Loading...
Logo TinLit
Read Story - Fidelia
MENU
About Us  

“O, Magic Mirror on the wall, who is the fairest one of all? Sebuah mantra menarik dari kisah dongeng Putri Salju, dan kutanyakan itu di depan kelas. Itu di mata kuliah linguistik dongeng dan Papa ingin tahu seperti apa daya kreasi mahasiswa Sastra Inggris.”

Tentu saja aku mendengarkan sambil menikmati sup makaroni buatan Mama. Kulihat sudut-sudut bibir Mama sudah melengkung-lengkung, pertanda dia sudah tahu akhir anekdot kali ini.

“Pasti kamu sudah bisa nebak kalau Papa yang ditanya begitu!” Papa sudah terbahak mendahuluiku, padahal aku belum mengerti bagian lucunya. “O, Magic Mirror on the wall, who is the fairest one of all? – Of course it is my beloved wife, you don’t have to ask the Magic Mirror at all! Tapi kalau kayak gitu, ‘kan, bakal garing banget.”

“Dan gombal banget,” komentarku sok cuek sambil menyuap sesendok sup sementara Mama terkikik.

“Nah, makanya, biar nggak ketahuan kalau gombal, Papa mau menarik keluar potensi para mahasiswa. Dan ada jawaban yang spektakuler!”

Aku menyipitkan mata, memutar otak sambil berpura-pura bisa menebak arah pembicaraan ini. Papa menggigit bibir dalam usahanya menahan ledakan tawa dan kuamati kini kumisnya mulai memutih. Kumis itu mengingatkanku pada si Pengingat Fidelia—lho, bukankah harusnya terbalik? Kalau sesuatu mengingatkanmu pada sesuatu yang lain, artinya yang disebut duluan itu tidak lebih akrab dibandingkan yang disebut belakangan. Aku segera geleng-geleng kepala untuk mengusir pemikiran absurd yang barusan, tapi Papa keliru menafsirkan gelenganku sebagai jawaban tidak sanggup menebak.

“Gini, lho. Coba bayangkan cerminnya memang bisa berbicara. Sang Ratu bertanya, ‘O, Magic Mirror on the wall, who is the fairest one of all?’ Dan si cermin menjawab ... ‘Dear my Queen, do you know that beauty is just a cruel social agreement that makes women suffer?’”

Aku dan Mama tertawa, tapi lebih karena mimik Papa yang amat serius saat berakting sebagai cermin yang menjawab dengan berkelit itu.

But, wait,” selaku dengan sisa tawa, “Versi dongeng yang aku tahu di bahasa sini, pertanyaannya berbunyi, ‘Siapa yang paling cantik di dunia’. Apa maksudnya kata fair di bahasa Inggris?”

“Ada lagu anak-anak, my fair lady,” sahut Mama sambil berpikir-pikir.

No, no, no. Lagu itu judulnya London Bridge is Falling Down,” Papa mengoreksi. Lalu dia menyanyi, “London bridge is falling down, falling down, falling down. London bridge is falling down, my fair lady.

“Oh, iya juga. Mama lupa judulnya.”

“Aku juga pernah dengar lagu itu di anime. Jadi, fair artinya apa?” desakku. “Kalau Papa nggak jawab, aku cari di internet, lho.”

No, no, no. ‘Kan, kita sepakat no cellphone during the meal. Papa mau jawab, kok, ini.”

“Ya udah, jawab, nggak usah ngalor-ngidul[1] dulu apalagi muter-muter kayak gasing,” cecarku main-main.

Sang dosen bahasa bertutur, “Akarnya dari Anglo-Saxon kalau nggak salah, dari kata fagar yang artinya ‘cantik, indah’. Tapi juga bisa bermakna ‘adil, tidak curang’, seperti kita tahu di pertandingan olahraga ada istilah fair play.”

“Jadi, bisa dibilang, sesuatu yang adil dan nggak curang itu sama artinya dengan cantik dan indah?” ungkapku sambil menghubung-hubungkan.

Papa mengangguk-angguk. “Sama-sama disebut fair.

Mama berujar, “Kalau anakku seorang fair lady, yang memang cantik sekaligus nggak pernah curang.”

Senyumku terkembang. “Mama bisa aja.”

*

Orang tuaku selalu mengajarkan kejujuran sejak aku kecil. Dan entah bagaimana caranya, mereka tahu kapan aku bicara yang sebenarnya atau tidak. Seperti dulu waktu aku kepengin sekali jajan Chitato di kantin SD karena melihat teman-temanku makan itu. Papa Mama bilang, bumbu Chitato akan membuatku batuk, tapi dengan begitu aku malah penasaran. Jadi kupakai uang jajanku yang harusnya kubelikan roti biasa untuk membeli makanan ringan berbumbu penyedap rasa itu. Sampai di rumah, tenggorokanku betulan gatal. Daripada berbohong, aku memilih diam.

“Hayo .... Lihat, setan melompat kegirangan kalau Ashira nggak jujur sama Mama,” pancing Mamaku saat aku berusaha menahan batukku. Aku meringis dan akhirnya mengaku. Mama tidak marah, tapi memang tidak perlu memarahiku untuk membuatku sadar akan kesalahanku.

Perihal setan yang melompat kegirangan, jangan bayangkan Mamaku seorang paranormal. Dia hanya mengutip lirik sebuah lagu ceria berbahasa Inggris yang dia nyanyikan di SD tempatnya mengajar, judulnya panjang dan merepotkan tapi anehnya aku masih mengingatnya sampai umur segini: Open Up Your Heart and Let the Sunshine In, yang populer lewat serial televisi The Flintstones. Yang kuingat adalah ada bagian yang menyebutkan the devil jumps with glee, tapi itu setelah kalimat If I forget to say my prayers, bukannya setelah berlaku tidak jujur. Tapi mengajarku dengan lagu membuat ajaran itu betul-betul nyantol sampai aku dewasa.

Memang ada alasannya aku baru berurusan dengan Fidelia di awal masa kuliahku. Lagipula aku percaya bahwa hukum karma itu berlaku, jadi aku merasa bahwa migrain dan vertigo yang secara periodik menyerangku itu adalah akibat aku mencuri-curi makan micin di waktu SD dulu, sebagai peringatan bagiku untuk tidak mengulanginya lagi.

Kakakku yang tertua, Kak Faber, ternyata pulang, sehari setelah aku ada di rumah. Makin seru saja liburanku, karena dengan adanya Kak Faber di rumah, koleksi lagu jejepanganku bakalan bertambah.

“Kakak punya koleksi anime baru nggak?” tanyaku sekalian waktu dia membuka laptopnya.

“Waduh, belum ada. Aku baru rencana mau rewatch serial Fullmetal Alchemist,” sahutnya sambil meregangkan tangan—gerakan sederhana yang membuatku otomatis mundur.

“Kenapa?” tanya kakakku.

Fullmetal Alchemist, yang ceritanya mirip Nazi Jerman itu bukan sih? Yang ada tokoh yang dipanggil Führer?” Aku mengernyit, merasa bahwa barusan Kak Faber menanyakan alasan aku melangkah mundur, bukan soal rencananya nonton ulang anime.

“Yups. Bagus tahu. Dan memang ada opresi rasis juga.”

No, no, no. It’s too dark,” kilahku. Aku pernah membaca sinopsis ceritanya dan itu membuatku membayangkan Hitler.

“Justru itu. Biar kamu melek politik sedikit. Urusannya nggak sama nyanyi dan fantasi melulu.”

“Hahaha.” Aku memutar bola mata. “Thank you but, no, thank you.

Sudah, begitu saja obrolan kami. Liburan buat Kak Faber artinya ngendon di depan laptop dan nonton anime berjam-jam. Itu sudah lebih baik daripada dia kumpul-kumpul dengan temannya sampai malam seperti waktu dia SMA dulu. Aku ingat Papa pernah menegur dia yang pulang dengan seragam lusuh berbau asap rokok. Pergaulan Kak Faber dulu memang kurang baik dan aku sendiri agak takut padanya—dulu. Tapi sejak dia pernah kecelakaan motor dan nyaris tewas, dia berhenti merokok dan jadi orang yang lebih menyenangkan. Tetap pendiam seperti sedia kala, namun setidaknya aku tahu itu karena kreativitas dalam otaknya meletup-letup. Kak Faber diam-diam rupanya suka menggambar—gambar bangun ruang dan desain gedung, terinspirasi dari salah satu anime yang ditontonnya, dan jadilah Arsitektur pilihannya untuk kuliah. Seniman biasanya berkepribadian unik, tapi kakakku tetap berpenampilan apa adanya, bahkan pernah cerita dia nyaris berangkat kuliah hanya pakai kolor dan kaus dalam saking habis begadang dan linglung.

Lain lagi dengan kakakku yang satunya, Kak Jaeger, yang kudengar dari teleponnya ke Mama kemarin memang tertahan tak boleh pulang dari daerah Ibukota tempatnya bekerja. Kak Jaeger itu, bahkan hanya pergi ke warung sembako dekat rumah saja menyempatkan diri pakai pomade. Narsis betul. Tak ada yang menyeleweng dari masa remaja Kak Jaeger, hanya narsisme tingkat tingginya itu yang hampir membuatnya banting setir dari kuliah Perpajakan ke sekolah model. Tapi lalu dia punya determinasi: dia mau jadi pegawai pajak yang cakep dan keren, sehingga orang tertib membayar pajak oleh karena dirinya.

Sungguh sebuah motivasi yang patut diacungi jempol (jempol kaki sekalian, kalau bisa).

Perihal tertahannya Kak Jaeger tak bisa pulang, ada kaitannya dengan beberapa kasus di kantornya. Seseorang, atau lebih, mungkin menggelapkan uang negara. Dan dengan itu, semua pegawai negeri harus diperiksa, termasuk rekening-rekening tabungan yang bersangkutan. Mendengar kabar ini, mau tak mau aku teringat kasus korupsi yang barusan heboh, yang bersangkut-paut dengan Kak Berta. Sekaligus juga aku teringat akan Fidelia dan kuku jempol si Bocah Hakim.

Tapi, apa yang bisa kuperbuat selain mendoakan Kak Jaeger dan mengiriminya pelukan virtual lewat medsos? Aku percaya kakakku tetap seorang jujur dan semua ini akan berlalu. Aku pun harus fokus pada studiku dan liburan singkatku yang sudah terencana.

Menjadi freelance writer ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Aku memilih sebuah platform di mana pekerjaannya betul-betul lepas, freelancer harus berburu sendiri proyek yang sesuai kemampuan, dan itu pun belum tentu langsung dapat. Sambil menunggu tawaranku diterima oleh empunya proyek yang kulamar, aku kembali menjelajah internet.

Dan di malam keempatku di rumah, yang kutemukan malah lebih banyak kebusukan.

Di berbagai situs bahasa Inggris, terdapat berbagai penawaran kerja lepas di bidang penulisan seperti yang kucari, tapi dengan istilah-istilah asing. Paid review? Orang memintamu untuk menulis ulasan yang baik tentang keunggulan produk yang mereka jual, padahal kamu baru sekali itu mendengar nama produknya, dan mereka membayarmu untuk itu. Ghostwriting? Menulis untuk orang lain dan bukan namamu yang dicantumkan, melainkan nama orang yang membayarmu? Untuk yang ini aku tak bisa banyak berkomentar, karena menurutku kadang diperlukan bagi orang-orang dengan ide hebat tapi tak bisa menulis, tak punya waktu untuk menulis, atau kombinasi keduanya.

Di media sosial lokal malah lebih dahsyat lagi: ada iklan tentang Jasa Penulisan Skripsi! Tadinya aku masih berusaha berpikiran positif dengan membayangkan sebuah panduan menyusun skripsi dan tips-tips mengembangkan penelitian dari dasar teori. Rupanya yang dijual betulan jasa membuat skripsi dari awal sampai akhir, persis ghostwriting hanya saja ini adalah tugas akhir kuliah alias skripsi. Halo, ini skripsi, S-K-R-I-P-S-I, kalau perlu dicetak tebal dan digaris bawah. Dan ada orang yang mau dibayar untuk membuatkan skripsi orang lain?

‘What’s wrong with people?’ jerit batinku sambil beralih mengecek email. Rupanya ada pesan masuk dari platform yang pertama kali. Pemilik proyek yang kulamar sepertinya tertarik untuk mempekerjakanku. Bukan proyek yang paling kuinginkan, yaitu menulis cerita fiksi, namun karena ini adalah tanggapan pertama dari sekian banyak percobaanku, aku tak mau melewatkannya. Dengan bersemangat aku membalas email, tapi pada akhirnya aku dihantam kekecewaan yang lebih parah.

Mulanya proyek itu berbunyi, “Do some English tests” dan kupikir pemilik proyeknya sedang membuat soal latihan untuk mata pelajaran bahasa Inggris atau semacamnya dan ingin mengukur seberapa sulitnya soal itu. Betul-betul naif diriku, dan dengan polosnya kujawab pertanyaan-pertanyaan yang dikirimnya dalam bentuk tangkapan layar, setelah kami menyepakati harga jasaku. Kecurigaanku timbul ketika di salah satu gambar kudapati tulisan sebuah situs di luar platform. Kucari nama situs itu di penjelajah internet dan menemukan platform berbahasa Inggris yang mirip, dengan jasa penulisan adalah satu-satunya transaksi yang ditawarkan kepada pekerja lepas. Iseng, kucoba mendaftar menjadi pekerja lepas di platform itu. Rupanya freelancer harus mengerjakan sebuah tes terlebih dahulu sebelum bisa mengajukan penawaran proyek. Dan dengan hati seperti diremas, kulihat soal-soal dalam tes itu sama persis dengan yang sedang kukerjakan.

Orang ini membayarku untuk bisa lulus tes dan dengan demikian diterima menjadi freelancer di platform berbahasa Inggris yang barusan! Lalu, apa implikasinya kalau begitu? Sebentuk kesimpulan sudah terbayang di benakku dan aku merasa marah, tapi kami sudah sepakat soal harga dan aku mau menjaga nama baikku di platform lokal ini. Apalagi, ini proyek perdanaku. Kuselesaikan tes itu cepat-cepat dan bangga ketika si pemilik proyek menyampaikan,

“Makasih ya Sis. Nilainya perfect, 100.”

Aku tersenyum sinis dan ingin segera mengakhiri percakapan, yakin bahwa biaya jasaku akan segera masuk ke rekeningku begitu dia menyatakan proyeknya selesai di platform; sistemnya memang demikian, jadi si pemilik proyek sudah mentransfer sejumlah uang sesuai perjanjian ke rekening platform, dan uang itu baru dikirim oleh pengelola platform ke rekeningku setelah proyek berakhir dengan baik. Tapi si pemilik proyek, seorang pria dari namanya, tak tahu berapa umurnya, menawariku,

“Sis, mau nggak kalau lain kali saya hire lagi buat nulis artikel bahasa Inggris?”

Segera kubalas, “Wah, maaf ya, Om. Saya masih mahasiswa dan ini cuma buat ngisi waktu aja. Mungkin bisa cari orang lain aja yang nggak sedang kerja praktik, KKN, atau skripsi.”

Dia tidak membalas lagi meski dari profilnya tampak sedang daring. Proyeknya diakhiri dengan bintang lima untukku, nilai tertinggi bagi freelancer.

Makan tuh nilai 100! Pikirku jahat sejahat-jahatnya. Kumatikan laptop setelahnya dengan hati panas.

*

Besok paginya, saat Papa mengajakku kembali belajar sepeda motor, aku memikirkan apa yang terjadi tadi malam. Apa yang dilakukan si Om adalah sebuah kecurangan, ketidakjujuran, bahkan lebih parah daripada Dian yang menyontek atau anak asrama yang kabur dari kerja bakti. Kenapa Fidelia tidak muncul sama sekali? Tidak ada bunyi terompet, tidak ada nyanyian anak-anak, apalagi berkat atau kutukan dan buku berbulu hitam.

“Ashiraaaa, jangan ngelamun!” seru Papaku. Aku baru melihat ada sebuah mobil yang melaju kencang dari arah berlawanan dan aku memperlambat laju kendaraanku. Aku menoleh dan meringis minta maaf ke arah Papa, melambaikan tangan untuk memintanya tetap menunggu di pinggir lapangan.

Sama seperti banyak pencapaianku lainnya, tak akan kulewatkan kesempatan belajar satu ini. Optimis, aku pasti sudah bisa naik sepeda motor semester depan, itu jika motornya sudah ada. Yang masih jadi kendalaku adalah bagaimana memindahkan persneling dengan mulus; pasti ada entakannya yang tidak enak didengar.

“Sambil ganti persneling, kamu harus injak remnya juga,” Papa menjelaskan. “Coba kamu perhatiin kalau Papa yang naik. Yuk, sekalian pulang.”

Papaku memang baik sekali. Di hari liburnya mengajar di kampus, dia masih mau keluar rumah untuk mengajar hal yang lain. Aku masih ingat bahwa di awal masa kuliahku, ketika aku bisa pulang ke rumah hampir tiap dua minggu, tumpukan majalah sepakbola Papa di meja tidak bertambah. Saat aku memberitahunya aku berhasil dapat beasiswa di tahun kedua kuliah, Papa tersenyum dan berkata,

“Nggak sia-sia Papa puasa beli majalah bola setahun.”

Kadang aku begitu inginnya memeluk Papa, tapi biasanya dia tidak mau dipeluk dan malah menyuruhku peluk Mama saja. Barangkali bagi Papa, satu-satunya perempuan yang boleh memeluknya adalah Mama, dan kadang aku sangat kekanakan karena merasa cemburu soal itu, tidak serius tentu saja. Papa mirip sepertiku, badannya kurus dan tinggi serta agak bungkuk, meski wajahku adalah duplikat rupa Mama.

*

Di malam kelimaku di rumah, belum ada lagi tanggapan dari proyek freelance lain yang kulamar ketika mengecek email, tapi aku masih berharap akan diterima pada proyek yang lurus-lurus saja. Dalam pikiranku terbentuk teori: mungkin Fidelia memang muncul waktu itu, namun bukan di kamarku, melainkan di mana pun si Om pemilik proyek itu berada. Barangkali Fidelia belum secanggih teknologi yang bahkan bisa mengantar percakapan lintas benua. Tapi bahkan tanpa munculnya mereka, aku tahu dengan jelas bahwa perbuatan orang itu adalah sebuah ketidakjujuran. Kupikir di rumah aku akan bisa rehat sejenak dari hal-hal yang berhubungan dengan Fidelia, nyatanya tidak. Bukan hanya soal freelance.

Ketika aku mau ke kamar mandi, Papa dan Mama sedang duduk di ruang tamu, keduanya diam dan ada atmosfer gelap pekat di antara mereka yang membuatku tegang. Di meja di hadapan mereka berserakan kertas-kertas berbagai ukuran. Tagihan listrik dan air? Atau apa? Aku teringat barusan seniorku di asrama mengalami kepahitan finansial, kalau menurut cerita Fidelia, tapi sampai aku pulang aku tidak tahu apakah itu benar. Kalau mengingat bahwa mereka adalah penjaga kejujuran, mestinya si Bocah Hakim bicara apa adanya. Jantungku berdebaran ketika menyaksikan orang tuaku sedang dalam kondisi yang kubayangkan.

“Pa, Ma, ada apa?” Suaraku keluar dengan lirih. Keduanya mendongak dan menatapku, Papa dengan tersenyum simpul sementara Mama tampak agak gusar.

“Ini, Papa gajian RT,” terang sang dosen bahasa Inggris.

“Oh?” Jadi Ketua RT rupanya dapat gaji? Aku malah baru tahu. Sambil mendekat aku memastikan, “Ini gaji pertama Papa selama jadi Pak RT?”

Papa mengangguk-angguk sambil mengusap kumisnya. “Papa berencana masukin ke kas RT.”

Aku mengernyit, tak paham pada jalan pikiran Papa. “Lha, kenapa gitu? ‘Kan, Papa sudah sepantasnya dapat gaji? Mama juga nggak setuju, ‘kan?” Pandanganku beralih pada Mama, tapi Mama menggeleng. Rupanya bukan itu yang membuatnya gusar.

“Tadi pagi Mama yang ambil uangnya di Kantor Kelurahan. Coba kamu lihat tanda terimanya.” Mama menyodorkan selembar kertas berukuran kecil padaku. Nominalnya tidak terlalu besar, mungkin memang segitu gaji seorang ketua Rukun Tangga, yang adalah satuan terkecil administrasi pemerintahan. Mama melanjutkan,

“Dan kamu tahu berapa yang Mama bawa pulang?” Disebutkannya sejumlah, yang besarannya tak sampai tujuh puluh lima persen dari angka yang sebelumnya. Aku terbelalak.

“Lho, kok, bisa?”

“Katanya untuk pajak,” sahut Mama angkat bahu, rautnya tampak sebal lagi. “‘Pajak apa?’ Mama tanya sama petugasnya. Setahu Mama bukan pajak penghasilan, ‘kan, jumlah segitu masih penghasilan tidak kena pajak. Kalau gajimu di atas lima juta sebulan, nah, itu baru kena pajak penghasilan. Untung Mama punya anak pegawai kantor pajak, jadi mudeng. Petugasnya malah ngejawab muter-muter nggak jelas. Daripada kelamaan, keburu Mama telat ngajar, ya udah Mama terima sisanya yang setelah dipotong pajak itu.”

Aku bisa merasakan kegusaran Mama. “Potongan pajaknya masuk ke mana?”

Literally, masuk ke laci petugasnya,” ujar Mama.

“Berarti itu pungli, pungutan liar, dong?”

Mama tidak mengiyakan maupun menyangkal retorikaku. Papa menyahuti,

“Biarpun nggak banyak, yang penting Papa masih dapat gaji.”

“Dan malah disumbangin ke kas RT?” gerutuku. “Pa, kapan bisa beli motor kalau gitu?”

“Lho, perkara motornya Ashira, ‘kan, masih bisa nabung pelan-pelan, lagian kamu dapat beasiswa. Itu sudah sangat membantu.”

“Ya, iya, sih.” Aku menggerak-gerakkan kakiku tak nyaman, tak bisa menyangkal pendapat Papa. Tapi kalimatnya yang berikutlah yang benar-benar mengharukan:

“Lagian, jadi Ketua RT juga nggak akan jalan tanpa warga RT. Seorang pemimpin nggak ada artinya tanpa rakyat yang dipimpin. Biar adil, uangnya mending masuk kas bersama.”

*

Pada kenyataannya, ketidakjujuran tetap mengintai di mana-mana.

Di era majunya teknologi zaman milenial ini, banyak kejahatan bisa terjadi via perangkat digital. Meski tak bisa dibilang kriminal secara harafiah, tapi sama-sama melanggar kejujuran, ‘kan? Sebut saja proyek freelance yang satu itu. Plagiarisme juga ada dalam menulis laporan, membuat esai, atau menyusun skripsi. Menyontek? Waduh, kubayangkan si Pengingat harus punya cadangan paru-paru untuk membunyikan terompetnya tiap hari di berbagai sekolah dan kampus di seluruh penjuru. Bahkan untuk kuesioner daring tentang evaluasi akhir tahun akademik saja begitu, orang sebegitu mudahnya bilang, “Tinggal niru yang lain aja!” ketika tautan menuju kuesioner itu dibagikan di grup medsos. Dan yang semacam itu terjadi di banyak tempat, universal dan berbarengan, pada laju ekstrem yang mengerikan ... bayangkan, di skala lokal saja ada ribuan mahasiswa seangkatanku, semuanya mengerjakan kuesioner itu sama-sama tidak seriusnya. Belum dihitung dua angkatan di bawahku, dan angkatan setahun di atasku, dan atasnya lagi, meski mungkin jumlahnya tak seberapa. Persoalan gaji Ketua RT yang ‘dipotong pajak’ juga demikian. Ada yang pernah menghitung berapa jumlah Rukun Tangga di setiap wilayah negaraku? Seakan itu semua belum cukup, aku masih menemukan satu peristiwa lagi.

Saat akhirnya aku mengikuti ujian untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi di minggu kedua liburan meski belum benar-benar punya sepeda motor, aku dihadang birokrasi berbelit. SIM-ku tidak bisa jadi sebelum aku pulang ke asrama karena ada ujianku yang tidak lulus. Aku harus mengulang, paling sedikit minggu depan—padahal aku harus sudah kerja praktik.

“Kalau mau cepat jadinya, bisa nggak Pak?” desak Papa pada petugas.

“Oh, ya, coba tanya sama bapak-bapak yang di situ.”

Aku sudah menangkap bau-bau kecurangan di sini. Betul saja, terompet Fidelia berbunyi kencang saat Papa dan petugas yang ditunjuk bernegosiasi soal harga.

Ini soal wani piro, berani bayar berapa. Kutarik lengan baju Papa dan bilang bahwa aku akan menunda saja ikut ujian SIM lagi setelah aku selesai kerja praktik.

“Berarti akhir semester depan, Ra? Seriously?”

Seriously. The vehicle isn’t available yet for me, after all.” Aku langsung balik badan tanpa merasa perlu pamitan atau berbasa-basi pada si petugas yang tampak tercengang.

Papa bergegas menyusulku yang dalam sekejap sudah sampai ke parkiran—dia yang mengendarai motornya tentu, dan aku membonceng. Terompet Fidelia sudah berhenti berbunyi, tapi aku tetap merasa marah dan memasang helmku dengan geram.

“Siapa yang ngajarin aku untuk selalu jujur?” semburku.

Senyum Papa tersembunyi di bawah kumis. “Papa, dong.”

“Ya udah, ayo pulang aja.”

“Papa setuju, ayo kita pulang. Kamu masih perlu banyak latihan.”

Pipiku kugembungkan seolah aku tersinggung, tapi aku jadi senang kembali karena tahu aku masih punya sekutu di dunia penuh ketidakjujuran ini.

---

[1] Bahasa Jawa: ke utara dan ke selatan, bermakna ke segala arah.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Simplicity
10604      2473     0     
Fan Fiction
Hwang Sinb adalah siswi pindahan dan harus bertahanan di sekolah barunya yang dipenuhi dengan herarki dan tingkatan sesuai kedudukan keluarga mereka. Menghadapi begitu banyak orang asing yang membuatnya nampak tak sederhana seperti hidupnya dulu.
A.P.I (A Perfect Imaginer)
184      158     1     
Fantasy
Seorang pelajar biasa dan pemalas, Robert, diharuskan melakukan petualangan diluar nalarnya ketika seseorang datang ke kamarnya dan mengatakan dia adalah penduduk Dunia Antarklan yang menjemput Robert untuk kembali ke dunia asli Robert. Misi penjemputan ini bersamaan dengan rencana Si Jubah Hitam, sang penguasa Klan Kegelapan, yang akan mencuri sebuah bongkahan dari Klan Api.
Hamufield
31417      3525     13     
Fantasy
Kim Junsu: seorang pecundang, tidak memiliki teman, dan membenci hidupnya di dunia 'nyata', diam-diam memiliki kehidupan di dalam mimpinya setiap malam; di mana Junsu berubah menjadi seorang yang populer dan memiliki kehidupan yang sempurna. Shim Changmin adalah satu-satunya yang membuat kehidupan Junsu di dunia nyata berangsur membaik, tetapi Changmin juga yang membuat kehidupannya di dunia ...
G E V A N C I A
1176      644     0     
Romance
G E V A N C I A - You're the Trouble-maker , i'll get it done - Gevancia Rosiebell - Hidupnya kacau setelah ibunya pergi dari rumah dan ayahnya membencinya. Sejak itu berusaha untuk mengandalkan dirinya sendiri. Sangat tertutup dan memberi garis keras siapapun yang berniat masuk ke wilayah pribadinya. Sampai seorang cowok badboy selengean dengan pesona segudang tapi tukang paksa m...
Hidden Path
5991      1589     7     
Mystery
Seorang reporter berdarah campuran Korea Indonesia, bernama Lee Hana menemukan sebuah keanehan di tempat tinggal barunya. Ia yang terjebak, mau tidak mau harus melakukan sebuah misi 'gila' mengubah takdirnya melalui perjalanan waktu demi menyelamatkan dirinya dan orang yang disayanginya. Dengan dibantu Arjuna, seorang detektif muda yang kompeten, ia ternyata menemukan fakta lainnya yang berkaita...
PENYESALAN YANG DATANG TERLAMBAT
763      471     7     
Short Story
Penyesalan selalu datang di akhir, kalau diawal namanya pendaftaran.
Keep Moving Forward or Nothing
533      357     0     
Short Story
Ketika pilihanmu menentukan segalanya. Persahabatanmu menguatkannya. Kau akan terus maju atau tidak mendapatkan apa-apa.
Andai Kita Bicara
811      584     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Let Me be a Star for You During the Day
1207      668     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Unframed
1097      669     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...