Loading...
Logo TinLit
Read Story - Fidelia
MENU
About Us  

Dalam naskah dramaku, aku mengutip lagu terkenal Keluarga Cemara dan di sana terdapat sebuah kata indah yang menggambarkan arti keluarga, yaitu mutiara. Mengingat bahwa ulang tahun asramaku adalah yang ketujuh puluh lima alias pesta berlian, sementara pesta mutiara itu kalau tidak salah peringatan keenam puluh tahun, aku merasa kalau menganalogikan keduanya seolah seperti istilah zaman now, yaitu metode cocoklogi.

Suster Eva memintaku untuk sedikit berpidato tentang drama yang kutulis dan aku sudah deg-degan jauh sebelum acara reuni akbar dimulai malam itu. Aku sudah mencurahkan ide untuk alur cerita dan sekarang masih diminta menulis naskah pidato? Rasanya seolah diperas sampai kering, seperti baju yang akan dijemur. Bedanya, baju yang mau dijemur, ‘kan, memang tujuannya supaya kering. Kebalikannya, aku ngeri kalau sampai kolam ideku mengering.

Ideku untuk pidato sudah mentok hanya sampai inspirasi ceritanya, yaitu si Belang yang mencuri jatah makan sahur anak asrama. Naskah pidato yang tidak tulus itu kulipat kecil-kecil dan kusimpan dalam saku rok, aku berusaha tidak membayangkan diriku berada di podium dan menjadi sorotan ratusan orang beberapa jam lagi. Aku memang suka berkegiatan dan mencapai prestasi, tapi bukan berarti aku juga senang menjadi pusat perhatian. Biarlah aku giat di balik layar, yang penting semua lancar. Aku hanya ingin bersikap biasa saja di depan banyak orang.

Tapi kadang peristiwa-peristiwa yang luar biasa datang tanpa diundang, bahkan pada orang yang biasa saja. Rumit memang cara kerja alam semesta.

Untuk kasusku, yang sedang terhimpit ide untuk pidato, peristiwa luar biasa itu datang satu jam menjelang pidato yang bagiku terlalu menakutkan untuk dibayangkan itu.

Yang luar biasa itu hadir dalam wujud seorang wanita paruh baya berambut keriting yang duduk di kursi di atas panggung. Dia adalah Kak Berta, alumni asrama lebih dari tiga dekade yang lalu. Dalam reuni ini dia termasuk tamu kehormatan dan diundang dalam mini talkshow di permulaan acara.

Perihal kenapa aku menyebutnya ‘Kak’, karena itu aturan tak tertulis dalam asrama kami. Bahkan yang sudah alumni adalah kakak asrama, jadi tetaplah panggil ‘Kakak’. Sebetulnya aku mengerti bahwa panggilan itu membuat siapa pun jadi terdengar lebih muda dan netral untuk semua suku dan ras, jadi biarlah.

Aku duduk di barisan angkatanku di sisi timur aula, bersebelahan dengan Elena. Kristin tidak bisa hadir malam itu karena tugas kampus dan aku agak menyayangkannya. Karena, Kristin jadi tak mendapati hal luar biasa yang kumaksud berikut ini.

“Saya masih ingat perkataan Suster dahulu, ‘Kamu bilang ke Suster kalau sudah bisa bayar saja. Kalau belum, nggak usah bilang dulu.’ Saya dulu sering nunggak bayar uang asrama. Ke kampus pun ngonthel[1], dan baru di tahun ketiga saya punya sepeda motor.”

Untuk alasan yang tak terlalu sulit dijabarkan, aku merasa bisa relate dengan Kak Berta dan tersenyum sendiri. Bedanya, aku sudah tahun ketiga dan masih belum punya sepeda motor—dan tidak pernah punya tunggakan uang asrama.

“Saya bisa bekerja seperti sekarang pun karena alasan yang lucu. Waktu itu saya mendaftar untuk seleksi PNS di sini dan seleksi dosen kampus swasta di kota lain. Kebetulan hari ujiannya bersamaan. Karena saya tak punya cukup uang untuk naik kereta, saya pilih ikut tes PNS.”

Rani, temanku ketua panitia Dies Natalis yang juga berperan sebagai pewawancara dalam mini talkshow itu, menanggapi dengan riang,

“Wah, sungguh nggak terduga, ya, Kak Berta. Malah dari situ, Kakak menjadi hakim yang terkenal.”

Ya. Kak Berta ini seorang hakim di Ibukota.

“Saya nggak terkenal, kok. Yang terkenal itu koruptornya. Saya sendiri nggak menduga media bakal blow up beritanya sebegini dahsyat.”

Kasus korupsi yang baru saja ditangani Kak Berta memang membuat namanya melambung—dalam konteks yang positif, begitu yang kudengar di televisi dan kini diulangi oleh Rani yang membacakan narasi. Hasil pengadilan yang diketuai Kak Berta disebut “adil dan berani” seperti dikutip Rani dari sebuah surat kabar nasional.

Saat Rani sampai pada bagian itu, aku mendengar sebuah suara yang tidak asing di telinga. Si Bocah Hakim—si Hakim Fidelia—dia sedang bernyanyi di suatu tempat di aula ini.

Tapi si Fidelia tidak menyanyikan lagu yang biasa. Bukan lagu anak-anak yang sedang dilantunkannya sekarang, dan nyanyian itu lantang, terkesan maskulin, serta penuh penjiwaan, bukan bernuansa main-main seperti biasanya. Mendengar nada dan lirik yang akrab meski tak dapat kupahami maknanya per kalimat itu, hatiku seperti melompat. Kucari-cari sosok kecil botak itu dan kutemukan dia di deretan kursi tamu VIP. Ada satu-dua kursi kosong dan di sanalah si Hakim Fidelia bertengger—dia berdiri di atas kursi, tegak menghadap ke arah hakim wanita di atas panggung, kedua tangan terentang seperti dalam bayanganku kalau seorang penyanyi tenor mengidungkan aria cinta terkenal itu, dan ketika kutemukan sosoknya, dia sudah sampai pada bagian klimaks lagu yang membahana penuh kemenangan.

Dilegua, o notte!

Tramontate, stelle!

Tramontate, stelle!

All'alba, vincerò!

Vincerò! Vincerò!

(Lenyaplah hai malam!

Memudarlah hai bintang-bintang!

Memudarlah hai bintang-bintang!

Saat fajar, aku akan menang!

Aku akan menang! Aku akan menang!)

Itu lagu berjudul Nessun Dorma! Lagunya dalam bahasa Italia, tapi aku pernah mencari tahu artinya setelah menemukan video Andrea Bocelli menyanyikan lagu itu di internet. Sebuah pernyataan cinta yang gigih dari seorang lelaki terhadap pujaan hatinya yang dengan dingin menggelar berbagai cara untuk mematahkan usaha si lelaki.

Tanya-jawab antara Rani dan Kak Berta makin lama menjauh dari telingaku. Pusat perhatianku berpindah pada si Fidelia kecil—tanpa dua Fidelia lain di mana-mana yang kulihat. Hanya ada si Hakim. Bahkan tak ada bunyi terompet yang harusnya mendahului tugas Fidelia yang urutannya nomor dua ini.

Mendengarkan lagu itu, yang diulanginya sekali lagi, bukan rasa dingin aneh yang merambati hatiku seperti tiap kali Fidelia muncul dan menandai datangnya pencuri; alih-alih, aku merasa hangat. Tak pernah kukira bahwa si Bocah Hakim bisa menyanyikan aria layaknya pria dewasa, dengan warna suara yang masih bisa dikenali ciri khas anak-anaknya. Dan aku masih tak habis pikir kenapa si Hakim Fidelia memilih lagu ini, tapi, bukankah dalam semua kejadian pencurian, lagu anak-anak yang dipilihnya hanya acak saja dan memang tak berhubungan dengan konteks pencuriannya sendiri? Barangkali yang kali ini pun begitu. Jadi, isi lagunya sendiri tak ada hubungannya. Saat aku berusaha mencari keterkaitan antara lagu opera dengan sosok wanita di atas panggung, pelan-pelan, sebuah kesadaran timbul di pikiranku.

Lagu ini adalah persembahan hati terhadap seseorang yang dicintai. Karena bisa dibilang lagu orang dewasa, apa itu berarti nyanyian ini ditujukan untuk seorang yang sudah dewasa dalam hal kejujuran, sebagai kebalikan dari lagu anak-anak untuk mengejek orang yang masih seperti anak kecil?

Jadi: Persembahan untuk seorang manusia jujur yang amat berharga di mata Fidelia, barangkali?

Tiba-tiba aku terisak sendiri karena haru, bahkan tak sempat menutup mulut. Elena di sampingku menoleh heran.

“Ra?” panggilnya sambil menyikutku pelan. Aku tersentak, melihat ke arah panggung lagi. Kak Berta dan Rani sedang sama-sama diam, dan hatiku dicekam kekagetan luar biasa.

Kak Berta sedang menatap lurus-lurus ke arah si Bocah Fidelia sambil tersenyum.

“Semua kesusahan itu pasti ada maksudnya dari Tuhan. Saya bisa jadi saya yang sekarang, itu berkat kesusahan yang pernah saya alami,” ucap Kak Berta sambil mengusap air mata. Tampaknya dia baru saja selesai menceritakan kesusahan yang dimaksud.

“Jadi bisa dibilang, seperti berlian yang sudah diasah, begitu Kak Berta?” Rani mengambil kesimpulan; dia juga tampak terharu, tapi haru yang berbeda dengan yang kurasakan, barangkali.

“Ya, benar. Saya yakin teman-teman, adik-adik semua, begitu lulus dari rumah ini, bisa menjadi seperti berlian yang diasah.”

“Pas sekali dengan perayaan Dies Natalis kali ini, ya, Kak?” Rani melontarkan retorika sambil membungkuk sopan, gestur yang menandai berakhirnya mini talkshow itu. “Pesta berlian, tujuh puluh lima tahun. Semoga para perempuan yang pernah tinggal di asrama ini bisa jadi seindah dan sekuat berlian, seperti tamu kehormatan kita malam ini. Terima kasih banyak, Kak Berta.”

Tepuk tangan membahana di aula dan aku berbisik pada Elena,

“Len, aku dapat ide buat pidato, nih.”

“Wah, mantap!”

*

“Tentunya kita semua tahu lagu Keluarga Cemara. Ya? Betul begitu? Oke. Saya di sini bukan ingin ngajak Kakak-kakak sekalian bernyanyi, karena itu nanti ada acaranya sendiri. Saya hanya mau mengutip sepenggal liriknya, yaitu Mutiara tiada tara, adalah keluarga ....

Kutarik napas sementara satu-dua orang bertepuk tangan.

“Kalau keluarga adalah mutiara, saya akan bicara sedikit dari segi matematika. Mungkin Suster Caecilia yang Guru Matematika bisa mengoreksi kalau saya salah.” Beberapa gelak tawa terdengar. “Mutiara itu buram, bentuknya bulat, lingkaran yang tak punya sudut, bisa diartikan cinta yang tiada habisnya, atau keutuhan dan rasa aman. Sedangkan berlian—saya minta izin Kak Berta dan Kak Rani untuk mengutip dari talkshow yang tadi—berlian itu kuat dan tembus pandang, dan bentuknya bisa macam-macam. Juga bisa punya banyak sudut dan sisi, tergantung bagaimana kita memotongnya. Satu lagi. Saking kuatnya, yang bisa memotong berlian adalah berlian juga.”

Aku menjeda sebentar agar penutup pidatoku yang berima terdengar dramatis.

“Sebentar lagi kita akan menyaksikan sepenggal kisah, tentang keindahan mutiara yang disebut rumah, dan berlian-berlian muda yang akan diasah.”

*

Kadang-kadang aku perlu berhati-hati dalam menulis cerita fiksi. Sudah lebih dari satu kali terjadi, apa yang kureka dalam tulisan rupanya menjadi kenyataan. Dalam fiksi penggemar karanganku di cerita Black Butler—animasi Jepang yang tokohnya seorang Earl di Inggris zaman Ratu Victoria—aku membuat salah satu pelayan sang Earl meninggal dunia karena penyakit jantung. Beberapa bulan setelah cerita itu mengudara di internet, pengisi suara si pelayan dalam film animasinya betulan tiada lantaran penyakit yang sama.

Dalam cerita dramaku untuk reuni akbar Dies Natalis, aku membuat si tokoh utama—yang, sesuai rencanaku, diperankan oleh Elena—jatuh terpeleset dalam persiapan sebuah acara di aula asrama. Tentu saja kami sudah banyak kali melatih adegan itu supaya Elena sang aktris bisa memerankannya dengan aman dan selamat.

Tak usah kusebutkan lagi siapa yang mengalami kesialan si tokoh utama. Yang perlu kutegaskan adalah, bahwa apa yang menjadi pesan moral dalam cerita itu rupanya juga mengena dengan sangat pas bagi si ‘tokoh utama’ di dunia nyata—yang juga penulis naskahnya. Konyol tapi benar adanya. Apakah orang bisa menulis cerita yang menyentuh kalau belum pernah mengalami sendiri? Bisa saja sebetulnya, kalau sudah pernah membaca kisah yang serupa.

Waktu sesi curhat dadakanku dengan Kak Vira dulu, untuk pertama kalinya pendapatku tentang asrama bergeser ke sebuah sudut pandang yang baru. Bahwa kami semua yang tinggal di sini adalah sebuah keluarga besar, bukan sekadar kumpulan mahasiswi yang tinggal serumah dengan diikat seabrek peraturan. Tapi butuh tambahan waktu lagi untukku, bahkan lama setelah naskah drama itu selesai, untuk betul-betul menyadari bahwa arti keluarga itu sungguh sejati.

Tepatnya, sejak kemarin. Sejak aku terpeleset gara-gara Fidelia. Asti, Elena, dan teman-teman sekamarku termasuk yang lebih junior, semuanya memberi perhatian dengan cara sendiri-sendiri. Kemarin kebetulan adalah jadwal piketku dan aku belum sempat membersihkan kamar karena ada kerja bakti untuk Dies Natalis. Rencanaku adalah mengerjakannya di siang hari atau sorenya. Tapi, tanpa diminta, adik-adik yang sekamar denganku membagi tugas: ada yang menyapu, mengepel, membersihkan wastafel dan kamar mandi. Asti membuatkanku teh hangat—untuk orang yang habis jatuh, biasanya rasa kagetnya bertahan beberapa lama dan minuman itu bisa menguranginya. Elena bahkan menanyaiku bagian mana saja yang sakit dan menawarkan diri untuk memijat, setelah mengambilkan jatah makan siang untukku.

“Aku sudah olesin obat, tenang aja!” tolakku, ngeri membayangkan Elena yang sebesar itu memijati tubuhku. “Tapi, makasih, ya. Makasih, kalian semua.”

Setelah meminum teh Asti, aku berbaring miring, menghadap ke tembok, menyembunyikan air mata sembari pura-pura tidur. Bagian penutup dalam naskah drama yang kutulis bergaung dalam kepalaku,

“Bahkan tanpa adanya hubungan darah, kami semua adalah keluarga yang asri. Keluarga Kasih Sayang, itulah nama rumah kami. Semoga selalu lestari.”

*

“Dramanya bagus banget!”

Pujian dari Kak Vira saat makan malam bagai angin segar di hidungku, membuatnya kembang kempis dengan rasa bangga. Aku sedang mengantre untuk mengambil minuman bersama Elena dan berpapasan dengan sang senior di antrean es krim.

“Ashira, gitu, loh!” pekik Elena yang tampak puas menjadi aktris satu malam.

“Pidato pengantarnya bahkan bikin lebih nendang,” tambah sang senior sambil menyendok porsi es krimnya yang kedua. “Elena juga bagus mainnya. Kamu bakat jadi pemain sinetron, hehe.”

“Ah, apa iya sih, Kak?” Malah Elena yang tersipu-sipu, sementara aku belum sempat membalas pujian itu. Aku melihat Rani yang membawa porsi baksonya sedang melintas, dan kupanggil dia, “Rani!”

Si ketua panitia Dies Natalis menoleh lalu berjalan ke arahku. “Eh, Ashira! Makasih, ya, dramamu kece banget. Mantap, deh.”

Pujian lagi! Oh, aku mungkin harus mengikat kakiku di suatu tempat agar kepalaku tidak melambung seperti balon. “Iya, sama-sama. Ngomong-ngomong, aku mau bicara sama Kak Berta, nih. Kira-kira bisa nggak, ya?”

Rani mengedarkan pandangan. “Tadi, sih, beliau makan bareng Suster Eva dan orang-orang yayasan. Coba ya, nanti, kalau ketemu.”

“Oke, makasih, ya. Aku rencananya mau di sekitar sini aja, kok.” Aku membuat huruf o dengan ibu jari dan telunjuk. Rani membalas dengan acungan jempol, lalu mahasiswi berkucir ekor kuda itu pun berlalu.

“Oiya, ini semua berkat Kak Vira yang nolongin, kok,” sambungku pada Elena dan Kak Vira. “Duh, kalau nggak ada Kak Vira yang ngasih tips, nggak kebayang, deh.”

Mungkin aku harus belajar caranya menerima pujian dengan elegan ala Kak Vira. Dia tersenyum dan membalas, “Makasih. Itu karena Ashira juga berbakat bikin naskah drama.”

Dia tidak membantah pujian itu dengan ujaran klasik yang rendah hati, sebaliknya dia membombong orang lain yang berhasil sukses lewat bantuannya.

Elena menyela, “Siapa dulu yang ngusulin nama Ashira ke panitia?” Kebalikan dari Kak Vira, teman kamarku yang ini malah dengan sombongnya membuka kedok sendiri sambil merangkul bahuku.

“Len! Berarti beneran kamu, ya, yang kasih usul ke panitia? Dasar pengkhianat!”

“Lho, tapi hasilnya bagus, ‘kan?” Elena merepet, tampak cemas kalau aku betulan marah karena itu—padahal aku sudah menebaknya dari awal.

“Lain kali bilang-bilang dulu ke aku, ya. Kalau kamu kayak gitu lagi, nanti semua stok Cheetos dan Chitato-mu aku embat!”

No waaaay,” lolong Elena tersiksa, sementara Kak Vira tertawa-tawa.

Sepanjang sisa waktu makan malam itu, aku hampir saja menjadi sorotan perhatian—kalau tidak ada Elena si pemeran utama di sisiku. Tak banyak orang yang tahu bahwa akulah penulis naskah drama yang barusan, terutama adik-adik tingkat satu dan dua yang tidak termasuk panitia divisi acara. Kalaupun mereka tahu (setelah diberitahu oleh Elena yang menunjuk mukaku tiap kali mereka memuji aktingnya yang bagus), mereka hanya sekilas saja memujiku.

Bukannya aku minta dipuji lebih dari itu. Pujian dari Kak Vira bagiku sudah cukup memuaskan harga diriku, dan kecelakaan yang kualami seperti dalam cerita itu juga kusyukuri karena membuatku paham betul dengan apa yang kutuangkan dalam drama. Biar saja Elena yang mendapat spotlight sementara aku tetap di balik layar. Dalam ajang penghargaan industri film pun, siapa yang biasanya mendapat award? Para pemerannya, aktor dan aktrisnya, bukan? Penulis naskah film, rasanya jarang ada yang memenangkan penghargaan? Meski begitu, Imelda, si mahasiswi tingkat satu yang dulu ikut paduan suara asrama dan membuktikan diri berkomitmen untuk itu, tampaknya sangat tertarik dengan hobiku menulis. Dia banyak bertanya tentang tulisanku—dan aku baru sadar bahwa belakangan ini dia sudah stalking isi blog dan karyaku di situs fiksi penggemar. Senang rasanya bisa menginspirasi orang lain.

Acara reuni mulai mengalir dari makan malam ke tajuk karaoke lagu-lagu lawas ketika Rani mendekatiku.

“Ra, itu Kak Berta sudah mau pulang. Lagi pamitan sama Suster di sebelah sana.”

“Bentar ya, Len.” Kutinggalkan Elena yang masih menikmati porsi keempat es krim stroberinya di meja hidang dan bergegas menuju sang hakim. Dia masih berbincang dengan Suster Eva, tapi dari tas tangan yang dibawanya dan gesturnya yang tidak tenang, aku tahu dia mau segera pergi entah untuk keperluan apa. Aku berdiri agak jauh, kebingungan bagaimana caranya menyela mereka tanpa menimbulkan kesan tidak sopan.

Beruntung, Suster Eva melihatku.

“Wah, ini dia penulis naskah dan sutradara dari drama spektakuler yang tadi!”

Mukaku seketika memanas saat aku maju mendekat, tersenyum malu-malu sambil menerapkan taktik Kak Vira,

“Terima kasih, Suster. Itu juga berkat bantuan Kak Vira dan teman-teman yang bermain peran.”

Kak Berta tampak senang berkenalan denganku. Ah, agaknya dia memang sosok orang desa yang tetap bersahaja meski sudah kerja di Ibukota.

“Namamu unik sekali. Apa artinya?” tanya sang hakim.

“Itu bahasa Ibrani, artinya ‘aku hendak bernyanyi’, Kak.” Aku terkikik kecil melihat ketakjuban yang tidak pura-pura di mata hitam Kak Berta. “Orang tua saya suka paduan suara. Saya juga.”

“Wah, kapan-kapan kita nyanyi bareng, ya. Bukannya sombong, tapi dulu Kakak dikenal sebagai biduan asrama, lho.”

Kami bertiga tertawa.

“Boleh banget, Kak. Suatu kehormatan bisa nyanyi bareng Ibu Hakim,” sahutku. “Oiya, apa tadi Kakak dengar ada nyanyian bagus waktu talkshow?”

Yang kumaksud jelas nyanyian si Fidelia dan dalam hati aku yakin Kak Berta juga bisa melihat—dan mendengarnya.

Tapi ternyata, Kak Berta menelengkan kepala kebingungan. “Nyanyian apa, ya? Apa ada yang nyanyi di tengah-tengah talkshow?”

Sinar matanya masih sama, dia tidak pura-pura. Apakah aku hanya mengkhayalkan yang kulihat tadi, bahwa Kak Berta menatap si Hakim Fidelia yang menyanyikan lagu opera seindah itu?

“Anu, mungkin saya yang salah, Kak. Mungkin tadi nada dering ponsel orang di dekat saya, hehe.”

Kak Berta mengangguk-angguk, lalu melihat arlojinya.

“Nah, Kakak pamit dulu, ya, Ashira. Selamat malam, Suster Eva. Terima kasih untuk undangannya.”

“Terima kasih sudah hadir. Hati-hati di jalan, ya,” sahut sang biarawati. Aku membungkuk sopan.

Sepeninggal Kak Berta dari pintu aula, aku bertanya pada Suster Eva,

“Apa Kak Berta ada urusan mendadak, Suster?”

“Iya. Katanya, di kasus besar yang sedang diselidiki timnya, ditemukan bukti baru.”

“Kasus?” Mataku melebar. “Apa kasus korupsi lagi seperti yang di televisi itu?”

“Suster juga kurang tahu. Tapi Suster percaya, Kak Berta pasti tetap seperti dia yang sekarang.”

“Seindah dan sekuat berlian, ya, Suster,” balasku, masih memandang ke arah pintu.

Aku amat terkejut ketika Suster Eva merangkulku.

“Terima kasih banyak, ya, Ashira. Suster terharu waktu dengar pidato kamu sebelum pentas drama tadi.”

Aku membalas rangkulannya, sambil berpikir dalam hati bahwa belum pernah aku memeluk seorang Suster seperti memeluk ibuku sendiri, dan bersyukur bahwa malam itu aku dibuat terharu oleh lebih dari satu macam hal.

---

[1] Bahasa Jawa: bersepeda.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Simplicity
10604      2473     0     
Fan Fiction
Hwang Sinb adalah siswi pindahan dan harus bertahanan di sekolah barunya yang dipenuhi dengan herarki dan tingkatan sesuai kedudukan keluarga mereka. Menghadapi begitu banyak orang asing yang membuatnya nampak tak sederhana seperti hidupnya dulu.
Of Girls and Glory
4302      1704     1     
Inspirational
Pada tahun keempatnya di Aqiela Ru'ya, untuk pertama kalinya, Annika harus berbeda kamar dengan Kiara, sahabatnya. Awalnya Annika masih percaya bahwa persahabatan mereka akan tetap utuh seperti biasanya. Namun, Kiara sungguh berubah! Mulai dari lebih banyak bermain dengan klub eksklusif sekolah hingga janji-janji yang tidak ditepati. Annika diam-diam menyusun sebuah rencana untuk mempertahank...
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
6234      1253     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
Unframed
1097      669     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Veintiséis (Dua Puluh Enam)
838      460     0     
Romance
Sebuah angka dan guratan takdir mempertemukan Catur dan Allea. Meski dalam keadaan yang tidak terlalu baik, ternyata keduanya pernah memiliki ikrar janji yang sama sama dilupakan.
Sampai Kau Jadi Miliku
1745      814     0     
Romance
Ini cerita tentang para penghuni SMA Citra Buana dalam mengejar apa yang mereka inginkan. Tidak hanya tentang asmara tentunya, namun juga cita-cita, kebanggaan, persahabatan, dan keluarga. Rena terjebak di antara dua pangeran sekolah, Al terjebak dalam kesakitan masa lalu nya, Rama terjebak dalam dirinya yang sekarang, Beny terjebak dalam cinta sepihak, Melly terjebak dalam prinsipnya, Karina ...
Tell Me What to do
514      360     1     
Short Story
Kamu tau, apa yang harus aku lakukan untuk mencintaimu? Jika sejak awal kita memulai kisah ini, hatiku berada di tempat lain?
The Last Cedess
960      634     0     
Fantasy
Alam bukanlah tatanan kehidupan makroskopis yang dipenuhi dengan makhluk hidup semata. Ia jauh lebih kompleks dan rumit. Penuh dengan misteri yang tak sanggup dijangkau akal. Micko, seorang putra pekebun berusia empat belas tahun, tidak pernah menyangka bahwa dirinya adalah bagian dari misteri alam. Semua bermula dari munculnya dua orang asing secara tiba-tiba di hadapan Micko. Mereka meminta t...
Game of Dream
1472      816     4     
Science Fiction
Reina membuat sebuah permainan yang akhirnya dijual secara publik oleh perusahaannya. permainan itupun laku di pasaran sehingga dibuatlah sebuah turnamen besar dengan ratusan player yang ikut di dalamnya. Namun, sesuatu terjadi ketika turnamen itu berlangsung...
Kota Alkroma: Tempat Ternyaman
933      335     1     
Fantasy
Kina tidak pernah menyukai kota kecil tempat tinggalnya. Impiannya dari kecil adalah untuk meninggalkan kota itu dan bahagia di kota besar dengan pekerjaan yang bagus. Dia pun setuju untuk menjual rumah tempat tinggalnya. Rumah kecil dan jelek itu memang seharusnya sudah lama ditinggalkan tetapi seluruh keluarganya tidak setuju. Mereka menyembunyikan sesuatu. Kemudian semuanya berubah ketika Kina...