya. Nggak bayar juga. Begitu pulang dia baru ngomong, mungkin karena merasa bersalah. Barangnya belum dibuka dari kemasan. Saya pukul pantatnya pakai rotan—baru kali itu saya mukul Andika. Saya antar dia kembali ke toko itu. Mainan itu dikembalikannya tanpa banyak protes, dan Mbak Ashira tahu, Andika bilang apa pada penjaga toko?”

Senyum Pak Teguh terkembang.

“Dia bilang, ‘Maaf saya ambil ini. Saya pengin tapi nggak ada uang. Ini saya kembalikan, Ibu boleh hukum saya apa aja, saya udah dihukum Ayah di rumah.’ Oleh si penjaga toko lalu dia diminta menata barang dan bersih-bersih sebagai ‘hukuman’. Pulang-pulang dia merasa senang meski nggak jadi dapat tamiya. Semenjak itu Andika jadi seperti punya indera keenam; begitu istilah orang-orang di kampung saya. Dia bisa tahu kapan akan ada pencuri ayam tetangga kami atau kapan saja padi akan diserang tikus. Saya sendiri nggak paham ilmu gaib dan pernah membawa Andika untuk di-ruqyah, karena beberapa kali dia gelisah tidurnya menjelang adanya pencurian. Tapi orang pinter aja nggak tahu apa yang mengganggu Andika.”

Sepertinya aku tahu apa yang mengganggu anak Pak Teguh itu, tapi aku belum cukup yakin.

“Barangkali cuma Tuhan yang tahu. Tapi Andika nggak berubah, nggak jadi bandel atau nakal atau gampang marah seperti orang-orang yang diganggu tuyul atau jin. Bukan makhluk jahat yang mengganggunya—apa pun itu, makhluk itu bukan pengganggu. Dan saya dapat istilahnya dari Andika sendiri tadi malam: dia menyebut mereka tiga penjaga.”

*

Aku kembali berjalan di hutan yang sama, merasa pikiranku terang, seterang dan sejelas pemandangan yang direkam oleh kedua mata telanjangku.

Ada orang lain yang bisa melihat Fidelia—dan orang itu bilang padaku untuk jangan merasa takut.

“Apa kau takut padaku, Ashira?”

Suara merdu kekanak-kanakan itu tiba-tiba terdengar dan, saat aku menoleh, sosok mungil si Hakim muncul dari samping.

Tidak, aku tidak lagi takut padanya. Tidak pernah, sebetulnya. Daripada merasa takut, aku lebih merasa ngeri—karena berbagai kerusakan yang terjadi pada tubuh si Hakim.

“Tapi itulah yang sedang berlangsung, dan akan terus berlangsung selama—”

... selama masih ada manusia di bumi ini. Ya, aku tahu. Tiba-tiba, perasaan takut yang sama kembali melandaku. Angin yang berembus dan rumput basah di kakiku terasa dingin, mencekam, mengancam. Kenapa aku merasa takut lagi? Apa sebetulnya yang membuatku takut?

Dalam hidupku aku punya sederet kekhawatiran, lebih karena kecenderunganku untuk overthink everything dan keinginan menyelesaikan segalanya dengan sempurna, sebuah kekhasan seorang INFJ. Aku selalu susah tidur malam sebelum presentasi tugas di depan kelas. Berulang kali aku latihan bicara sebelum menghadapi wawancara. Namun, ketakutan yang satu ini jauh lebih dahsyat, lebih masif, karena berhubungan dengan sesuatu yang abstrak tapi terjadi di mana-mana dalam kecepatan yang mengerikan ....

Itu dia. Musuh besarnya Triad Fidelia, yang adalah musuhku juga—dan musuh orang-orang yang jujur. Dia bukan monster buas yang bentuknya seram, sehingga aku takut melihatnya, juga bukan kuntilanak yang mengganggu dengan tawa dinginnya, sehingga aku takut mendengarnya. Dia tak punya wujud, tapi dia ada di seluruh penjuru dunia.

Dan karena itulah aku takut.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Not Like Other Girls
201      171     0     
Short Story
โ€œCewek lain pakai ๐˜ฅ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ด๐˜ด dari brand mahal, aku mah apa atuh, udah nyaman pake kaos buluk dan ๐˜ซ๐˜ฆ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ด sobek-sobek.โ€ โ€œCewek lain jago ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ฆ ๐˜ถ๐˜ฑ, aku cukup pake bedak bayi aja.โ€ "Aku sih lebih suka temenan sama cowok ya, daripada sama cewek. ๐˜“๐˜ฆ๐˜ด๐˜ด drama aja gitu." Pernah lihat ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฆ atau kartun dengan tema seperti di atas?...
Reality Record
3112      1096     0     
Fantasy
Surga dan neraka hanyalah kebohongan yang diciptakan manusia terdahulu. Mereka tahu betul bahwa setelah manusia meninggal, jiwanya tidak akan pergi kemana-mana. Hanya menetap di dunia ini selamanya. Namun, kebohongan tersebut membuat manusia berharap dan memiliki sebuah tujuan hidup yang baik maupun buruk. Erno bukanlah salah satu dari mereka. Erno mengetahui kebenaran mengenai tujuan akhir ma...
Merayakan Apa Adanya
612      430     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
SECRET IN SILENCE
6631      1680     3     
Fantasy
"Kakakmu kabur. Adikmu dijual. Apa yang akan kau lakukan sekarang?" Hidup tenang tanpa drama bersama kakak dan adiknya adalah impian hidup Molly, anak tengah dari tiga bersaudara. Dia tak menyangka saat Agatha, kakaknya, tiba-tiba menghilang dan melepas tanggung jawab hingga adik bungsu mereka, Pandia, menjadi pengantin pengganti dalam sebuah pernikahan yang tak diinginkan. Didasari oleh ra...
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
166      136     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Ayat-Ayat Suci
720      412     1     
Inspirational
Tentang kemarin, saat aku sibuk berjuang.
Mic Drop
981      529     4     
Fan Fiction
Serana hanya ingin pulang. Namun, suara masa lalu terus menerus memanggilnya, dan tujuh hati yang hancur menunggu untuk disatukan. Dalam perjalanan mencari mic yang hilang, ia menemukan makna kehilangan, harapan, dan juga dirinya sendiri. #bangtansonyeondan #bts #micdrop #fanfiction #fiction #fiksipenggemar #fantasy
Teori dan Filosofi
971      588     4     
Short Story
Kak Ian adalah pria misterius yang kutemui di meja wawancara calon penerima beasiswa. Suaranya dingin, dan matanya sehitam obsidian, tanpa ekspresi atau emosi. Tapi hal tak terduga terjadi di antara dia, aku, dan Kak Wijaya, sang ahli biologi...
Be Yours.
3115      1457     4     
Romance
Kekalahan Clarin membuatnya terpaksa mengikuti ekstrakurikuler cheerleader. Ia harus membagi waktu antara ekstrakurikuler atletik dan cheerleader. Belum lagi masalah dadanya yang terkadang sakit secara mendadak saat ia melakukan banyak kegiatan berat dan melelahkan. Namun demi impian Atlas, ia rela melakukan apa saja asal sahabatnya itu bahagia dan berhasil mewujudkan mimpi. Tetapi semakin lama, ...
Life
327      227     1     
Short Story
Kutemukan arti kehidupan melalui kalam-kalam cinta-Mu