Nora tidak bisa bergerak.
Ia berlutut di lantai yang sekeras batu, lututnya perih menumpu tubuhnya sendiri. Tangannya bagai dirantai ke belakang tubuh. Kesenyapan yang mengudara tampak janggal baginya. Ia kira matanya tengah ditutup oleh sesuatu, namun sekitarnya memanglah gelap gulita dan tak ada yang salah dengan matanya. Lengan kanan Nora masih mengeluarkan darah meski tak sebanyak sebelumnya. Selain itu, seluruh tubuhnya terasa baik-baik saja.
Nafasnya normal, meski kecemasan mulai merayap dalam benak. Ia benar-benar tak bisa menggerakkan satupun bagian tubuh di bawah kepalanya dan itulah satu-satunya masalah yang sedang terjadi.
"Kieran?" Nora mencoba.
Sekitarnya tetap senyap. Kegelisahannya semakin terasa seperti kurungan.
"Kieran?!"
Sebuah cahaya tiba-tiba menyala di hadapannya. Cahaya yang muncul dari langit-langit tanpa wujud, menyinari panggung besar yang terpampang aneh.
Nora sontak memberontak keras ketika Kieran ada di sana.
"Kieran! Kieran! Aku di sini! Kieran!"
Namun Kieran tak mendengarnya. Ia hanya berdiri diam, terpaku di atas panggung besar itu. Bayangannya bahkan tak bergerak barang seinchi.
Lalu, seperti dikejutkan oleh sengatan listrik ribuan volt, Kieran tersentak, akhirnya menyadari dimana dirinya sekarang.
"Nora?"
"Kieran! Kemarilah! Aku di sini!"
Kieran tetap tak menoleh padanya. Nora sudah meneriakkan semua tenaganya yang tersisa untuk memanggil pria itu. Namun Kieran tetap tak menoleh. Ia tak bisa mendengarnya dan tak bisa menyadari keberadaannya.
Seseorang tiba-tiba muncul dari kegelapan. Figurnya begitu familiar, tampak tak jauh berbeda dari Kieran. Rambut gelap, mata sewarna langit. Hanya saja orang ini jauh lebih tua dari Kieran, mungkin empat-lima tahun di atasnya. Ia memakai celana kain yang sederhana dan kemeja hitam longgar. Dua tangannya tersembunyi di saku celana. Ia memiringkan sedikit kepalanya dan menatap Kieran dengan cuek.
"Aiden, kau—"
"Kau akhirnya menemukanku." Pria itu berucap dengan nada tak peduli.
Nora menahan nafas. Pantas saja. Pantas saja pria itu mirip sekali dengan Kieran. Dia adalah Aiden Hall, kakak laki-laki Kieran Hall, pria yang sedang berdiri dengan ekspresi kaku di panggung.
"Aku—"
"Dan kau sudah siap membunuhku, rupanya."
Kieran menoleh pada tangan kanannya yang sudah siap memegang pedang. Kieran menggeleng. Meskipun begitu, ia tetap merangsek maju dan menebaskan pedangnya pada Aiden. Aiden menghindar ke samping, melepaskan tangannya dari saku dan menggerakkannya ke arah Kieran. Sebuah garis cahaya keunguan berbentuk heksagonal mengenai Kieran, membuatnya terlempar jauh, nyaris keluar dari lingkaran cahaya panggung.
Nora melihat ekspresi Kieran yang betul-betul membuatnya gelisah. Matanya membelalak karena rasa terkejut dan tidak percaya. Tangannya gemetaran, seluruh tubuhnya juga. Nora tak melihat hal itu sebagai sesuatu yang baik, namun ia tak bisa lepas dari sofa ini mau sekuat apapun ia berusaha.
"Aku dibilang dungu oleh Bibi Esther karena aku tak memiliki sihir. Aku juga tahu jika Ayah sebenarnya amat sangat kecewa padaku."
Aiden kembali menggerakkan tangannya, membentuk garis-garis cahaya yang ia bentuk menjadi sebilah pedang. Sama persis seperti milik Kieran, hanya saja ujung tajam pedang itu mengeluarkan cahaya keunguan yang tampak jahat.
"Tapi sekarang, lihatlah dirimu. Mana Sihir Gelap yang orang tua kita sering bangga-banggakan ada padamu Domba Kecil?"
Kieran bangkit dengan tubuh gemetar. Nora tak pernah mengira mata Kieran yang semula tak terkendali, kini menyiratkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang buas dan liar, yang membuat Nora memberontak lebih keras di kursinya. Amarah, dendam, dan segalanya yang dapat meledak dalam waktu cepat.
Ujung tajam pedang Kieran bercahaya keperakan. Cahaya itu tipis, namun Nora bisa melihatnya dengan jelas. Nora tak pernah melihat hal ini sebelumnya.
"Kau hanya belum melihatnya lagi." Suara Kieran begitu dalam, begitu menekan. Ia maju perlahan-lahan. "Kau bisa melihat sebanyak yang kau mau, Aiden."
Aiden mengerang sembari maju untuk melayangkan pedangnya. Kieran juga menebas ke depan, mengeluarkan Sihir Gelap sebagai pendukung yang tak main-main jumlahnya.
Udara di sekitar Nora kini mendingin. Nora terus berteriak dan berusaha melepas tangannya yang terkunci di belakang punggung, tak bisa lepas. Seolah sebuah tali yang teramat kencang menahannya dari banyak bergerak. Nora berteriak dan mencoba melepaskan diri hingga nafasnya seakan menguap ke udara.
Ia tak ingin melihat dua saudara ini saling membunuh. Tapi ia tetap tak bisa memalingkan atensinya pada Kieran.
Dua pedang dengan dukungan Sihir dari masing-masing penggunanya beradu dengan sengit. Panggung yang mereka jadikan arena pertarungan terisi dengan suara-suara dentingan pedang yang menggema di telinga Nora. Gadis itu masih mencoba merasakan ikatan transparan di tangannya. Sebuah rantai benar-benar menjeratnya dan menghalanginya dari bergerak terlalu banyak.
Suara erangan Aiden membuat Nora segera menoleh kembali ke arah panggung. Kesiur angin yang cukup kencang mengenai tubuh Nora, membuatnya terhempas ke lantai. Aiden tergeletak di atas panggung dengan darah keluar dari mulutnya. Pedangnya terhempas hingga sekian meter jauhnya. Kieran berdiri dengan api kehitaman seolah menyala dari tubuhnya. Nyala api yang makin lama terlihat seperti amukan bayangan membuat Aiden tertawa terbahak-bahak, lalu terbatuk dan meludahkan lebih banyak darah.
"Kau benar-benar berubah menjadi monster besar, adikku sayang. Bibi Esther tak salah memprediksi masa depanmu."
"Bagaimana dengan dirimu sendiri, kakak? Kau berubah menjadi monster yang jauh lebih buruk dariku lima tahun lalu." Kieran perlahan maju dengan api hiyamnya. Matanya sudah penuh dengan amarah dan dendam yang sudah terlupakan selama bertahun-tahun.
'Itu bukan aku'
Sebuah angin dengan bau dedaunan yang familiar—dan sebenarnya amat sangat dirndukan oleh Nora—tiba-tiba menerpa Nora. Gadif itu langsung mengucap syukur berkali-kali karena ia tahu siapa yang sedang berusaha untuk mencapainya.
"Moralki!"
'bukan aku yang membantu Kieran di sana'
Nora mengangguk-anguk. Ia mendongak pada kegelapan untuk mencari sosok besar dengan tengkorak rusa yang dinanti-nantikannya. "Ya, Moralki, aku tahu. Aku tahu kau akan datang untuk membantu kami. Bisakah—dengan segala hormat—aku meminta pertolongan darimu untuk membuka kekanganku? Kumohon. Kieran membutuhkan kita untuk bisa melawan ilusi Alhok di dalam sana."
'tentu, Lady Hathaway.'
Nora tak pernah merasa selega ini sebelumnya. Sesuatu yang hangat menerpa pergelangan tangannya. Ia mencoba terbiasa dengan Moralki sembari menatap kembali ke arah panggung, di mana Aiden masih tersenyum bengis pada Kieran, dan Kieran yang masih belum melemaskan ekspresinya, terus berjalan mendekati sang Kakak.
"Kita berdua memiliki kesamaan, kalau begitu. Kau memang adikku."
Kieran menghentikan langkahnya. Matanya bergerak kesana-kemari penuh keraguan. Nora semakin ingin melepaskan diri dari rantai yang mengungkungnya dan mencapai Kieran.
"Itu, kan, yang ingin kau dengar dariku?"
Untuk kemudian Aiden kembali terbatuk, lalu jatuh ke lantai panggung dengan lebih banyak darah membanjiri tubuhnya. Nafas Kieran memberat melihatnya. Api kehitaman yang membara darinya kini padam. Lututnya tiba-tiba melemas sejalan dengan dadanya yang terasa perih bukan main. Rasa bersalah dan penyesalan melambung tinggi dari dalam benaknya, memenuhi isi kepala dan menandai seluruh memorinya seolah ia hanya memiliki dua emosi itu. Kieran memandangi jasad Aiden dengan tubuh gemetaran dan kepala yang luar biasa berat.
"Kakak?" Ia berujar pelan. "Apa aku membunuhmu?"
DI kejauhan, Nora menggeleng. "Tidak, Kieran. Kau tidak—"
Nora sebenarnya tidak tahu apapun. Aiden telah meninggal, atau mungkin belum. Kieran bisa jadi bukan pelakunya, namun kemungkinan besar Kieran yang membunuh kakaknya sendiri. Suatu hari, mungkin, di antara hari-hari perantauannya di Dunia Bawah Rumberhog. Ia tak pernah mengatakan apapun pada Nora.
"Kieran..."
Dada Nora semakin berat ketika atensinya kembali terpusat pada Kieran. Ia sudah berlutut dalam-dalam di panggung, menatap jasad kakaknya yang masih dingin membisu, juga dua tubuh lain yang tergantung jauh di belakang tubuh Aiden. Dua tubuh itu jatuh dari kegelapan. Darah segar menetes dari dua jasad itu.
Kieran tampak semakin lemah dan ketakutan karena dua jasad itu.
"Ibu? Ayah?" Ia tampak semakin putus asa, dan Nora semakin menggila di tempatnya. "Apa aku membunuh kalian?"
"Tidak, Kieran!" Nora menggeram, berteriak, dan sekuat mungkin membebaskan tangannya dari rantai apapun yang menjeratnya. "Kau tidak membunuh mereka!"
"Ya, kau membunuh mereka."
Nora mendengar suaranya sendiri bergaung di sepenjuru ruang gelap ini. Lalu dirinya, dengan penampilan yang sama, muncul dari belakang jasad-jasad di depan Kieran. Pria itu mendongak dengan air mata yang mengering di pipi, serta sorot putus asa yang sangat ingin Nora hilangkan. Nora palsu di seberang sana menatap Kieran dengan keputus-asaan yang sama.
"Nora."
"Kau masih belum sadar juga?" Nora palsu bertutur lemah. "Kau bahkan juga membunuh ayahku. Kau membunuh banyak sekali orang."
Kieran menggeleng, berusaha bangkit untuk menggapai Nora palsu. Namun tubuhnya terlempar mundur, tertahan dengan sia-sia di lantai panggung. Ia mendongak dengan sorot ketakutan menghias wajah. Nora palsu juga terhempas ke belakang, menjauhi Kieran. Kieran berteriak dengan sekuat tenaga saat sesosok bertudung membuat tubuh Nora palsu tergantung di udara.
Kieran tak bisa melihat lebih banyak tubuh tergantung di depan matanya. Adrenalinnya seperti dipompa hingga ke level tertinggi dan benaknya penuh dengan emosi-emosi buruk yang tak bisa pergi. Kepalanya kembali mengulang kejadian lima tahun silam dan semua pembunuhan yang telah ia—dengan dirasuki Alhok—lakukan selama periode waktu yang sama. Melihat semua itu terjadi lagi pada Nora, yang kini terasa seperti satu-satunya hal yang tak ingin ia korbankan untuk seluruh hidupnya, Kieran merasa seperti ingin mati.
Tapi Nora belum mati. Kieran mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Nora belum mati.
Di depan sana, makhluk bertudung yang tampak seperti tak memiliki wajah itu tertawa keras. Telinga Nora bahkan sampai sakit karena tawanya menghasilkan denging yang luar biasa memuakkan.
"Kau melakukan banyak sekali kesalahan, Kieran Hall. Aku yakin kau ingat. Aku sudah memberimu kesempatan untuk memperbaikinya namun kau menolak, bersikap congkak seolah-olah nyawa manusia yang berhasil kau renggut bukanlah apa-apa."
Makhluk itu mengeluarkan cakar yang luar biasa panjang dari dalam lengan jubahnya. Kieran sama sekali tak bisa mencegah cakar-cakar itu dari menembus tubuh Nora. Berbeda dengan ia yang membunuh Nora di ilusi labirin, kali ini melihat darah mengucur dari tubuh Nora, membuatnya seperti ikut kehilangan nyawa. Ia tak peduli lagi akan rasa sakit yang menyerang dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Kieran meneriakkan nama Nora dengan seluruh tenaga yang tubuhnya miliki. Tak peduli suaranya yang serak, berpotensi merusak tenggorokannya sendiri. Tak peduli nadi-nadinya yang seolah ingin mencuat dari dalam kulitnya.
Karena Kieran tak bisa melakukan apapun selain hal itu. Ia tak bisa bergerak. Sesuatu yang menahannya saat ini memiliki kekuatan yang jauh lebih tinggi dari sesuatu yang menahannya di lorong-lorong berpintu. Kieran tak bisa menyelamatkan satu-satunya orang yang ia miliki saat ini dan hal itu benar-benar berhasil memecah jiwanya menjadi kepingan-kepingan debu.
"Inilah yang pantasnya kau dapatkan, Hall. Semua orang mati di dekatmu, begitupun dirinya cepat atau lambat. Kau lihat sendiri apa yang sudah terjadi."
Makhluk Kegelapan itu kembali menghunuskan cakar-cakarnya ke tubuh Nora, tak ayal membuat Nora Asli merinding setengah mati. Abdomennya mati rasa dan ia tak bisa memaksakan kerangka geraknya supaya bisa diajak memberontak.
Kau menyaksikan dirimu sendiri mati, apa yang terlihat mengenakkan dari hal itu?
"Satu kesempatan lagi, Hall. Kau ikut denganku, kita perbaiki semua ini bersama."
Nora langsung tersadar penuh akan panggilan itu. Ia buru-buru menarik tangannya lagi dari kekangan rantai gaib, bahkan berteriak pada Moralki dan langsung meminta maaf setelahnya. Ia harus cepat. Kali ini jika ia tak datang tepat waktu, Kieran akan mengikuti Alhok, dan semuanya akan hancur begitu saja.
"Ayo, Hall. Apa lagi yang kau tunggu? Perlu satu tikaman lagi atau—"
"Aku akan ikut."
Jantung Nora bagai jatuh bebas dari tempatnya.
"Aku tak bisa kehilangan siapapun lagi. Aku akan ikut denganmu. Tapi tolong—lepaskan Nora."
Nora panik. Ia merengek, menggeram marah, berusaha membebaskan diri dari kekangan rantai itu. Tangannya perih bukan main. Rasanya pergelangan tangannya bisa copot karena pemberontakan ini jika Moralki tak kunjung bisa membuatnya terlepas.
"Moralki, ayolah. Aku—" Nora mulai terisak. "Aku juga tidak bisa kehilangan siapa-siapa lagi. Aku tidak bisa kehilangan Kieran di sini."
'sudah. Aku di belakangmu, Nora.'
Nora berencana akan mengatakan terima kasih nanti. Tapi sekarang yang terpenting adalah mencapai Kieran.
Pria itu sudah terbebas dari apapun yang menahannya dan kini tengah mencoba berdiri dengan pasrah. Jarak tempat Nora ditahan dari panggung terasa seperti berkilo-kilo jauhnya. Nora terbiasa dengan berlari cepat dan jarak jauh, tapi hal ini tetap sukses membuatnya stress.
Ia sampai di atas panggung dengan kelegaan menerpa benaknya. Nora langsung memeluk Kieran, memaksanya membelakangi makhluk apapun yang tengah mengangkat tubuh palsunya saat ini. Ia menangkup wajah Kieran, meneliti setiap inchi bagiannya, memastikan tak ada luka berarti sebelum ia memaksa Kieran membalas tatapannya.
"Kieran, Kieran, hei—Ini aku. Aku baik-baik saja, aku masih hidup. Dan kau tidak akan mengikuti apapun yang makhluk itu katakan karena—"
"Dia akan membawamu lagi, itu pasti." Kieran berucap dengan suara yang lemah, penuh kesedihan, seolah tak ada lagi harapan tersisa dalam benaknya. Tak ada lagi.
"Tapi aku baik-baik saja di sini."
"Hathaway. Rhodes. Minggirlah. Kau menghalangiku!"
Kieran melotot saat ia mendengar geraman keras dari arah belakangnya. Ia buru-buru menarik Nora menjauh ketika tentakel yang sudah lama tak dilihatnya mulai meliar dari belakang tubuh makhluk itu. Jasad-jasad yang semula ada di sampingnya menghilang tanpa jejak. Kieran memeluk erat-erat tubuh Nora hingga Nora tak bisa melihat ke balik bahu Kieran.
Kieran mengeluarkan api besar dari dirinya lagi, yang membawa kesan suram yang luar biasa menakutkan dari Kieran. Api itu membara dan berperan menjadi pelindung bagi keduanya dari amukan tentakel Alhok. Nora bersembunyi di belakang Kieran saat Kieran berbalik, berusaha memperkuat perisai api miliknya dengan segenap tenaga.
Tapi Nora tetap menyadari Kieran justru semakin melemahkan perisai yang dibuatnya. Bisikan-bisikan pelan terdengar samar di telinga Nora. Hingga kemudian perisai itu menghilang, Nora paham betul apa yang terjadi.
"Moralki!" Ia buru-buru menukar posisi Kieran. Kieran ia paksa berlutut di belakangnya, sementara ia memunggungi Alhok yang semakin marah karena pengaruh yang diberikannya pada Kieran kembali terhalang.
"Kalian, Rhodes, benar-benar mengganggu."
Moralki tidak datang. Alhok sempat menggerung marah sebelum melayangkan ratusan sabetan tentakelnya pada Nora.
Nora berteriak ketika satu persatu tentakel itu menghajar punggungnya. Air mata memupuk dan lama-kelamaan membanjiri wajahnya karena rasa sakit yang begitu membakar itu datang bertubi-tubi. Satu luka belum sembuh datang lagi luka yang lain. Nora begitu ketakutan, sebenarnya. Ia takut mati. Ia takut ia tak akan bisa kembali. Namun Kieran di sini, tak sadarkan diri, membutuhkan bantuannya. Ia dan semua trauma masa kecilnya yang tak bisa Nora bayangkan sakitnya. Ia tentu tak bisa membiarkannya berjuang sendirian.
Alhok memutuskan berhenti menyerang untuk mengoceh. Nora menggunakannya untuk menenangkan seluruh bagian tubuhnya yang seperti terkikis sedikit demi sedikit.
"Kenapa kau selalu menyusahkanku, Rhodes? Tidak di saat pertama aku bertemu dengan orang-orang sejenis kalian, lalu malam tahun baru yang menyebalkan, lalu sekarang dirimu. Kau pasti anak wanita sialan itu. Apalagi yang ingin kau lakukan kali ini? Mencoba membunuhku?"
'Pistolmu, Nora.'
Nora dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki, mencoba merogoh saku mantelnya.
'Ingat ibumu. Ingat apa yang bisa kau lakukan dari buku-buku itu.
Nora mencoba menuruti kata-kata Moralki. Ia mengingat ibunya malam itu, yang dengan gaun sutra kebiruannya, kokoh mengarahkan moncong senjata pada pembunuhnya. Ia mengingat postur dan gestur yang sama, tergambar jelas di buku merah yang Daphne berikan padanya. Dengan keyakinan bahwa Moralki akan membantunya, Nora mengarahkan pistol itu seyakin-yakinnya pada Alhok yang lagi=lagi mengamuk.
Nora sempat menurunkan tangannya untuk mengeratkan pegangan pada Kieran. Namun ia mengangkatnya lagi, memastikan moncong senjata itu tepat mengarah pada Alhok. Nora tak lagi mempedulikan Alhok yang mengeluarkan seribu tentakelnya, hendak menyerangnya,
Tangan Nora berusaha untuk se-stabil mungkin. Ia memejamkan mata, mencoba merasakan Energi yang ia miliki dan teknik-teknik yang mampu membuat semuanya terkumpul di telapak tangan. Pelan tapi pasti, Nora bisa merasakannya. Hingga ketika waktunya tiba, Nora menarik pelatuk pistolnya.
Sesuatu yang terasa berkali-kali lebih besar dari peluru terlepas dari moncong pistol itu. Nora tak lagi merasakan apapun setelah itu.
Moralki berucap terima kasih, maaf, dan selamat tinggal. Kieran aman di rengkuhannya. Dagu Nora terkulai di atas kepala laki-laki itu. Ledakan besar terjadi di belakangnya, membuatnya sejenak tuli oleh gelombang yang datang. Kegelapan yang selama ini mengungkung mereka berdua, lama-kelamaan memudar dan menghilang. Nora benar-benar tak merasakan apapun lagi setelah hal itu.