Perbukitan Dunchaster, lima tahun kemudian.
“Lari, Nora! Lebih cepat!”
Nora mengumpat dalam hati, sembari berusaha keras mengatur napas. Langkahnya terasa semakin ringan saking lamanya ia berlarian di atas lapisan salju. Bagian bawah botnya mungkin sudah terbungkus butiran-butiran putih itu. Tapi Nora tetap berlari, menyongsong senapan laras panjang di dua tangan, mengejar rusa yang berlarian melompati tanaman-tanaman perdu yang mengering dan batang pohon yang jatuh dan lapuk.
Lima tahun lalu barangkali Patrice masih menyambut Nora di hari Jumat pagi dengan senyuman, bincang-bincang ringan mengenai pemusik tomboy yang disukainya atau mata pelajaran yang dipelajari di Mt. Newslake Girl School, tempat Nora bersekolah. Hari ini ia datang dengan jas hujan kuning pucat, menyuruh Nora menyusuri bukit-bukit salju sembari memanggul senapan, lalu mengejar rusa bera yang hendak kawin. Sebelas menit lalu, semua itu benar-benar terjadi. Patrice menjadi mentor paling menegangkan, menyebalkan, paling gila dan paling nyaman di saat bersamaan.
“Dia akan menyebrangi sungai itu, Nora. Bidik dia sebelum ia masuk ke sana!”
Nora menggeram. Gadis itu mempercepat langkahnya mengikuti kemanapun rusa itu pergi. Keluar dari kawasan hutan yang mengering, mereka tiba di tumpukan salju tinggi yang membentuk bukit curam menuju sungai. Permukaan sungai itu membeku, dan dari ekspresi tidak sabaran Patrice sepertinya akan sangat menyakitkan jika Nora sampai jatuh di sana. Tatapannya seolah berteriak, ‘Aku mati kalau kau mati’, karena Timothy akan benar-benar membunuhnya jika Nora celaka di tengah kelas.
Nora berhenti di puncak bukit itu. Segera ia menempatkan lensa pembidik senapan dekat dengan mata. Saat rusa itu tampak besar sekali di depan matanya, Nora membeku sejenak. Bukan karena angin tiba-tiba menyerangnya, atau air es yang jatuh di salah satu bagian tubuhnya. Sejenak ia merasakan pelatuk membakar ujung jari, selagi dengingan pelan menyambangi telinga. Seakan ratusan senjata meletus di kepalanya, membuatnya terasa berputar, dan pandangannya sedikit memburam. Nora berseru di dalam hati. Ini semua tidak nyata.
“Tembak, Nora! Apa yang kau tunggu?”
Nora mengambil tembakan cepat. Ia langsung menjauhkan senapan itu dari wajahnya, memandanginya dengan napas berat selagi Patrice berlarian mendekati bangkai rusa itu. Tangannya yang terbalut sarung tangan hitam menekan bagian tertembak si rusa. Sementara Nora ikut menuruni bukit sembari menyelempangkan senapan ke punggung.
“Nora, kita sudah membicarakan hal ini.”
Nora mengangkat tangannya setelah senapannya ia selempangkan ke punggung. “Maaf, aku—” Nora tidak bisa melanjutkan perkataannya karena ia tidak tahu bagaimana menjelaskan isi pikirannya pada Patrice. Ia hanya mendekati wanita itu, menatapnya dengan senyum kecil. “Setidaknya rusanya kena.”
Patrice menghela napas, bangkit berdiri. “Benar, Untungnya ini tembakan yang sangat akurat, Hawkeye. Selamat. Minggu depan kau akan mulai belajar menggunakan senapan presisi. Aku masih dalam perjalanan mengurus surat-suratnya. Nick akan membantuku, jadi kujamin prosesnya akan cepat.”
Nora mengangguk. “Lalu apa yang akan kulakukan selama seminggu ke depan?”
“Lebih banyak bicara dengan Nick?”
Nora menggeleng. Bukan Ide yang buruk, tapi sedang tak ingin ia lakukan. Ia baik-baik saja untuk saat ini.
Kernyitan dalam timbul di dahi Patrice. “Kau lama-lama bisa skizofrenia loh.”
Nora mengerutkan hidung. Candaan Patrice miris sekali di kepalanya. “Tidak mungkin.”
“Siapa yang tahu.” Patrice mengangkat bahu. “Ngomong-ngomong, Helen bicara padaku soal kemerosotan etiketmu—”
“Pembohong.”
“Dan dia menyalahkanku karena ini. Jadi cobalah temui Helen dan minta lebih banyak belajar bagaimana menjadi Lady yang baik untuk kesejahteraan garis darahmu. Seperti, belajar bagaimana berjalan sambil membawa tumpukan buku di kepala—kalau kau ingat, kau remedial di situ.”
“Itu cara belajar yang kuno.”
“Tapi Helen lebih familiar dengan itu. Kau harus terima.”
Nora menghela nafas. “Terima kasih atas kemerosotan etiketnya kalau begitu.”
Patrice menampik lengannya. Nora hanya terkekeh, tak memiliki keinginan untuk membalas. Mungkin Patrice benar, Nora akan melanjutkan kelas etiketnya dengan Helen—hal yang sangat perlu ia lakukan mengingat selama musim dingin ini Patrice sudah memonopoli waktu Nora untuk kelas menembak dan berburunya. Lalu mungkin Nora akan mempertimbangkan lagi mengenai universitas. Timothy menginginkan putrinya tetap tinggal di sini. Helen menyarankan Nora belajar mandiri saja, memanggil guru seperti yang sering Timothy lakukan—sekali lagi mendukung pengurungan Nora di kota ini. Namun Patrice justru menyarankan Nora melanjutkan di Gresnin. Supaya ia bisa segera pensiun mengajari Nora dan bisa jauh-jauh dari gadis itu, katanya.
Ngomong-ngomong soal waktu, Nora ingat ia memiliki sesuatu untuk dipamerkan. “Oh, ya. Sepuluh menit, satu detik, untuk enam setengah mil. Itu rekor terbaruku. Aku menghitung semuanya sendiri.” Nora menyilangkan tangan di dada, tersenyum miring.
Namun Patrice tampak tidak terkesan. “Sebenarnya, tiga detik. Dan enam koma dua mil. Kau masih kalah jauh dari standar. Nilaimu sembilan.” Ia berjalan mendekati Nora. Tangannya meraih senapan dari bahu gadis itu, mengalihkannya ke punggungnya sendiri. “Serius, Nora. Kau mungkin mau berbagi sesuatu.”
“Aku hanya sedikit sulit mengenyahkan ingatan itu. Senapan sudah tidak lagi membuatku takut, sungguh.”
Patrice mengangkat bahu. “Kau memang tak seharusnya takut pada senapan, Nora.”
Mata Nora memicing. “Kenapa?”
“Bukan apa-apa.” Patrice menggeleng. Ia memalingkan wajah, namun berbalik lagi pada Nora. “Karena kalau kau takut pada senapan, kau lebih baik tidak menjadi muridku.”
Nora terkekeh, bola matanya berputar ke atas. “Tentu saja.”
Patrice mundur sejenak sebelum meniup peluit besi yang sering dibawanya untuk berburu. Tdak ada suara yang keluar. Lima detik berselang dan dua ekor anjing husky berbulu keabuan datang berlarian dari balik salju. Kereta luncur mini mengikuti gerakan mereka, berderak-derak di atas hamparan salju. Seorang laki-laki yang naik di atasnya mengumpat dua kali sebelum dua anjing husky itu berhenti. Ia membenarkan topi rajutnya yang miring, susah payah memegang karung, golok, dan sekantung penuh tetek-bengek lainnya, lalu mendengus pada Patrice dan Nora.
“Tuhan.” Deru napasnya yang berlebihan tampak dibuat-buat, tapi Patrice tidak begitu peduli. “Sudah puas kalian membuatku jantungan setiap pagi?”
Patrice terkekeh kecil. “Thomas, kau sahabat terbaik untuk diajak berburu.”
“Tapi tidak yang terbaik untuk diminta mengasuh dua husky yang energik ini. Usiaku sudah hampir lima.” Pria paruh baya itu membuang napas besar sekali lagi. Ia turun dari kereta salju sambil menenteng senjata keramatnya. Sebuah tali rambut berwarna kuning cerah dan boneka bunga matahari kecil tertempel di salah satu sisinya, ia serahkan pada Patrice. “Kenapa tidak kau ajak kakakmu itu, Pat?”
Patrice menyempatkan diri berjingkat saat menerima tali rambut itu. Ia segera memakainya untuk mengikat rambutnya yang sudah sepanjang bahu sembari menukas, “dia tidak akan banyak berguna.”
Thomas sedikit terganggu. “Kalian suka sekali mengolok satu sama lain.”
Patrice mengangkat bahu, berdecak pelan. “Aku harus bilang apa lagi? Dia memang payah dalam berburu.”
Nora memutuskan untuk diam. Thomas bergumam rendah, memutuskan untuk mengganti topik sementara ia mengurus bangkai rusa itu. Ia memotong kepala, keempat kakinya dan membiarkan satu tubuhnya utuh. Ia kemudian memasukkannya ke dalam karung yang dibawanya tadi, lalu mengangkutnya ke atas kereta luncur. Patrice meniup peluitnya lagi untuk menyuruh dua husky-nya membawa mereka kembali ke manor.
***
Saat ketiganya kembali, Helen bilang sudah ada orang yang mengurus rusa-rusa buruan mereka. Nora menyerahkan mantel dan jaket berburunya pada Helen. Patrice sudah berderap mendahului Nora ke meja makan. Ia melihat-lihat panekuk yang sudah tersedia di atas meja, bertanya pada Helen panekuk mana yang paling enak.
“Semua sama saja.” Helen memutar bola matanya. Ia menempatkan dua panekuk di atas piring Patrice.
“Tidak bolehkah aku menambah satu lagi?”
Patrice menampakkan senyum menawannya pada Helen. Helen hanya mendengus, melenggang pergi. Patrice tetap mengambil dua buah panekuk dari atas piring saji setelah itu.
Nora lupa kapan Helen mengatakan kalau Patrice adalah juniornya di sekolah menengah, dan sepertinya baru kemarin Patrice menceritakan sikap skeptikal, galak, dan susah ditipu Helen yang sering jadi buah bibir di sekolah mereka dulu. Dunia tidak mungkin sesempit ini. Nora tidak akan terkejut jika Logan nanti mengungkapkan Nick adalah guru pianonya, karena Nick memang cukup berbakat dalam hal itu. Betapa Nora merindukannya.
Helen menuangkan sirup mapel ke atas panekuk Nora, dan menyerahkan sewadah selai coklat dan kacang kepada Patrice. Helen selalu terlihat seperti ibu bagi Patrice yang banyak tingkah.
“Logan akan kemari.” Helen tiba-tiba berucap. Jika saja Nora sedang meminum sesuatu sekarang, semua cairan yang sudah masuk ke mulut Nora akan tersembur ke atas meja.
“Benarkah? Kenapa? Mau apa dia kemari?”
“Mengunjungimu, dong.” Patrice ikut nimbrung, memain-mainkan garpu di tangannya. “Kalian dulu teman dekat kan?”
“Ya, kami sangat dekat. Tadinya.”
“Menyedihkan sekali. Kalian cocok berdua.”
Nora memutar bola mata. “Kau bahkan tak tahu Logan itu yang mana dan bagaimana sifatnya.”
“Aku tidak memerlukan informasi itu untuk tahu, sayangku. Kalian berdua sudah dekat dari kecil, kan? Bukankah ada kemungkinan orang tua kalian berniat menjodohkan kalian dan dan kalian akan menik—aw, Nora!”
Lengan Patrice panas setelah kena cubit Nora. Ia tergelak, kembali memakan panekuknya dengan lahap.
Menghela napas, Nora meletakkan sendok dan garpunya di meja. Patrice menambah panekuk lagi dan Nora bermaksud meninggalkannya. Ada banyak yang harus Nora lakukan setelah ini. Menulis jurnal, menyelesaikan buku yang direkomendasikan Nick, lalu merenung, lalu tidur, lalu menemui Logan jika dia betulan kemari, lalu begitulah.
Keributan di depan rumah menghentikan Nora dari melakukan hal itu. Beberapa pelayan wanita memekik, lalu Nora mendengar suara Thomas berseru-seru menyuruh orang-orang minggir. Nora segera berlari menuju ruang tengah dan melihat kilasan rambut pirang, berperawakan tinggi, terburu-buru membawa tubuh seseorang. Itu Logan, dan ayahnya.
Sejenak Nora terpaku pada versi dewasa Logan yang sudah tidak ia lihat selama lima tahun lebih, tapi Nora lebih terkejut akan kondisi sang Ayah. Mantelnya ternoda aliran darah dari telinganya terluka. Entah apa yang terjadi, Nora amat berharap itu hanya luka gores atau sayat biasa. Tangannya melingkar di bahu Logan. Langkahnya pincang, terseok-seok saat mengikuti Langkah Logan yang lebar dan terburu-buru.
Patrice menarik tubuh Nora ke belakang, tapi ia tak bisa menghentikan Nora yang bersikeras menyusul ayahnya. Gadis itu segera berlutut di samping ranjang sang Ayah, menunggunya menyadari keberadaan Nora di sampingnya sebelum berbicara.
“Ayah.”
“Nora. Sayang.”
Nora mengangguk. “Ya, ini Nora.” Nora mengusahakan gerakannya selembut dan seperlahan mungkin saat Nora meraba rahang sang Ayah. Berlumur darah, hampir mengering seluruhnya. Namun penampakan daun telinganya yang sobek dan luka yang masih segar terbuka tidak bisa Nora abaikan. “Apa yang terjadi?”
“Sedikit gangguan di kantor.” Ayah masih sempat-sempatnya tersenyum. “Ayah akan baik-baik saja.”
Nora merasakan napasnya sendiri tersumbat di tenggorokan. Susah payah ia menenggak ludah. Gadis itu mundur ketika Thomas mengatakan dokter yang ia panggil telah datang. Nora berdiri diam di antara Patrice dan Logan. Napas Nora terasa kosong dan otaknya sepertinya membeku selama beberapa menit. Nora menegakkan tubuh, menarik banyak oksigen masuk ke dalam paru-parunya dan menatap sekitar. Lalu Nora mendapati Patrice dan Logan sedang memperhatikannya.
“Apa?”
“Kau mengkhawatirkan.” Patrice menjawab.
“Dan super pucat.” Logan menambahkan, Patrice mengangguk-angguk menyetujui.
Nora mengatur napasnya sekali lagi. “Baiklah.” Nora menepuk sedikit lengan Logan, meski terasa sedikit canggung ketika melakukannya. Bagaimanapun, lima tahun bukan waktu yang singkat dan Logan seolah tumbuh berkali-kali lipat lebih tinggi dan menakutkan. “Kita perlu bicara.”
Logan menatap Patrice sebelum menatap Nora. “Tentu. Temanmu bisa ikut.”