“Ibumu baik-baik saja di atas sana.”
Nora percaya itu adalah kata penenang terburuk yang pernah dilontarkan kepadanya. Ia tak ingat siapa yang mengatakan hal itu. Ia sudah banyak mendengar orang mengatakan hal itu. Malam saat ia melihat tubuh ibunya yang berdarah-darah dibawa ke ruang gawat darurat, dan malam ketika ia melihat gaun tulle-nya yang biru cerah berubah menjadi semerah darah. Orang-orang mengatakan semua akan baik-baik saja, bahwa ia akan melewati hal berat ini dalam keadaan baik-baik saja.
Bahkan saat Ayahnya menjemputnya, mengangkat tubuhnya dan membawanya ke dalam rengkuhan, ia mengatakan semua akan baik-baik saja dengan ribuan kata maaf menyusul. Nora hanya tidak akan menyangka jika dua puluh empat jam kemudian, ia tidak ada bedanya dengan orang-orang itu.
Tengah malam tepat Ayahnya pulang dalam keadaan basah kuyup, mantel coklat mudanya ternoda banyak darah, ada goresan melintang yang memerah di pelipis, dan lengan kiri terbalut perban. Juga, seorang anak berambut panjang terkulai lemas di gendongannya. Malam itu Nora melihat banyak sekali darah. Di wajah anak itu, rambut, tangan, kaki, perut, bahkan tungkai dan jempol kaki. Perutnya terasa mual. Tapi ia tetap melangkah mengikuti sang Ayah yang berjalan menuju kamar tamu, diikuti Thomas dan Helen, pelayan-pelayan kepercayaan mereka.
“Siapkan kotak untuk pertolongan pertama. Lalu panggil Albert kesini. Helen, siapkan air panas, handuk kering, dan baju ganti baru—ambil di lemari lamaku. Biar Thomas yang membantuku di sini.”
Nora mengintip di pintu yang dibiarkan terbuka. Rambut legamnya jatuh di bahu. Kulitnya yang pucat tampak kontras dengan piyama katun biru tua yang ia pakai. Ia melihat ketelatenan Ayahnya mengurus anak itu, menyeka darah dan air hujan dari wajahnya, membuat pembungkus ranjang ikut kotor dan basah. Ayahnya baru menatapnya saat seorang dokter muncul di belakang punggung. Setelah menyuruh dokter itu bergegas memeriksa anak itu, sang Ayah berderap mendekatinya.
Ia berlutut di depan Nora, menggenggam kedua tangannya. “Nora.”
“Ayah darimana? Siapa anak itu?”
Timothy menengok ke belakang, lalu menatap Nora lagi dengan tatapan lembut, meski ujung matanya mulai menampakkan kerutan. “Anak itu akan tinggal bersama kita mulai saat ini. Orang tuanya meninggal. Pelakunya persis seperti… yang kemarin malam.”
Nora masih diam, mencoba menerima semua informasi baru itu.
“Namanya Kieran.” Timothy berucap dengan helaan panjang. “Dan dia akan baik-baik saja. Ayah berjanji pada kalian berdua untuk menemukan pembunuh itu, Nora.”
Nora diam, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya. Masih tidak mengatakan apapun.
Timothy memandang anak semata wayangnya dengan sedih. Ia kecup dalam dahi mungil itu sejenak. Di belakangnya Kieran rupanya terbangun. Ia merampas pisau bedah dan mengacungkannya pada semua orang. Rambutnya yang panjang hingga sebahu menutup setengah wajah. Bola mata kebiruan itu seolah berkilat diterpa cahaya dari sambaran petir di luar, bergetar dan bergerak kesana kemari dengan awas. Ia terus beringsut mundur hingga membuat ranjang yang ditempatinya semakin berantakan.
“Kieran, ini Paman Timothy.”
Suara Kieran masih goyah saat ia berbicara. “Tidak. Kau bukan—kalian bukan—”
“Ini Paman Timothy.”
Nora rasa mereka saling kenal. Kieran mengenal Ayahnya dan Ayahnya juga mengenal Kieran. Tapi bagaimana ia tak bisa mengenal Kieran? Anak ini darimana, sih, asalnya?
Timothy melangkah selangkah demi selangkah untuk mendekati anak itu. Ia mempertahankan kontak mata, untuk meyakinkan Kieran bahwa ia datang bukan untuk menyerangnya. Kieran serupa anak singa yang terpojok, mendesis seolah-olah kakinya terluka dan siap memberikan serangan bunuh diri yang paling ia bisa. Setelah beberapa langkah, Timothy dengan sigap mampu merebut pisau bedah itu dan meredam reaksi agresif anak itu dengan memeluknya.
Saat melihat hal itu, Nora mau tak mau berjalan lebih dekat. Mata biru Kieran menangkap eksistensi Nora di remangnya ruangan. Nora tak berhenti menatap mata itu hingga binarnya melemah dan kepala Kieran terkulai di lengan sang Ayah.
Berhari-hari selanjutnya, setelah menghabiskan banyak waktu untuk bisa lebih berdamai dengan keadaan, Nora akhirnya berdiri di depan pintu kamar Kieran. Anak itu sudah seminggu lebih mengurung diri. Sebenarnya sama dengan apa yang Nora lakukan setelah kemarin. Maka dari itu Nora bisa sedikit mengerti akan duka yang sedang dihadapi Kieran. Tak ada yang bisa membuatnya lebih baik selain dirinya sendiri. Dan mungkin dua potong pai kastard yang dibawa Nora saat ini.
“Kieran?” Ucap gadis kecil itu. Ia mengetuk pintu dua kali. Namun hanya hening yang menjawab panggilannya.
Nora tetap tak menyerah. “Kieran? Aku membawa pai kastard.”
Apa Kieran jangan-jangan sedang tidur? Sore-sore begini? Tidak apa-apa sih, Nora juga sering melakukannya. Jadi dia menghela napas, lalu menumbuhkan tekad untuk menunggu beberapa jam lagi.
“Aku akan kembali setelah makan malam. Helen mungkin akan membuat puding susu.”
Malam harinya Nora tidak menyerah. Ia berlarian ke dapur setelah makan malam, menarik-narik apron hijau lumut Helen saat ia sudah sampai di dekatnya. Sayangnya, niatan Nora untuk mengobrol dengan Kieran malam itu tidak didukung oleh semesta.
“Jasmine sudah mengantar makan malam Kieran ke atas, bersama dengan pudingnya.” Helen menjawab singkat. Melihat bibir Nora yang dikulum ke dalam, Helen mengusak pelan rambutnya. “Kau mau puding?”
Beberapa hari kemudian, Nora sudah harus masuk sekolah. Ia terlambat masuk ke kelas karena kejadian itu. Hari ini Nora mencoba menyapa dunia lagi dengan harapan semua orang akan mengerti. Ia memakai kemeja putih gading, rompi merah tua yang berhias bordiran bunga bakung berwarna emas, juga rok sebetis dengan warna serupa. Ia merapikan ikatan rambutnya saat sampai di depan pintu kamar Kieran. Tangan Nora terangkat untuk mengetuk pintu itu.
Jawabannya masih sama; hening, seolah kamar ini tidak dihuni siapapun. Seolah dua minggu lalu Kieran tidak tantrum ketika orang lain merawat luka-lukanya, seolah dua minggu lalu Kieran tidak melihatnya.
“Kieran.” Nora selalu jatuh kembali dalam keputusasaan tiap kali ia menyebut nama itu, dan tidak ada sesuatu yang terjadi. “Aku akan sekolah. Kau kapan akan sekolah juga?”
Tentu, tidak ada jawaban.
Nora memutar-mutar pinggangnya, membuat tas sekolah yang ia jinjing di depan tubuh ikut berayun. “Bersedih tidak baik untuk anak-anak seperti kita. Remaja, sebenarnya. Kau sekali-sekali berjalanlah keluar, menonton Felly mengurus rumah kaca di samping rumah, atau meminjam kuda di istal—kau bisa meminjam milikku, jika ia mau ditumpangi olehmu sih. Atau membaca buku di perpustakaan Ayah sambil menikmati tart beri buatan Helen. Itu aktivitas yang menyenangkan.”
Kamar di hadapannya tetap sesunyi malam-malam sebelumnya. Nora menghela napas. “Kau juga bisa bicara padaku. Setelah aku pulang sekolah. Jadi, selamat tinggal.”
Tidak terjadi apa-apa saat pulang sekolah. Kieran tetap tak mau menjawab sapaannya. Tidak ada Ayah—Timothy bilang ia akan pergi keluar kota selama tiga hari, mungkin lebih. Meninggalkan Nora berdua dengan Kieran dan kamarnya yang selalu terkunci rapat.
Tiga hari kemudian, saat Timothy pulang dengan perban misterius di balik lengan jas kusutnya, Nora memutuskan mengobrolkan Kieran.
“Ayah.” Nora memulai pembicaraan setelah ia melihat sang Ayah melipat serbet di pangkuannya. “Apa Ayah pikir Kieran baik-baik saja?”
“Hmm?” Timothy menoleh. “Apa yang membuatnya tidak baik-baik saja?”
“Dia tidak pernah membalas sapaanku. Aku melakukannya tiga kali sehari, dia tidak pernah mau keluar dari kamarnya. Apakah dia masih sedih?”
Timothy, seperti biasa, tersenyum dulu sebelum ia berbicara pada Nora. Walaupun itu senyum sepintas yang membuat ujung bibirnya tertarik sekian inci ke atas, lalu menghilang lagi dengan cepat secepat ia mengalihkan pandangannya pada teko kaca di atas meja.
“Ia hanya membutuhkan lebih banyak waktu untuk menerima perubahan hidupnya yang sekarang. Kedua orang tuanya sangatlah… berharga untuknya. Ia harus pergi meninggalkan rumahnya karena tempat itu sekarang sudah tak aman. Ia juga harus meninggalkan teman-temannya, sekolahnya, datang ke tempat asing yang dingin ini. Dan Kieran juga tidak sekuat dirimu.” Timothy menyempatkan diri mengelus kepala Nora. “Kau anak yang kuat, Nora. Jauh lebih kuat dari yang Ayah bayangkan.”
Nora mengangguk dengan pandangan menerawang, memikirkan apakah apa yang dikatakan Ayahnya adalah sebuah kebenaran. Nora masih menangis sambil memeluk selendang sang Ibu. Ia masih cengeng jika dihadapkan dengan sesuatu yang tak bisa ia lakukan sendiri, dan ia memanggil sang Ibu, tapi justru Helen-lah yang datang. Ia masih se-sensitif malam pembunuhan itu terjadi. Ia tak bisa tidur memikirkan banyaknya darah yang ia lihat di tubuh Kieran, dan mungkin bunyi rentetan peluru yang juga membayanginya, membawa mimpi buruk tak berujung untuknya.
Nora, setelah beberapa detik terdiam, menghela napas. “Benar. Semuanya akan baik-baik saja.”
Timothy mengangguk, meski sedikit awas perihal kondisi sang putri. Nora sangat tenang, terlalu tenang. Ia menatap putrinya yang perlahan menjauh dari ruang makan, lalu naik ke atas untuk pergi ke kamarnya.
“Helen.”
“Ya, Tuan?” Helen datang dari dapur, masih memakai apronnya.
“Bagaimana menurutmu kondisi Nora?”
Helen menggeleng. “Saya tidak terlalu familiar dengan seorang anak yang sedang berduka. Nora selalu bersikap lebih dari usianya, dan reaksinya tidak separah yang saya bayangkan. Namun ketenangannya justru yang menakutkan, Tuan.”
Timothy menunduk, menyetujui semuanya dalam hati. “Apa yang baiknya kita lakukan, Helen? Aku selalu sibuk mengurus banyak hal sejak… sejak Thalia pergi. Aku hampir tak memiliki waktu untuk Nora. Apa yang harus kulakukan, Helen?”
“Ada baiknya Tuan berkonsultasi dengan seseorang yang lebih ahli. Saya memiliki beberapa kontak ahli psikis yang ada di kota, atau jika Tuan ingin saya mencarikan yang sesuai keinginan Tuan.”
“Ahli psikis?” Timothy menatap sejenak Helen, yang balas menatap dengan bingung. “Baiklah. Apa kau dan Thomas bisa membantuku untuk itu?”
***
“Kau perlu melakukan bagian ini perlahan.” Helen memberikan penyaring dan bubuk coklat kepada Nora, yang ia terima dengan susah payah karena ia harus berjinjit untuk bisa meraihnya. “Tidak boleh terlalu tebal, atau terlalu jarang. Semua bagian harus sama.”
“Kapan kau akan memasukkan ini ke dalam oven?”
“Tidak, Nona.” Helen tersenyum. “Kita akan memasukkannya ke lemari pendingin.”
Nora menampilkan ekspresi itu lagi—mata memicing, alis menekuk dalam, dan bibir yang sedikit bercelah. Helen tertawa hingga ia mencubit pipi apel gadis itu. “Betul sekali. Ini adalah Cheesecake.”
Helen familiar dengan ekspresi bingung sekaligus terkejut sekaligus mempertanyakan hal-hal kenapa ini bisa jadi begini dan itu bisa jadi begitu, yang sering Nora tunjukkan padanya. Setiap Selasa sore dan Sabtu pagi, Nora akan pergi ke dapur, belajar bermacam-macam resep baru bersama Helen. Rabu sore dan Minggu pagi, Nora entah akan pergi dengan Thomas untuk belajar berkuda, atau mengikuti Felly kemanapun ia akan pergi untuk memelihara tanaman-tanaman di rumah kaca. Sisa pekan akan ia habiskan untuk membaca, atau menghabiskan waktu bercerita dengan sang Ayah.
Ini adalah sesuatu yang akhir-akhir ini ayahnya dan seorang ahli psikis dari kota lakukan untuk membantu mengangkat duka yang dirasakan Nora. Gadis itu kini lebih banyak berbicara dan lebih banyak berekspresi dari minggu-minggu sebelumnya, yang mana merupakan sesuatu yang bagus.
Sabtu pagi ini, adalah jadwalnya bersama Helen. Mereka, untuk pertama kalinya memasak sesuatu yang tak memerlukan oven atau kompor atau wajan penggorengan dan panci rebusan. Hanya kotak pendingin.
Nora ingin menyampaikan keterkejutannya sekali lagi. Namun Ayahnya tiba-tiba masuk ke dapur, bersama dengan Thomas dan seorang wanita semampai berambut biru gelap yang dipotong di bawah telinga, riasan tipis dan mata yang anehnya terlihat menarik. Nora bertaruh, sekali ia mengedipkan satu mata, satu kota akan jatuh hati padanya. Ia tersenyum tipis pada Nora, membuat Nora mengerjap dua kali.
“Aku tak mencium wangi kukusan atau roti panggang kali ini.” Timothy menatap sekitar, lalu memiringkan sedikit kepalanya saat melihat Nora melepas celemeknya. “Apa yang kau buat, sayang?”
“Helen bilang itu Cheesecake. Mirip puding roti.”
Ayah tertawa. “Roti itu banyak dijual di Gresnin, di ibukota. Bisa jadi Logan akan sering membelinya. Dia akan sangat senang saat tahu kau juga pandai membuat roti yang sama.”
Sebenarnya, ini bukan roti. Tapi Nora tak tega membenarkan perkataan sang Ayah karena wanita yang berdiri di sampingnya tampak sekali ingin segera bicara. Senyumnya melebar saat Timothy akhirnya mempersilakannya berkenalan. Dari dekat, Nora bisa melihat kilat penuh energi berwarna kecoklatan terpancar dari bola mata wanita itu.
“Apa Nicholas pernah menyebutkan kalau dia punya adik?” Sejenak Nora lupa siapa Nicholas. Lalu figur pria berambut cepak dengan kulit yang lebih gelap dari warga Dunchaster kebanyakan, tinggi semampai didukung pantofel coklat tua dan jas krem terang yang sering ia pakai ketika menemui Nora—ahli psikis yang membantunya beberapa minggu terakhir—muncul di pikiran gadis itu. Jadi, bapak-bapak penyuka teh melati yang kaku dan super konvensional itu punya adik?
Mengingat apa-apa saja yang Nicholas katakan padanya, Nora hanya mengangkat bahu. “Dia bilang dia memiliki saudara yang suka makan pasta makaroni super pedas, membaca majalah anak, dan menyanyikan lagu-lagu Reg Kennedy di saat bersamaan. Kurasa itu kau.”
“Astaga, dia bilang begitu tentang aku?”
“Dia juga bilang kau sangat menyebalkan saat melakukannya.”
Nora membayangkan gadis setua ini melakukan hal itu—dan itu memang menyebalkan. Ia sepertinya hanya terpaut empat atau lima tahun dengannya, pasti sudah terhitung dewasa. Nora menunggu reaksi macam apa yang akan dikeluarkan gadis itu. Dan ia sedikit terkejut saat melihatnya membungkuk di depan Nora, lalu tertawa kecil. Bukan tawa yang canggung atau hambar, benar-benar tawa yang ditunjukkan seseorang ketika ia mendapat pujian.
“Oh, Tuhan. Nick hanya mengingat hal-hal yang dibenci dari adiknya sendiri—semua kakak laki-laki sepertinya memang begitu. Kau rupanya punya ingatan yang bagus, hm? Kurasa kau lebih cerdas dari yang kubayangkan.” Gadis itu menyentuh ujung hidung Nora dengan jari telunjuknya. Nora salah tingkah, diam-diam menasehati diri sendiri untuk lebih menjaga mulutnya. “Namaku Patrice, Kau bisa memanggilku Pat, atau Mad Wolf—temanku di akademi sering memanggilku seperti itu dan Aku mengizinkanmu juga. Mulai Jumat pagi, minggu depan, aku akan jadi teman barumu dalam belajar sesuatu. Yang kuajarkan tidak akan kalah seru dengan memasak, berkuda, atau memelihara tanaman. Kau pasti menyukainya.”