Loading...
Logo TinLit
Read Story - Fidelia
MENU
About Us  

Kalau ada yang berpikir macam-macam setelah aku memajang status enam kata di atas via media sosial malam itu, tidak, biar kuluruskan, ini tidak berarti Markus dan aku putus. Sudah kubilang, ‘kan, bahwa yang patah bukan hati?

Jadi, apa?

Mungkin untuk menjelaskannya, aku perlu menceritakan dulu apa yang terjadi waktu aku dan Markus pergi karaokean bersama teman-teman PSM. Itu dua hari setelah acara reuni akbar Dies Natalis asramaku yang ke-75.

*

Sore itu, kami sudah berkumpul di Gedung Utama untuk berangkat ke rumah karaoke bersama-sama. Aku dibonceng Markus, tentu saja. Kristin lagi-lagi tidak ikut karena proyek penelitiannya di kampus. Karena kami berbanyak orang, sekitar tiga puluhan, kami dibagi dua kelompok dengan masing-masing menempati ruang extra large berkapasitas delapan belas orang, yang sayangnya juga sedang dipakai. Sambil menunggu antrean di rumah karaoke, sementara orang-orang sibuk dengan ponsel masing-masing, aku memikirkan tentang Kak Berta dan dugaan pertamaku yang meleset, bahwa dia ternyata tidak bisa melihat Fidelia.

Kalau dipikir-pikir lagi, dengan watak selugu itu yang mestinya sudah melekat pada diri Kak Berta sejak masa mudanya, tentu saja Fidelia tak akan pernah menampakkan diri padanya, karena prasyaratnya adalah pernah mencuri lalu menyesal dan mengakui kesalahan. Kak Berta kelihatannya punya sense of justice dan kejujuran yang murni dari dirinya sendiri. Dari mana aku bisa menduga dia melihat si Bocah Hakim malam itu?

Apa mungkin aku bisa bertanya pada si Hakim Fidelia sendiri? Tapi, bagaimana caranya? Dulu dia sendiri yang datang serta bicara padaku tanpa kuminta. Dia yang bilang bahwa aku seorang yang istimewa karena mengakui ketidakjujuranku begitu cepat. Apa sekarang, bila kupanggil namanya tiga kali seperti dalam kisah-kisah hantu, dia bakalan muncul di depan mataku?

Aku, sih, tak mau coba-coba hal konyol begitu. Lagian, Fidelia bukan hantu.

“Ashira, ayo bikin daftar lagu dulu. Kamu mau nyanyi apa?” tegur Elisa, rekan sopranku di PSM.

“Aku ikut kalian aja, lah. Referensi laguku jejepangan semua,” candaku.

“Kalau mau jejepangan ayo aja, sama si Anggita tuh!”

“Oiya. Dia, ‘kan, juga suka lagu Jepang.”

“Tapi aliranku cadas, lho,” ujar Anggita yang dibicarakan.

“Boleh aja,” sahutku, merasa bersemangat ketika tahu ada yang satu aliran soal Jepang. Anggita juga anggota baru di tahun ketiga, dia kuliah di Kedokteran Hewan. “Kamu suka band apa?”

“ONE OK ROCK!” balasnya ceria.

“Wow. Lagu-lagu mereka semi-semi bahasa Inggris, ‘kan?”

“Yups.”

Tenggelam dalam diskusi daftar lagu membuat kami tak menyadari bahwa daftar itu makin lama makin panjang saja. Akhirnya, tibalah giliran kami untuk masuk ke ruang karaoke yang telah dibersihkan.

Sebelumnya, mari kita berhitung sedikit. Dalam satu ruangan ada enam belas orang, sedangkan mikrofon hanya ada dua. Kalau satu orang (atau dua) memilih masing-masing tiga lagu, tiap lagu berdurasi lima menit, memangnya dua jam akan cukup? Awalnya, aku tak terlalu peduli pada daftar yang panjang itu karena merasa capek sehabis kuliah harus langsung pergi lagi, dan hanya setengah melamun sambil menunggu deretan lagu itu mencapai lagu yang kupilih bersama Anggita.

Lamunanku biasanya lebih berarti membiarkan benakku berkelana semaunya, dan biasanya aku bisa mendapat ide cerita dari hal paling random yang kulihat sambil melamun. Tapi lamunanku saat di ruang karaoke yang hingar-bingar diisi oleh Fidelia, lagi.

Kemarin aku mendapat komentar di blogku, pada tulisan fiktif yang kulabeli ‘based on true story’. Seiring waktu, aku membuat ceritaku menjadi bilingual, ada versi bahasa Inggrisnya. Dan ceritanya sudah kulanjutkan dengan datangnya Kak Berta dalam reuni dua hari yang lalu. Komentar yang semalam datang dari teman penaku, seorang Amerika yang juga suka menulis, dan dia bilang begini,

“You are not saying that the whole story about Fidelia is also true, right?”

Aku tak bisa menyangkal dan tak bisa mengiyakan. Perasaan tak enak itu datang lagi, seperti saat aku mencoba memberitahu Dian apa yang akan terjadi ketika dia menyontek, hanya saja kali itu tidak sedemikian ekstrem. Aku jadi teringat sebuah anime yang tokohnya mengalami dilema sepertiku, yang jantungnya serasa diremas ketika akan membocorkan sebuah rahasia yang absurd, tapi di satu sisi dia tak bisa selamanya menyimpan rahasia itu. Apakah ini bisa dihitung sebagai ketidaksetiaanku terhadap janji untuk tak memberitahu orang yang tidak bisa melihat Fidelia?

Tapi Fidelia pun masih tak muncul saat itu. Jadi kujawab saja temanku,

“I suppose so.” Sambil kutambahkan sebuah emotikon orang menjulurkan lidah. Setelah itu dia tak bertanya lagi (atau belum).

“Ih, kok, lama banget, ya?”

Suara keras Anggita di sebelahku menggugahku dari lamunan. Kulirik daftar lagu, baru separuh jalan. Lagu yang kami pilih sepertinya ada di akhir daftar.

“Kayaknya nggak bakal sempat, deh, Nggit,” ujarku, melirik jam tangan. Waktu dua jam kami sudah hampir habis. Astaga, rupanya aku melamun lama sekali. Bisa-bisanya pikiranku melayang selama itu dan tak ada orang yang mengajakku bicara. Ini adalah salah satu sisi introvert yang membuatku dilematis. Diabaikan orang di tempat seramai ini juga tak enak. Markus ada di ruangan sebelah jadi betul-betul tak ada yang ngobrol denganku di sini, karena memang tak ada yang akrab.

“Oi, yang udah nyanyi, lagunya di-skip aja boleh, nggak? Ada yang belum kebagian, nih.” Anggita berteriak, coba mengalahkan suara dua orang cowok Bas yang sedang nyanyi gila-gilaan.

Saat itu ada sebuah suara yang jauh lebih keras daripada yang sedang bernyanyi. Bunyi terompet Fidelia yang biasanya itu. Kubayangkan si Pengingat pasti menggembungkan pipinya yang tembem itu untuk bisa meniup kuat-kuat tanpa terputus.

“Waktunya hampir habis!” seruku pada Anggita, sementara teman-teman yang di dekat gawai untuk mengatur daftar lagu sedang menggeser layar sentuh itu untuk mencari lagu di deretan belakang.

“Nggak apa-apa, daripada nggak nyanyi sama sekali, Ra,” balas Anggita. “Orang kita juga ikut iuran, lho! Ayo, ini lagunya udah mau mulai.”

Intro dari lagu pilihan kami memang mulai melantun. Aku maju ke depan dan meraih mikrofon, mengamati jam tanganku sambil mengernyit. Aku betul-betul lupa jam berapa persisnya kami masuk ke ruangan karaoke, tapi sepertinya sudah hampir dua jam. Dan adanya bunyi terompet itu bisa jadi pengingat bahwa memang kami sudah kehabisan waktu.

Biarlah, semoga masih sempat. Aku ikut bernyanyi bersama Anggita dan mendapat sorakan teman-teman.

“Wuih, seleranya cadas!”

“Cewek-cewek sangar!”

Aku tak bisa menahan cengiranku sambil mengikuti irama lagu. Justru saat keunikanku diketahui banyak orang, aku merasa senang. Biar mereka tahu aku bukan sekadar cewek pendiam yang kuper.

Saat kami baru semenit bernyanyi, petugas rumah karaoke masuk dan bicara pada orang yang terdekat dengan pintu. Pasti pemberitahuan bahwa waktu kami habis. Benar saja, si petugas menyodorkan selembar kertas panjang yang kutebak adalah nota biaya. Dan, eh, itu dia si Pengingat, berdiri dekat pintu. Dia sudah berhenti meniup terompetnya dan tampak tersengal-sengal, dinilai dari bahu lebarnya yang naik-turun dan kumisnya yang berkibar terkena semburan napas.

Aku nyaris terbahak melihat pemandangan kumis itu dan rupanya suara dengusanku disiarkan oleh pengeras suara. Anggita memutar kepala keheranan dan menatapku seolah aku mendadak punya tanduk di kepala. Aku berhenti bernyanyi dan menunjuk ke pintu. Anggita menggeleng, meneruskan nyanyiannya, sementara aku membeku di tempat.

Lagi-lagi rasanya seperti disihir. Sekujur tubuhku kaku, aku tak bisa mengeluarkan suara, hanya bisa memandang dengan melotot ke arah sosok si Pengingat yang perlahan memudar.

Tunggu dulu, memudar? Tidak, sosok gempal itu tidak memudar, melainkan mengecil. Dan membotak, dan makin mengecil.

Dia menjelma menjadi si Hakim dan mulai bernyanyi.

“London bridge is falling down ....”

Tidak, kami tidak sedang mencuri waktu untuk karaoke. Dan aku tidak sedang menceritakan Fidelia kepada orang-orang! Dunia di sekitarku serasa menggelap dan dengan setengah limbung kurasakan energiku kembali. Aku menyambar mikrofon Anggita, memaksanya berhenti bernyanyi.

“Ra? Lagunya belum selesai!” pekik kawanku itu.

“Tapi waktunya udah habis. Bahkan lebih,” balasku sambil bersandar ke meja. Suara si Hakim begitu nyaring di telingaku, membuat kepalaku terasa berputar. Astaga, kenapa harus di saat begini vertigoku kumat. “Sori, Nggit. Vertigoku ...”

Aku memejamkan mata, pelan-pelan merosot berjongkok supaya tidak jatuh terjengkang. Suara-suara ribut di sekitarku timbul-tenggelam, seolah berasal dari radio yang meleset frekuensinya.

Saat itu, aku tak lagi bisa membedakan apakah rasa kacau di kepalaku berasal dari vertigo semata atau karena Fidelia. Setengah sadar, aku merasa ada yang mengguncang lenganku. Ketika kubuka mata, di depanku ada Markus yang mengacungkan obat-obat yang kubawa dan kutinggal di dalam tas, yang kugeletakkan di kursi ketika aku maju bernyanyi.

Aku menelan sebutir tablet dibantu air minum dari tasku juga, masih kesulitan membuat mataku terbuka. Berikutnya adalah bagian yang kubenci dari penyakit vertigo: munculnya rasa mual setelah kepala seperti diaduk-aduk. Aku berusaha keras untuk tidak muntah dan merasakan Markus pelan-pelan menuntunku untuk duduk di kursi.

Saat gejalaku mulai membaik, kusadari bahwa teman-teman sudah pergi. Hanya ada Markus dan Mas Tunjung yang memprakarsai acara karaokean hari ini di ruangan itu. Sudah tak ada lagi Fidelia.

“Yang lain mana?” ucapku parau.

“Lagi pada bayar,” sahut Markus singkat, sementara Mas Tunjung juga mendekat. “Kamu nggak apa-apa?”

Aku bergumam, “Vertigoku kumat. Kayaknya saking terlalu berisik di sini.”

Mas Tunjung nyengir lebar. “Wah! Ashira nggak tahu aja di ruangan sebelah kayak habis ada badai.”

“Kayaknya aku memang nggak cocok dengan karaokean massal, Mas,” gerutuku.

Markus tampak agak salah tingkah. “Ra, aku cuma denger cerita dari temen-temen. Tadi, kok, kamu bisa tahu kalau waktunya sudah kelebihan?”

Aku mengerjap, tapi tidak menjawab.

“Apa mungkin kamu perhatiin banget jam berapa kita masuk tadi?” Markus menyuarakan dugaannya sendiri.

Dasar Fidelia. Kalian membuatku tak bisa berbohong maupun berkata jujur. Aku harus bilang apa pada Markus, yang sekarang sedang menatapku dengan skeptis tapi juga ingin percaya? Seperti apa sebetulnya cerita teman-teman tadi, terutama Anggita? Akhirnya aku hanya angkat bahu sambil melengos,

“Mungkin feeling-ku aja.” Aku berpikir secepat kilat untuk mengalihkan topik pembicaraan. “Tadi bilangnya lagi pada bayar. Lha, aku belum ikut iuran.”

“Udah kutalangin. Tenang aja.”

“Aku ganti. Berapa, sih?”

Aku merogoh tasku dan mendapati dompetku terbuka, isinya berantakan.

“Tadi sih, satu orang iuran lima ribu aja ....” Suara Markus menggantung ketika melihatku tertegun. “Eh. Kenapa, Ra?”

“Uangku hilang,” bisikku.

*

Fidelia ada di sana bukan karena kami mencuri waktu, tapi karena ada orang yang mencuri uangku. Atau mungkin karena dua-duanya? Ini termasuk pertanyaanku yang mula-mula pada Fidelia dan merasa bahwa memang keduanyalah yang mendekati kebenaran. Mereka bilang bisa muncul dalam berbagai wujud sekaligus ketika terjadi lebih dari satu pencurian di saat yang sama, bukan? Aku melihat sendiri si Pengingat menjelma jadi si Hakim, tapi mungkin aku ketinggalan perubahannya menjadi si tokoh terakhir yang paling tidak kusukai, si Pemberi, saat vertigo itu menyerangku.

Aku sudah minta Mas Tunjung dan Markus untuk tidak bilang pada siapa-siapa. Salahku sendiri membiarkan tas di kursi waktu maju bernyanyi, tapi mana mungkin kuduga bahwa salah seorang anggota PSM ada yang seburuk itu?

Yang nyatanya memang ada yang seburuk itu.

Jumlah uang yang hilang untungnya tidak besar karena aku belum sempat ke ATM dan kartu-kartuku pun aman, jadi aku juga tak mau membesar-besarkan masalah. Tapi aku jadi berutang lima ribu rupiah pada Markus. Angka sepele, tapi tetap saja utang, iya, ‘kan? Kami pun pulang dalam diam, tapi tampaknya itu lebih karena kecanggungan yang kutimbulkan sehabis bertindak janggal di mata teman-teman.

Sudah hampir gelap ketika kami berdua sampai di asrama. Azan Magrib berkumandang dari masjid terdekat.

“Makasih, ya,” ujarku setelah turun dari motor Markus.

“Iya, Ra. Istirahat yang cukup, ya.”

“Wah, nggak bisa kayaknya. Ada laporan praktikum.”

Markus memegang puncak kepalaku, gerakan yang biasanya dia lakukan untuk menggodaku. Aku hampir menghindar karena harusnya dia juga tahu aku sebal diperlakukan begitu, tapi sorot matanya serius sekali.

“Ra, beneran. Vertigomu udah kumat dua kali bulan ini. Laporannya buat kapan, sih?”

“Masih buat lusa, sih.” Aku menunduk, ingin merajuk seperti anak kecil. Suka-suka aku, dong, kalau aku mau laporanku sudah jadi lebih cepat dari seharusnya? Ambisiku menuntut hal ini dan rasa mual serta pusing yang sudah lenyap membuatku jadi arogan.

“Aku nggak mau denger besok pagi kamu ngeluh vertigo lagi. Nanti malam nggak usah begadang, ya.”

Ancaman halus Markus membuatku mengerang.

“Iya deh, iya.”

Markus pun pulang setelah menyuruhku berjanji sampai tiga kali, bahwa aku tak akan melembur laporan praktikum malam itu. Dasar, lihat siapa yang berbicara! Mahasiswa kedokteran yang kalau ujian juga begadang sampai pagi saking tebal buku-bukunya!

Sambil berjalan masuk ke gedung asrama, sekilas kulihat sosok si Hakim Fidelia duduk di pinggir selokan. Lagi-lagi hanya punggungnya yang bisa kulihat, dan aku tak membuang-buang waktu berjalan mengitarinya untuk melihat wajahnya atau apa yang sedang dilakukannya. Dia mengangkat kedua kakinya dan seperti sedang memeluk lutut. Entahlah.

Aku hanya mau pergi tidur setelah mandi dan menepati janjiku pada Markus.

*

Besok paginya memang vertigoku tidak terulang, dan aku merasa cukup segar ketika bangun. Rasanya sudah lama sekali aku tidak tidur sebelum jam sembilan malam dan badanku meregang penuh rasa terima kasih pagi itu.

Tapi, laporanku belum terkerjakan! Untungnya jadwal kuliahku senggang di jam sebelas sampai dua. Maka kumasukkan beberapa buku dan master laporan ke dalam tas, sudah mendeterminasi bahwa paling tidak aku akan bisa dapat separuh laporanku siang itu. Sebelum berangkat ke kampus, tak lupa kumasukkan baju kotorku ke ember cucian dan merendamnya. Nanti sore, sepulang kuliah, aku harus mencuci; kalau tidak, aku bakalan kehabisan baju. Setahun terakhir ini, aku hanya bisa mencuci seminggu sekali, berbeda jauh dengan tahun pertama dan keduaku kuliah, ketika aku masih sanggup melakukannya tiap dua hari. Baju kotor yang terlalu lama ditumpuk sangatlah tidak sehat.

Di waktu jeda kuliah siangnya, kutulis laporanku di meja kantin selagi menemani Dian makan.

“Kamu nggak makan, Ra?” tanyanya ketika porsi baksonya sudah diantar ke meja.

“Nanti aja kalau sempat. Aku mau nyicil ini dulu.”

“Oke deh. Nanti kutinggal salat bentar, ya.”

Aku mengangguk, mata terpancang pada tulisan di buku yang kujadikan acuan pustaka. Seperti yang pernah kuceritakan, aku tak serta-merta menyalin master, tapi mencocokkannya dengan pustaka yang sudah ada, dan syukurnya ada kakak tingkat baik hati yang satu idealisme denganku dan berkenan menghibahkan bukunya kepadaku.

Menulis selalu menyenangkan bagiku, meski dalam hal menulis laporan, perkaranya agak lain lantaran ini lebih merupakan sebuah kewajiban daripada penyaluran hobi. Karena terlarut dalam keasyikan menulis, bahkan ketika Dian sudah kembali dari musala, aku belum jadi makan siang.

“Ra, udah mau kuliah lagi, lho.” Dian mengingatkanku.

“Iya. Habis ini beli roti bentar, deh.”

Tapi ‘bentar’ yang kuucapkan tidak bisa dicapai dalam lima menit. Aku masih terus menulis sampai Dian menawarkan diri untuk membeli roti untukku.

“Aduh, makasih ya, Dian.” Aku tidak menolak. Dian betulan pergi ke koperasi untuk membelikanku roti.

Kulirik jam tangan dengan gelisah. Targetku mencapai separuh laporan belum sampai. Ketika Dian kembali dengan roti, kuucapkan terima kasih sekali lagi lalu makan dengan tergesa sambil terus menulis.

“Ra, udah jam dua kurang sedikit!” Suara Dian terdengar menyebalkan di telingaku beberapa menit kemudian.

“Kamu duluan aja ke kelas,” sungutku. “Nanggung, nih.”

“Duduknya pinggir sebelah kiri kayak biasanya?”

“Iya.”

Dian pun pergi duluan. Aku masih terus menulis sampai jelang satu menit sebelum jam dua, dalam hati masih yakin bahwa dosennya akan datang melebihi jadwalnya. Aku berkemas dengan hati-hati, memasukkan laporanku ke dalam map agar tidak terlipat, kemudian buku dengan rapi juga, baru botol minum dan alat tulisku. Dengan kepatuhan seorang warga negara yang baik, kubuang bungkus roti ke tempat sampah terdekat lalu berjalan ke arah ruang kelas. Aku merasa cukup puas karena laporanku sudah selesai separuhnya.

Ada sebuah taman dengan jalanan berpaving antara kantin dengan deretan ruang kelasku, dan aku sedang berjalan di situ ketika mendengar bunyi terompet Fidelia.

Arah bunyinya seperti dari perpustakaan yang ada di seberang taman dan aku memutar kepala sambil berjalan. Aku betul-betul lupa jalan berpaving itu tidak rata dan pavingnya sendiri berongga-rongga—kaki seukuranku dengan mudahnya terjeblos masuk kalau tidak hati-hati, dan itulah yang terjadi detik berikutnya.

Aku jatuh terjerembab, untungnya semua bawaanku sudah rapi di dalam tas dan aku sendirian jadi tak ada yang menyaksikan kejadian memalukan itu. Tapi di kejauhan kulihat sosok dosenku sedang berjalan dari arah musala ke ruang kelas dan kurutuki para Fidelia. Peduli amat siapa yang barusan mau mencuri. Aku bangkit dengan limbung sambil menahan nyeri di pergelangan kaki. Semoga saja tidak terkilir, karena aku masih harus bersepeda pulang.

Kalau mau dihitung-hitung, ini sudah ketiga kalinya aku kena sial ketika Fidelia berulah, dan dalam ketiganya pun aku tidak berhasil berbuat apa-apa.

Lagipula, kenapa harus aku?

*

Syukurlah aku masih bisa mengendarai sepedaku, meski nyeri di kakiku berdenyut-denyut minta diobati. Di kamar, aku masih punya salep yang juga kupakai waktu jatuh di aula minggu lalu.

Sampai di asrama, kudapati sosok si Hakim Fidelia duduk di pinggir selokan dengan posisi yang sama seperti kemarin malam. Dia masih duduk sambil memeluk lututnya, dan kali itu, karena rasa penasaran serta merasa waktuku cukup longgar, aku berjalan memutarinya.

Dia mengangkat kepala waktu aku sampai di depannya dan tahulah aku mengapa dia duduk dengan posisi demikian.

“Kakimu ...?”

“Kukunya patah,” jawabnya singkat.

Kuku jari jempol kakinya patah. Patah betulan dan separuh lepas dari dagingnya tapi belum benar-benar terputus, seperti habis ditimpa dengan benda berat yang tajam. Aku menatap si Hakim dengan ngeri. Apakah rasanya sakit? Apa dia bisa menangis karena sakit? Tapi matanya sudah tidak ada, jadi masih bisakah dia menangis?

Pertanyaanku pun terlontar,

“Apa kau kesakitan?”

Herannya, si Bocah Hakim malah mengayun-ayunkan tubuhnya dengan riang. “Ini sudah tugasku.”

Suaranya tetap merdu dan lugu seperti anak kecil, tapi mengandung nada pasrah yang membuatku marah.

“Kau, ‘kan, nggak perlu menanggung sakit akibat kesalahan orang lain!”

“Tapi aku senantiasa merasakan sakit sampai tidak bisa lagi merasakannya.”

Jawabannya betul-betul di luar dugaanku dan rasa kasihan pada makhluk ini lagi-lagi melandaku. Seperti apa rasanya merasakan sakit sepanjang waktu? Si Bocah Hakim merabai kuku jempol kakinya yang tinggal separuh itu, bukan dengan usapan hati-hati untuk meredakan sakit, tapi lebih seperti ungkapan kehilangan yang mendalam.

“Apa yang terjadi dengan anggota tubuhmu yang sudah tidak ada?” Aku bertanya pelan-pelan, mencoba merasakan kepedihan yang sama dengan si Hakim. Entahlah. Aku baru hidup selama dua dekade dan dilanda migrain serta vertigo beberapa kali dalam setahun saja rasanya sudah begitu menyiksa. Belum ditambah nyeri yang ada di kakiku sejak beberapa jam yang lalu. Kalau Fidelia sudah ada sejak manusia diciptakan, sudah berapa ribu tahun si Hakim didera rasa sakit?

“Kau menanyakan rambutku, mataku, atau kukuku?”

Aku mengernyit. “Apa nggak sama?” Aku mengingat-ingat. “Fidelia yang lain pernah bilang, dulu rambutmu rontok sangat banyak ketika disisir.”

“Ya, betul. Semua rambut itu jatuh ke tanah. Begitu saja.”

“Lalu matamu?”

“Tiba-tiba gatal dan berair. Seperti kalian manusia kalau mata kalian kemasukan debu. Tapi milikku ditumbuhi belatung setelahnya.”

Aku memekik. Segala hal tentang si Hakim selalu membuatku terkejut dan ngeri.

“Lalu, apa yang terjadi?” tanyaku takut-takut, tak sanggup membayangkan apa selanjutnya.

“Ketika sudah tak bisa dipakai lagi, kucungkil keduanya keluar.”

Dia bilang ‘sudah tak bisa dipakai lagi’? Dia mencungkil matanya sendiri? Astaga. Aku merasa sudah cukup dengan cerita yang lebih seram daripada kisah horor mana pun yang pernah kubaca ini, tapi ...

“Tapi kau tetap bisa melihat.” Keingintahuanku mengusir kengerian. Aku mencoba menghubungkan logika yang aku tahu tentang anatomi tubuh manusia dengan eksistensi Fidelia yang satu ini, tapi belum ketemu hubungannya.

“Karena kami melihat bukan hanya dengan mata.”

“Lalu?” Aku mengernyit. “Dengan hati?” Lontarku, memikirkan betapa dalamnya makna kalimat itu apabila benar dan teringat ada kalimat dalam Alkitab yang bunyinya mirip.

“Betul. Kami melihat dengan hati.”

Pikiranku kembali ke beberapa waktu silam ketika aku mempertanyakan apa hubungan Fidelia dengan Tuhan. Si Hakim melanjutkan,

“Dan kalau orang itu begini terus, tahun depan mungkin aku sudah tak punya kuku jempol sama sekali.”

“Hah?” Aku bergidik ngeri. “Siapa orang itu?”

Si Hakim hanya menjawab singkat, “Si Pencuri Besar.”

“Siapa namanya?” desakku. Si Hakim tidak menjawab.

“Laki-laki atau perempuan?” Yang kutanya juga masih bungkam. Mungkin mereka memang tidak diperbolehkan menyebut nama si pencuri—eh, tapi, oleh siapa? Fidelia bukan malaikat yang patuh kepada Tuhan dan melayani-Nya.

Kucoba pendekatan lain, “Tunggu dulu. Kau tadi bilang, ‘tahun depan’?”

Kali ini si Hakim mengangguk dan berbicara, “Prosesnya biasanya bisa makan waktu bertahun-tahun.”

“Prosesnya?” Aku diam sebentar, berpikir. “Proses ... rusaknya anggota tubuhmu?”

“Benar,” sahut si Bocah Hakim. “Aku sendiri tak pernah tahu kapan pastinya kerusakan itu mencapai akhirnya, juga seberapa besar kemajuan yang perlu dicapai si pencuri dalam aksinya untuk cukup merusak tubuhku.”

Aku tak sanggup membayangkannya, tapi si Hakim melanjutkan bercerita,

“Yang kasus Hitler dulu saja, sampai belasan tahun. Dan tumbalnya adalah sebegitu banyaknya nyawa orang Yahudi.”

“Jadi, orang itu, yang kaubilang si Pencuri Besar, bisa saja saat ini dia sedang beraksi dan masih akan terus menjalankan pencuriannya, pelan-pelan mengeruk kekayaan, dan kau sendiri tidak akan tahu sampai sejauh mana kerusakan yang dia perbuat?”

Si Hakim mengangguk-angguk dengan riang, tapi mulutnya tidak tersenyum.

Perasaan yang menyakitkan tiba-tiba menikamku. Apakah tindakanku menulis tentang Fidelia di blog, juga dihitung sebagai ketidakjujuran terhadap mereka? Dan efeknya merupakan siksaan perlahan bagi si Hakim seiring waktu?

“Sampai kapan?” bisikku dengan getir. “Sampai kapan dia akan terus merusakmu?”

“Entahlah, tak ada yang betul-betul tahu. Mungkin Tuhanmu—atau dewamu, atau apa pun sebutan kalian untuk-Nya—tahu, tapi kami tidak pernah tahu. Barangkali sudah diputuskan bahwa dia akan mati seperti Hitler yang bunuh diri, dan dengan demikian kejahatannya akan berakhir, begitu pula penderitaanku karena orang itu. Tapi, selama masih ada manusia fana di bumi ini, ketidakjujuran akan selalu ada.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The life of a monkey
577      322     4     
Short Story
This is a story about a monkey named Koko.
Wanna Be
6254      1723     3     
Fan Fiction
Ia dapat mendengar suaranya. . . Jelas sekali, lebih jelas dari suara hatinya sendiri. Ia sangat ingin terus dapat melihatnya.. Ia ingin sekali untuk mengatakan selantang-lantangnya Namun ia tak punya tenaga sedikitpun untuk mengatakannya. Ia sadar, ia harus segera terbangun dan bergegas membebaskan dirinya sendiri...
Matches
648      387     4     
Short Story
A cute little thing about two best friends
Anak Magang
128      120     1     
Fan Fiction
Bercerita sekelompok mahasiswa yang berusaha menyelesaikan tugas akhirnya yaitu magang. Mereka adalah Reski, Iqbal, Rival, Akbar. Sebelum nya, mereka belum mengenal satu sama lain. Dan mereka juga bukan teman dekat atau sahabat pada umumnya. Mereka hanya di tugaskan untuk menyelesaikan tugas nya dari kampus. Sampai suatu ketika. Salah satu di antara mereka berkhianat. Akan kah kebersamaan mereka ...
Heya! That Stalker Boy
583      355     2     
Short Story
Levinka Maharani seorang balerina penggemar musik metallica yang juga seorang mahasiswi di salah satu universitas di Jakarta menghadapi masalah besar saat seorang stalker gila datang dan mengacaukan hidupnya. Apakah Levinka bisa lepas dari jeratan Stalkernya itu? Dan apakah menjadi penguntit adalah cara yang benar untuk mencintai seseorang? Simak kisahnya di Heya! That Stalker Boy
Eternal Sakura
1014      582     1     
Short Story
\"Sampai jumpa tahun esok Hana...!! di hari yang sama, di musim semi ketika bunga Sakura mekar, kami akan mengunjungi mu lagi.......!!\"
Harsa untuk Amerta
285      226     0     
Fantasy
Sepenggal kisah tak biasa berlatar waktu tahun 2056 dari pemuda bernama Harsa sang kebahagiaan dan gadis bernama Amerta sang keabadian. Kisah yang membawamu untuk menyelam lebih dalam saat dunia telah dikuasai oleh robot manusia, keserakahan manusia, dan peristiwa lain yang perlahan melenyapkan manusia dari muka bumi. Sang keabadian yang menginginkan kebahagiaan, yang memeluk kesedihan, yan...
Ojek
859      594     1     
Short Story
Hanya cerita klise antara dua orang yang telah lama kenal. Terikat benang merah tak kasat mata, Gilang dihadapkan lagi pada dua pilihan sulit, tetap seperti dulu (terus mengikuti si gadis) atau memulai langkah baru (berdiri pada pilihannya).
Persinggahan Hati
2113      850     1     
Romance
Pesan dibalik artikel Azkia, membuatnya bertanya - tanya. Pasalnya, pesan tersebut dibuat oleh pelaku yang telah merusak mading sekolahnya, sekaligus orang yang akan mengkhitbahnya kelak setelah ia lulus sekolah. Siapakah orang tersebut ? Dan mengakhiri CInta Diamnya pada Rifqi ?
Late Night Butterfly
36      33     0     
Mystery
Maka sejenak, keinginan sederhana Rebecca Hahnemann adalah untuk membebaskan jiwa Amigdala yang membisu di sebuah belenggu bernama Violetis, acap kali ia memanjatkan harap agar dunia bisa kembali sama meski ia tahu itu tidak akan serupa. "Pulanglah dengan tenang bersama semua harapanmu yang pupus itu, Amigdala..." ucapnya singkat, lalu meletupkan permen karet saat langkah kakinya kian menjauh....