“Oi! Ini hari Selasa siang!”
Aku membuka mata lebar-lebar. Ugh, Elena memang selalu jadi teman kamarku yang berisik. Tapi, dia benar. Ini hari Selasa siang dan tak ada hal selain Selasa siang yang membawa kebahagiaan hakiki ke dalam asrama.
Hari itu adalah hari Selasa keenam bagiku di asrama, dan sejak hari pertama aku paham bahwa menu makan siang di hari itu berbeda dari biasanya: fillet ayam goreng. Kedengarannya memelas sekali untuk merasa sedemikian senang hanya karena seonggok daging ayam. Tapi memang beginilah kami, membayar biaya hidup yang jauh lebih murah daripada anak kos pada umumnya untuk mendapat jauh lebih banyak, dengan makan tiga kali sehari ditambah kamar yang nyaman beserta perabotnya. Fillet ayam yang hadir satu kali dalam seminggu seperti hari hujan penuh berkat di musim kemarau.
Di luar sana banyak orang yang tidak seberuntung kami soal makanan, bahkan mungkin terpaksa mengais sisa makanan dari sampah restoran—melihat betapa banyaknya makanan yang berakhir di tempat sampah di video tentang Hari Pangan Sedunia betul-betul menyakitkan. Jadi tak sepantasnya ada komplain mengenai kenapa hanya satu hari dalam seminggu ada menu daging ayam di meja makan asrama.
Bahkan, kami harusnya lebih bersyukur lagi. Kami pernah mengunjungi panti asuhan yang dikelola oleh yayasan yang sama dengan asrama, dan di sana Elena berceletuk, melontarkan pertanyaan yang menurutnya lazim-lazim saja,
“Kalian makan enak di hari apa?”
Kontan anak-anak dari berbagai daerah itu kebingungan. Maksud Elena sebetulnya, di hari apa mereka makan menu ayam seperti kami di hari Selasa. Tapi rupanya jawaban salah seorang dari mereka—yang cukup percaya diri untuk menjawab—sangat di luar dugaan,
“Tiap hari makannya enak!” Dan anak manis berambut keriting itu mengucapkannya sambil nyengir bahagia.
Bohong kalau bilang aku tidak terharu. Nonton Les Misérables saja aku nangis sampai habis separuh kotak tisu. Mau dibilang cengeng, terserah saja. Tapi orang-orang di asrama belum tahu bahwa aku gampang menangis. Jangan sampai, lah. Gengsi, dong! Mau dibawa ke mana imejku yang kalem tapi punya bibit narsis ini?
Dan ini sudah dua minggu sejak berakhirnya tugas-tugas kampus yang aneh untuk mahasiswa baru (untuk mawar yang kami ambil, Suster Eva meminta aku dan Kristin membantu Pak Teguh menyiangi kebun untuk satu hari saat kami libur. Bayaran yang setimpal, menurutku.) Kelas kuliah sudah dimulai, begitu pula unit kegiatan mahasiswa yang kalau zaman sekolah namanya kegiatan ekstrakurikuler. Aku mencoba mendaftar Paduan Suara Mahasiswa tapi gagal dalam audisi tahap dua, karena aku tidak selancar itu membaca not balok. Sedangkan Kristin, dia berhasil lolos dan sekarang menjadi anggota tetap PSM universitas. Kuselamati dia, tapi dalam hati aku juga merasa agak iri. Memang banyak hal lain yang bisa kulakukan selain bernyanyi, tapi, arti nama yang melekat pada diriku dan darah penyanyi dari orang tuaku membuatku sulit menerima kegagalan itu (padahal hanya aku sendiri yang menyebutnya kegagalan. Orang tuaku bilang aku bisa mencoba lagi tahun depan).
Oh, sudahlah. Aku harus segera pergi ke ruang makan.
“Elena, tungguin aku!” seruku, tapi yang bersangkutan sudah kabur dari kamar.
*
“Wow. Macam orang antre sembako saja,” komentarku begitu sampai di ruang makan.
Barisan di ruang makan memang persis seperti yang pernah kulihat di televisi. Tapi, alih-alih mengantre untuk dapat sembako murah dari pemerintah, kami mengantre untuk makan fillet ayam yang hanya muncul sekali seminggu. Wajah-wajah penuh gairah ini bukannya benar-benar kelaparan; mereka hanya tak ingin melewatkan kesempatan meraih kenikmatan duniawi ini.
Kalau Rio de Janeiro punya Festival Mardi Gras, di mana orang makan puas sampai kenyang di hari Selasa sebelum besoknya berpuasa di hari Rabu Abu, bisa dibilang asramaku menggelar festival itu tiap hari Selasa. Antrean makan di hari lain tidak pernah seperti hari Selasa siang.
Aku tidak komplain soal menunggu antrean, karena selain berkat ajaran orang tua dan guru agama, kesabaranku sudah terlatih lantaran sering pulang-pergi naik angkot waktu sekolah dulu. Tapi, Elena, yang tidak setia kawan dan tadi malah mendahuluiku ke ruang makan, ternyata tak jauh di depanku sekarang. Aku menggodanya seraya meraih piring,
“Hati-hati, nanti ayamnya habis waktu Elena sampai ke meja.”
“Haaaaa, jangan!” Elena menoleh ke arahku dan mengerang. “Aku punya banyak pe-er, nih! Nggak mau kehabisan bahan bakar!”
Motto hidup Elena adalah, logika tak akan berjalan tanpa logistik. Beberapa mahasiswi yang mengantre di antara aku dan Elena terkikik dan senyum-senyum karena sudah tahu juga akan hal itu.
Elena juga mahasiswi baru dan satu kamar denganku. Kalau Kristin dan aku sama-sama penyuka musik, Elena suka membaca tulisanku di blog dan bilang bahwa tulisanku bagus, maka wajar saja aku dekat dengannya. Elena juga suka Harry Potter, tapi hanya itu saja buku fiksi yang dia baca, karena dia lebih suka nonton drama Korea.
Dulunya aku menulis di blog hampir setiap hari—hampir seperti buku harian!—tapi tugas-tugas OSPEK betul-betul merepotkan dan menahanku untuk menulis. Kemudian dendamku sudah terbayar lunas. Aku mempublikasikan tiga pos sekaligus seminggu setelah OSPEK berakhir. Satu tentang OSPEK itu sendiri, satu tentang pertukaran mahasiswa, dan satu lagi latar belakangku memilih jurusan kuliah disertai tips dan trik terutama untuk calon mahasiswa.
“Beneran, ini yang terakhir, Elena nggak dapat jatah!” Mahasiswi di depan Elena menyeringai padahal dia sendiri belum sampai ke meja makan. Elena mengeluh sambil mengerucutkan bibir. Pada akhirnya Elena pun sampai, mendapatkan ayamnya, dan beberapa saat kemudian adalah giliranku.
Saat itu aku merasa mendengar, samar-samar, bunyi terompet.
Aku menoleh, mencari-cari sosok Kak Sita, senior yang kuliah di akademi musik yang rasanya kulihat ikut mengantre tadi. Nah, itu dia, sudah di meja untuk makan. Tak mungkin dia yang sedang latihan terompet; dia memang membawa instrumen itu ke asrama untuk kuliahnya. Jadi, barusan suara apa?
“Nih, Ashira,” seloroh mahasiswi dengan rambut panjang berombak, menyerahkan sendok padaku setelah mengambil jatah ayamnya. Namanya ... tunggu sebentar ... Frida. Dia juga mahasiswi baru tapi aku tak begitu mengenalnya. Selain karena kamar kami berjauhan, dia jauh lebih pendiam daripada aku. Aku menyendok lima potong ayam fillet ke piringku, sesuai jatah yang diumumkan secara tertulis di depan mangkuk ayamnya, lalu berjalan ke arah meja bundar yang masih ada tempat—sudah ada tujuh orang di sana, tapi yang lain lebih penuh lagi. Lagipula di meja itu ada Kristin dan Elena. Frida pun duduk di sana, begitu pula Kak Sita, juga tiga orang senior, para mahasiswi tahun kedua, yang aku lupa namanya.
Kami pun berdoa bersama-sama sesuai keyakinan masing-masing. Selanjutnya ruang makan dipenuhi suara kompak, “Selamat makan!” dan kami menikmati sukacita surgawi itu selagi aku mengamati wajah para senior yang satu meja dan mencoba mencocokkannya dengan nama-nama dalam ingatanku. Sudah lewat sebulan sejak acara perkenalan, maklum dong kalau lupa. Tapi, setelah makan siang ini selesai, ketika kami selesai mencuci piring bersama, kami harus saling berterima kasih dengan memanggil nama—dan melupakan nama senior sama saja cari mati. Sanksinya lebih berat daripada jika mengeluarkan ponsel saat sedang di meja makan (ponselnya disita Suster selama seminggu); di-bully seluruh senior seasrama!
Aku berbisik pada Kristin, mencari pertolongan,
“Sebelah kirinya Kak Sita namanya siapa?”
“Kak Bella.”
“Sebelahnya lagi?” lanjutku sambil memasukkan sepotong ayam ke mulut, senatural mungkin agar tak tampak sedang bicara dengan Kristin.
“Kalau nggak salah, Kak Vira.”
Aku bertanya pelan-pelan pada Elena di sisiku yang satunya, takut Kak Sita yang di sebelahnya mendengarku. Elena cukup yakin yang berkacamata itu memang Kak Vira, tapi tidak tahu nama yang satu lagi. Mana kakak yang satu itu garis dagu dan sinar matanya tampak keras, wah, ini orang pasti galak setengah mampus! Aku mengkode Kristin untuk bertanya pada Frida di sebelahnya, tapi agaknya Frida sangat berkonsentrasi pada makanannya. Fillet ayamnya masih tersisa dua potong, padahal nasi dan sayurnya sudah habis.
“Eh, Frida, habiskan makanannya. Rezeki, kok, dibuang-buang,” tegur si senior yang belum bisa kuingat namanya.
Frida tampak agak kaget karena seorang senior bicara padanya—menegurnya. “Eh-oh, iya, Kak Ribka.”
Jadi, rupanya nama senior yang tampak galak itu adalah Kak Ribka.
“Strateginya Frida bagus, tuh, yang paling enak dimakannya terakhir,” kikik Kak Vira dengan jenaka. Para senior tertawa, kami pun ikut serta. Frida tampak malu-malu, mengunyah ayamnya dalam diam.
Tiba-tiba, suara terompet itu muncul lagi, bahkan lebih kencang daripada sebelumnya. Kutolehkan kepalaku ke arah jendela ruang makan karena merasa bahwa bunyi itu mestinya berasal dari luar ruangan. “Hei. Apa kalian denger yang barusan?” Suaraku keluar agak kelewat keras, meski aku berniat hanya bertanya pada Kristin dan Elena.
“Denger apa?” Elena balas bertanya, tapi semua orang di meja itu memandangiku dengan pandang bertanya juga.
“Suara keras kayak ....” Aku tak sanggup menyelesaikan kalimatku dan malah terkesiap. Apa yang kulihat itu, berdiri di belakang Frida dan Kak Ribka? Sesosok anak kecil ... anak laki-laki, lebih tepatnya. Tunggu dulu, ini ‘kan, asrama khusus perempuan! Tak seharusnya ada laki-laki di dalam sini kecuali karyawan asrama. Secepat itu pikiranku melesat, secepat itu pula anak itu lenyap saat aku berkedip.
“Bunyi apa, Ashira?” tanya Kak Sita.
“Kak Sita lihat ada anak laki-laki berdiri di belakang Frida dan Kak Ribka tadi?” aku bertanya balik. Setelah pertanyaan itu mengudara, dua orang yang kusebut namanya segera menoleh, tapi tak ada siapa-siapa di belakang mereka. Seisi meja itu terdiam dan saling pandang.
“Jadi, Ra,” Elena buka suara dengan rintihan gemetar, “ternyata kamu bisa lihat mereka.” Wajahnya mendadak jadi pucat sekali seperti orang sakit tifus. “Kok, kamu nggak pernah bilang sebelumnya? Serem, tahu.”
“Hah?” gumamku tak paham.
Keempat senior menatapku dengan mata terbelalak, sementara Frida yang tampak kaget masih terus mengunyah ayamnya, dan Kristin ... mata Kristin berbinar dengan minat dan keingintahuan, entah untuk alasan apa, tapi belum ada yang bicara lagi. Tiba-tiba aku merasa cemas. Rasanya ada yang salah di meja ini, dan intuisiku biasanya banyak benarnya, tapi apa yang salah itu?
Kemudian terompet itu berbunyi lagi, keras dan singkat, nyaris persis di telingaku yang sebelah kanan. Aku menoleh perlahan pada Kristin di sebelah kananku dan menatapnya lekat-lekat.
“Itu dia barusan! Jelas banget, Tin! Apa kamu denger?”
“Apa bunyinya kayak klakson truk tukang sampah?” Kristin bertanya balik.
Memang ada tukang sampah beserta truknya yang tiap hari datang ke asrama, tapi—
“Nggak mungkin, lah! Tukang sampah datangnya cuma di pagi hari!” Kak Ribka menyuarakan apa yang kupikirkan.
“Lagian ini masih tengah hari, Ra. Hantu, tuh, takut sama sinar matahari, makanya mungkin kamu cuma bisa dengar samar-samar,” ujar Kak Vira dengan nada serius sambil membetulkan letak kacamata bulatnya. “Tapi kamu tenang aja. Kalian juga, ya!” Dia bicara juga pada Frida, Kristin, dan Elena. “Abaikan aja. Orang bilang asrama kita ini berhantu, dan itu nggak sepenuhnya salah. Kalau kalian dengar atau lihat sesuatu yang nggak biasa, biarkan aja. Mereka nggak akan mengganggu kita kalau kita nggak ganggu mereka.”
Melihat kami tercengang, Kak Sita dan Kak Bella tertawa. “Si Vira ini udah pernah didatangin,” ujar Kak Sita.
“Gegara sering begadang, sih!” sambung Kak Bella.
“Yang ceritanya ada ketukan-ketukan di jendela itu, bukan?” tanya Kak Ribka, mencondongkan badan ingin tahu.
“Iya, betul. Mereka itu baik, kok, sebetulnya. ‘Tok-tok-tok, Vira, sudah waktunya tidur.’” Kak Vira membuat gerakan seperti mengetuk di udara sambil nyengir. “Sering, tuh, kalau aku nugas sampai dini hari. Kalau udah gitu, sekalian aku bablasin sampai azan subuh, terus salat subuh, baru tidur.”
“Walah, walah ...,” komentar Kak Ribka.
“Kalian pernah nggak, sih, kehilangan barang pas lagi dibutuhin, terus barangnya tiba-tiba muncul di tempat aneh waktu udah nggak butuh?” celetuk Kak Bella. “Gunting kuku, kalau kasusku. Seminggu hilang, terus ketemu di laci. Padahal aku sendiri nggak pernah taruh di sana.”
*
Masih di sore yang sama, aku berencana pergi ke toko buku dan melewati pintu dapur saat berangkat. Kujengukkan kepala untuk berpamitan pada juru masak—yang mestinya sebentar lagi akan pulang ke rumah masing-masing—sekalian mau bertanya apa menu makan malamnya. Tapi tak tampak ada orang, jadi aku berbelok masuk ke dapur. Aroma bawang yang sedap membuai indera penciumanku ketika aku mendengar sepotong kalimat,
“... ngambil fillet ayam lebih dari jatah seharusnya.”
Aku berhenti, meragu. Mbak Beta sudah melihatku.
“Halo, Ashira! Mau ke mana?” Bu Feni, juru masak yang lebih tua, bicara duluan.
“Ngg, saya mau ke toko buku, Bu, sama sekalian, cuma mau tahu saja menu makan malamnya apa?”
Masih Bu Feni yang menyahut, sementara Mbak Beta sedang memindahkan lauk dari wajan besar,
“Sup tomat dan tahu goreng, Nak.”
Ya ampun, kontras dengan menu mewah ayam tadi siang! Tapi, hei, aku ‘kan tetap bersyukur karena masih dapat makan tanpa bersusah-susah. “Wah, terima kasih, Bu. Terus tadi ... soal fillet ayam, kenapa, ya?”
“Oh, bukan apa-apa, kok,” sambar Mbak Beta. “Lupakan aja, Ra.” Dia pergi dari dapur untuk melepas celemeknya, tampak agak marah.
Aku jelas terkejut karena sangat tak biasa melihat Mbak Beta yang ceria itu bisa marah-marah, tapi salahku juga, sih. Seolah aku mencuri dengar apa yang bukan urusanku.
“Maaf, ya, Bu Feni. Saya pergi dulu.”
“Nggak apa-apa, santai aja, Ashira. Beta cuma kesal sedikit! Tapi saya juga belum bisa cerita apa-apa ....”
Dengan anggukan dan senyuman sekali lagi, aku pun pergi.
*
Saat aku sampai ke tempat parkir sepeda di pojok parkiran motor asrama, aku melihat bocah laki-laki itu lagi. Dia tak punya rambut, kepalanya botak plontos sama sekali (atau belum tumbuh? Tapi jika ditilik dari ukuran badannya, mestinya dia sudah lebih dari balita). Dia sedang duduk di ambang jendela yang terbuka, mengayun-ayunkan kaki. Dari tempatku berdiri, aku hanya bisa melihat punggungnya. Dia mengenakan kemeja kotak-kotak merah yang tampak sudah tua dari pudar warnanya dan sedang bersenandung—dia menyanyikan lagu yang kedengaran familier di telingaku.
Mencoba mengabaikannya seperti yang disarankan Kak Vira, kukeluarkan sepedaku. Di pintu keluar parkiran, aku berpapasan dengan Frida yang bersepeda motor pulang. Kubunyikan bel, dan dia membalas dengan klakson singkat. Aku pun berangkat ke toko buku sambil mendendangkan lagu Doe Ray Me dari film musikal The Sound of Music sepanjang perjalanan. Lagu yang sama dengan yang dinyanyikan bocah laki-laki itu tadi.
Jadi hantu pun bisa bernyanyi, demikian pikirku. Pada dasarnya aku tidak merasa takut pada hantu, meski baru sekali ini benar-benar melihat salah satunya. Bahkan dalam perkemahan sekolah yang kata teman-temanku angker pun, aku tidak melihat atau mendengar apa-apa yang aneh. Aku memang percaya bahwa di dunia ini ada yang tak kelihatan, hanya saja aku jadi bertanya-tanya mengapa sekarang aku jadi bisa melihat yang tadinya tak kelihatan itu.