Waktu berlalu bagaikan cahaya yang merambat memenuhi ruangan. Penghujung tahun yang sudah kian lama ditunggu orang-orang akhirnya tiba. Masa yang dipenuhi kebahagiaan karena menjelang perayaan Natal dan tahun baru itu menjadi penanda 4 bulan sejak Gavin dan Valerie menjadi sepasang kekasih.
Alih-alih merasa senang, Valerie justru merasa cemas akibat ucapan teman-temannya. Mereka bilang masa setelah usia hubungan 4 bulan adalah masa-masa rawan di mana salah satu pasangan cenderung akan merasa bosan. Jika tidak bisa melewati masa itu, hubungan kekasih tidak akan bisa bertahan.
Valerie yang baru pertama kali menjalin hubungan asmara tentu saja merasa khawatir akan hal itu. Entah karena terlalu banyak memikirkan perkataan teman-temannya atau sekadar perasaannya saja, tetapi dia mulai merasakan adanya perbedaan pada sikap Gavin.
Pada hari minggu yang bertepatan dengan hari jadi ke 4 bulan Valerie dan Gavin, mereka memutuskan untuk pergi bersama teman-teman serta guru bimbingan mereka ke pantai. Kegiatan liburan bersama yang akan dilaksanakan setiap selesai ujian akhir semester itu menjadi tradisi baru di tempat bimbingan mereka.
Karena jumlah orang yang ikut serta dalam perjalanan ini cukup banyak, mereka pergi dengan menggunakan 2 mobil yang disediakan oleh guru bimbingan mereka. Pembagiannya berdasarkan tempat tinggal agar memudahkan proses penjemputan. Valerie sendiri berada di mobil yang sama dengan Gavin dan Asther beserta 3 teman mereka lainnya.
Selama di perjalanan, jangankan mengajak ngobrol kekasihnya, Gavin bahkan tak melirik Valerie sekali pun. Laki-laki itu sibuk berbagi canda dengan teman-temannya. “Kayaknya dia lupa kalau hari ini kita dah 4 bulan, biasanya ngucapin tapi ini engga,” pikir Valerie.
Setelah melampaui perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 1 jam, mereka sampai di sebuah pelabuhan. Di pelabuhan itu mereka akan menaiki sebuah perahu yang sudah mereka sewa untuk menyeberang ke sebuah pulau yang menjadi destinasi mereka. Jalan menuju persatu mereka sangat kecil, tidak bisa dilalui oleh mobil, karena itu mereka harus melanjutkan perjalanan mereka dengan berjalan kaki.
Mereka pun mengeluarkan semua barang bawaan mereka dari mobil. Tas Valerie terasa cukup berat karena memuat segala keperluan yang disiapkan mamanya untuknya. Dia memang tak perlu membawa semua barang itu, tetapi mamanya memaksanya untuk membawa semua itu untuk berjaga-jaga. Melihat Valerie yang kesulitan membawa tasnya membuat teman-temannya memarahi Gavin yang sedari tadi hanya diam melihat hal itu.
“Weh Gavin! Bantuin tuh ceweklu! Tasnya berat gitu masa lu diem aja sih liatnya.”
“Iya woi! Greget sendiri gue liatnya. Padahal bawaannya dikit tapi diem aja liat ceweknya bawa banyak bawaan gitu. Ga perhatian amat sih jadi cowok!”
“Gapapa, biar mandiri. Yang lain juga bawa tasnya sendiri-sendiri kan,” Jawab Gavin pada teman-temannya.
Mendengar jawaban Gavin itu membuat Valerie menjadi sedikit kecewa. Padahal laki-laki itu tak pernah membiarkannya membawa bawaan yang berat, tetapi kini dia seperti tak peduli pada kekasihnya yang kesulitan itu.
Valerie berusaha untuk tak terlalu memikirkan hal itu. Dia tak ingin suasana hatinya memburuk karena hal kecil seperti itu. Valerie ingin menghabiskan waktu yang menyenangkan dengan teman-temannya tetapi dia tak bisa membohongi dirinya sendiri, hatinya terus saja merasa tak tenang.
Untuk beberapa waktu Valerie berhasil mendistraksi dirinya dengan mengikuti serangkaian permainan yang disiapkan guru bimbingannya. Akan tetapi ketika sudah menjelang waktu makan siang, Valerie tak memiliki nafsu makan dan memutuskan untuk menyendiri di sebuah ayunan.
Valerie terdiam. Ayunan itu mengingatkannya pada pelukan pertamanya dengan Gavin. Entah mengapa memori itu terasa sangat jauh dan asing, seakan tak akan pernah dia rasakan lagi. Walau begitu, sejak hari itu mereka sering kali berpelukan. Tetapi entah sejak kapan pelukan hangat dan penuh kasih sayang itu tak pernah dirasakan lagi oleh Valerie. Melihat Valerie yang melamun di ayunan itu membuat Elaine menghampirinya.
“Kenapa Val? Kok sendirian aja?” Valerie pun tersentak.
“E-eh gapapa kok. Pengen aja gitu. Rasanya tenang di sini,” Valerie menjawab dengan tampak sedih term pampang di wajahnya. Sejenak suasana menjadi begitu sunyi. Dengan ragu-ragu Elaine memutuskan untuk bertanya pada Valerie.
“Kamu sama Gavin lagi berantem?”
“Engga kok. Kenapa kamu mikir gitu?”
“Ya abis kalian akhir-akhir ini kayak aneh aja gitu. Pacaran tapi ga keliatan deket. Makanya tadi yang lain nyuruh si Gavin bantuin kamu tapi bukannya bantuin, dia malah ngomong kayak gitu. Seriusan nih kalian ga lagi berantem? Kalau ada apa-apa cerita aja.”
“Sebenernya…. Ga tau ini perasaan aku aja apa gimana, tapi aku ngerasa Gavin dah berubah. Dia masih perhatian tapi kek ga sama aja gitu sama pas awal pacaran. Kayak dulu aku ga pernah nyuruh dia sering-sering ke rumah, dia yang mau sendiri, tapi sekarang dia kek ga mau luangin waktu sama sekali. Aku tau dia sibuk sama urusan OSIS tapi pas OSIS lagi ga ada kegiatan pun, dia masih cari alasan buat ga ke rumah. Entah itu ngurusin aquariumlah, nemenin temennya pergilah, apalah, pokoknya banyak banget alasannya. Aku dari awal ga pernah mau nuntut dia untuk hal apa pun termasuk sering-sering ke rumah, tapi kalau udah kayak gini, aku jadi takut kita semakin renggang. Ketemu cuman pas di sekolah doang, komunikasi juga seadanya aja.”
“Hmmm…. Ini bukan perasaan kamu doang sih, Val. Yang lain juga nyadar kok kalau kalian akhir-akhir ini renggang. Di sekolah pun kalian keliatan dah jarang ngobrol, udah ga pernah makan bareng juga. Banyak yang ngira kalian dah putus malahan. Tapi Val, kamu udah coba ngomong ke Gavin? Komunikasi itu penting, dia harus tau apa yang kamu rasain.”
“Udah, Laine. Tapi respon dia…,” Valerie pun menceritakan kepada Elaine mengenai percakapannya dengan Gavin beberapa minggu yang lalu.
Kejadian beberapa hari sebelum ujian akhir semester….
Rintik hujan mulai menyentuh mereka, sedikit demi sedikit membasahi seragam sekolah yang mereka kenakan. Gavin mempercepat laju motornya, melewati kemacetan yang ada untuk segera sampai di rumah Valerie.
Gavin memarkirkan motornya di garasi Valerie yang sedang kosong. Para penghuni rumah sedang keluar saat itu, hanya ada Valerie dan Gavin saja. Tadinya Gavin berniat untuk langsung pulang setelah mengantar Valerie, tetapi niatnya itu terurungkan oleh hujan yang deras.
Momen itu pun memberikan kesempatan bagi Valerie untuk mengutarakan perasaannya akhir-akhir ini. Mereka berdua duduk di ruang tamu tanpa ada yang mengucapkan apa pun. Gavin hanya sibuk menatap ponselnya, memainkan sebuah permainan online di sana.
“Gav…. Ada yang mau aku omongin. Bisa tolong matiin dulu ga HPnya?” Gavin pun meletakan ponselnya di sofa dan menatap Valerie, siap mendengarkan ucapan gadis itu. Valerie pun meneruskan ucapannya.
“Akhir-akhir ini aku ngerasa kalau kamu berubah.”
“Berubah gimana? Emang aku udah ga perhatian lagi?” Gavin mengerutkan dahinya begitu mendengar pernyataan Valerie yang terkesan ambigu baginya.
“Bukan gitu. Aku juga bingung ngejelasinnya gimana.”
“Coba pikirin dulu kenapa kamu tiba-tiba ngerasa begitu.”
“Mungkin karna akhir-akhir ini kamu jarang ke rumah karna kemauan sendiri. Harus aku dulu yang mohon-mohon, itu pun kamu belum tentu mau.”
“Val…. Aku bukannya ga mau, tapi kamu tau sendiri kan akhir-akhir ini aku sibuk sama OSIS.”
“Iya, aku tau OSIS sibuk. Tapi Asther yang ketua OSIS aja masih bisa luangin waktu buat hal lain, kamu yang cuman anggota masa ga bisa? Dan perasaan urusan kamu bukan cuman OSIS deh. Tiap aku ajak ke rumah, alasan kamu kalau ga ada janji sama temen, mau urusin aquarium. Ga bisa banget ya di tengah semua itu kamu luangin waktu buat aku?”
“Kita kan tiap hari ketemu di sekolah, buat apa sering-sering ketemu lagi di luar?”
“Ya tapi di sekolah kita sibuk sama urusan masing-masing. Kamu juga udah ga pernah nemenin aku makan lagi. Tiap aku ajak kamu selalu beralasan mau ngurusin urusan OSIS dulu lah, ke kelas Noah dulu lah. Alasan kamu tuh banyak makanya aku selalu ngerasa kayak kamu ngejauhin aku. Entah ya Gav tapi kamu dah ga sama kayak pas kita awal pacaran. Perhatian sih masih, tapi kek lebih ga pedulian aja gitu sekarang. Di chat pun bales seadanya. Aku tau akhir-akhir ini ga banyak topik yang bisa kita bahas, tapi harusnya kita bisa sama-sama nyari kan? Bukan aku terus yang chat kamu duluan dan kamu jawab semaunya kamu aja,” Keduanya terdiam sejenak sebelum Valerie melanjutkan ucapannya.
“Aku heran aja kadang. Kenapa sih kamu tiba-tiba berubah? Apa karna kamu bosen sama aku? Kalau kamu bosen, harusnya kamu bilang bukan malah ngejauhin aku kek gini. Kita bisa cari solusinya bareng-bareng.”
“Aku ga bosen, Val…. Ya udah gini aja deh, sekarang kamu maunya gimana? Yang jelas kalau kamu minta aku balik kayak dulu lagi, aku ga bisa. Semua orang pasti berubah, Val,” Valerie tersentak. Bukan jawaban seperti ini yang dia inginkan. Dengan berat hati Valerie menjawab.
“Mulai besok bisa makan bareng lagi ga? Dan kalau ada waktu luang, tolong sempetin ke rumah. Aku juga mau ngabisin waktu bareng kamu walau cuman 10 menit aja.”
“Iya, Val. Kalau ada waktu pasti aku ke sini kok, jadi jangan mikir aku ngejauhin kamu lagi ya? Sini peluk biar ga sedih lagi.”
Kembali ke masa kini….
“Yah pada akhirnya sih cuman jadi omongan di mulut doang. Memang sempet diikutin besoknya, tapi lusanya dah ga gitu lagi. Balik menjauh, cuek, banyak alesan. Aku dah beberapa kali omongin lagi ke dia, tapi responsnya selalu sama. Dan kadang dia kesel karna aku bahas-bahas hal yang sama lagi, tapi kalau dianya yang terus begitu mau gimana lagi kan?”
“Iya sih. Kalau dari yang aku liat ya, Val, kamu tuh lagi dibikin feeling lonely sama dia. Bukannya mau nakut-nakutin kamu ya, cuman kalau dari cerita kamu, yang bisa aku simpulin ya kayak gitu. Biasanya sih cowok bikin ceweknya feeling lonely karna bosen tapi ga mau minta putus.”
“Padahal aku mendingan dia ngomong jujur kalau dia bosen, dari pada dia begini, kan aku jadi bingung sendiri harus ngapain.”
“Cowok ga mungkin jujur ke ceweknya sih kalau bosen. Ya pasti gini, dibikin feeling lonely biar ceweknya muak dan minta putus. Soalnya kalau dia yang minta putus, antara dia dianggep jelek sama orang lain atau takut nyesel.”
“Kayaknya engga deh. Gavin kan cowok populer di sekolah, ga mungkin orang-orang mikir buruk soal dia cuman karna putus sama aku. Dia juga ga perlu nyesel. Walau pun kata orang-orang dia ga gitu cakep, tapi dia tau cara memperlakukan cewek, pasti banyak yang mau sama dia. Pas jaman SMP aja dia udah 3 kali HTS kan, mana ceweknya cantik-cantik semua. Ga kaget sih kalau dia cepet nemu pengganti.”
“Tapi sama kamu kasusnya beda, Val. Pas sama kamu, dia terang-terangan banget nunjukin kalau kalian ada hubungan, beda sama pas sama Mary dan para cewek HTSannya itu. Dan dari awal orang-orang tau kalian pacaran, mereka tuh kayak kaget gitu lho, kok cewek kayak kamu yang terkenal cantik, pinter, alim, bisa mau sama cowok modelan kek Gavin. Makanya dia pasti nyesel lah kalau mutusin kamu. Kapan lagi coba dia mau nemu cewek yang bisa ngadin segala ketengilannya kek kamu?”
Di saat yang bersamaan, tanpa Valerie dan Elaine sadari, beberapa teman-teman mereka sudah memperhatikan mereka sejak tadi. Mereka memang tidak bisa mendengar percakapan antar 2 gadis itu, tetapi mereka turut penasaran.
Sementara itu. Gavin tampak tak terusik sama sekali. Dia sibuk menghabiskan nasi kotaknya, padahal sang kekasih bahkan belum menyentuh makanannya. Menyadari itu, guru bimbingan mereka menyuruh Gavin untuk membujuk Valerie untuk makan.
“Gavin. Coba itu Valerienya dipanggil dulu, disuruh makan. Belum makan lho dia dari tadi, entar sakit. Tadi saya suruh makan katanya belum laper.”
“Percuma, pak. Saya paksa makan juga dia ga bakal makan kalau dia emang ga mau. Entar kalau dia laper, dia pasti makan kok, pak.”
“Jangan gitu lah, Gav. Dibujuk dulu itu ceweknya. Ini udah siang lho, entar dia sakit basah-basahan tapi gak makan. Siapa tau dia mau kan kalau kamu yang bujuk.”
Setelah dipaksa oleh guru bimbingannya, Gavin pun menghampiri Valerie dan menyuruhnya untuk makan. Harus Valerie akui, dia terkejut namun juga senang. Akan tetapi, rasa bahagia itu tak bertahan lama. Tidak ada interaksi apa pun di antara mereka setelah itu bahkan sampai waktunya untuk pulang.
Sesampainya di rumah, Valerie buru-buru membersihkan diri dan membaringkan tubuhnya di kasur. Dia hanya diam, sibuk memikirkan sikap Gavin yang benar-benar tak bisa dia mengerti. Apa laki-laki itu sudah tak memiliki perasaan apa pun padanya sampai- sampai memperlakukannya seperti itu?
Pikiran Valerie malam itu benar-benar kacau. Banyak sekali hal-hal negatif yang muncul di benaknya. Tepat sebelum dia memutuskan untuk tidur dan melupakan semua pikiran negatif itu sampai pagi, dia mendapatkan notifikasi pesan dari orang yang sama sekali tak dia duga.
Dia mendapat pesan dari Gavin! Valerie pun dengan antusias membuka ponselnya, ingin cepat-cepat membalas pesan itu. Akan tetapi, dia tiba-tiba terpikirkan akan suatu hal. “Kenapa aku harus cepet-cepet bales chat dia? Biasanya aja dia slow respond kok. 10 menit lagi deh baru aku jawab.” Dengan itu, Valerie menyibukkan diri sebelum membalas pesan Gavin 10 menit kemudian.
Gavin: Sayang.
Valerie: Iya?
Valerie: Kenapa?
Gavin: Boleh jujur ga?
Gavin: Tapi aku takut.
Valerie: Kenapa, sayang?
Valerie: Ngomong aja.
Gavin: Ga jadi deh.
Gavin: Aku takut kamu marah.
Valerie: Kamu bakal bikin aku ovt kalau ga ngomong.
Gavin: Iya sih….
Gavin: Aku pasrah sih ngomongnya.
Gavin: Aku ngerasa kayak akhir-akhir ini ngebohongin kamu.
Gavin: Tiap mau tidur kepikiran, pengen ngomong.
Gavin: Cuman mau nunggu waktu yang tepat.
Valerie: Kok aku jadi deg-degan ya.
Perasaan Valerie pun jadi semakin tak karuan. Dia begitu penasaran akan hal yang ingin disampaikan oleh Gavin. Tetapi di saat yang bersamaan, dia tak ingin mengetahuinya. Dia takut jika hal yang selama ini dicurigainya ternyata benar.
Walau sudah mempersiapkan diri sejak merasa hubungannya dengan Gavin menjadi renggang, Valerie belum sepenuhnya siap jika laki-laki itu mau mengatakan bahwa dirinya bosan atau sudah tak memiliki perasaan. Terlebih lagi jika laki-laki itu meminta untuk mengakhiri hubungan mereka. Perempuan mana yang siap mendengar hal seperti itu dari laki-laki yang dicintainya?
Gavin: Maaf ya.
Gavin: Jujur akhir-akhir ini, sejak aku banyak nongkrong, aku tuh bener-bener banyak pikiran.
Gavin: Dan kadang aku ga sadar aku jadi ngejauhin kamu.
Valerie: Aku tau kok ini bukan perasaan aku doang.
Valerie: Banyak yang sadar soalnya.
Gavin: Aku ga siap ngomongnya.
Gavin: Akhir-akhir ini karena itu aku jadi ngevape.
Gavin: Jadi pelarian aku pas nongkrong sama temen-temen.
Valerie: Gimana?
Pengakuan Gavin yang tiba-tiba itu sangat membuat Valerie terkejut. Gavin yang sebelumnya tak pernah terpengaruhi oleh teman-temannya untuk ikut merokok atau ngevape itu, kini melakukannya karena keinginan sendiri. Harus Valerie akui, dia kecewa pada keputusan tak bertanggung jawab Gavin itu.
Padahal Gavin tau benar dampak seperti apa yang akan benda itu berikan pada kesehatannya. Dia juga mengetahui betapa Valerie tidak menyukai jika orang terdekatnya merokok.
Saat dirinya menginjak kelas 6 SD, kakek yang sangat Valerie sayangi meninggal dunia karena mengidap penyakit kanker paru-paru. Hal itu disebabkan oleh kebiasaan kakeknya yang suka merokok sejak masa mudanya. Karena itu lah, Valerie sangat berharap kekasihnya itu tidak akan pernah mencoba hal seperti itu.
Bukan berarti Valerie melarangnya. Sejak awal Valerie sudah memutuskan untuk tak pernah melarang Gavin dalam hal apa pun. Bahkan saat Gavin diundang ke acara ulang tahun Mary, mantannya, dia tak melarang Gavin untuk datang. Kalau laki-laki itu ingin mencoba vape pun, Valerie hanya akan mengingatkan tentang dampak buruknya, bukan melarangnya.
Hanya saja beberapa minggu yang lalu, Gavin sendiri yang mengatakan tak akan pernah mencoba rokok mau pun vape. Kini Valerie pun kecewa karena laki-laki itu tak menepati ucapannya sendiri. Jika mengenai kesehatannya sendiri saja dia bertindak tidak bertanggung jawab seperti itu, bagaimana dengan hal lain?
Gavin: Aku ngevape sebagai pelarian.
Valerie: Udah berapa lama?
Gavin: Baru-baru ini sih.
Gavin: Itu pun Cuman pas nongkrong sama temen- temen ku aja.
Valerie: Pas aku tanya udah berapa lama itu, aku mau jawaban spesifik.
Valerie: Aku ga terima jawaban lupa.
Gavin: Bentar, inget-inget dulu.
Gavin: Dari minggu lalu sih seinget aku.
Valerie: Oke.
Gavin: Ga marah?
Valerie: Engga.
Valerie: Kesel doang.
Gavin: Sama aja….
Gavin: Kamu mau gimana terserah kamu deh.
Gavin: Yang penting aku dah jujur.
Gavin: Nutupin dari kamu tuh berat di hati.
Valerie: Aku tuh kesel karna kamu ga bilang aja sih.
Valerie: Dari awal kan aku dah bilang, kalau kamu mau ngevape ya itu terserah kamu.
Valerie: Aku ga ngelarang, Cuman ngingetin dampaknya aja.
Gavin: Wajar aja lho kalau kamu marah.
Gavin: Gapapa.
Gavin: Aku sudah menyiapkan mental.
Valerie: Aku lebih ke shock sih.
Valerie: Padahal pas awal kita pacaran, kamu bilang ga akan pernah kayak gitu.
Gavin : Itu aku ngomong kalau rokok ga sih? Vape kan beda.
Valerie: Vape juga ya.
Valerie: Kamu bilang kamu mikirin kesehatan.
Valerie: Ujung-ujungnya gini juga tuh.
Gavin: Oke, aku salah. Maaf ya.
Valerie: Oke.
Valerie: Ada kebohongan lain kah?
Gavin: Ga ada kok.
Gavin: Nanyanya seakan ga percaya sama aku lagi ya.
Gavin tidak menceritakan dengan jelas alasannya mencoba vape kepada Valerie. Jika karena faktor beban pikiran, laki-laki itu seharusnya menceritakan keluh kesahnya kepada sang kekasih, bukan malah melampiaskannya pada benda yang merusak kesehatannya itu.
Sejujur-jujurnya, sulit bagi Valerie untuk tetap mempercayai Gavin. Laki-laki yang selama ini tampak selalu jujur padanya, kini membohonginya. Memang hanya kebohongan kecil, tetapi segala sesuatu yang besar selalu diawali dengan hal kecil bukan? Jika hal seperti ini saja bisa disembunyikan oleh Gavin pada Valerie, bagaimana dengan hal-hal yang menyangkut hubungan mereka?