Loading...
Logo TinLit
Read Story - Fidelia
MENU
About Us  

Liburan singkatku di rumah rupanya tidak sesuai dengan harapanku. Yah, paling tidak, aku punya sedikit tambahan uang saku dari satu-satunya proyek freelance-ku yang berhasil tapi tidak kukerjakan setulus hati. Pembekalan untuk kerja praktik atau istilah kerennya, magang, diadakan di kampus sebelum awal semester tujuh dan aku mendapatkan urutan magang pertama di apotek lokal, lalu puskesmas, dan terakhir di rumah sakit.

Magang di apotek menurutku tidak terlalu menggairahkan. Mirip penjaga toko, menunggu pembeli datang membeli obat tanpa resep atau menebus resep. Meski begitu, kadang ada juga kejadian menggelikan maupun menegangkan. Yang bikin geli misalnya, ada seorang wanita muda yang berbisik sangat lirih ketika ditanya temanku ingin beli apa,

Fiesta.”

Temanku dengan polosnya menjawab,

“Wah maaf, di sini nggak jual chicken nugget.”

Untung ada senior yang dengar dan dengan sigapnya mengambilkan sekotak kondom. Cerita ini beredar dari mulut ke mulut dan selalu ditanggapi dengan terpingkal-pingkal, kudengar sampai satu angkatan tahu.

Kalau kejadian yang menegangkan, aku yang mengalami sendiri. Seorang bapak-bapak dengan mata merah bertanya apakah kami menjual Fenobarbital. Mendengar nama obat tidur yang termasuk golongan psikotropika itu, kami yang bertugas langsung siaga semua. Si bapak tidak membawa resep maupun kopi resep, dan matanya, ya ampun, aku tak tahu apakah semerah itu karena dia kurang tidur atau terlalu banyak tidur gara-gara obat. Gerakannya limbung, sorot matanya berkeliaran, dan dia tampak siap menyembur orang yang berani menentangnya. Atas keputusan senior, kami bilang stok obatnya sedang habis, padahal sebetulnya ada. Bapak itu tampak tidak puas tapi kelihatannya percaya, yang jelas dia pergi dari apotek kami.

Atas ketidakjujuran yang satu itu, Fidelia hanya muncul dari balik kaca apotek—sangat tidak biasanya. Aku melihat Si Pengingat meniup terompetnya dari seberang jalan, bunyinya tersamar oleh deru kendaraan dan klakson di lalu lintas yang ramai. Aku teringat lagi kuliah wirausaha di akhir semester enam kemarin. Indikasi penyalahgunaan obat terpampang cukup jelas di mataku, begitu juga di mata para rekan dan senior pada jam jaga itu. Mungkin kalau kami bersedia menjual Fenobarbital ke bapak yang barusan, kami di dalam ruanganlah yang bakal disemprot bunyi terompet oleh Fidelia, tapi, siapa yang tahu? Kusimpan semuanya di dalam hati sambil membatin, ternyata Fidelia tidak sebegitu ekstremnya mengelompokkan hitam-putihnya ketidakjujuran. Ada area abu-abu di tengah, dan kebohongan demi kebaikan bersama seperti yang kami lakukan tadi rupanya tidak diadili. Kutebak itulah gunanya si Hakim, karena dari namanya dialah yang menimbang perkara; tapi, dia ada di urutan nomor dua dari pekerjaan Fidelia. Bagaimana jadinya jika si Pengingat sudah meniup terompetnya duluan, tapi si Hakim memutuskan hal itu bukan sebuah ketidakjujuran yang patut dihukum?

Yah, buat apa sih aku memikirkan Fidelia. Just let them be. Aku punya banyak pe-er dari kerja praktik, yaitu laporan kegiatan, yang harus kucicil setiap hari kalau tidak mau keteteran.

Di puskesmas, kesibukan lebih banyak daripada di apotek, namun setelah jam satu siang semuanya akan berakhir. Betul-betul pelayanan obat dari hulu ke hilir: mulai dari menerima resep, menyiapkan obat, melabelinya, hingga memberikan kepada pasien disertai edukasi. Tidak ada ketegangan atau kegelian yang berarti seperti di apotek, namun terkait perhitungan stok obat untuk permintaan ke dinas kesehatan cukup mengasyikkan. Kami belajar caranya memperkirakan kebutuhan obat dari jumlah pasien dan pemakaian bulan sebelumnya ditambah dengan stok untuk jaga-jaga alias buffer stock; mirip menyiapkan daftar belanja bulanan rumah tangga, hanya saja belanja rumah tangga isinya seputar deterjen dan minyak goreng, sementara yang ini Fenobarbital dan teman-temannya.

Di akhir kerja praktikku di puskesmas, yaitu sekitar pertengahan semester tujuh, kudapati Kristin pulang kampung mendadak. Kudengar dari Elena, Kristin sakit. Suster Eva juga mengumumkan itu saat doa malam bersama, agar kami juga turut mendoakan Kristin.

“Teman kita, Kristin, sedang sakit ginjal. Dia akan menjalani cuci darah, kita doakan semoga prosesnya lancar dan Kristin segera sembuh, bisa bergabung kembali dengan kita semua.”

Persis besoknya aku memulai kerja praktik yang terakhir, yaitu di rumah sakit. Aku menemukan unit cuci darah di salah satu ruangan saat diantar supervisor berkeliling rumah sakit, dan dalam hati bertanya-tanya seperti apa rasanya menjalani hemodialisis.

Magang di rumah sakit adalah yang paling seru. Tak hanya pelayanan resep melulu seperti di puskesmas dan beda jauh dari menjaga toko seperti di apotek. Pelayanan resep tentu ada, tapi lebih kompleks dan menantang, karena bertabrakan juga dengan jaminan kesehatan nasional dan seabrek peraturan batasan obatnya, serta kompleksitas penyakit si pasien sendiri. Rumah sakit tempatku magang memang fasilitas rujukan yang cukup tinggi. Selain berurusan dengan resep rawat jalan, kami juga digilir ke bagian rawat inap, unit sterilisasi, gudang obat, ICU alias Intensive Care Unit, dan IGD, masing-masing hanya sekitar tiga sampai sepuluh hari.

Menurutku Instalasi Gawat Darurat adalah tempat yang menakutkan. Di film-film atau anime, kulihat segala macam orang diantar ke IGD: korban kecelakaan mobil, korban penembakan, korban tawuran, pada intinya banyak darah dan banyak ketegangan. Aku sampai kesulitan tidur di malam sebelum tiba shift-ku di IGD. Kehilangan padatnya aktivitasku yang biasa membuatku jadi tak terlalu capek sehingga banyak arus pikiran yang mengisi kepalaku sebelum tidur.

Tapi ternyata, IGD tidak setegang apa yang kulihat di televisi. Memang betul beberapa kasus yang sangat darurat harus segera dibawa ke IGD. Contohnya yang kutemui di hari pertama tugasku.

Seorang pria mengeluhkan sakit perut di bagian kanan bawah hingga tak bisa berjalan. Aku mendengarkan penjelasan perawat IGD yang lewat loket farmasi meminta seampul pereda nyeri dan spuit suntik. Di IGD, yang menangani ketegangan secara langsung adalah dokter dan perawatnya; petugas farmasi juga harus siaga tapi tak perlu ikut tegang dan panik karena biasanya yang diminta adalah obat-obat suntik dalam ampul kaca. Yang penting obatnya diserahkan dulu secara aman, urusan panik biar belakangan.

Sepertinya pria itu mengalami radang usus buntu akut, tebakanku. Rupanya benar. Dokter IGD menyatakan bahwa si pria harus segera dioperasi, kalau tidak, usus buntu itu bisa pecah dan mengakibatkan infeksi dalam pencernaan yang lebih mengerikan. Wanita yang menemaninya tampak cemas dan agaknya enggan untuk menerima tindakan tersebut. Si pria tampak sedang membujuknya sambil memegang ponsel. Mereka masih tertahan di situ sampai beberapa menit setelahnya saat aku keluar untuk pergi ke toilet. Di luar depo farmasi barulah aku mendengar nyanyian si Bocah Hakim yang sudah lama tak kudengar. Si Hakim berdiri di belakang wanita yang kukira istri dari pasien yang apendisitis itu, menyanyikan lagu Tom the Piper’s Son. Mengapa begitu? Apakah ada pencurian yang telah terjadi? Iseng, aku bertanya pada petugas administrasi IGD dekat pintu yang pagi tadi sudah kuajak berkenalan,

“Ada apa sih, Mbak? Kok pasiennya nggak segera ke ruang operasi? Apa istrinya keberatan?”

Si petugas melirik sebentar ke arah pasangan itu lalu bicara pelan-pelan, “Orang itu bukan istrinya.”

Aku terkejut. “Lantas?”

Bisikan petugas itu membuatku paham apa maksudnya Fidelia muncul,

“Selingkuhannya. Dia mau telepon istrinya dulu sebelum operasi. Tentu aja masalah, ‘kan?”

*

Aku cerita pada Markus tentang kasus hari itu via chat. Dia bilang sih, rumah sakit memang tempatnya drama kehidupan orang-orang saling bertemu.

“Dan yang kayak gitu biasanya baru ketahuan kalau orang sudah kepepet antara hidup dan mati,” komentar Markus.

“Oh my God,” balasku, lebih mengomentari fakta bahwa ketika dihadapkan pada kematianlah orang baru bisa jujur.

Ternyata ketidaksetiaan pada pasangan juga dinilai sebagai ‘pencurian’ oleh Fidelia. Pada dasarnya, yang namanya pencuri itu, mengambil apa yang jadi kepunyaan orang lain. Kalau mengingat kejadian waktu kerja praktik di apotek, ‘memberikan apa yang bukan hak orang tersebut’ mungkin juga termasuk definisi itu. Memikirkan Fidelia, lagi-lagi, bukan kemauanku secara sadar. Gara-gara mereka muncul di IGD tadi sianglah, aku jadi bertanya-tanya seperti orang yang belajar ilmu Filsafat: Apa yang benar? Apakah yang benar itu selalu baik, atau yang baik itu selalu benar? Di agama tertentu, memiliki pasangan lebih dari satu diperbolehkan, dengan sederet syarat tentunya.

Pertanyaan-pertanyaan yang lama muncul kembali dalam benak. Kalau orang mencuri roti karena lapar dan tak punya uang, Fidelia tetap mencatat namanya dalam buku. Dari segi hak kepemilikan, roti itu memang bukan miliknya. Tapi kalau dia tidak makan, dia tak bisa bertahan hidup. Kali ini aku berusaha memikirkan alternatifnya: apakah orang yang mencuri roti itu sudah berusaha bekerja? Dengan demikian setidaknya dia menunjukkan usaha untuk menghidupi diri tanpa harus mencuri. Apakah kelayakan diri si pencuri sendiri bermakna di mata Fidelia? Kadang aku ingin sekali si Bocah Hakim tiba-tiba muncul di kamarku ketika aku sedang dilanda badai pertanyaan seperti ini. Tapi ketika aku sangat mengharapkannya, tak ada pertanda Fidelia muncul lagi.

Yang muncul di IGD besoknya adalah si Pengingat. Dia meniupi terompetnya pada seseorang yang dibawa masuk dengan brankar dari ambulans. Aku tak bisa melihat sosok pasiennya, tapi keluarganya ikut masuk dengan ribut.

Seorang wanita paruh baya yang kutebak adalah ibu si pasien menjerit-jerit.

“Pandu anak soleh! Nggak mungkin dia minum miras!”

Dokter dan perawat yang menangani tampak kewalahan. Selanjutnya yang kutahu, anak muda yang terbaring di sana mengalami intoksikasi alkohol; sangat jelas dari bau mulutnya dan dikonfirmasi oleh deteksi alkohol di darahnya. Tak terlalu sulit memperkirakan berapa lama zat itu sudah masuk, yaitu sekitar enam jam sebelumnya, karena baru sebagian kecil etanol itu yang sudah dimetabolisme di tubuhnya. Bilas lambung adalah pilihan utama kalau seperti ini.

Orang tua si pasien masih meributkan ketidakpercayaan mereka, bahwa sore hari sebelumnya anak mereka masih ikut pengajian rutin di masjid terdekat, bahwa salat lima-waktunya tak pernah bolong, tapi tak ada yang tahu kecuali Tuhan dan pasien itu sendiri alasannya alkohol itu bisa masuk lewat mulutnya sekitar dini hari tadi.

Dan agaknya, Fidelia juga tahu alasannya, karena si Pengingat belum berhenti meniup terompet. Mungkin anak itu berbohong pada orang tuanya, mungkin pergaulannya kurang baik di luar lingkungan masjid, mungkin juga seseorang memaksanya mencoba minum alkohol. Tapi, siapa aku hingga bisa menghakimi orang yang tidak kukenal?

Di hari ketigaku di IGD, yang juga adalah hari terakhir sebelum aku pindah bertugas di ICU, aku betulan melihat korban yang berdarah-darah seperti di film.

Darah adalah salah satu alasanku tidak mau kuliah Kedokteran, tapi aku sendiri pernah melihatnya di televisi—atau laptop. Apalagi tontonannya Kak Faber, yang suka hampir semua genre anime terutama yang sadis-sadis dan berdarah-darah, karena dia hanya nggak suka pada genre romance yang menurutnya menye-menye. Bukannya aku dengan sengaja ikut nonton, tapi Kak Faber punya kebiasaan nonton sambil buka pintu kamar dan kalau aku lewat di depan situ aku sendiri ingin tahu dia sedang nonton apa.

Lebih seringnya, aku menyesal sudah ingin tahu.

Kalau di televisi, yang seperti itu kadang muncul dalam berita yang ditonton Papa. Dan yang tiba di IGD hari itu adalah yang biasanya hanya kulihat dari TV. Ketika brankar itu lewat di depan loket farmasi, aku melihat warna merah, banyak sekali, di sekitar bagian kepala, dengan banyak kasa yang sudah ditempelkan di daerah luka dalam pertolongan pertama yang mestinya dilakukan di lokasi kejadian.

Badanku terasa dingin. Kengerian melanda demikian hebat sampai aku hanya bisa menatap dengan mulut ternganga. Tarikan napasku seketika memberat, bayangan sosok berdarah tadi sudah terekam jelas dalam pikiranku. Suara-suara di sekitarku menjauh, seperti ada yang mengecilkan tombol volumenya ....

Bunyi yang sempat kudengar adalah jeritan kencang seorang perempuan dan mendadak aku mendongak.

“Ashira?”

Supervisor-ku ada di depan mata. Aku sedang duduk di dalam depo farmasi IGD—sejak kapan? Bukannya tadi aku berdiri?

“Barusan kamu terhuyung kayak mau pingsan. Kamu bawa minum?”

Aku mendengar seseorang menangis di luar depo. “Bawa, di tas,” gumamku.

“Aku ambilkan aja.”

Aku setuju, karena ternyata kakiku terasa lembek seperti ubur-ubur.

“Siapa yang nangis, Mbak?” tanyaku selagi senior itu mengambilkan tasku di laci.

“Ibunya pasien yang barusan. Korban pembegalan.”

“Begal? Rampok?”

“Iya, kabarnya pelakunya pakai pedang samurai.”

Aku gemetaran sambil menerima tasku. “Pelakunya di mana?”

“Kabur.”

“Dan, korbannya?”

“Kepalanya luka, besar. Lagi dioperasi.”

“Astaga,” gumamku. Botol minumku sudah di tangan, tapi aku belum jadi meminum airnya. “Korbannya masih muda?”

“Anak SD. Ibunya yang bawa motor, dan mereka diserang dari belakang. Ibunya masih syok, tapi nggak terluka.”

Aku tertegun. “Perawatnya nggak minta obat atau jarum?” Pertanyaan yang terlontar dari mulutku terdengar teknis sekali, berharap itu bisa menutupi badai emosi yang masih berkecamuk dalam pikiranku. Ada sesuatu yang seolah berayun dan berdebur dari jauh seperti ombak pantai, pelan tapi pasti, merayap ke dalam ingatanku, tapi aku tidak tahu apa.

“Nggak. Mereka langsung ke ruang operasi. Kamu izin aja, Ra? Pulang lebih awal. Kalau nggak biasa di IGD memang gitu.”

Keraguan timbul meski aku tertarik dengan saran si supervisor yang tangguh itu. Orang-orang yang bertugas di IGD setiap hari memang patut dipuji ketabahannya. “Nanti nilainya dikurangin, nggak, Mbak?”

“Nggak, kok. Toh tinggal satu jam lagi, ‘kan? Aku juga nggak mau nambahin pasien IGD dengan anak magang.”

Perkataannya membuatku betulan takut dan sedikit tersinggung. Tapi sepertinya kelemahan yang satu ini tak hanya aku yang mengalami. Hanya kebetulan saja kasusnya sedemikian ekstrem; pembegalan dengan pedang tidak muncul setiap hari, iya ‘kan? Pada akhirnya aku pun pamit setelah minta izin pada supervisor kepala yang bertugas di farmasi rawat jalan. Saat menuju parkiran sepeda di samping IGD, kulihat dari kisi jendela bahwa supervisor­-ku sedang bicara dengan salah seorang perawat berseragam ruang operasi; dia membekap mulutnya dan menangis tanpa suara.

Aku meraih sepeda dengan tubuh kebas. Sepertinya aku menangis di jalan, kalau menilik kacamataku yang basah di bagian dalam lensanya. Aku tak betul-betul memerhatikan jalan dan merasa kakiku mengayuh secara otomatis serta tanganku memegang setang dengan kaku seolah robot. Pikiranku terasa berkabut dan telingaku berdenging. Jantungku berdebaran dan aku mulai pusing.

Fakta bahwa tak semua orang meninggalkan rumah sakit dalam keadaan hidup sudah kuketahui sejak sebelum magang—bahkan jauh, jauh sebelum itu, ketika aku bercerita pada Markus bahwa aku berminat pada bidang farmasi rumah sakit. Markus juga sudah memperingatkanku soal ini. Harusnya aku sudah siap menghadapi kematian pasien, tapi aku tetap tidak siap. Bukan orang yang kukenal, tapi, mengetahui usianya mungkin baru separuh dari umurku sendiri rasanya seolah-olah ada yang melubangi dadaku dan dari sana tak henti mengalir darah.

Sosok bersimbah darah yang terbaring itu kembali muncul dalam benakku. Aku nyaris menabrak trotoar dan baru sadar bahwa aku sudah hampir sampai di asrama. Beruntung satpam di pagar asrama sedang tidak di tempat; mungkin sedang ke toilet satpam, tapi dengan demikian tak ada yang perlu melihat wajahku bersimbah air mata. Aku akan mampir ke kamar mandi di samping parkiran dulu sebelum masuk melewati dapur serta menyapa Mbak Beta dan yang lain.

Namun rupanya tetap ada saksi mata. Tidak bisa kubilang saksi ‘mata’ secara harafiah, sih. Si Hakim Fidelia sedang duduk di salah satu sepeda motor, mengayun-ayunkan kaki yang telanjang selagi sebelah tangannya mengelus kepalanya sendiri yang tak berambut itu. Tak sempat lagi kuperhatikan kuku jempolnya yang pernah patah itu. Kusemprot dia,

“Apa aja yang kalian kerjakan? Ini nggak adil!”

Asumsiku adalah makhluk ini mengerti apa yang sedang kubicarakan, dan benar saja. Si Hakim tersenyum sedih—bibirnya tidak melengkung ke atas melainkan hanya memanjang ke kanan-kiri dan aku cukup yakin dia ikut bersedih meski tak tahu seperti apa sinar matanya saat itu, tapi apa pun itu emosi yang dirasakannya tak tampak dari nada suaranya yang merdu tapi datar seperti sedia kala.

“Kematian orang yang tak bersalah memang tidak adil, Ashira.”

“Kalian tak muncul sama sekali,” protesku.

“Kami hanya ada di jalan itu, tidak di rumah sakit tempatmu kerja. Kejadiannya begitu cepat.”

“Lalu?” Aku terisak gusar.

“Sudah tugas kami untuk menjaga kejujuran. Tapi, kalau sudah terjadi pencurian dan timbul korban, pelakunya tercatat sebagai manusia tak terampuni dan kami tak bisa berbuat apa-apa.”

“Apa gunanya kalian kalau membiarkan orang tak bersalah mati karena kejahatan orang lain?”

Si Bocah Hakim meloncat turun dari motor dan mendongak menatapku dengan rongga matanya yang kosong. “Memangnya kau berharap kami melakukan apa, Ashira? Kau sendiri yang berpikir di dalam hatimu: Fidelia ini bukan dewa, bukan Tuhan.”

Aku terkejut mendengar ucapannya dan memelototi soket kosong yang biasanya kuhindari itu. Jadi Fidelia bisa membaca pikiranku?

Lawan bicaraku menggelengkan kepalanya yang botak. “Bukan, bukan membaca pikiran. Aku pernah bilang bahwa kami melihat dengan hati. Isi hatimu terbaca dengan jelas bagiku.”

“Oh, terbaca jelas, ya? Jadi kau mestinya tahu apa yang kurasakan sekarang, bukan?”

Si Hakim terdiam atas retorikaku dan aku kembali merongrongnya,

“Nggak adil. Anak itu masih kecil!”

Sepasang tangan mungil si Hakim maju dan meraih tanganku sendiri. “Kamu sakit, Ashira.”

Aku berjengit kaget, tak menduga Fidelia bakal menyentuhku, juga karena ternyata sentuhannya hangat seperti tangan manusia. Tapi karena harga diriku kutepis tangan itu. “Tentu saja aku sakit. Hatiku sakit. Aku mendengar orang meninggal gara-gara kejahatan orang lain.”

“Sama saja dengan kasus Hitler.”

“Dan semua kasus lainnya yang aku tak tahu!” jeritku. “Kenapa aku harus mengenal Fidelia? Hidupku tenang-tenang saja sampai aku bertemu kalian. Apa aku pernah bilang sebelumnya? Oh, kayaknya belum. Aku benci kalian.” Sambil balik badan kulepas kacamata lalu kuseka air mataku, yang kini berganti air mata kemarahan. Di kamar mandi kubasuh mukaku dengan air banyak-banyak, melampiaskan kegusaranku dengan menampar-nampar pipiku sendiri.

Aku bisa gila kalau kusimpan semua ini sendirian, demikian pikirku. Kamar Kristin adalah tujuanku selanjutnya, setelah mencoba memperbaiki penampilanku yang mestinya sudah tak beraturan.

Kekalutanku membuatku betul-betul lupa bahwa Kristin sedang tidak ada di asrama.

“Lho, Kristin ‘kan lagi sakit, di rumah?” seloroh Kak Vira yang kutemui di lorong depan kamar Kristin, tampak dari bawaannya hendak menjemur baju.

“Astaga. Iya, Kak. Aku lupa,” ujarku sambil menunduk. Bisa-bisanya fakta sepenting itu terlupakan.

“Kamu ... habis nangis?”

Kutatap Kak Vira lekat-lekat, bertanya-tanya apakah orang ini bisa kupercayai. “Tadi ada pasien meninggal habis dari IGD.”

“Astagfirullah,” gumam seniorku itu sambil meletakkan embernya ke lantai. Dia memegang bahuku. “Kamu nggak apa-apa, Ra? Mau cerita?”

Sesungguhnya aku sangat mau, terlebih sikap lembut Kak Vira sangat menyentuhku, tapi apa yang mau kuceritakan sudah melarangku untuk bercerita. Aku menggeleng kuat-kuat.

“Nggak apa-apa, Kak. Aku mau istirahat dulu.”

“Yakin?” Kak Vira tampak cemas. Matanya melirik ke arah kacamataku yang kuselipkan di leher baju. Dari tadi aku belum memasangnya kembali, tapi minusnya penglihatanku terbantu dengan adanya selapis air mata.

“Iya, Kak. Makasih, ya.”

Saat aku berbalik hendak menuju kamarku, aku melihat sosok si Pengingat duduk di teras menghadap ke halaman. Pria gendut itu memeluk terompetnya erat-erat dengan kepala tertunduk seolah sedang mengheningkan cipta. Aku menoleh lagi ke arah Kak Vira, yang mestinya tadi melewati makhluk ini ketika keluar dari ruang cuci.

“Kak Vira!” panggilku. Kak Vira yang sudah berdiri di tengah halaman menjengukkan kepala ke lorong.

“Ya?”

Aku memberanikan diri dan menunjuk. “Apa Kakak lihat sesuatu?” Sambil menunggu Kak Vira menjawab dengan berdebar, mataku tak lepas dari si Pengingat. Pria itu menyudahi hening ciptanya dan tiba-tiba meniup terompetnya.

Oh, ini bagus. Kalau Kak Vira juga mendengar bunyi itu, aku tak lagi sendirian. Aku bisa cerita padanya.

Tapi Kak Vira hanya menatapku dengan pandang bertanya.

“Lihat apa, Ra? Biasanya ‘mereka’ nggak keluar siang-siang gini.”

Seketika aku sadar, bahwa akulah yang sedang ditiupi terompet Fidelia.

“Kayaknya aku salah lihat, Kak.” Aku buru-buru balik badan dan bergegas ke kamar. Dengan kekalutan yang sama aku menelepon nomor Kristin, tapi hanya tersambung ke kotak suara. Kucoba mengirim pesan pada Dian, berharap dia bisa jadi tempatku bercerita meski tak pernah menunjukkan tanda-tanda bisa melihat Fidelia.

“Dian, kamu tahu apa itu Fidelia?” tanyaku. Terompet si Pengingat berbunyi lagi, kali ini lebih dekat seolah dia ada di depan lemari bajuku, dan aku merasa muak. Teritori pribadiku sudah dijajah oleh mereka!

Dian menjawab, “Apa bukan karangan yang kamu tulis di blog itu, Ra?”

Aku meraih bantal dan membenamkan mukaku di sana. “Arghhh!” seruku tertahan. Nihil. Tak ada yang bisa kuceritai perihal Fidelia yang kubenci.

“Ra, kamu kenapa?” Suara Elena dari ruang belajar membuatku terusik. Kuturunkan bantalku dan kudapati rupanya si Bocah Hakim duduk di ujung kasurku. Dia membuka mulutnya dan mulai bernyanyi,

“London Bridge is falling down ....”

Aku menerjang maju dan seketika semuanya gelap.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
With or without you
2142      828     4     
Romance
BLUFY
477      246     0     
True Story
Warna baru kesukaan Gelis ternyata Biru, pekat maupun lembut, Gelisa Sundana Cloura Naurza Purmadzaki sangat menyukai warnanya. Gelis sedang jatuh cinta, di kampus Pak Nata tidak berdiri untuknya, hanya melewatinya begitu saja. Gengsi dan buang muka adalah kemahiran Gelis. Gelis mencoba berhenti berpaling dari Pak Natapurna Pradiksa, seorang dosen muda yang senang memberikan senyuman dan kerama...
Game of Dream
1472      816     4     
Science Fiction
Reina membuat sebuah permainan yang akhirnya dijual secara publik oleh perusahaannya. permainan itupun laku di pasaran sehingga dibuatlah sebuah turnamen besar dengan ratusan player yang ikut di dalamnya. Namun, sesuatu terjadi ketika turnamen itu berlangsung...
Give Up? No!
484      329     0     
Short Story
you were given this life because you were strong enough to live it.
Bimasakti dan Antariksa
225      175     0     
Romance
Romance Comedy Story Antariksa Aira Crysan Banyak yang bilang 'Witing Tresno Jalaran Soko Kulino'. Cinta tumbuh karena terbiasa. Boro terbiasa yang ada malah apes. Punya rekan kerja yang hobinya ngegombal dan enggak pernah serius. Ditambah orang itu adalah 'MANTAN PACAR PURA-PURANYA' pas kuliah dulu. "Kamu jauh-jauh dari saya!" Bimasakti Airlangga Raditya Banyak yang bila...
Putaran Roda
573      387     0     
Short Story
Dion tak bergeming saat kotak pintar itu mengajaknya terjun ke dunia maya. Sempurna tidak ada sedikit pun celah untuk kembali. Hal itu membuat orang-orang di sekitarnya sendu. Mereka semua menjauh, namun Dion tak menghiraukan. Ia tetap asik menikmati dunia game yang ditawarkan kotak pintarnya. Sampai akhirnya pun sang kekasih turut meninggalkannya. Baru ketika roda itu berputar mengantar Dion ke ...
Young Marriage Survivor
3038      1092     2     
Romance
Di umurnya yang ke sembilan belas tahun, Galih memantapkan diri untuk menikahi kekasihnya. Setelah memikirkan berbagai pertimbangan, Galih merasa ia tidak bisa menjalani masa pacaran lebih lama lagi. Pilihannya hanya ada dua, halalkan atau lepaskan. Kia, kekasih Galih, lebih memilih untuk menikah dengan Galih daripada putus hubungan dari cowok itu. Meskipun itu berarti Kia akan menikah tepat s...
Surat Kaleng Thalea
4423      1252     2     
Romance
Manusia tidak dapat menuai Cinta sampai Dia merasakan perpisahan yang menyedihkan, dan yang mampu membuka pikirannya, merasakan kesabaran yang pahit dan kesulitan yang menyedihkan. -Kahlil Gibran-
Exerevnitis
53      49     2     
Fantasy
Setiap orang memiliki rahasianya masing masing, tapi bagaimana jika dibalik rahasia itu ada hal lain yang menanti?. Fannia memiliki sebuah rahasia besar yang ia rahasiakan dari orang lain, tapi tanpa ia ketahui dibalik semua itu terdapat rahasia tersembunyi dan dibaliknya ada seseorang yang selalu mengawasianya. Tiba-tiba sebuah kejadian datang kepadanya dan mengubah hidu...
PATANGGA
904      616     1     
Fantasy
Suatu malam ada kejadian aneh yang menimpa Yumi. Sebuah sapu terbang yang tiba-tiba masuk ke kamarnya melalui jendela. Muncul pula Eiden, lelaki tampan dengan jubah hitam panjang, pemilik sapu terbang itu. Patangga, nama sapu terbang milik Eiden. Satu fakta mengejutkan, Patangga akan hidup bersama orang yang didatanginya sesuai dengan kebijakan dari Kementerian Sihir di dunia Eiden. Yumi ingin...