Read More >>"> The Maze Of Madness (13. The Dreadful Memories) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Maze Of Madness
MENU
About Us  

Pintu-pintu itu seperti tak ada habisnya.

Nora dan Kieran telah mencoba memasuki satu persatu pintu itu, namun selalu berakhir pada lorong yang sama, barisan pintu yang sama, tembok dengan kertas dinding yang sama. Nora berharap salah satu dari lorong-lorong ini memiliki tujuan, atau setidaknya satu pintu yang tak mengarah ke lorong berisi pintu-pintu yang lain. Tembok kemerahan ini saja rasanya cukup membuat gila. Pantas saja Daphne bilang tiga detik di sini sama dengan tiga bulan bimbingan konseling.

"Sudah berapa lama kita berputar-putar?" Kieran mengusap dahinya setelah memasukkan pedangnya kembali.

Nora menggeleng, memilih bersandar pada dinding tanpa peduli lagi akan polanya yang terus bergerak seperti ikan. "Dua tahun, sepertinya. Sudah cukup gila?"

Kieran mendengus. "Aku tak selemah dirimu."

"Oh, kau mau taruhan denganku?" Nora menempatkan dua tangannya di pinggang. "Yang butuh bimbingan konseling paling lama setelah ini, akan melakukan apapun untuk yang bimbingan konselingnya lebih sebentar."

Kieran memicing, tak percaya dengan apa yang Nora katakan. "Sayang sekali aku harus menunggumu dulu nanti, Lady Hathaway."

"Teruslah percaya diri, Detektif." 

Nora berjalan lagi, mendahului Kieran. Di awal putaran ia sudah menanamkan optimisme, jika pintu-pintu ini akan memiliki satu pintu yang memiliki kenop dan tak berujung ke lorong lain. Tapi setelah sekian lama berjalan, ia tak lagi berpikir bahwa keyakinannya akan menang.

Tetaplah waras. Nora berusaha membisiki dirinya sendiri. Tetaplah waras untuk Logan.

"Apa yang terjadi ketika kau tiba-tiba bisa terperosok ke dalam gua bawah tanah milik Oberon Priam? Lalu saat kau menemukan ruangan dengan kerangka manusia itu? Lalu mengenai pesan di dalamnya, atau semangatmu yang tiba-tiba membara saat kau hendak pergi ke dalam sini tadi?" Kieran bertanya, sebenarnya ia mencoba untuk mengalihkan bosan dan frustrasi.

Nora mengangkat bahu, terus menoleh kesana kemari untuk memeriksa setiap pintu. "Semacam firasat. Kehendak spontan yang asalnya aku tidak tahu. Aku hanya ingin melakukannya, lalu whoosh! Ternyata aku benar. Lalu untuk yang terakhir itu—" Nora terkesiap sejenak. "Aku menemukannya."

Kieran buru-buru mendekat. Ia melihat kenop keemasan di salah satu pintu yang tertutup, tak berujung pada lorong dan barisan pintu yang sama.

"Bagaimana menurutmu?"

Kieran mengernyit. "Bagaimana apanya?"

"Bagaimana jika aku masuk ke tempat ini? Kira-kira apa yang akan kita hadapi? Apakah lorong merah lagi?"

Kieran menghela nafas. "Kau bisa mencoba membukanya."

Nora terpaksa melepas pegangannya pada gagang pintu itu untuk menatap Kieran lagi. "Kau yakin?"

Kieran mengangguk-angguk, sebenarnya ia sudah cukup jenuh. "Jangan jauh-jauh, Nak."

Sebelum melangkah maju, Nora bergumam mengiyakan.

Tangannya mendingin ketika ia memutar kenop itu. Nora secara mengejutkan malah tertarik masuk, sementara Kieran justru terlempar jauh dari pintu itu. Ia panik, berlari memasuki pintu yang papannya justru menghilang, membuatnya terjerembab di lantai. Lagi-lagi pintu tanpa papan yang tak terhingga jumlahnya terbentang.

"Nora!" Kieran meneriakkan seluruh tenaganya. Seolah di hari esok, ia tak memerlukannya untuk mencari gadis itu lagi. "Nora!"

 

***

 

Nora merasakan sensasi mual yang jauh lebih bisa ia tangani dibanding ketika ia melakukan teleportasi dengan Moralki. Tubuhnya terasa ringan. Tidak ada Kieran di sini, ia tak bisa melihat sosok laki-laki itu di manapun. Hal itu membuat napasnya memberat tanpa alasan jelas.

Namun kepanikannya dialihkan oleh suara sumbang dari tuts piano yang ditekan sembarang. Nora buru-buru menoleh. Ia mendapati seorang anak laki-laki duduk di depan sebuah piano tua. Ia memakai kemeja dan celan kain selutut, rambut peraknya berantakan. Nora mencoba mengingat-ingat di mana ia melihat anak ini terakhir kali karena rambut perak itu terasa tak mudah masuk dalam ingatannya.

Sekilas ia merasa tubuhnya dilambungkan oleh sesuatu, lalu tiba-tiba seorang perempuan berjalan melalui tubuhnya. Perempuan itu sudah cukup berumur. Rambut gelapnya ia sanggul tinggi, beberapa helainya sudah memutih. Senyumnya memperlihatkan sesuatu yang membuat Nora merindukan sesuatu yang sama hangatnya. Kasih sayang seorang Ibu. Tatapan teduhnya. Ia menyentuh bahu anak itu, membuat ia menolehkan kepala ke arahnya.

"Oberon," ucapnya halus. Teramat halus. "Tebak Ayah dan Ibu mau melakukan apa setelah ini?"

Nora menyempatlan diri untuk terkejut sebentar—rahang yang jatuh dan dahi yang mengeryit, mencoba memahami keadaan. Nora akhirnya ingat. Ini adalah Oberon Priam, muda, masih kanak-kanak, dimana sekian tahun kemudian ia akan menjadi korban pertama Alhok. Nora perlu diam dan mengamati lebih banyak.

Oberon kecil menoleh menghadap wanita itu. "Apa?"

Wanita dengan gaun beludru panjang itu menunjukkan dua tiket kereta. Kota tujuan tertulis besar-besar di sana, membuat mata Oberon berbinar lebih cerah. Nora tak melihat perubahan signifikan pada kekosongan di sana. Tapi tetap, wanita itu membawa dampak lain pada Oberon.

"Ibu akan melakukan apa di sana?"

Sang Ibu mengedipkan satu matanya. "Rahasia. Kita pernah membicarakan tentang Kishrock kan? Kau pasti bisa menebak-nebak sendiri, Oberon."

Oberon tersenyum, tipis sekali. Ia memeluk sang Ibu, dan wanita itu juga membalasnya dengan hangat. "Hati-hati, Bu."

Lalu wanita itu tertawa kecil, menepuk pipi sang anak beberapa kali. "Mana hati-hati untuk ayahmu?"

"Ayah juga."

Wanita itu tersenyum. "Kau ini. Kalau begitu, kami pergi dulu."

Wanita itu pergi setelah meninggalkan satu kecupan di pucuk kepala sang anak. Oberon kembali diam di depan kursi pianonya setelah itu. Ia menekan-nekan tuts nya setelah melihat gaun beludru sang ibu menghilang di balik pintu ruangan. Lalu ia tak melakukan apapun, tak terlihat tanda-tanda hendak pergi juga.

Nora tidak sabar menunggu. Sebuah pintu yang amat sangat mencolok terpampang di sisi lain ruangan. Nora mendekat ke sana dan menimbang-nimbang sebentar. Tepian-tepian pintu itu sedikit bercahaya. Ia kembali dikendalikan oleh intuisinya sendiri dan memutar kenopnya lagi, lalu masuk ke ruangan lain dimana Oberon juga ada di sana. Tubuh Nora sempat bergelenyar, dan dia berusaha segera terbiasa akan pemandangan di depannya.

Oberon kecil duduk di meja belajarnya, sendirian. Kamarnya gelap, hanya disinari lentera kecil yang diletakkan di depannya. Sementara tangannya sibuk menuliskan sesuatu di atas perkamen kecoklatan dengan pena bulu dan wadah tinta yang tampak baru. Nora memperhatikan dari samping, melihat lentiknya jari-jari Oberon kecil membentuk huruf-huruf di dalam perkamen. 'Untuk Ibu', merupakan satu dari puluhan kata yang Oberon tuliskan di sana.

Ia berlari keluar dari ruangan, Nora mengikutinya. Tubuhnya kembali bergelenyar saat melewati pintu menuju ruangan lain. Sepertinya masih di lini masa yang sama. Oberon berhenti, menatap sekumpulan pria dewasa dan remaja yang berkumpul di ruang tamu. Tiga orang, yang memiliki figur yang jauh berbeda dengan Oberon, berdiri dan berbincang mengenai hal yang membuat salah satunya memijat kepala. Seorang gadis kecil dengan pita putih mengikat rambut panjangnya, terkulai di rengkuhan salah satu pria itu.

"Kakak?"

Semua orang menoleh. Nora sedikit mengerutkan hidungnya saat menyadari tatapan mereka. Dingin, bahkan jijik, dan marah. Salah satunya mendengus dan berpaling dengan cepat, tak repot-repot menyembunyikan perasaan risihnya. Dua yang lain hanya menunduk, menghela nafas, atau menggeleng pelan.

"Ada apa?" Oberon bertanya dengan suara kecil, seolah-olah ia tahu suaranya tak diinginkan di sini.

"Ayah dan Ibu meninggal. Semua gara-gara dirimu," ujar salah satu yang terpendek dengan spontan.

"Gideon!"

"Aku benar, kalian percaya itu." Gideon adalah orang pertama yang dengan sangat jelas menampakkan ketidaksukaannya. "Semenjak dia datang ke rumah ini, semuanya kacau. Kita tertimpa sial berkali-kali. Tetanus Dolly belum sembuh. Kasusmu masih belum selesai diurus. Dan sekarang Ayah dan Ibu meninggal. Kita tak pernah menghadapi masalah seperti ini sebelumnya. Dan sekarang kita mengalaminya sejak anak itu datang ke rumah ini."

"Gideon, cukup!" Kakak Oberon yang lain berteriak. "Kembali ke kamarmu, Oberon! Sekarang!"

Oberon tidak gentar. Ia mengeraskan tatapan matanya, tak membiarkan teriakan si sulung membuatnya mengecil ketakutan. Tapi Dolly sedang ada di sana, nyaris tertidur, mata sembab karena menangis.

"Oberon! Kubilang kembali ke kamarmu!"

Oberon mematuhi teriakan si sulung karena adik kecilnya tampak terganggu dan merengek lagi. Ia berjalan perlahan memasuki kamarnya, tak membanting pintu saat ia masuk. Lalu Oberon tak melakukan apapun. Hanya berdiri, memandangi bayangan awan-awan dan cahaya bulan di luar, memegang erat perkamen suratnya.

Nora menahan nafas. Oberon berusia dua belas saat menerima berita kematian orang tuanya, dan dirinya empat belas, juga sembilan belas. Nora merasa seperti ia kembali melihat dirinya sendiri. Yang tak memiliki emosi apapun untuk ditunjukkan pada dunia. Oberon hanya diam, melakukan apapun dengan gerakan perlahan, hampir kehilangan harapan dan motivasi untuk sekadar bernafas.

Tubuh Nora terasa seperti dikejutkan oleh sengatan listrik kecil di seluruh inchi kulitnya. Ia refleks memekik dan membalikkan tubuh, lalu refleks menutup mulut dengan tangan. Oberon tak menoleh padanya.

Di belakang Nora, satu pintu kembali muncul dan berpendar. Ia melewati pintu itu, untuk menemukan Oberon duduk di ruang tamu, menulis sesuatu di atas perkamen.

Gideon tiba-tiba datang dan membanting sebuah surat. Nora buru-buru mendekat ke belakangnya dan menutup mulut. Surat itu dikirim dari Sadbury Private High School. Yang membuat Nora tambah terkejut adalah reaksi Oberon setelah membaca surat itu. Ia balas membanting surat itu di meja dan menimbulkan suara yang lebih keras. Dolly menghentikan kegiatan bermainnya dan berlari menyusul Oberon yang berderap marah mendekati Gideon. Tanpa ada peringatan apapun sebelumnya, sebuah tinju Oberon tujukan pada laki-laki itu.

"Apa yang—"

Oberon meninjunya lagi, dan lagi. Tak peduli Dolly berteriak-teriak di belakangnya, meminta Oberon berhenti. Dia bahkan tak memberi Gideon waktu untuk membalas. Ia baru berhenti ketika si sulung datang untuk menarik kerahnya dan balas memukulnya hingga ia tersungkur jatuh. Dolly segera digendong oleh kakak kedua Oberon, yang tak pernah berbicara sejak pertama kali Nora melihatnya.

"Bodoh! Apa yang kau lakukan pada kakakmu, anak bodoh?!"

Oberon tak menjawab. Ia bangkit dengan kekuatan minim. Hidungnya meneteskan banyak darah.

"Percy, bawa Dolly ke atas."

Anak kedua mematuhi perintah si sulung tanpa mengatakan apapun. Si sulung dan Gideon menetap, menatap beringas pada Oberon yang tak memiliki intensi jelas di matanya.

"Kau marah? Karena kami mengirimmu ke sekolah itu? Ada apa lagi, Oberon? Sekolah itu tempat Ben Hayes mengajar—kutu buku favoritmu. Apa yang kurang dari keputusan itu?"

Oberon tak menjawab. Ia hanya menatap Gideon dan kakak sulungnya bergantian, bersiap menyerang. Meski ia tahu ia akan kalah. Kakak sulungnya adalah yang terkuat, dan menyerang Gideon sama saja menyerang si sulung. Melawan tak melawan sama saja. Jadi ia hanya bisa berpasrah diri saat kerah dicengkram oleh sang kakak, tubuhnya diseret dengan cara yang tak manusiawi, dan ia didorong hingga masuk ke kamarnya sendiri. Kamar gelap yang hanya mendapat satu lentera untuk penerangan di bawah tangga.

"Kau tinggal di sini sampai hari keberangkatanmu ke asrama. Bereskan semua barangmu. Belajarlah. Lakukan apapun asal jangan membuat masalah."

Si sulung menarik bahu Gideon bersamanya sebelum menutup kamar Oberon dan menguncinya.

Dan dimana Nora? Dia ada di kursi ruang tamu, tempat Oberon duduk mengawasi adiknya bermain. Mainan Dolly masih berserakan di atas karpet. Nora termenung di tempatnya. Otaknya mencoba menyimpulkan situasi dari data-data hasil observasi yang ia dapat.

Ia masuk ke dalam jebakan ilusi Alhok di babak pertama, dipisahkan dari Kieran, tapi ia malah disuguhkan memori Oberon Priam, korban pertamanya. Nora percaya semua ini memliki satu benang merah yang menjelaskan semuanya. Tapi apa? Dan Kenapa?

Tubuh Nora kembali berjengit karena sengatan aneh di seluruh tubuhnya. Melihat pintu yang berpendar tiba-tiba muncul, Nora segera berlari memasukinya. Dan ia kembali melihat masa kelam Oberon Priam yang lain.

 

***

 

Nora berpindah ke tepian hutan yang biasanya dihuni oleh penyihir dan makhluk-makhluk jahat, jika ia mengingat dongeng-dongeng fiksi yang dibacakan oleh sang Ibu. Pohon-pohon besar dan rimbun tumbuh memenuhi tanahnya yang basah. Akar dan batangnya tumbuh meliuk-likuk. Daun-daunnya berwarna hijau gelap mengerikan. Angin yang menguar dari dalam hutan itu terasa tak wajar. Tapi Oberon, dengan setelan lengkap, celana selutut, dan sepatu pantofelnya yang mengkilat, tetap berjalan memasuki hutan itu.

Nora kembali mendengar bisikan-bisikan yang ia dengar di lantai dua manor. Ia menutup telinganya, terpaksa mengikuti Oberon. "Berhenti!"

Oberon betulan berhenti. Jantung Nora juga. Sejenak ia mengira suara itu keluar dari mulutnya sendiri. Hingga seseorang datang dari belakang Nora, menyenggol sikunya untuk mendekati Oberon.

"Percival."

Kakak keduanya, Percy, atau siapapun Namanya, berlutut sambil terengah-engah. "Bisakah kau panggil aku Percy seperti yang lainnya? Kita saudara."

"Tidak setelah Ibu pergi." Oberon mendengus, kelihatan bengis sekali.

"Baiklah, lakukan sesuai caramu yang biasa. Tapi Everest akan memenggal kepalamu—dan milikku—jika ia melihat kita di sini." Percy berucap tegang sembari membenarkan kacamatanya yang merosot.

"Maka jangan berada di sini. Denganku."

"Dengar." Percy berbicara seolah ia telah menjelaskan hal yang sama berjta-juta kali. "Aku kakakmu. Mau kita memiliki hubungan darah atau tidak—aku kakakmu. Aku tak meneladani apa yang Everest atau Gideon lakukan padamu karena yang mereka lakukan itu salah."

Oberon menggeleng, berbalik untuk masuk ke hutan dan meninggalkan Percy. "Omong kosong."

"Aku serius." Oberon mengeluarkan decakan keras saat mendengar langkah cepat Percy mengikutinya. "Dan aku juga harus bilang ini padamu berulang kali—hutan ini berbahaya. Yang kau lihat hanya halusinasi semata, mungkin karena kau baru kembali dari Sadbury dan kau amat merindukan anak itu. Dolly barangkali bermain-main dengan sembarang pelayan di sudut-sudut manor yang kita tidak tahu."

"Dolly memang masuk ke hutan ini."

Percy mengerang, menggeleng, berusaha menghentikan Oberon. Langkahnya sudah memasuki bagian paling pinggir hutan kematian itu. Dan daripada berniat untuk membawa Oberon kembali ke manor, niat dan keinginan Percy sekarang adalah berlari pulang sendirian, masa bodoh soal Oberon dan halusinasinya yang juga bodoh. Tapi bagaimana kalau yang dikatakan Oberon benar? Bahwa adiknya, Dolores, benar-benar masuk ke hutan ini untuk melakukan sesuatu yang bahkan tidak diketahui oleh Percy?

Semua keraguan itu masuk dalam kepala Nora seperti bulu yang terselip di antaranya bukunya karena tiupan angin. Awalnya samar, namun ketika Nora berusaha mencari tahu darimana pikiran itu erasal, dan menemukan Percy dengan segala pikiran mengambangnya yang ditangkap semakin jelas oleh Nora, Nora akhirnya sadar segalanya.

Setiap generasi atau Keluarga Petinggi memiliki kekuatan sihir unik mereka sendiri yang tak bisa dipelajari secara terbuka oleh non-penerus mereka—ini yang kubilang tadi soal kekuatan sihir yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Bisa jadi sebuah kilasan memori kisah hidupnya, hanya terbaca oleh mereka yang bisa membacanya.

Kakekmu Penyihir terkenal dan ibumu Penyihir Medis yang hebat, terbaik pada masanya.

Tidak bisa dipercaya.

Nora memandangi tangannya sendiri, hampir tersedak oleh fakta yang perlahan merasuk ke dalam sel-sel otaknya. Tidak bisa dipercaya.

Nora meresapi sensasi itu sejenak, sembari mengikuti gerak langkah keduanya. Mereka melompati akar pohon, atau menyelinap di bawahnya. Berjalan melewati sungai kecil melalui batang pohon yang ambruk, masih dengan akarnya yang mencuat dan ternoda tanah. Membaui aroma aneh yang terus menguar di sekitar mereka. Nora harus menarik ujung jubahnya untuk menutup hidung selama ia berjalan.

Mereka sama-sama berhenti ketika suara gerungan keras menggema di sepenjuru hutan. Kawanan gagak terbang dari arah yang hendak mereka tuju, Percy mulai menggumamkan nama-nama dewa dan doa-doa yang dipercayainya, mata Oberon mengikuti kemana mereka pergi dan Nora mempehatikan ekspresi wajah Oberon. Ia tak pernah melihat perubahan sedrastis ini di sana. Matanya memancarkan emosi baru yang ikut ditularkan pada Nora—kengerian, keakutan. Alisnya menukik tajam. Mulutnya komat-kamit seperti ia membutuhkan ayat-ayat perlindungan yang panjang untuk menghalau apapun yang akan terjadi. Untuk kemudian ia berlari kencang memasuki bagian hutan yang lebih dalam.

"Oberon!" Percy mengerang, terpaksa mengikuti adiknya.

Nora yang hampir kehabisan nafas juga tak memiliki pilihan lain. "Sial."

Lalu, anak itu berhenti. Di danau kecil yang terbentuk bagai oasis di tengah gurun. Lebarnya hanya sekitar lima puluh meter, bercahaya seolah di dalamnya terdapat ribuan lampu dinyalakan secara bersamaan. Nora menyadari langit di atasnya gelap, hitam pekat. Asap memenuhi sela-sela pohon, membawa kesan suram seolah bahaya sedang mengintai di belakang punggung Nora saat ini.

"Tidak..." Kengerian di mata Percy semakin bertumpuk sekarang. "Oberon..."

Oberon Priam melangkah pelan ke tepiannya. Nora berseru dengan susah payah karena nafasnya terasa ditahan oleh sesuatu. "Jangan kesana, Oberon."

Oberon tak mempedulikan suaranya. Ia memungut pita rambut berwarna kuning cerah yang tergeletak di tepi danau. Meneliti inchi demi inchi kainnya yang hampir seluruhnya ternoda darah. Nora sontak menutup mulut saat sesuatu yang mengambang di air ditangkap oleh indra penglihatannya.

Pita itu jatuh dari tangan Oberon. Tanpa ada peringatan apapun, Oberon dan Percy langsung berlari ke danau itu. Tingginya rupanya tak seberapa, hanya setinggi pinggang anak kecil. Tapi bukan hal itu yang membuat Nora panik bukan main. Cahaya yang diproyeksikan di permukaan mengeruh. Sulur-sulur bayangan yang sama, tentajel-tentakel kehitaman yang sama keluar dari permukaan danau, hendak meraih Oberon yang akhirnya berhasil meraih jasad sang adik.

"Oberon! Percy!"

Sulur-sulur itu semakin meliar, berpusing, bergerak-gerak ganas. Jantung Nora berdegup kencang. Ia perlahan mundur, meneriakkan kalimat aku ingin pulang dalam berkali-kali.

Percy menangis tergugu memeluk jasad adik kecilnya. Ia tak mempedulikan wujud Alhok yang amat Nora kenali sedang mengamuk. Oberon menunduk, tak mengeluarkan suara, atau gerak tubuh berlebih. Ia sama-sama memeluk tubuh Dolores bersama Percy di tengah danau itu.

"Oberon! Lari!"

Nora tidak tahu apa yang memotivasi dirinya untuk berseru seperti itu. Perkataannya sia-sia. Tapi Nora tetap berteriak. Seolah yang disana adalah orang-orang yang familiar dalam hidupnya—Logan, Patrice, Helen, Thomas, dan sang Ayah.

"Pergilah, Oberon!" Nora terduduk di lantai hutan yang berembun. "Lari! Bawa mereka pergi!"

Dada Nora sesak bukan main. Di depan sana, ketiganya masih berpelukan sementara Alhok meliar, benar-benar muncul dari dalam permukaan danau yang bercahaya. Nora seperti kembali pada malam dimana ia menyadari hidupnya tak lagi sama. Malam sialan yang membawanya ke situasi ini, berteriak sembari mencoba menghindari visi yang disodorkan di depan matanya. Mengapa ia diperlihatkan hal ini? Mengapa ia harus melihat semua visi, melihat ingatan-ingatan Oberon yang kebetulan dibutuhkan dan ingin dihindarinya?

Apapun yang terjadi saat ini, Nora hanya ingin pulang. Setidaknya, pulang ke manor tak berpenghuni Priam di kehidupan nyata.

Alhok masih terus mengamuk di sana. Percy mulai menyadari bahaya apa yang tengah mengancam di danau itu. Ia dengan panik berusaha menyeret jasad Dolores dan Oberon yang membeku di posisinya. Kecipak air membuat cahaya dalam danau itu seolah terdistorsi. Percy melepas jas-nya, menggoyang-goyangkannya ke depan tentakel-tentakel sambil berteriak.

"Menjauh! Menjauh dari adik-adikku." Lalu ia mengumpat, berusaha membopong Oberon di punggungnya ketika ia berhasil keluar dari danau.

Tapi ia tetap terjatuh. Ia mengumpat beberapa kali sembari menarik tubuh adik-adiknya mendekat. Tentakel-tentakel itu menyerangnya tanpa ampun. Menusuk punggungnya, menyabetnya, memukulnya seperti tangan-tangan raksasa. Percy bertahan lama di atas tubuh adik-adiknya. Oberon sempat bangun dan memberontak. Ia mengerang keras saat Percy tak melepas rengkuhannya.

Kepala Nora pusing luar biasa saat Oberon menggerung bagai hewan buas. Gabungan isi pikiran antara milik Percy yang penuh rasa sakit, ingatan-ingatan berat mengenai keluarganya, dan gambaran dirinya sendiri yang menatap cermin dengan mata sembab, ikut menyakiti Nora. Oberon lain lagi. Isi kepalanya sempurna merah. Amarah dan kebrutalan di dalamnya membuat Nora memiliki keinginan selintas untuk membunuh sesuatu, atau seseorang. Imajinasi melukai seseorang dalam kepala Oberon terasa miliknya juga.

Nora bersujud di tepi danau, memegangi kepalanya yang berat dan nyeri. Kepalanya hamper meledak jika saja luapan memori dan emosi Percy berhenti. Nora tahu apa artinya itu.

Oberon sudah bangkit dari balik tubuh Percy dan menggerung ke arah danau. Nora sudah terlalu lelah untuk memperhatikan apa yang dilakukan Oberon dengan monster itu. Kepalanya berdenyut. Saat ia membuka mata, tentakel-tentakel itu kembali masuk ke danau. Oberon, berdiri di tengah-tengahnya, dengan tubuh basah, bukan hanya karena air.

Nora terperanjat saat Oberon berbalik dan menatapnya dengan wajah berlumur darah. Nora panik, berusaha lari. Tapi kakinya melemah seolah tulang-tulangnya ikut mati bersama dua saudara Oberon.

Ia mendengar tanah lembab dipijak oleh sepatu pantofel Oberon. Nora tak menyerah, berusaha bergerak meski lututnya kotor dan terluka.

Pada akhirnya tangan Nora mendapatkan sesuatu untuk dipegang. Saraf-sarafnya seperti kembali dikejutkan, membawa tingkat kepanikan Nora naik berlipat-lipat. Tapi inilah yang Nora butuhkan. Gagang Pintu. Yang berarti jalan keluar. Ia buru-buru membuka pintu imajiner di hadapannya, memasukinya, dan akhirnya jatuh dalam rengkuhan Kieran.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Rekal Rara
7780      3073     0     
Romance
"Kita dipertemukan lewat kejadian saat kau jatuh dari motor, dan di pisahkan lewat kejadian itu juga?" -Rara Gleriska. "Kita di pertemukan oleh semesta, Tapi apakah pertemuan itu hanya untuk sementara?" -Rekal Dirmagja. â–Şâ–Şâ–Ş Awalnya jatuh dari motor, ehh sekarang malah jatuh cinta. Itulah yang di alami oleh Rekal Dirmagja, seorang lelaki yang jatuh cinta kepada wanita bernama Rar...
Bee And Friends
1970      859     1     
Fantasy
Bee, seorang cewek pendiam, cupu, dan kuper. Di kehidupannya, ia kerap diejek oleh saudara-saudaranya. Walau kerap diejek, tetapi ia memiliki dunianya sendiri. Di dunianya, ia suka sekali menulis. Nyatanya, dikala ia sendiri, ia mempunyai seseorang yang dianggap sebagai "Teman Khayalan". Sesosok karakter ciptaannya yang ditulisnya. Teman Khayalannya itulah ia kerap curhat dan mereka kerap meneman...
DI ANTARA DOEA HATI
751      375     1     
Romance
Setelah peristiwa penembakan yang menewaskan Sang mantan kekasih, membuat Kanaya Larasati diliputi kecemasan. Bayang-bayang masa lalu terus menghantuinya. "Siapapun yang akan menjadi pasanganmu akan berakgir tragis," ucap seorang cenayang. Hal tersebut membuat sahabat kecilnya Reyhan, seorang perwira tinggi Angkatan Darat begitu mengkhawatirkannya. Dia berencana untuk menikahi gadis itu. Disaa...
The pythonissam
329      250     5     
Fantasy
Annie yang harus menerima fakta bahwa dirinya adalah seorang penyihir dan juga harus dengan terpaksa meninggalkan kehidupanannya sebagai seorang manusia.
I love you & I lost you
4112      1843     4     
Romance
Kehidupan Arina berubah 180 derajat bukan hanya karena bisnis ayahnya yang hancur, keluarganya pun ikut hancur. orang tuanya bercerai dan Arina hanya tinggal bersama adiknya di rumah, ayahnya yang harus dirawat karena mengalami depresi berat. Di tengah hancurnya keluarganya, Arina bertemu kembali dengan teman kecilnya, Arkan. Bertemunya kembali mereka membuka sebuah lembaran asmara, namun apa...
The Flower And The Bees
2451      1225     9     
Romance
Cerita ini hanya berkisah soal seorang gadis muda keturunan Wagner yang bersekolah di sekolah milik keluarganya. Lilian Wagner, seorang gadis yang beruntung dapat lahir dan tumbuh besar dilingkungan keluarga yang menduduki puncak hierarki perekonomian negara ini. Lika-liku kehidupannya mulai dari berteman, dipasangkan dengan putra tunggal keluarga Xavian hingga berujung jatuh cinta pada Chiv,...
The Maiden from Doomsday
9712      2058     600     
Fantasy
Hal yang seorang buruh kasar mendapati pesawat kertas yang terus mengikutinya. Setiap kali ia mengambil pesawat kertas itu isinya selalu sama. Sebuah tulisan entah dari siapa yang berisi kata-kata rindu padanya. Ia yakin itu hanya keisengan orang. Sampai ia menemukan tulisan tetangganya yang persis dengan yang ada di surat. Tetangganya, Milly, malah menyalahkan dirinya yang mengirimi surat cin...
L for Libra [ON GOING]
6257      1443     8     
Fantasy
Jika kamu diberi pilihan untuk mengetahui sebuah kenyataan atau tidak. Mana yang kamu pilih? Sayangnya hal ini tidak berlaku pada Claire. Dirinya menghadapi sebuah kenyataan yang mengubah hidupnya. Dan setelahnya, dia menyesal telah mendengar hal itu.
KSATRIA DAN PERI BIRU
118      101     0     
Fantasy
Aku masih berlari. Dan masih akan terus berlari untuk meninggalkan tempat ini. Tempat ini bukan duniaku. Mereka menyebutnya Whiteland. Aku berbeda dengan para siswa. Mereka tak mengenal lelah menghadapi rintangan, selalu patuh pada perintah alam semesta. Tapi tidak denganku. Lalu bagaimana bisa aku menghadapi Rick? Seorang ksatria tangguh yang tidak terkalahkan. Seorang pria yang tiba-tiba ...
Aria's Faraway Neverland
3012      930     4     
Fantasy
"Manusia adalah Tuhan bagi dunia mereka sendiri." Aria adalah gadis penyendiri berumur 7 tahun. Dia selalu percaya bahwa dia telah dikutuk dengan kutukan ketidakbahagiaan, karena dia merasa tidak bahagia sama sekali selama 7 tahun ini. Dia tinggal bersama kedua orangtua tirinya dan kakak kandungnya. Namun, dia hanya menyayangi kakak kandungnya saja. Aria selalu menjaga kakaknya karen...