Violet memandang langit-langit ruang konseling yang silau dengan kandelar kecil antik. Matanya menerawang, memerhatikan saat benda itu tampak seperti kristal yang bercahaya. Sedari datang, dia belum mengatakan apa-apa. Bahkan tidak menjawab sapaan Margareth, dokternya yang penyabar dan saat ini sedang membuatkan cokelat panas.
“Hari ini kamu agak pendiam. Apa ada yang terjadi?” tanya dokter itu, membuat Violet menegakkan kepala dan memandang lurus kembali.
“Masih minum obat antidepresan yang kuresepkan?”
Violet mengangguk dan meluruskan kaki-kakinya yang ceking. Meski ibunya sudah memasak berbagai makanan enak dan dia sudah memaksa diri untuk makan banyak, entah kenapa bobot tubuhnya masih saja belum banyak berubah. Mungkin karena Violet masih muntah-muntah meski kadang-kadang saja terjadi.
“Dokter ….” Violet merebahkan punggung di kursi panjang dan tampak nyaman di sana sambil memandang ke luar jendela. Sudah bulan Maret dan hujan masih turun meski udara berubah jadi lebih hangat. “Apa Dokter juga berpikir kalau aku ini gadis aneh? Gila?”
Margareth kelihatan tidak kaget dengan pertanyaan pasiennya. Wanita itu duduk di ujung kursi, di sebuah sofa beledu berleher tinggi. Tampak anggun dalam setelan kemeja berwarna ungu pucat dan hitam yang serasi dengan rambut gelapnya.
“Tentu saja tidak.”
“Meski aku melukai diri sendiri dan suka muntah saat terbayang hal-hal buruk itu?”
Violet menatap dokternya dan melihat Margareth mengangguk. “Ah, tentu saja. Anda kan dokterku. Pasti sudah sering menemukan orang-orang nggak waras macam aku ini.”
Margareth tersenyum. “Memangnya siapa yang bilang kamu nggak waras?”
“Nggak ada, tapi aku tahu. Nggak ada orang normal yang menyayat dirinya sendiri untuk menenangkan diri. Nggak ada orang waras yang suka minum obat tidur untuk bisa terlelap. Nggak ada orang normal yang menghindar dari orang-orang dewasa dan merasa jengah dengan mereka.”
Violet bangkit dan menekuk kedua lutut, membenamkan wajah di sana. Sesaat tidak ada yang bicara dan gadis itu hanya bisa mendengar suara air hujan yang mengentak jendela, berpadu suara detik dari jam dinding yang memecah keheningan. Aroma samar dari cokelat panas yang tercium lezat, menguar ke udara dan bercampur dengan aroma melati dari lilin aromaterapi yang dipasang khusus oleh Margareth.
“Violet ….” Terdengar suara Margareth yang lembut dan membuat Violet mengangkat kepala. “Semua orang bisa mengalami hal sepertimu. Begitu juga aku. Percaya tidak?”
“Dokter mengalami hal yang sama denganku?” Violet bertanya balik dan mendengus saat melihat Margareth menggeleng. “Berarti Dokter nggak akan jadi gila kayak aku.”
“Tidak begitu, Vi. Semua orang memiliki sisi gelap dan lemah di dalam dirinya. Semua orang bisa terluka secara mental. Perbedaannya adalah, seberapa kuat mereka mampu melawan, seberapa besar tekad mereka agar tidak kalah dalam pertempuran yang mereka hadapi.”
Violet tidak berkata apa-apa.
“Kamu mengalami hal-hal yang berat, Vi. Kamu merasa diabaikan oleh ayahmu, disakiti, dan dikhianati teman-teman juga merasa tidak berharga. Merasa sedih dan marah karena hal-hal itu adalah respons yang normal. Kamu memilih melakukan sesuatu yang kamu pikir bisa melindungi dan menyembuhkan dirimu. Kita semua akan berusaha membentengi diri dari serangan luar, hanya saja kamu memilih cara yang berbeda dari orang lain.
“Mengetahui seseorang yang seharusnya paling menerima dan mencintaimu justru mengkhianatimu memang bukan hal yang mudah. Apa yang dirasakan oleh ayahmu terhadap dirimu, bukanlah salahmu. Dan, tidak semua orang berpikir serta bersikap seperti ayahmu. Bukankah begitu? Bagaimana dengan ibumu? Adikmu?”
Lagi, Violet tidak menyahut dan enggan meyakini kalau memang tidak selalu kejadian buruk yang menimpanya. Dia bertemu dengan beberapa teman yang baik. Hanz, Asami. Gadis itu pun sulit mengabaikan perasaannya yang menyukai mereka. Namun, sekali lagi rasa takut untuk kembali jatuh mengalahkan keinginannya untuk mencoba bahagia. Dia khawatir akan kehilangan seseorang jika terlalu menyukai mereka seperti saat dia percaya kalau ayahnya adalah pria hebat yang mencintai anak-anak dan keluarga.
“Jika kamu ingin membantu seseorang, tapi orang itu menolakmu, apa kamu tidak merasa sakit, Vi?” tanya Margareth lagi.
Kali ini Violet berpaling pada dokternya. Mata gadis itu berkaca-kaca dan hidung Violet mulai memerah. Mendadak, dia merasa begitu jahat. Ibu dan adiknya sudah mati-matian berusaha untuk menunjukkan kepedulian sementara Violet menganggap kalau tindakan itu hanya sebuah penebusan dosa karena sebelumnya mereka tidak pernah bersikap sama.
Lalu bayangan Asami dan Hanz melintas. Teman-temannya juga berusaha menolong, tapi apa yang sudah dia perbuat? Violet dengan kejam malah menuduh Hanz yang bukan-bukan dengan menganggap kalau pemuda itu sama saja dengan orang-orang lain yang abai padahal jelas-jelas sikapnya berbeda.
Sudah berapa banyak orang yang aku sakiti? pikir Violet, perih.
***
Violet menarik napas panjang berulang-ulang sebelum akhirnya membuka laptop. Setelah melihat video dirinya yang memalukan, dunia maya jadi tempat mengerikan untuknya selama beberapa saat. Dia takut membuka akun media sosial setelah pesan dari orang-orang asing masuk dan mengatakan betapa buruk wajah dan sikapnya.
Pesan-pesan lain masuk ke aplikasi obrolan dengan isi yang tidka jauh berbeda. Kata-kata jahat itu seperti anak panah yang menusuk di tempat-tempat tepat sasaran. Meski Violet berdarah-darah, mereka tetap menghujani kembali dengan batu. Violet hanya bisa bersembunyi. Namun, semalam gadis itu berbaring di ranjang, lama sambil berpikir, ‘sampai kapan?’
Violet sudah muak dan lelah. Capek harus menarik diri padahal dia tidak salah apa-apa. Kesal karena diam saja padahal ada yang membantunya melawan. Sepanjang malam dia berpikir, duduk di tepi jendela dan memandang kejauhan.
Berpikir lagi lebih lama hanya untuk menemukan kalau sebenarnya masalah besar ada di dalam dirinya sendiri. Dia yang menghalangi langkahnya sendiri untuk maju. Dokter Margareth dan ibunya benar. Kalau Violet terus duduk tanpa berusaha bangkit setelah tersungkur, apa yang bisa dia dapat? Orang-orang akan melewatinya begitu saja. Uluran tangan pun akan jadi percuma kalau dia tidak menyambutnya.
“Apa ini?” gumam Violet saat masuk ke laman situs Dicebook. Keningnya berkerut saat melihat beberapa video.
Salah satu video menunjukkan Casey sedang membersihkan toilet. Rambut cewek itu berantakan dan mukanya jelas-jelas menunjukkan rasa jengkel. Namun, bukan cuma itu. Beberapa foto dan video lain menunjukkan isi percakapan antara Casey dan gengnya. Isi obrolan yang bisa dibilang tidak manusiawi karena Casey menyebut banyak cewek dengan sebutan rasis dan merendahkan. Ada beberapa foto lain yang menunjukkan cewek itu sedang mabuk di belakang sebuah kelab malam, fotonya sedang mengendarai mobil dengan kaleng bir di tangan, bahkan videonya sedang menendang seorang anak SMP.
Violet menggeser tetikus dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa ngeri saat melihat kolom komentar dipenuhi makian dan sumpah serapah. Di sisi lain, dia merasa ada kelegaan karena Casey bisa mendapat hal yang pantas: pengadilan.
Violet lalu tanda panah itu sampai ke akhir pos dan mendapati sebuah kalimat tertulis di sana.
Kejahatan yang kalian lakukan akan mengejar kembali.
Kejahatan tak pernah berutang.
***
Violet mengetuk-ngetuk jari di atas meja dengan gugup sambil terus memandang ke arah jalan di luar Coffee Circus. Para pejalan kaki mondar-mandir, tampak menikmati sinar hangat dari matahari sore di sepanjang Crouch Hill. Beberapa turis berwajah oriental melintas dan kelihatan takjub dengan gaya bangunan abad ke-19. Khas dengan dinding-dinding bata, kaca-kaca jendela panjang dan juga bagian bangunan yang mengerucut seperti menara kastel.
Mulanya, Violet betah di rumah berlama-lama karena merasa lebih aman begitu. Dia takut keluar rumah karena cemas akan reaksi orang-orang saat melihat wajahnya. Namun, setelah melihat apa yang dilakukan Asami semalam dan bagaimana respons murid-murid di sekolah, gadis itu mendadak merasa lega. Violet bisa melihat ibunya yang tampak bahagia saat dia pamit untuk pergi ke Crouch End. Bahkan, wanita itu juga memberi uang saku dan menyuruh putrinya berbelanja.
Violet berjalan-jalan di sepanjang Nelson Road, melihat rumah-rumah bercat putih yang tampak nyaman dengan jendela menjorok ke luar dan tanaman-tanaman di serambi rumah. Bangunan-bangunan bergaya lama mudah ditemukan di London Utara dan kali ini, Violet bersyukur bisa melihat gedung-gedung sarat sejarah itu. Padahal, selama ini dia tidak terlalu peduli.
Violet juga mampir ke Gift, toko hadiah yang ada di sebelah Clock Tower dan membeli beberapa barang—sabun herbal untuk ibunya, pelembap bibir vanila untuk Asami dan lilin wangi untuk dirinya sendiri. Saat berkeliling, Violet memandang gelang yang dipakainya dan berpikir, apakah dia harus memberi Hanz sesuatu juga. Cowok itu sangat baik karena memikirkan dirinya sedemikian rupa dan Violet ingin menunjukkan rasa terima kasih.
Ketika Violet keluar dari toko, ponselnya berdering. Asami menelepon, menanyakan kabar Violet dan bilang pada gadis itu untuk menunggu ketika tahu Violet sedang berada di Crouch End. Jadi, di sinilah Violet, duduk dengan kue wortel tanpa gluten dan secangkir cappuccino di meja.
Beberapa menit kemudian, Asami muncul di seberang kafe. Dia mengenakan denim hitam dan kemeja garis-garis yang ditumpuk dengan jaket kulit. Setelah menunggu sedan hitam dan sepeda melintas, Asami segera menyeberang dan masuk ke Coffee Circus. Violet tidak bisa menebak apa yang dipikirkan Asami saat cewek itu tersenyum lalu berpaling ke konter untuk memesan minuman.
Bahkan setelah keduanya duduk di meja, Violet dan Asami tidak saling bicara. Mereka malah sibuk mencicipi makanan masing-masing dan mengunyah selama beberapa saat. Violet melirik diam-diam dan sadar kalau Asami ternyata tampak lebih gemuk daripada yang terakhir diingat.
“Aku gemukan, ya?” tanya Asami tiba-tiba seolah bisa membaca pikiran Violet. Dia terkekeh saat melihat gadis di depannya terkejut. “Kalau sedang banyak pikiran, aku jadi banyak makan. Ini biasa. Bobotku bisa naik dan turun dengan cepat.”
Violet tersenyum rikuh, tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Di satu sisi, dia yakin kalau dirinyalah salah satu penyebab. Namun, di sisi lain Violet tidak yakin apakah pantas merasa jadi orang yang begitu penting bagi Asami.
“Apa kabar?” tanya Asami kemudian dengan nada hangat. Violet kini mendongak dan melihat wajah Asami yang masih kelihatan cantik dengan pipi tembam dan poni rambut lebih panjang.
“Baik-baik saja … kurasa ….” Violet mengaduk kopi dengan sendok kecil. “Kamu?”
“Lebih baik setelah melihat seseorang memberi Casey dan Dave pelajaran.” Asami tertawa kecil. Ekspresi puas tergambar di wajah gadis itu dan membuat Violet ikut tertawa. Tidak menyangka kalau Asami bisa menaruh dendam padahal di luar, cewek ini tampak seperti gadis dewasa yang tenang.
“Bagaimana kamu melakukannya?” tanya Violet.
“Mudah.” Asami memasukkan sepotong croissant ke mulut. “Aku tinggal menyewa orang untuk melacak akun pembuat video dan tadinya kupikir cewek itu cukup pintar untuk menyembunyikan identitasnya. Ternyata dia cuma pandai menggertak. Gampang banget membobol akun itu dan voila, aku langsung mendapat bukti-bukti.”
Violet merasa takjub. Sesaat, dia lupa kalau Asami datang dari keluarga kaya dan berpengaruh.
“Aku mau bilang, makasih untuk semuanya.”
Asami menatap Violet lurus-lurus lalu menggelengkan kepala. “Itu bukan apa-apa dibanding apa yang sudah terjadi padamu. Mereka sangat jahat dan hukuman seperti itu bukanlah apa-apa dibanding luka batin yang kamu derita. Vi, apa benar kamu sudah nggak apa-apa?”
Violet teringat perkataan ibunya dan memutuskan untuk lebih jujur. “Aku nggak tahu apa benar-benar sudah lebih baik atau itu hanya perasaanku saja. Kadang-kadang, aku berpikir hal yang mengerikan waktu melihat pisau di dapur atau ingin melompat dari lantai dua ….” Violet menghela napas. “ … tapi di saat yang bersamaan, aku juga berpikir tentang ibuku, adikku, Hanz. Kamu,” Violet tersenyum.
“Lalu, aku merasa lebih baik karena tahu ada orang-orang yang peduli padaku. Benar-benar peduli dan nggak ingin aku terluka. Jadi, meski aku masih harus berusaha untuk benar-benar pulih, setidaknya aku nggak berpikir ingin mati. Nggak lagi, kuharap.”
“Tentu saja kamu nggak boleh berpikir begitu!” sergah Asami dengan suara meninggi, membuat pengunjung lain menoleh ke arah mereka dengan rasa ingin tahu. Asami tersenyum canggung, seolah meminta maaf lalu memandang Violet lagi.
“Pokoknya kamu nggak boleh bertindak konyol lagi. Kamu tahu itu, kan?”
Violet mengangguk dan bersandar pada leher kursi yang dibentuk seperti jeruji. Dia merasa lega sudah mengatakan isi hati dan sepertinya Asami juga begitu.
“Oh, ya,” ujar Asami sambil menggeser piring yang sudah kosong. “Aku nggak tahu apakah ini akan membuatmu merasa lebih baik atau tidak, tapi Dave pindah sekolah.”
Refleks, punggung Violet tegak dan dia mencondongkan tubuh dengan sorot mata tidak percaya. “Benarkah?”
“Sepertinya orang tua Dave marah besar setelah tahu anaknya terlibat dalam kasus video itu bersama Casey. Kamu tahu nggak kalau di rumah besar itu ada CCTV? Kayaknya Dave nggak sadar kalau ruang kerja ayahnya dipasang kamera. Rekaman saat Dave melecehkanmu itu terungkap dan ayah Dave langsung membawa cowok itu untuk sekolah di luar negeri. Semua murid di sekolah gempar dan sekarang Casey bahkan nggak berani membuat satu pun komentar jelek tentang anak-anak lain.”
Violet termenung, diam dan berusaha mencerna kabar yang baru didengarnya. Situasinya berubah drastis tanpa dia duga-duga. Tadinya, dia pikir para penindas tidak akan mendapat hukuman karena itulah yang biasanya terjadi. Mereka tetap bebas bahkan banyak yang tidak menyesal dengan perbuatan buruk itu dan tetap hidup seolah tidak melakukan hal berdosa.
“Jadi,” lanjut Asami dengan nada sungguh-sungguh dan ekspresi serius, “nggak ada lagi yang perlu kamu takutkan di sekolah, Vi. Orang-orang yang mengganggumu sudah dapat hukuman. Nggak ada lagi yang akan menindasmu. Dave juga sudah nggak ada di sana lagi. Kamu tentu mau kembali ke sekolah, kan?”
Violet tidak menyahut dan setelah pertemuan itu berakhir, dia membiarkan Asami pulang dengan pertanyaan yang tak terjawab.
***
Violet tidak bisa menyangkal bahwa masih ada bagian dirinya yang mengingat jelas bagaimana perlakuan Casey. Ketika cewek itu dan kelompoknya mengerjai Violet di kelas dan kamar mandi. Saat mereka memandangnya dengan tatapan mengejek dan sinis. Hal-hal itu masih membuat perut Violet mual dan ingin muntah. Gejala panik itu masih dirasakannya hingga kini dan dia bahkan belum bisa lepas dari obat antidepresi juga sesi konseling. Satu-satunya cara yang terpikirkan saat ini adalah pergi ke tempat di mana dia tidak bertemu dengan orang-orang yang sudah mengganggunya.
Namun, benarkah hanya itu persoalannya? Apakah ada jaminan Violet akan merasa lebih baik di tempat yang baru?