Loading...
Logo TinLit
Read Story - Fidelia
MENU
About Us  

Di suatu hari Minggu pagi, aku bangun terlalu siang dan terlambat untuk pergi ke gereja.

Sekitar sejam sebelumnya aku sudah bangun karena mendengar lonceng gereja di dekat asrama, tapi sakit kepalaku kujadikan alasan untuk tetap bertahan di tempat tidur. Setengah sadar, aku tahu Elena dan kakak-kakak sekamarku mencoba membangunkanku untuk ke gereja. Aku bergumam-gumam, berharap mereka bisa mendengarku, bahwa aku sakit kepala dan akan ikut misa sore saja.

Ini semua gara-gara sepanjang malam aku mendengar suara itu. Suara itu, yang hanya ada satu penyebabnya: Fidelia. Sangat menggangguku sebegini rupa—kepalaku betulan terasa berputar lantaran insomnia, padahal aku tak pernah punya riwayat vertigo—dan aku membencinya.

Kak Ribka kehilangan ponselnya tadi malam. Dia bilang dia ingat dengan jelas bahwa dia meletakkannya di tempat tidur sore harinya, tapi barang itu hilang setelah jam makan malam. Terompet si Fidelia sudah berbunyi bahkan sejak sebelum Kak Ribka meminta teman-teman sekamarnya membantu mencari, yang akhirnya meluas sampai hampir seasrama, karena dia sudah mencoba menelepon dan melacak GPS tanpa hasil.

Ponsel itu tetap tidak ketemu sampai tengah malam dan Suster Eva minta kami semua pergi tidur.

Dan aku gagal tidur lelap gara-gara bunyi terompet itu tak kunjung berhenti.

Seingatku, yang hanya bisa mengingat samar-samar karena kurang tidur, bunyi terompet itu berhenti sekitar dini hari, digantikan oleh suara anak kecil yang bernyanyi. Dia menyanyikan Twinkle-twinkle Little Star berulang-ulang dan aku tidak dapat ingat lebih banyak lagi. Aku hanya tidur pulas sekitar dua jam; sisanya, sesekali terjaga lalu setengah terlelap sambil masih mendengar bunyi-bunyian itu.

Triad Fidelia adalah, menurut penuturan Kristin kepadaku, para penjaga kejujuran. Istilah itu disimpulkan oleh Kristin sendiri karena dia tidak pernah bicara dengan mereka, kecuali pada saat pertama kali Kristin menanyakan pada si anak kecil, siapa namanya.

Ketika sebuah pencurian akan terjadi, Fidelia pembawa terompet akan meniup terompetnya keras-keras; seolah-olah itu dimaksudkan sebagai alarm pencuri di rumah-rumah modern Amerika dan Eropa. Lalu, kalau pencurinya tidak berhenti dari usahanya mencuri atau tidak mengembalikan barang yang diambilnya—bahkan yang kuketahui selanjutnya, memiliki niat untuk mengembalikannya saja sudah cukup—si bocah Fidelia akan menyanyikan lagu anak-anak. Kristin tak tahu mengapa harus lagu anak-anak. Dia pernah dengar bocah itu menyanyikan lagu Si Kancil Anak Nakal, Balonku, dan Naik-naik ke Puncak Gunung. Kalau dari pengalamanku, lagu yang dinyanyikan si bocah Fidelia selalu nursery song berbahasa Inggris. Dari situ, Kristin berteori bahwa apa yang didengar dinyanyikan oleh si Fidelia akan relatif terhadap pendengarnya sendiri, dan bahwa karena aku dibesarkan di keluarga yang sangat fasih berbahasa Inggris maka itulah lagu-lagu yang kudengar.

Terakhir, jika si pencuri betul-betul melaksanakan kejahatannya, si wanita Fidelia bersayap peri akan membuka buku hitamnya—itu benda bersampul bulu yang kulihat dipegangnya di pojok ruang makan—lalu menulis dengan pena bulu hitam juga. Nama si pencuri telah dicatat, dan tak ada jalan untuk kembali; dia sudah dihakimi dan telah dijatuhi putusan, bahwa dia tidak setia pada kejujuran. Bukan berarti si pencuri bakalan mati mendadak atau kena tulah seperti yang dikisahkan di Alkitab Perjanjian Lama; hukuman dari Tuhan akan diberikan ketika si kriminal sudah meninggal, tapi jelas hukum karma akan bekerja lebih dulu, mengakibatkan kesialan menimpa si pelaku. Fidelia tak punya hak untuk mengintervensi perihal yang hidup dan yang mati. Mereka hanya membawa keadilan atas nama kejujuran.

Suara Kristin bernada sombong ketika dia bercerita tentang ini. Dia bisa melihat makhluk-makhluk itu sejak dia taman kanak-kanak, meskipun dia tidak tahu alasannya—atau tidak ingat karena masih terlalu kecil. Dan aku juga jadi bertanya-tanya alasan pada kasusku sendiri. Baru-baru ini saja aku mengalaminya, jadi ini pasti tak ada hubungannya dengan masa kecilku atau masa sekolahku di kampung halaman.

“Susah tidur semalem?” Kristin bertanya saat kami berdua makan pagi, lebih pagi daripada teman-teman yang belum pulang dari gereja. Alasan Kristin tidak ikut misa pagi adalah karena melembur makalah lain semalam, bukan sepertiku yang terganggu tidurnya oleh Fidelia. “Terompetnya memang berisik, tapi lama-lama kamu bakalan terbiasa, kok.”

Aku melotot sambil menyesap tehku. “Lama-lama bakal terbiasa!? Oh, Tuhan ....”

“Kadang aku sumpel telinga pakai headset, pasang lagu sambil tidur.” Kristin angkat bahu.

Migrain-ku bisa kumat kalau tidur pakai headset,” gerutuku. “Percayalah, aku udah pernah coba. Sekarang bakalan tambah satu lagi penyakitku: vertigo!”

“Suaranya biasanya nggak sekeras ini, Ra,” kilah Kristin. “Kayaknya itu karena pelakunya orang dalam, deh. Tapi ... siapa?”

Aku mendengus kesal, mengabaikan untuk sementara dugaan Kristin bahwa ada pencuri di antara anak asrama karena masih ingin merutuki penyebab insomniaku. “Apa mereka selalu berbuat begitu tiap kali ada pencurian? Di seluruh dunia? Kedengerannya, kok, mustahil ....”

Kristin berpikir-pikir juga. “Iya, sih. Bisa jadi ada beberapa pencurian terjadi di waktu bersamaan, kalau kita bicara tentang seluruh dunia. Kenapa kamu nggak coba tanya ke mereka?”

Aku mengangkat alis keheranan. “Kok, aku? Gimana caranya? Maksudku, mereka aja cuma sekali bicara sama kamu.”

“Itu misteri besar yang juga pengin aku cari jawabannya,” sahut Kristin. “Kamu tahu, Ra, aku belum pernah nemu orang lain yang bisa lihat mereka, bahkan temen SMA-ku yang seorang indigo. Dan mereka, Fidelia itu, punya tubuh yang solid ... kamu ngerti maksudku .... Itulah mengapa aku bilang mereka bukan hantu. Kamu, ‘kan, nggak bisa menyentuh hantu.”

“Apa, jadi kamu pernah salaman sama mereka?” Aku berceletuk, tiba-tiba merasa lucu. Yang mengejutkanku lagi, Kristin mengangguk, masih dengan tampang serius. “Tu-tunggu. Tin, ceritain dengan lengkap gimana kamu bisa tahu tentang Fidelia dan tahu alur kerja mereka. Gimana dan kapan?”

Kristin meragu sejenak sebelum menghela napas, melirik sebentar ke sekitar asrama yang masih sepi, lalu memulai ceritanya.

“Aku baru umur lima tahun waktu itu, lagi main boneka di ruang tamu, dan aku lihat si bocah laki-laki berdiri di halaman depan rumahku. Kukira dia tetangga baru, jadi aku lari ke luar rumah dan nanya siapa namanya. Iya, sambil ngulurkan tangan kayak gini untuk bersalaman! Posisinya berdiri membelakangiku. Saat itu yang perempuan—iya, yang bawa-bawa buku hitam—datang mendekat. Kukira dia ibunya, karena dia tersenyum ke arahku. Bocah itu menjawab, ‘Aku Fidelia’ dan barulah dia balik badan.” Kristin gemetar sedikit. “Yang aku tahu saat itu juga adalah, bocah itu buta. Dia nggak punya mata, tapi aku terlanjur mengulurkan tangan dan dia menjabat tanganku sambil tersenyum lebar—giginya belum semuanya tumbuh. Saat aku mau menjauh dengan ngeri, perempuan itu tiba-tiba membentangkan sayapnya dan menjelaskan ... apa-apa saja yang dilakukan oleh Fidelia—oleh mereka bertiga.”

Aku masih diam sambil menatap lawan bicaraku. Kristin meneruskan, “Dan dia memperingatkanku untuk nggak ngasih tahu siapa pun kecuali aku nemuin orang lain yang bisa melihat mereka. Aku hanya bisa cerita pada sesama orang yang tahu atau percaya pada keberadaan Fidelia.”

Dalam sekejap di pikiranku muncul pertanyaan, yang mungkin berasal dari bacaan misa minggu lalu: Bagaimana dengan orang yang tidak melihat namun percaya? Seperti yang disampaikan oleh Yesus pada Didimus? Tapi segera kukesampingkan pertanyaan itu, untuk melontarkan yang lebih krusial,

“Dan kalau kamu nggak sengaja bilang pada orang yang nggak bisa lihat mereka ...?”

“Perempuan itu bilang, kesialan akan menimpaku.”

Aku mengerucutkan bibir, merasa skeptis. “Jadi seolah sama saja dengan kamu mencuri, dong. Kamu percaya hal begituan, Tin?”

“Waktu itu aku masih kecil banget. Aku nggak berani cerita ke orang tuaku, dan aku simpan sendiri rahasia itu, kuanggap semuanya mimpi. Tapi soal pencuriannya dan hukumannya selalu benar terjadi,” tangkis Kristin. “Pernah ada perampokan bank di kota dekat rumahku, dan beberapa hari kemudian komplotan pencurinya ditemukan meninggal karena kecelakaan mobil. Dalam hal-hal kecil juga begitu, misalnya ada tetanggaku yang mencuri ayam. Minggu berikutnya rumahnya kebakaran. Pelakunya selalu kena batunya.”

Aku menandaskan sisa tehku yang mulai dingin, mulai merasa mual akibat pengaruh vertigo. “Jadi mestinya pencuri ponsel Kak Ribka akan segera kena batunya.”

Kristin menyetujui, “Kupikir juga ‘gitu.”

*

Dua minggu sudah berlalu sejak Kak Ribka kehilangan ponselnya, tapi aku tidak mendengar kabar apa pun—apakah ponselnya sudah ditemukan kembali, atau pencurinya sudah ketahuan, atau apa pun. Ujian tengah semester telah lewat dan aku berusaha tidak memikirkan hasilnya—ujian Kimia Organik, di luar dugaan, adalah yang paling sulit dan aku nyaris tak selesai mengerjakannya.

Kemarin, ketika aku akan berangkat ke kampus, aku melihat Frida sedang mengepak barang-barangnya ke dalam kardus di teras kamar—dan ada mobil pickup bertuliskan ‘Jasa Angkut’ diparkir di depan asrama. Saat aku pulang ke asrama siangnya, Frida sudah tidak ada. Aku bertanya pada Elena, barangkali dia tahu kenapa Frida pindah dari asrama, tapi dia juga tak tahu-menahu. Baru empat bulan kami mahasiswa baru tinggal di asrama, dan kelihatannya Frida tak pernah melanggar jam malam asrama maupun peraturan lainnya, jadi apa alasannya keluar? Tapi lalu kuingat lagi, bahwa Frida tidak seluwes aku dalam pergaulan seorang introvert. Dia tidak dekat dengan siapa pun di asrama. Meski begitu, dia adalah yang paling rajin untuk hadir dalam misa harian dan hampir tiap malam dia datangi kapel asrama untuk berdoa sendirian. Bahkan saat perkenalan kudengar dia tinggal di sini karena rekomendasi pamannya yang adalah seorang pastor dan bibinya yang biarawati, serta impiannya di masa depan adalah untuk menjadi seorang biarawati juga.

Jadi, aku amat sangat terkejut ketika tahu bahwa Frida adalah si pencuri—orang yang mencuri ponsel Kak Ribka. Aku tahu, tapi bukan dari Suster Eva atau dari mahasiswi lainnya.

Fidelia yang memberitahuku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Gebetan Krisan
516      366     3     
Short Story
Jelas Krisan jadi termangu-mangu. Bagaimana bisa dia harus bersaing dengan sahabatnya sendiri? Bagaimana mungkin keduanya bisa menyukai cowok yang sama? Kebetulan macam apa ini? Argh—tanpa sadar, Krisan menusuk-nusuk bola baksonya dengan kalut.
Wanna Be
6251      1723     3     
Fan Fiction
Ia dapat mendengar suaranya. . . Jelas sekali, lebih jelas dari suara hatinya sendiri. Ia sangat ingin terus dapat melihatnya.. Ia ingin sekali untuk mengatakan selantang-lantangnya Namun ia tak punya tenaga sedikitpun untuk mengatakannya. Ia sadar, ia harus segera terbangun dan bergegas membebaskan dirinya sendiri...
Warna Untuk Pelangi
8628      1831     4     
Romance
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi. Revi tidak ...
Langkah yang Tak Diizinkan
214      175     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
The Past or The Future
466      369     1     
Romance
Semuanya karena takdir. Begitu juga dengan Tia. Takdirnya untuk bertemu seorang laki-laki yang akan merubah semua kehidupannya. Dan siapa tahu kalau ternyata takdir benang merahnya bukan hanya sampai di situ. Ia harus dipertemukan oleh seseorang yang membuatnya bimbang. Yang manakah takdir yang telah Tuhan tuliskan untuknya?
My World
787      528     1     
Fantasy
Yang Luna ketahui adalah dirinya merupakan manusia biasa, tidak memiliki keistimewaan yang sangat woah. Hidup normal menyelimutinya hingga dirinya berusia 20 tahun. Sepucuk surat tergeletak di meja belajarnya, ia menemukannya setelah menyadari bahwa langit menampilkan matahari dan bulan berdiri berdampingan, pula langit yang setengah siang dan setengah malam. Tentu saja hal ini aneh baginya. I...
The Eternal Love
21437      3259     18     
Romance
Hazel Star, perempuan pilihan yang pergi ke masa depan lewat perantara novel fiksi "The Eternal Love". Dia terkejut setelah tiba-tiba bangun disebuat tempat asing dan juga mendapatkan suprise anniversary dari tokoh novel yang dibacanya didunia nyata, Zaidan Abriana. Hazel juga terkejut setelah tahu bahwa saat itu dia tengah berada ditahun 2022. Tak hanya itu, disana juga Hazel memili...
Kacamata Monita
1950      675     4     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
GEANDRA
495      392     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
Invisible Girl
1256      647     1     
Fan Fiction
Cerita ini terbagi menjadi 3 part yang saling berkaitan. Selamat Membaca :)