Almira
“Have I told you about your crazy side?”
Aku menoleh ke samping dan mendapati sosok Reynaldo dengan lengan kemeja putih terlipat sampai siku. Rambutnya sudah acak-acakan di bagian depan, sepertinya dia stress karena tingkahku meninggalkan acara tadi.
“I know. I’m sorry, Rey. Aku tidak bisa diam saja dan melihat kalian sibuk mencari cara untuk memperbaiki kesalahanku.” Aku menatap jauh ke depan panggung acara. Mbak Dewi terlihat masih melayani pertanyaan dari para peserta. Untungnya aku sudah memberikan briefing untuk menambahkan waktu tanya jawab pada Mbak Dewi.
Tidak ada reaksi dari sosok Reynaldo di sampingku. Beberapa saat ia diam, sampai ia mengagetkanku lagi dengan suaranya. “Aku lihat berita tentang rapat pemegang saham keluargamu–”
Aku memotong perkataannya. “Aku nggak akan suka dengan apa yang kamu akan sampaikan.”
Ia tersenyum membuatku sedikit tenang. Berarti Reynaldo tidak akan memberitahu kabar buruk tentang aku atau, lebih parah, tentang hubungan kita. “Awalnya aku mengira kamu akan pergi kesana. Setelah kamu masuk ke dalam mobil itu, segala pikiran buruk tentang insiden Dwi kembali lagi. Aku sempat ragu–”
Aku tersenyum meringis mendengar penjelasannya. Ia menoleh ke arahku lalu melanjutkan, “Tapi aku mengingat ambisimu untuk pembuktian diri kepada mereka, aku pikir tidak mungkin kamu tiba-tiba menyerah hanya karena satu kesalahan. Jadi aku memutuskan untuk menunggu kabar darimu.”
He understands. Rasanya aku ingin segera menghambur ke dalam pelukan hangat pria ini. Namun, riuh tepuk tangan membuat kami mengalihkan fokus ke arah panggung lagi. Terlihat senyum puas dari peserta dan juga Mbak Dewi di depan panggung. Saat melihat pemandangan itu, bahuku merosot lega.
Setelah aku membantu sesi foto bersama Mbak Dewi dengan peserta acara bincang buku kali ini, aku kembali ke ruang panitia bersama Reynaldo yang masih menempel di sampingku. Sepertinya ia takut aku akan hilang lagi seperti tadi.
“Ami…” Badanku diselimuti pelukan dari Kak Felice yang langsung berlari ke arahku saat aku masuk ke ruang panitia. “Ami, maaf. Gara-gara gue kurang tidur, gue jadi nggak fokus baca dokumen dari lo. Gue sudah jelasin juga ke Bu Eri, maaf lo jadi harus kena omelan darinya. Padahal semua ini karena kesalahan gue.”
Aku menepuk-nepuk punggung Kak Felice, menenangkannya, lalu melirik ke arah Reynaldo dan tersenyum. “Jangan menyalahkan diri kakak terus. Saya juga berkontribusi di kesalahan kali ini, Kak. Untungnya tim kita bisa cepat bereaksi dan melakukan tindakan penanganan.”
“Tetap saja gue merasa bersalah. Gue hanya bisa berdiri di sini, sementara lo mengejar Mbak Dewi sampai Bogor.” Aku mengangkat wajahku lagi ke arah Reynaldo dan menatapnya bingung. Siapa yang menyebarkan rumor aneh ini?
Reynaldo mengedikkan bahu saat melihat tatapan curigaku kepadanya. “Saya nggak mengejar Mbak Dewi sampai Bogor, Kak. Malah saya yang menumpang di mobil Mbak Dewi dari Lenteng Agung.”
Kak Felice mendorong tubuhnya lepas dari pelukan kami. Ia terlihat bingung dengan fakta yang baru saja aku sampaikan. “Tapi… pesan lo tadi… gue pikir lo ngejar mobil Mbak Dewi sampai Bogor.”
Aku tertawa. Jadi ini kesalahpahaman yang dibuatnya sendiri. Aku pun menjelaskan keadaan yang terjadi. Dari menumpang mobil Tante Tari sampai ke tempat perjanjian dengan Mbak Dewi, lalu aku berlanjut menumpang mobil Mbak Dewi selanjutnya untuk memberikan update kondisi acara serta briefing hal yang harus ia lakukan sesampainya di lokasi.
Kak Felice terdiam melongo mendengar penjelasanku saat pintu ruang panitia terbuka dengan keras. Punggungku tiba-tiba terasa berat karena pelukan seseorang dari belakang.
“Ami! Orang-orang di luar bilang lo habis mengejar penulis sampai Bogor. Beneran, Mi?”
Aku menoleh dan mendapati wajah polos penuh ingin tahu Andin. Aku hanya bisa menghela napas dan menjelaskan semuanya dari awal.
“Ohh…” Andin menganggukkan kepala mendengar penjelasanku. “Gue pikir lo beneran mengejar penulis seperti di film action gitu, Mi.”
“Lo kebanyakan nonton film. Ami mengejar penulis bukan penjahat, Din.”
Andin mengangkat tangannya di depan wajah Luna. “Ah, Lun. Lo merusak imajinasi gue. Padahal Ami sudah keren banget di dalam bayangan gue.”
Aku tertawa mendengar perdebatan mereka.
“By the way, guys …” Kepala Nisa menyembul dari balik punggung Luna. “Apa tidak ada yang mau menanyakan kenapa Kak Reynaldo terus berdiri di samping Ami dari tadi?”
Lantas Luna dan Andin menoleh ke sisi kananku. Bahkan Kak Felice yang masih melongo di sebelah kiriku pun ikut mengalihkan pandangan ke arah Reynaldo. Aku meringis mendengar pertanyaan Nisa. Peka seperti biasanya.
“Kamu belum memberitahu mereka?” bisik Reynaldo. Aku menggeleng.
“Kenapa kalian dekat-dekat seperti itu?” Andin memekik kegirangan membuat orang-orang di dalam ruang panitia mengalihkan pandangan ke arah kami. Sementara aku berdiri mati kutu mendapati tatapan penuh rasa ingin tahu dari semua orang di dalam ruangan.
Pintu ruangan terbuka kembali bersamaan dengan suara pria yang sedang menahan tawanya. “Itu…karena dua orang ini sedang dilanda penyakit cinta tentunya.”
Aku menatap horor ke arah Daniel yang dengan santainya mengumumkan hubunganku dan Reynaldo ke hadapan semua orang di dalam ruangan. Sontak aku menoleh ke arah Reynaldo, membisikkan protesku ke telinganya. “Kamu sudah memberitahu Daniel?”
Ia mengangguk dengan sorot mata polos. “Aku kira kamu sudah memberitahu teman-temanmu, jadi aku juga melakukan hal yang sama. Tapi kalau aku tidak memberitahu orang itu pun, ia akan sadar sendiri karena aku nggak bisa menyembunyikan ekspresiku.”
Daniel terbahak. “That’s very right. Lo nggak tahu gimana ekspresi wajahnya setelah dia pacaran dengan lo. Gue hampir berpikir dia kerasukan gara-gara setiap menit sekali dia tertawa sendiri.”
Suasana hening sejenak. Sampai kesadaran Andin kembali dan dia melompat ke pelukanku. “Finally! Lo akhirnya menyadari perasaan lo, Mi. Gue sudah geregetan selama ini melihat kalian berdua saling pandang tapi nggak mau mengakui perasaan kalian.”
Aku tersenyum masam. Haruskah semua ini diceritakan di depan publik?
Luna dan Nisa ikut memelukku bergantian. Lalu disusul Kak Felice yang baru saja selesai memproses semua informasi mengejutkan ini di kepalanya. Sementara aku hanya bisa menerima semua pelukan mereka dengan pasrah.
Aku merasakan elusan lembut di rambutku, lalu bisikan di telingaku. “Jadi, sekarang aku sudah bisa berdekatan dengan kamu kan, Ami?”
Rasanya wajahku memerah. Sepertinya hanya aku yang merasa malu dengan perhatian mereka ke arahku dan Reynaldo. Aku melirik kesal ke sisi kananku dan mendapati wajah Reynaldo bersandar di bahuku. “Rey! Not in front of everybody.”
Aku merasakan tatapan teman-temanku berubah satu persatu menjadi seperti Grinch. I didn’t sign up to be a public display! “Rey, ¡lo juro por Dios! I swear to god, kamu bisa membuat mereka menatapku sampai aku pingsan di sini.”
Terdengar suara tawa pria di sampingku ini. “That’s alright!” Lalu ia berbisik lagi di telingaku, kini dengan suara cukup besar hingga teman-temanku bisa mendengarnya. “Dime en espanol, Mi Amor, para que nadie pueda entender.”
If I can be more red than now. Aku menutup wajah menyembunyikan senyum lebar yang muncul di wajahku saat mendengar Reynaldo mengatakan kalau aku harus berbicara dengan bahasa Spanyol agar tidak ada yang mengerti. Sejak kapan orang ini bisa berbicara dengan bahasa Spanyol!
Andin mendekat ke arahku dan Reynaldo yang masih memelukku dari belakang. “So, do you believe in romance now, Ami?”
Aku tersenyum, kini tanpa paksaan, ke arah Andin lalu mengangguk.
Dukungan Reynaldo selama menjalin hubungan denganku sangat membantu. Aku merasa bisa melakukan apa pun yang aku mau untuk mencapai ambisiku karena tahu ia akan selalu ada untuk mengingatkan ketika aku keluar dari jalur. Reynaldo juga akan selalu percaya dengan kemampuanku. Dia adalah jangkar yang memastikan api di dalam diriku tidak keluar membakar semua yang aku lihat.
So, It’s okay to have a little romance in my life.