Read More >>"> Violet, Gadis yang Ingin Mati (22. Hampa) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Violet, Gadis yang Ingin Mati
MENU
About Us  

Violet membuka mata dan hal yang pertama dilihatnya adalah sinar terang dari lampu sampai-sampai dia memicingkan mata untuk menghalau silau. Kemudian, rasa mual dan pusing menghantam hingga gadis itu sadar tempat di mana dia berada.

Violet berpaling, melihat tangan kirinya yang terpasang infus dan pergelangan yang dibebat perban. Dia mendongak sedikit. Langit sudah gelap di luar dan cuma ada keheningan di kamar. Suara-suara samar datang dari luar ruangan disusul langkah-langkah kaki yang terkadang melintas. Ketika menoleh ke arah sebaliknya, Violet terkejut mendapati ibunya yang tertidur di sofa dengan jaket dan selimut.

“Mom?”

Meski lirih, suara Violet ternyata membangunkan wanita itu. Ms. Jane hampir melompat ketika mendapati putrinya sudah sadar. Selimut itu terjatuh begitu saja ke lantai, nyaris membuatnya tersandung.

“Vi, bagaimana perasaanmu? Masih ada yang sakit?” tangan Ms. Jane menangkup wajah anak perempuannya yang tirus dan hampir cekung.

Mata Violet basah dan Ms. Jane segera memeluknya, berhati-hati agar tidak membuat gadis itu terluka. “Anak bodoh! Bagaimana bisa kamu membuatku cemas sampai seperti ini? Kalau ada masalah di rumah, kenapa nggak bilang padaku? Kenapa harus menyakiti diri sendiri seperti ini? Kalau kamu mati, bagaimana denganku?”

“Maaf,” ucap Violet lirih di antara air matanya yang jatuh. “Maafkan aku.”

Untuk sesaat, ibu dan anak itu hanya saling memeluk dan menangis. Lama sampai tidak sadar kalau Rosie masuk dengan wajah mendadak cerah.

“Vi!”

Violet menarik diri dari pelukan ibunya ketika mendengar suara Rosie yang hampir seperti jeritan. Gadis itu meletakkan dua gelas karton di atas meja kemudian bergegas menghampiri ranjang. Mata Rosie tampak berkaca-kaca, hal yang jarang dilihat oleh Violet karena adiknya tidak mudah menangis bahkan pada saat perceraian kedua orang tua mereka dulu.

“Rosie sangat khawatir waktu menemukanmu berdarah-darah. Dia nggak mau pulang dan ngotot untuk tinggal di sini.”

“Kamu bolos sekolah?” Mulut Violet ternganga kaget. “Tapi bagaimana latihanmu? Kompetisinya sebentar lagi, kan?”

Rosie mengembuskan napas dan menarik sebuah kursi yang ada di dekat nakas. “Kamu pikir mana yang lebih penting? Nyawa kakakku satu-satunya atau lomba yang bisa saja aku ikuti tahun depan?”

Violet tertunduk, merasa malu. Dia terpekur, menyadari kalau sudah bertindak bodoh dan menyusahkan semua orang. Ibunya mungkin harus meminta cuti dari pekerjaan yang susah payah didapatkan sementara Rosie merelakan kompetisi padahal Violet tahu bagaimana gadis itu menantikannya.

Tiba-tiba, pikiran Violet mengarah pada orang lain. “Dad tahu?” tanyanya.

Ms. Jane membelai rambut Violet dengan lembut lalu mengangguk. Rosie tidak berkata apa-apa, malah bangkit dari kursi dan pindah ke sofa lalu menikmati minumannya. Wajah Rosie tampak sebal dan jengkel saat Violet menyebut ayah mereka.

“Apa yang terjadi?” tanya Violet, sadar ada yang tidak beres.

“Nggak ada dan nggak usah dipikirkan. Kamu harus pulih. Dokter bilang kalau kamu mengalami depresi dan malanutrisi. Sekarang, kamu harus banyak makan makanan yang bergizi dan istirahat. Jangan pikirkan hal-hal berat.”

Violet baru ingin bertanya ketika seorang wanita dengan jas putih dan rambut diikat muncul. Wajah itu tampak ramah dengan senyum terulas. Seorang perawat berseragam biru mengikuti di belakang, membawa papan dengan tumpukan kertas yang disatukan penjepit.

***

 

Violet tidak tahu harus senang atau sedih karena ayahnya tidak pernah muncul di rumah sakit. Ibunya dan Rosie juga kelihatan tidak mau membahas hal itu. Mereka cuma bilang kalau yang terpenting sekarang adalah pemulihan Violet, fisik dan mental. Pemulihan itu juga termasuk menjauhkan Violet dari tempat ayahnya. Ms. Jane membawa putrinya ke rumah orang tuanya dan mengurus cuti sekolah Violet untuk beberapa waktu. Secara singkat, Rosie menjelaskan kalau ibu mereka akan mengajukan tuntutan ke pengadilan dan meyakinkan polisi kalau ayah mereka lalai dalam menjaga anak. Maka, untuk sementara waktu, Violet akan tinggal bersama Ms. Jane sampai waktu persidangan tiba.

Violet tidak tahu apakah itu ide baik atau buruk karena dia sadar kalau berita tentang dirinya yang bunuh diri akan tersebar ke seluruh sekolah dalam waktu singkat. Namun, melihat Rosie yang juga bersikeras kalau Violet butuh waktu untuk menenangkan diri, membuat gadis itu bungkam dan menurut. Dia juga berpikir, tak ada gunanya mendebat sang ibu. Wanita berusia empat puluhan itu bisa sangat keras kepala jika sudah bertekad.

“Hanya ada kamar kecil ini yang tersisa. Dulu bekas kamar bibimu. Nggak masalah?”

Suara Ms. Jane membuyarkan pikiran Violet. Gadis itu masuk ke kamar dengan jendela segi empat yang dibingkai dengan kayu-kayu mahoni bercat putih. Tirai bunga-bunga biru melambai lembut dan sebuah ranjang tua terletak di salah satu sisi dengan nakas rendah di sampingnya. Ada sebuah lemari antik dan meja rias yang juga kelihatan cukup tua. Mungkin peninggalan bibinya.

“Nggak apa-apa. Ini sudah cukup.” Violet tersenyum dan menaruh ransel di lantai lalu naik ke ranjang. Setidaknya, tempat tidur itu nyaman dan bersih dengan seprai juga selimut yang tampaknya baru diganti. Dia bisa mencium aroma pelembut samar-samar beraroma melati.

“Aku akan menyiapkan makan malam dan sementara itu, kamu sebaiknya ganti baju lalu istirahat. Aku akan memanggilmu kalau makanan sudah siap. Ah, kakek nenekmu lagi berkunjung ke Cawsand dan pulang lusa jadi santai saja, ya.”

Violet mengangguk saat ibunya menutup pintu. Gadis itu diam sejenak, mengamati kamar lalu merogoh saku jaket untuk meraih ponsel. Selama di rumah sakit, ponselnya mati dan baru tadi dia mengisi ulang baterai gawai itu. Violet menekan tombol power dan menunggu benda itu menyala sambil melihat ke luar jendela. Salju turun, tidak terlalu deras. Beberapa pejalan kaki melintas sambil mengapit kedua lengan mereka di dalam jaket, sementara mobil-mobil melaju pelan di atas jalanan yang basah.

Violet nyaris terlonjak saat pesan bertubi-tubi masuk dan membuat ponsel keperakan itu berbunyi nyaring beberapa kali. Gadis itu melongo ketika melihat nama Asami. Ada sekitar lima pesan dari gadis itu dan beberapa dari orang lain termasuk Hanz.

Tidak ada pesan dari ayahnya. Atau telepon. Dan itu membuat hati Violet tenggelam meski dia sudah mengiranya. Walau ibunya dan Rosie tidak memberi tahu, Violet sadar kalau ayahnya memang tidak ingin bertemu. Pria itu mungkin malah lega karena kejadian ini membuat anak gadisnya menjauh dari kehidupan sempurna yang ingin dimiliki bersama si calon istri baru. Hati Violet merasa pedih karena jauh di dalam lubuk itu, dia berharap ayahnya memiliki kepedulian meski sedikit. Namun, nyatanya tidak.

***

 

“Jadi, mulai sejak itu kamu menyakiti diri sendiri?”

Violet mengangkat bahu sambil memainkan ujung jaket. Di depannya, seorang wanita yang mungkin berusia sekitar tiga puluhan dengan blus dan rok berlipit, memandang Violet. Senyumnya ramah dan suaranya lembut.

“Melihat darah yang mengalir membuatku lebih tenang. Daripada marah-marah dan menyakiti orang lain, lebih baik aku melukai diri sendiri. Nggak ada yang dirugikan,” sahut Violet sembari melihat sekeliling ruangan yang didominasi warna putih tulang dengan kertas pelapis dinding bergaris-garis hijau muda. Mata Violet kemudian tertumbuk pada rak yang sarat buku-buku tebal dan membaca beberapa judul dari punggung buku: Science and Human Behavior oleh B. F. Skinner, The Moral Animal yang ditulis Robert Wright dan lebih banyak lagi buku-buku dengan judul yang memusingkan Violet.

“Kenapa kamu tidak coba bicara dengan seseorang? Atau langsung mengutarakan perasaan ketika marah, kesal dan lainnya?”

“Sebab itu percuma,” desah Violet sambil menengadah. “Aku mencoba mengutarakan perasaan dan saat aku bicara, hal-hal nggak menyenangkan terjadi. Kejujuranku cuma membuat orang lain kesal dan marah jadi aku diam saja. Lagi pula, mereka juga nggak peduli. Orang-orang hanya ingin dengar apa yang mereka ingin dengar. Ayahku juga sama saja. Di matanya, aku cuma anak perempuan nggak berarti yang jadi beban hidup pasca perceraian. Itu sebabnya ayahku nggak pernah perhatian.”

“Apa kamu benar-benar merasa kalau tidak ada seorang pun yang peduli padamu?”

Violet terdiam dan wajah Hanz serta Asami terlintas. Hati kecilnya ingin percaya kalau masih ada orang-orang yang bersimpati dan menganggapnya berarti tapi siapa yang bisa menjamin kalau hal itu akan berlangsung selamanya? Ayah kandungnya saja tidak peduli.

“Apa Dokter masih bisa percaya pada orang yang menolak keberadaan Dokter? Ayahku nggak pernah mendengar keluh kesahku. Baginya, masalah yang kualami cuma maslaah remaja. Hal yang nggak penting. Beberapa kali aku coba untuk bicara, tapi Dad nggak mau mendengar. Saat aku coba mendekat, Dad justru menjauh. Dad lebih mudah menjalin ikatan dengan orang asing daripada keluarganya sendiri. Buktinya, dia bisa cepat memutuskan menikah dengan Magda padahal jelas-jelas wanita itu nggak baik dan Dad begitu membelanya. Sekarang, aku sudah malas untuk mencoba jadi putri kecil Dad yang manis lagi. Aku lelah berpura-pura dan berakting sebagai anak dari keluarga yang baik-baik saja.”

Terdengar nada frustrasi dalam suara Violet dan tampaknya itu membuat Margareth terdiam. Violet bisa merasakan kalau psikiater itu memandangnya dan dia tidak mengatakan apa-apa. Violet hampir terengah-engah ketika menumpahkan keluh kesahnya. Di awal, dia pikir kalau dirinya tidak akan bisa membuka hati, tapi begitu sesi konseling dimulai, Violet tanpa sadar sudah mencurahkan hal-hal yang selama ini mengganggunya.

“Bagaimana dengan teman-temanmu?” tanya Margareth lagi.

Violet menarik napas sejenak dan mengembuskan perlahan. Bayangan Hanz yang membantunya beberapa kali juga pesan-pesan Asami yang menanyakan keadaannya terlintas.

“Aku ingin percaya pada mereka,” ujar Violet lirih. “Tapi kalau ayahku bisa dengan mudah membuang keberadaanku di hatinya, bagaimana dengan orang lain? Apa aku bisa percaya pada mereka? Apa mereka nggak akan meninggalkan aku di saat sikapku menyebalkan dan membuat mereka marah?”

Violet merebahkan badan dan memejamkan mata. “Ketidakpastian itu membuatku ngeri. Bagaimana jika aku percaya sepenuh hati, tapi mereka mengkhianati? Aku sudah capek untuk selalu mulai dengan akhir yang mengecewakan.”

***

 

Jane melihat sekilas pada Violet sebelum menutup pintu. Dia menghampiri meja dokter bernama Margareth yang saat ini sedang menulis sesuatu di atas kertas. Jane begitu gugup ketika menarik kursi sampai-sampai hampir jatuh.

“Anda tidak apa-apa?” Margareth mendongak lalu meletakkan alat tulisnya.

“Maaf, saya hanya gugup ….” Jane meremas saputangan di genggaman. “Jadi, bagaimana keadaan Violet. Apakah benar-benar … parah?”

Wajah Margareth masih tampak ramah walau terlihat lebih serius. Wanita itu menjalin jemari dan bicara dalam suara empuk bernada menenangkan. “Putri Anda mengalami depresi yang cukup mengkhawatirkan. Self-harm dan ada tanda-tanda yang mengarah ke anxiety disorder. Hal ini mendorongnya pada kecemasan berlebihan dan membuatnya mudah lelah secara fisik dan mental. Lebih buruk lagi, pada saat-saat tertentu terutama ketika dia merasa berada di titik terendah, dia bisa melukai dirinya sendiri. Dia juga bilang kalau mengonsumsi obat tidur selama ini dan jelas itu tidak baik. Obat tidur tanpa resep dokter dan alasan medis yang dikonsumsi dalam jangka panjang tidak membantu masalahnya selesai.

“Depresi pada tingkat yang parah dan tak segera ditangani bisa berdampak tak hanya pada kesehatan fisiknya. Dari yang saya tahu, putri Anda sulit berkonsentrasi di sekolah sehingga nilai-nilainya turun drastis. Dia juga mudah lelah dan sulit menjalin ikatan dengan orang lain. Di masa sekarang dan masa depan—jika hal ini tak segera ditangani—pasien bisa susah bersosialisasi dengan orang lain.”

Jane meringis dan merasa air matanya merebak. “Saya tidak tahu … selama ini tidak tahu ….”

“Apakah Anda pernah bicara dari hati ke hati dengan anak Anda?” tanya Margareth.

Jane menggeleng. “Kami cukup banyak mengobrol sebelum saya dan mantan suami bercerai. Saya pikir, perceraian kami tidak akan memberi dampak seperti ini. Violet selalu terdengar ceria ketika menelepon saya. Mantan suami saya memang kurang perhatian soal urusan rumah dan anak-anak. Selama pernikahan kami dulu, dia selalu menyerahkan urusan pendidikan dan domestik pada saya.”

“Begitu.” Margareth menulis sesuatu lagi di kertas.

“Apakah Violet bisa sembuh?”

Margareth memandang Jane dengan sorot lembut. “Saya tidak akan bilang mudah karena trauma psikis cenderung lebih sulit disembuhkan daripada luka fisik. Saat ini, putri Anda membutuhkan figur seseorang yang bisa dipercaya. Dari penuturannya, dia sudah tidak percaya dengan mantan suami Anda. Violet juga mengalami komunikasi yang sulit dengan ayahnya selama ini dan itu menciptakan kerenggangan. Saya harap, hal itu tidak terjadi pada Anda dan putri Anda. Violet butuh sosok yang bisa diandalkan dalam hidupnya.

“Kita bisa mengusahakan sesuatu untuk membantunya stabil. Jika Violet setuju, saya bisa menjadwalkan sesi konseling dan bila insomnianya masih buruk, saya akan meresepkan obat untuk membantunya tidur. Ini semua membutuhkan bantuan peran Anda, Ms. Jane.”

Jane kini tak bisa menahan air matanya dan terisak. Tak pernah terlintas dalam pikirannya kalau Violet mengalami hal seperti ini di masa remajanya.

“Apa yang harus saya lakukan sekarang?” tanya Jane sembari menghapus air mata dengan saputangan.

“Menjauhkan Violet dari tempat yang membuatnya merasa tertekan adalah salah satu langkah awal. Setelah itu, Anda bisa coba untuk mendengarkan putri Anda lebih banyak lagi jika ada kesempatan. Saya juga akan memberi menu makanan untuk mengembalikan stabilitas fisik dan resep untuk obat. Sebaiknya Violet mengonsumsi obat ini selama beberapa waktu ke depan dan kita akan lihat perkembangannya selama itu.” Margareth mengambil buku lain dan mulai menulis.

Sementara Jane, memandang ke jendela dan berharap kalau dia bisa melewati ini semua. Tentu saja, perlakuan mantan suaminya tidak akan dilepas. Thomas beberapa kali muncul di rumah orang tuanya, berteriak ingin mengambil kembali Violet dan sesuambar soal hak asuh anak. Pria itu bahkan dengan lancang mengatakan kalau Jane tak memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk menghidupi seorang putri.

Hal itu membuat Jane semakin yakin kalau Thomas saat ini tidak bisa bertindak sebagai seorang ayah yang baik. Wanita itu menantang Thomas untuk bertemu di pengadilan dan akan menggelar sidang dalam waktu dekat. Jane ingin menuntaskan ini semua, dengan benar.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tumpuan Tanpa Tepi
6629      2537     0     
Romance
Ergantha bercita-cita menjadi wanita 'nakal'. Mencicipi segala bentuk jenis alkohol, menghabiskan malam bersama pria asing, serta akan mengobral kehormatannya untuk setiap laki-laki yang datang. Sialnya, seorang lelaki dewasa bermodal tampan, mengusik cita-cita Ergantha, memberikan harapan dan menarik ulur jiwa pubertas anak remaja yang sedang berapi-api. Ia diminta berperilaku layaknya s...
Under The Moonlight
1424      785     2     
Romance
Ini kisah tentang Yul dan Hyori. Dua sahabat yang tak terpisahkan. Dua sahabat yang selalu berbagi mimpi dan tawa. Hingga keduanya tak sadar ‘ada perasaan lain’ yang tumbuh diantara mereka. Hingga keduanya lupa dengan ungkapan ‘there is no real friendship between girl and boy’ Akankah keduanya mampu melewati batas sahabat yang selama ini membelenggu keduanya? Bagaimana bisa aku m...
Aku Menunggu Kamu
102      91     0     
Romance
sebuah kisah cinta yang terpisahkan oleh jarak dan kabar , walaupun tanpa saling kabar, ceweknya selalu mendo'akan cowoknya dimana pun dia berada, dan akhirnya mereka berjumpa dengan terpisah masing-masing
Rumah (Sudah Terbit / Open PO)
2177      982     3     
Inspirational
Ini bukan kisah roman picisan yang berawal dari benci menjadi cinta. Bukan pula kisah geng motor dan antek-anteknya. Ini hanya kisah tentang Surya bersaudara yang tertatih dalam hidupnya. Tentang janji yang diingkari. Penantian yang tak berarti. Persaudaraan yang tak pernah mati. Dan mimpi-mimpi yang dipaksa gugur demi mimpi yang lebih pasti. Ini tentang mereka.
Premium
MARIA
5099      1858     1     
Inspirational
Maria Oktaviana, seorang fangirl akut di dunia per K-Popan. Dia adalah tipe orang yang tidak suka terlalu banyak bicara, jadi dia hanya menghabiskan waktunya sebagian besar di kamar untuk menonton para idolanya. Karena termotivasi dia ingin bercita-cita menjadi seorang idola di Korea Selatan. Hingga suatu ketika, dia bertemu dengan seorang laki-laki bernama Lee Seo Jun atau bisa dipanggil Jun...
EPHEMERAL
92      84     2     
Romance
EPHEMERAL berarti tidak ada yang kekal, walaupun begitu akan tetap kubuktikan bahwa janji kita dan cinta kita akan kekal selamanya walaupun nanti kita dipisahkan oleh takdir. Aku paling benci perpisahan tetapi tanpa perpisahan tidak akan pernah adanya pertemuan. Aku dan kamu selamanya.
The Black Heart
841      440     0     
Action
Cinta? Omong kosong! Rosita. Hatinya telah menghitam karena tragedi di masa kecil. Rasa empati menguap lalu lenyap ditelan kegelapan. Hobinya menulis. Tapi bukan sekadar menulis. Dia terobsesi dengan true story. Menciptakan karakter dan alur cerita di kehidupan nyata.
Of Girls and Glory
2533      1201     1     
Inspirational
Pada tahun keempatnya di Aqiela Ru'ya, untuk pertama kalinya, Annika harus berbeda kamar dengan Kiara, sahabatnya. Awalnya Annika masih percaya bahwa persahabatan mereka akan tetap utuh seperti biasanya. Namun, Kiara sungguh berubah! Mulai dari lebih banyak bermain dengan klub eksklusif sekolah hingga janji-janji yang tidak ditepati. Annika diam-diam menyusun sebuah rencana untuk mempertahank...
Si Neng: Cahaya Gema
96      86     0     
Romance
Neng ialah seorang perempuan sederhana dengan semua hal yang tidak bisa dibanggakan harus bertemu dengan sosok Gema, teman satu kelasnya yang memiliki kehidupan yang sempurna. Mereka bersama walau dengan segala arah yang berbeda, mampu kah Gema menerima Neng dengan segala kemalangannya ? dan mampu kah Neng membuka hatinya untuk dapat percaya bahwa ia pantas bagi sosok Gema ? ini bukan hanya sede...
Tulus Paling Serius
1491      631     0     
Romance
Kisah ini tentang seorang pria bernama Arsya yang dengan tulus menunggu cintanya terbalaskan. Kisah tentang Arsya yang ingin menghabiskan waktu dengan hanya satu orang wanita, walau wanita itu terus berpaling dan membencinya. Lantas akankah lamanya penantian Arsya berbuah manis atau kah penantiannya hanya akan menjadi waktu yang banyak terbuang dan sia-sia?