“Anak-anak, mohon perhatiannya sebentar! Karena materi kita kemarin sudah selsai, ibu mau tuker tempat duduk kalian seperti biasa. Yang ibu panggil, maju ke depan ya, ambil undian.”
Pertukaran posisi tempat duduk sudah menjadi kebiasaan berkala di kelas 11 IPA 2. Kebiasaan itu selalu dilakukan setelah wali kelas serta guru fisika mereka, bu Alea, selesai menyampaikan materi 1 bab.
Dengan perasaan gugup, satu persatu siswa maju ke depan untuk mengambil undian. Urutan tersebut benar-benar acak, tidak ditentukan oleh urutan absen. Valerie biasanya dipanggil terakhir karena dari 33 anak di kelasnya, hanya dia yang secara sukarela ingin duduk di depan. Lebih tepatnya, dia tak perlu mengambil undian, tempat duduk di baris depan sudah menjadi miliknya.
Setelah berpacaran dengan Valerie, Gavin yang biasanya memilih untuk duduk di baris belakang agar bisa tidur, meminta izin untuk pindah ke depan. Dia beralasan karena tak bisa melihat papan tulis dengan baik dan ingin lebih fokus pada pelajaran. Sikap Gavin yang tidak biasa itu membuat bu Alea membiarkannya untuk duduk di depan. Anehnya sampai saat ini belum ada guru yang menyadari kalau laki-laki itu hanya ingin berada dekat dengan kekasihnya.
“Gavin!” Nama Gavin akhirnya dipanggil. Dia dengan santainya maju mengambil undian. Apa pun hasilnya, Gavin tak peduli. Dia akan tetap duduk di depan, bersama Valerie. Nyatanya, hasil undian itu sudah membuatnya duduk di depan tanpa harus meminta perpindahan.
“Valerie!” Valerie yang sedang fokus membaca buku, terkejut ketika namanya dipanggil. Baru beberapa murid saja yang maju. Wajahnya bingung Valerie membuat bu Alea bersuara.
“Valerie udah keseringan duduk di depan. Sesekali tukaran ya, Val, perubahan suasana,” Valerie hanya bisa mengangguk. Berdasarkan undian, dia mendapatkan tempat duduk di baris ketiga. Tempat duduknya berada di belakang tempat duduk Atlas yang sangat tinggi. Laki-laki itu memiliki tinggi 187 cm, membuat Valerie kesulitan untuk melihat papan tulis, tertutup oleh tubuhnya.
“Ada yang keberatan sama tempat duduknya? Atau mungkin ada yang ga keliatan.? Bisa pindah ke depan kalau ga keliatan.”
“Saya bu! Saya ketutupan Atlas!” Valerie mengangkat tangannya.
“Waduh maap ya, Val. Emang ga cocok gue nih duduk di depan, nutupin yang belakang.”
“Ya sudah kalau begitu. Ada yang mau tukaran sama Valerie?”
“Saya aja bu!” Kiara mengacungkan tangan. Begitu mendapat izin dari bu Alea, dia langsung membereskan barang-barangnya, bersiap untuk pindah. Valerie juga melakukan hal yang sama.
Saat sudah duduk di tempat barunya, Valerie baru menyadari bahwa dirinya duduk bersebelahan dengan Gavin. Hal itu membuat seluruh isi kelas bersorak pelan. Tanpa harus beralasan dan melakukan sesuatu seperti biasanya, Gavin dengan sendirinya duduk di samping Valerie. Valerie sendiri tak ada rencana ingin pindah ke depan karena Gavin. Dia memang suka duduk di depan, sudah kebiasaannya sejak lama.
“Emang jodoh tuh berdua! Bisa dengan sendirinya gitu duduk sebelahan.”
“Iya kan? Biasanya si Gavin harus cari alasan dulu biar bisa pindah ke depan. Sekarang tuh anak diem aja, eh masih bareng Valerie juga akhirnya.”
Gavin diam-diam tersenyum. Sejak awal, dia sudah tahu hal seperti ini akan terjadi. Dia sudah memperhatikan saat Valerie yang bertubuh kecil duduk di belakang Atlas yang berbadan besar. Dari depan saja, Gavin tak bisa melihat gadis itu dengan jelas, sudah pasti Valerie akan dipindahkan.
Gavin duduk di antara 2 perempuan, kekasihnya dan juga temannya sejak masa SMP, Sherly. Karena sudah mengenalnya lama, Gavin cukup dekat dengan perempuan itu. Valerie tak biasanya merasa risih dengan pertemanan Gavin dan perempuan lain, tetapi berbeda halnya dengan Sherly.
Sherly terkenal dekat dengan banyak laki-laki. Bukan dekat yang hanya sekedar sering mengobrol saja, tetapi Sherly juga sering menyentuh mereka. Awalnya Valerie tidak percaya akan hal itu, dia pikir itu hanya rumor belaka saja. Akan tetapi setelah diperhatikan, Sherly memang begitu, terutama pada Gavin.
Sebagai kekasih Gavin, Valerie tentu saja tidak nyaman dengan sikap Sherly. Dia bahkan sempat curiga kalau Sherly ingin merebut Gavin darinya. Asther yang bisa mengerti kekhawatiran Valerie itu menyuruhnya untuk membicarakan hal ini dengan Gavin, tetapi Valerie menolak. Dia tidak mau merusak pertemanan Gavin yang sudah dibangun sejak lama.
Selama jam pelajaran, Valerie sesekali melirik mereka. Sherly sering sekali mengajak Gavin mengobrol. Dia bahkan menyentuh tangan Gavin! Walau Gavin sudah menghempas sentuhan Sherly, Valerie tetap saja merasa kesal. Padahal gadis itu sudah tahu kalau Gavin memiliki kekasih, harusnya dia bisa lebih menempatkan diri dan bertindak sewajarnya saja.
Asther yang sempat melihat kejadian itu, membujuk Valerie untuk segera membicarakan kekhawatirannya pada Gavin. Lagi-lagi Valerie bertindak keras kepala dan menolak. Padahal masalah ini sangat mengganjal di hatinya, dan bisa diselesaikan dengan mudah jika saja di mau membicarakannya dengan Gavin. Akan tetapi Valerie memilih untuk tetap diam, setidaknya untuk saat ini.
Setiap hari Selasa, Kamis, dan Jumat, Valerie harus menghadiri bimbingan setelah jam sekolah berakhir. Karena berada di satu tempat bimbingan yang sama dengan Gavin, mereka biasanya pergi dan pulang bersama. Tetapi untuk hari ini, Valerie terpaksa harus diantar dulu oleh kakaknya.
Gavin akan telat menghadiri bimbingan, dan dia tidak mau Valerie ikut telat bersamanya. Laki- laki itu masih harus mengikuti rapat di sekolah. Sebagai anggota OSIS, Gavin sangatlah sibuk dan harus mengikuti berbagai rapat setelah pulang sekolah. Bahkan terkadang dia harus meninggalkan kelas di tengah jam pelajaran untuk mengikuti kegiatan OSIS.
Valerie tidak pernah mempermasalahkan kesibukan Gavin. Sesibuk apa pun dirinya, Gavin akan selalu meluangkan waktu untuk kekasihnya itu. Contohnya saat dia harus mengikuti kegiatan Santi Aji OSIS.
Bagi Gavin, kegiatan itu sungguh menyiksa. Karena kegiatan Santi Aji dilakukan untuk mempererat hubungan antara anggota OSIS, mereka diharuskan menginap di sekolah selama 2 hari dan 1 malam. Mereka bahkan tidak diperbolehkan menggunakan ponsel. Saat itu Gavin sangat merindukan Valerie.
Setelah diperbolehkan pulang, laki-laki itu langsung datang ke rumah Valerie. Dia ingin segera mengobati rasa rindunya walau pun hanya tak bertemu dan berkomunikasi selama 2 hari. Padahal laki-laki itu sedang tidak enak badan, tetapi bertemu Valerie lebih penting untuknya dari pada beristirahat di rumah.
Hal-hal seperti itu lah yang membuat Valerie semakin menyayangi dan menyukai Gavin. Dia selalu merasa diperioritaskan olehnya. Sebelumnya tidak ada laki-laki lain yang mampu membuat Valerie merasa sespesial itu kecuali Gavin.
Saat Valerie tiba di tempat bimbingan, teman-temannya sedang sibuk mengobrol. Di mana pun tempat bimbingannya, pasti akan selalu ada sesi mengobrol di tengah pelajaran yang membuat pusing kepala. Di saat seperti ini lah mereka saling bertukar informasi tentang kejadian-kejadian di sekolah.
Tiba-tiba, salah satu teman Valerie menanyakan tentang perkembangan hubungannya dengan Gavin. Memang banyak yang penasaran dengan hubungan mereka. Walau terlihat memiliki keperibadian yang berbeda, mereka juga terlihat sangat serasi.
Guru bimbingan yang mendengar obrolan mereka pun terkejut. Dia sama sekali tidak mengetahui tentang hubungan Gavin dan Valerie. Wajar saja, mereka berdua memang tidak terlalu menunjukkan hubungan mereka itu di tempat bimbingan.
“Valerie sama Gavin pacaran?”
“Lah bapak baru tau? Padahal mereka udah agak lama lho pak pacarannya,” Jawab Elaine, salah satu teman yang juga sekelas dengan Valerie dan Gavin.
“Iya, bapak baru tau. Pake santet apa si Gavin? Kok bisa dia pacaran sama Valerie?”
“Ga tau juga tuh, pak. Bapak tanya sendiri aja ke orangnya.” Tepat setelah Elaine menyeselesaikan kalimatnya itu, Gavin masuk ke tempat bimbingan. Laki-laki itu telat hampir 30 menit. Semua orang langsung menatapnya begitu dia masuk.
“Kamu pacaran sama Valerie tah, Gav?”
“Ha? Enggak,” Semua orang terkejut mendengar pernyataan Gavin, terutama Valerie. Dia sama sekali tak menyangka laki-laki itu akan menyangkal soal hubungan mereka. Padahal beberapa bulan lalu, dia merasa senang karena sudah dikenalkan pada orang tua Gavin.
“Parah banget sih, Gav! Masa pacar sendiri ga diakuin.”
“E-eh bukan gitu! Gue kaget soalnya baru dateng, tiba-tiba ditanya. Iya, pak, saya pacaran sama Valerie,” Gavin juga sama terkejutnya dengan yang lain. Dia tak bermaksud menyangkal soal hubungannya dengan Valerie. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya karena terkejut.
Gavin bahkan tak mengetahui apa saja yang sedang dibahas sebelum dia sampai, tetapi tiba-tiba dia diberi pertanyaan seperti itu. Siapa pun yang ada di posisinya pasti akan merasa terkejut. Namun Gavin tetap menyadari bahwa dirinya salah dan langsung mengatakan yang sebenarnya.
“Udah, udah. Ngapain ngomongin hal ini terus? Mending kita lanjut belajar,” Walau pun Valerie mengucapkan kan itu dengan wajah yang tenang, Gavin bisa mengetahui bahwa gadis itu merasa kesal dan sedih. Dia ingin langsung menghampirinya untuk meminta maaf, tetapi dihalangi oleh guru bimbingan yang menyuruhnya untuk segera duduk. Karena ingin cepat-cepat minta maaf, Gavin mengirim pesan pada Valerie.
Gavin: Val.
Gavin: Sayang.
Gavin: Aku bener-bener minta maaf.
Gavin: Aku ga bermaksud ngomong kayak gitu, tadi itu aku cuman keceplosan.
Gavin: Sekali lagi aku minta maaf ya, sayang.
Gavin: Aku bener kaget soalnya baru dateng tiba-tiba ditanya kayak gitu.
Selama berada di tempat bimbingan, Gavin tak bisa merasa tenang. Dia sama sekali tidak bisa fokus pada apa yang telah diajarkan. Walau sudah beberapa kali membuka ponselnya, Valerie bahkan tak membaca pesan yang dia kirim. Gavin ingin cepat-cepat meminta maaf langsung pada Valerie.
Akhirnya bimbingan yang terasa sangat lama itu selesai. Gavin langsung menghampiri Valerie dan meminta maaf, tetapi gadis itu terus menghindarinya. Dia bahkan tak mau pulang bersama Gavin dan memutuskan untuk berjalan dengan teman-temannya, Asther dan Nia. Karena rumah Asther sangat dekat dengan tempat bimbingan, mereka bisa sampai ke sana hanya dengan berjalan.
“As, Ni, kalian bawa motor gue aja.”
“Seriusan nih boleh?”
“Iya, boleh. Kalau Val pengen jalan, biar gue aja yang temenin.”
Paham dengan situasi yang sedang dihadapinya, Gavin langsung menyuruh Asther dan Nia untuk membawa motornya. Mereka berdua pun senang karena selalu ingin coba mengendarai motor Gavin yang keren itu. Gavin sedang mencari kesempatan untuk berdua saja dengan Valerie. Sekarang gadis itu tak punya pilihan selain berjalan dengannya.
Seperti tak sudi berjalan dengan Gavin, Valerie berjalan dengan cepat sementara Gavin mengikutinya dengan santai dari belakang. Gavin terkekeh melihat Valerie yang sesekali berhenti sebentar karena kelelahan. Padahal menghindari Gavin lebih menyulitkannya dari pada membiarkannya menjelaskan.
Tak membutuhkan waktu lama bagi mereka untuk sampai di rumah Asther. Sudah sampai sana pun, Valerie masih menghindari Gavin. Karena pintu rumah Asther terbuka, Valerie bisa langsung masuk dan meninggalkan Gavin di luar. Ada mama Asther yang sudah memperbolehkannya masuk.
“Asther ke mana, Val? Kok ga bareng?”
“Ga tau, tan. Tadi sih dia bawa motornya Gavin bareng Nia.”
“Aduh anak ini. Bisa-bisanya keluyuran bawa motor orang. Oh iya, yang di luar itu Gavin kan? Suruh masuk aja,” Mama Asther juga sudah mengetahui tentang Gavin. Bukan dari Asther, melainkan dari mama Valerie sendiri. Para ibu-ibu memang suka membicarakan anak mereka saat arisan.
Valerie sebenarnya malas memanggil Gavin, tetapi dia tidak mau menunjukkan kekesalannya pada laki-laki itu di hadapan mama Asther. Saat dia keluar, Gavin masih setia menunggunya sambil bermain dengan kucing di pinggir jalan.
Walau sedang marah, harus Valerie akui bahwa pemandangan itu sangatlah menggemaskan. Gavin memang pecinta binatang, terutama kucing dan anjing. Valerie pun mengeluarkan ponselnya dari saku untuk merekam Gavin. Dia ingin menonton adegan itu lagi setelah emosinya mereda.
“Mau masuk ga? Disuruh mamanya Asther,” Gavin yang sedari tadi sibuk bermain dengan kucing, menengok ke arah Valerie. Akhirnya gadis itu mau berbicara dengannya walau hanya karena disuruh oleh mama Asther. Dari ekspresi di wajahnya, Gavin mengetahui kalau gadis itu masih marah.
“Engga deh, ga enak. Aku ga dekat soalnya.”
“Ya udah kalau gitu,” Valerie baru saja membalikkan badannya, ingin meninggalkan Gavin di sana, tetapi dia berbalik dan duduk agak jauh dari laki-laki itu. Dia memang masih marah, tetapi bagaimana pun juga, Gavin masihlah kekasihnya. Hati kecilnya tak tega meninggalkan Gavin di luar sana sendirian.
Gavin yang menyadari itu langsung tersenyum. Dalam keadaan apa pun, Valerie akan tetap perhatian pada orang yang dia sayangi. Gavin pun memutuskan untuk memanfaatkan momen itu menjelaskan yang sebenarnya pada Valerie. Tak peduli Valerie bereaksi seperti apa setelah itu, yang terpenting Gavin sudah berusaha bicara dengan jujur padanya.
“Aku minta maaf, Val. Tanpa kamu marah pun, aku sadar kalau aku salah. Walau pun omonganku itu cuman reflek, ga seharusnya aku ngomong kayak gitu. Aku bener-bener minta maaf. Bakal aku pastiin hal kayak gini ga keulang lagi. Aku bener- bener ga bermaksud nya kitin perasaan kamu. Giman pun juga aku sayang banget sama kamu, Val. Ngeliat kamu kayak gini bikin aku sedih. Untuk saat ini kamu boleh tetep marah sama aku, tapi tolong jangan terus kayak gini. Aku mau liat kamu natap aku dengan senyuman lagi. Sekali lagi aku minta maaf, sayang.”
Valerie pun luluh karena mendengar ucapan Gavin. Laki-laki itu tetap berusaha untuk menjelaskan dan meminta maaf walau sudah diabaikan berkali-kali.
“Aku maafin. Tapi aku kesel bukan Cuman karna itu.”
“Kenapa? Ada yang bikin kamu cemburu?” Valerie terkejut mendengar ucapan Gavin. Bagaimana laki-laki itu bisa tahu? Sepeka-pekanya Gavin, Valerie belum pernah menunjukkan kekesalannya terhadap pertemanan Gavin dan Sherly.
“Padahal aku cuman asal ngomong, tapi kalau dilihat dari ekspresi kamu kayaknya bener ya?”
“Iya. Sebenernya dari pada cemburu, aku lebih ke risih. Ya, cemburu juga sih, tapi intinya aku risih sama salah satu temen perempuan kamu. Ga tau ini perasaanku doang apa gimana, tapi kayaknya dia suka sama kamu deh. Dia emang deket sama banyak cowok, tapi kalau dari yang aku liat, ke kamu tuh dia bener-bener beda. Padahal kan dia tau ya kalau kamu dah punya pacar, tapi sikapnya itu kek masih ngedeketin kamu gitu lho. Aku tau kamu ga salah kalau dia yang suka sama kamu, tapi aku kesel aja gitu.”
Gavin terkekeh mendengar ucapan panjang lebar Valerie. Ternyata kecemburuan yang dia tunjukan saat masa PDKT mereka itu belum seberapa.
“Siapa tuh? Dari tadi namanya ga disebut.”
“Pikir aja sendiri. Kamu kan peka.”
“Hmm…. Sherly?”
“Tuhkan! Kamu juga sadar kan makanya bisa nebak nama dia?”
“Aku nebak-nebak aja sih sebenernya. Soalnya kan kamu bilang dia deket sama banyak cowok, yang pertama kali muncul di pikiran aku ya Sherly. Dia memang begitu kok orangnya dari SMP. Semua cowok dideketin, dipegang-pegang, tapi dia ga punya maksud buruk kok. Tapi aku paham sih kenapa kamu risih. Tenang aja, mulai besok aku jaga jarak dari dia.”
“Aku ngomong kayak gini bukan buat ngerusak pertemanan kamu sama dia kok. Aku gapapa kalau kalian masih mau temenan.”
“Iya, aku paham. Kan tadi aku bilang mau jaga jarak sama dia, bukan ga temenan lagi. Bakal aku pastiin ke depannya dia memperlakukan aku sewajarnya aja, ga pegang-pegang,” Valerie menghembuskan napas. Hatinya merasa lebih tenang saat mendengar ucapan Gavin. Seharusnya dia melakukan ini lebih awal.
“Makasih ya, sayang. Makasih udah mau ngertiin aku.”
“Kamu ga perlu bilang makasih, sayang. Udah kewajiban aku untuk jaga perasaan kamu. Justru harusnya aku minta maaf karna ga peka dari awal.”
Komunikasi adalah hal yang sangat penting dalam menjalin sebuah hubungan. Tanpa adanya komunikasi, pasangan tidak akan bisa mengetahui apa yang satu sama lain rasakan. Sebagai pasangan, sudah sewajarnya kita menjaga perasaan pasangan kita, dan sudah seharusnya kita memvalidasi perasaan mereka. Sangat disayangkan tidak semua orang bisa seperti itu, atau setidaknya, bisa selalu seperti itu.