Violet hanya tidur dua jam dan mendapati matanya bengkak saat terjaga pukul lima pagi. Meskipun kamarnya terasa hangat oleh pemanas ruangan, Violet tahu kalau udara di luar membeku. Salju sepertinya turun semalaman dan menyisakan jejak-jejaknya yang menumpuk di sepanjang jalan masuk rumah-rumah. Lampu-lampu serambi para tetangga menyala temaram dan belum ada tanda-tanda kehidupan. Semua orang mungkin masih nyenyak di ranjang mereka yang hangat, seperti seharusnya Violet saat ini.
Gadis itu mengenakan sandal berbulu dan pergi ke jendela. Walau tahu angin dingin akan masuk, Violet tetap membukanya dan sejenak merasakan denyut-denyut di sepanjang pipi kiri yang masih terasa nyeri saat disentuh. Itu pertama kali ayahnya memukul Violet. Dan rasanya benar-benar sakit.
Violet meraih jaket dari lantai dan mengenakannya lalu duduk di tepi jendela. Di kejauhan, terdengar lolongan anjing yang menggaung dan entah mengapa, mengalirkan rasa lebih sepi di hati Violet yang termangu sambil memandang langit. Tidak ada hal baik yang terjadi dalam beberapa minggu belakangan ini kecuali pertemanan dengan Asami dan kunjungan ke rumah para lansia. Tidak ada yang bisa Violet lakukan selain mencoba bertahan karena dia takut usahanya untuk mengubah keadaan.
***
Ada suasana yang tidak wajar ketika Violet memasuki koridor. Semua orang tampak sibuk memperhatikan sesuatu di ponsel masing-masing. Sebagian besar dari mereka tertawa sedangkan yang lain kelihatan gelisah dan merasa tidak enak. Violet merasa kalau apa pun itu, ada hubungan dengan dirinya karena murid-murid menatapnya dengan macam-macam pandangan yang tidak bisa ditebak—kecuali tentu saja mereka yang jelas-jelas terbahak sambil menujuk dirinya.
Kemudian, ponsel Violet yang baru dinyalakan tadi pagi, bergetar. Gadis itu menarik gawainya dari saku denim dan melihat ada pesan masuk. Sebuah video. Kening gadis itu berkerut dan saat jarinya menekan layar, tiba-tiba wajah Violet berubah pucat.
Video memperlihatkan cewek yang sedang tertidur di sofa dengan berbotol-botol minuman keras di meja. Sebuah kutipan singkat tertulis di bagian bawah video dan berbunyi, ‘teler berat’. Violet menutup mulutnya karena tidak percaya dengan apa yang dilihat. Itu dirinya, di rumah Dave saat pesta Sabtu malam lalu. Namun, Violet merasa kalau video ini sudah sepenuhnya disunting sedemikian rupa.
“Lagaknya saja tertutup, ternyata dia malah bertingkah lebih liar dari kita,” seru salah seorang cewek.
“Yeah, lihat saja. Dia benar-benar mabuk. Kasihan Dave, sudah tertipu muka manisnya.”
“Manis? Muka kayak begitu kamu bilang manis? Mungkin yang kamu maksud adalah aneh.”
“Coba lihat badan kurusnya. Jangan-jangan dia juga pemadat. Biasanya orang-orang begitu kan punya badan ceking kayak dia.”
Kaki Violet terasa lemas, tapi entah bagaimana masih bisa menapak di lantai sekolah. Malah, seolah tertancap di sana karena dia tidak mampu bergerak. Saat memandang sekeliling, barulah dia sadar kalau ada foto-foto dirinya yang tertempel di dinding-dinding ruangan. Foto-foto itu dirinya yang tak sadar. Beberapa menunjukkan atasannya yang terangkat dan memperlihatkan bra yang dikenakannya. Seketika, Violet merasakan perutnya menggelegak dan kepalanya mulai berdenyut hebat.
“Betina jalang yang sok suci. Dave, apa kamu nggak menyesal mengundangnya semalam? Dia mengotori pestamu.”
Violet mencari asal suara dan melihat Casey yang bersandar pada Dave, sementara cowok itu kelihatan santai dengan tangan menyilang di dada. Wajah Dave itu kelihatan puas dengan seringai yang membuat bulu kuduk Violet meremang. Kejadian nahas malam itu kembali melintas dan membangkitkan sensasi mengerikan di sekujur tubuhnya.
“Reputasimu jatuh, Dave?” tanya salah seorang cowok yang mengenakan jaket klub basket.
Dave mengangguk dan memasang ekspresi terluka dan sedih. “Aku bersikap baik padanya dan cewek itu menganggapnya sebagai … undangan.”
Sekelompok cowok tertawa sementara cewek-cewek memandang Violet dengan tatapan merendahkan dan menghina seolah gadis itu belatung atau sejenisnya.
“Mati saja sana!”
“Otak udang!”
“Nggak tahu malu!”
“Jalang!”
Suara-suara itu semakin keras dan ketika Violet akhirnya mendapat tenaga untuk membalikkan badan, dia nyaris bertabrakan dengan seseorang. Violet mendongak dan melihat Hanz yang baru saja tiba. Cowok itu kelihatan sangat marah dan membuat beberapa orang terdiam. Kemudian, Hanz menunduk, menatap Violet dengan sorot lembut sembari melepas headphone yang dipakainya lalu menempelkan benda itu di kepala Violet. Sebuah melodi mengalun, cukup keras sampai meredam keributan di sekitar mereka. Tatapan Hanz seolah mengatakan kalau Violet tidak perlu mendengarkan kata-kata jahat yang keluar dari mulut orang-orang.
Mendadak, kerumunan itu tercengang dan seolah kehilangan kata-kata saat Hanz menuntun Violet keluar dari gedung sekolah.
***
Hanz menaikkan tudung jaket sampai menutupi kepalanya lalu melakukan hal yang sama pada Violet saat mereka berjalan beriringan di sepanjang pedestrian. Violet tidak berkata apa-apa dan menunduk sambil mengamati kaki-kaki cowok di depannya yang terbalut dalam sneakers berwarna biru gelap. Mereka berjalan melintasi penyeberangan kemudian berbelok ke kiri di Millfield.
“Aku tahu kalau hari ini lumayan dingin,” ujar Hanz dengan suara keras agar Violet bisa mendengarnya.
Violet mendongak dan mendapati pemandangan nyaris serba putih di sepanjang Hampstead Heath. Dia dan Hanz berdiri berdampingan, melihat gedung-gedung yang tampak kecil di kejauhan. Hanz nyengir dan mau tak mau, Violet balas tersenyum. Cowok itu melepas syal dan Violet melihat uap kecil menguar ke udara saat dia bicara. “Ini tempat yang tenang, kan? Kadang aku ke sini kalau ingin sendirian. Hari ini sepi tapi sebaiknya kita tetap waspada kalau ada orang dewasa yang memergoki kita. Ini, kan, jam sekolah.”
Pada hari-hari hangat terutama saat musim panas, tempat itu ramai dengan orang-orang yang ingin bersantai atau membawa jalan-jalan anjing mereka. Di pagi yang dingin seperti sekarang, Violet merasa kalau taman yang luas itu seolah disediakan khusus untuk dirinya. Tidak ada siapa pun di sana kecuali dia dan Hanz. Violet melepas penyuara telinga berwarna hitam itu dan ingin menyerahkannya pada Hanz saat cowok itu menggeleng.
“Bawa saja dulu,” katanya pendek lalu berjalan mendahului Violet sambil menoleh ke kiri dan kanan seolah sedang mencari sesuatu. Tidak lama kemudian, cowok itu menyingkirkan salju yang menumpuk di bangku dan memanggil Violet.
“Nggak terlalu kering, tapi silakan kalau mau duduk,” kata Hanz.
Violet mengangguk dan berusaha agar tidak membuat dirinya basah dengan duduk di tepi bangku yang terasa keras itu. Lalu, gadis itu memandang air danau yang tampak dingin dengan pemandangan ranting-ranting pohon berwarna putih karena tertutup salju.
Tidak ada yang bicara selama beberapa menit dan Violet sadar kalau Hanz memang tidak pernah terlalu banyak bicara. Pada saat seperti ini, Violet pikir sikap Hanz yang seperti itu sangat membantu. Tidak ada paksaan untuk bercerita, tidak ada tekanan.
“Maafkan aku,” ujar Hanz tiba-tiba setelah sepuluh menit berlalu dalam hening.
Violet berpaling dan bisa melihat raut Hanz yang tampak bingung dan tidak enak. “Untuk apa?” Kening Violet mengerut.
“Aku nggak tahu kalau Dave dan Casey bisa sejahat itu. Harusnya, dari awal aku mencegah mereka,” desah Hanz sambil mendongak. “Aku kira mereka akan berhenti, seperti biasa. Nggak kukira sampai separah ini. Kamu pasti sangat kaget dan kecewa.”
Tolong, jangan bilang begitu. Nanti aku bisa menangis, pikir Violet sambil menggigit bagian bawah bibir. Sedari tadi, dadanya sesak karena berusaha menahan diri. Ini kali kedua Hanz menyelamatkannya dari situasi sulit padahal Violet tidak ingin memperlihatkan muka sedihnya pada siapa pun lagi.
“Kamu sudah beri tahu Asami soal kejadian ini?”
Violet menggeleng sambil mengelap hidung. “Aku nggak mau menambah beban pikirannya sementara dia sedang merawat ayahnya yang sakit di sana. Nggak, dia nggak perlu tahu. Belum. Entahlah ….” Violet menutup wajah dengan kedua tangan dan bahunya mulai terguncang.
Seberapa kuat dia coba bertahan, pada akhirnya semua emosi itu meluap. Violet merasa marah, bingung dan sedih. Dia bertanya-tanya kenapa semua ini terjadi bertubi-tubi. Apakah dia melakukan kesalahan? Kenapa rasa-rasanya semua orang tidak menyukai dirinya? Pertama, ayahnya ternyata lebih suka anak lelaki. Kedua, dia tidak bisa mendapat kasih sayang dari ibunya. Ketiga, cowok yang dikira Violet seperti malaikat, ternyata bermuka dua. Gadis itu meringis saat memikirkan kemungkinan kalau dia juga terancam bahaya memiliki ibu tiri yang sama sekali tidak sayang padanya—Magda.
“Jangan pikirkan mereka,” kata Hanz dengan nada lembut di sampingnya. “Kamu nggak salah apa-apa, karena itu, jangan dengar kata-kata mereka.”
Lalu terdengar suara ritsleting dan Violet merasa kalau tubuhnya ditutupi jaket tebal. “Menangislah sepuasmu. Aku nggak lihat,” ujar cowok itu sambil menepuk kepala Violet sekilas.
***
Air mata Violet sudah berhentI, tapi kini wajahnya tampak kacau. Gadis itu berusaha untuk membuat mukanya kelihatan lebih segar dengan membilasnya di wastafel saat dia dan Hanz mampir ke sebuah kedai kopi yang baru buka. Kafe itu masih sepi dan ketika Hanz memesan minuman di konter, Violet pergi ke kamar mandi.
Saat mengeringkan wajah dengan handuk kertas berwarna buram, Violet berpikir betapa Hanz sangat baik—seperti yang pernah dikatakan Asami. Cowok yang kaku, tapi baik hati. Dia tidak berusaha menggenggam tangan Violet atau merangkul ketika gadis itu menangis. Namun, Violet merasakan ketenangan, hanya dengan duduk atau berjalan bersama Hanz. Sepanjang mereka berjalan keluar dari Heath, Hanz tidak banyak bicara. Dia hanya sesekali berkomentar saat melihat seorang pelari yang kelihatan terengah-engah di pedestrian dalam setelan jogging-nya atau menunjuk ke burung-burung yang berusaha mencari makanan di antara lapisan es yang mulai mencair.
Saat kembali ke ruang depan kafe, Violet bisa melihat Hanz duduk, terlihat nyaman di salah satu kursi. Pemuda itu bersandar di sana dengan jaket tebal yang ditarik rapat sampai ke dagu. Matanya terpejam di balik kacamata berbingkai perak yang tampak berkilau di bawah sinar matahari. Violet hampir mengira cowok itu tertidur ketika Hanz tiba-tiba membuka mata dan tersenyum.
“Maaf, agak lama,” ujar Violet sambil menarik kursi dan melihat apa yang ada di meja. Dua cangkir besar cokelat panas, roti gandum keju dan telur bahkan juga beberapa kue kering.
“Kamu pesan sebanyak ini?” tanya Violet saat Hanz meneguk minumannya.
“Aku memang suka makan banyak. Aku butuh banyak energi waktu bekerja jadi kalau aku nggak makan banyak, bisa-bisa aku cepat lelah,” ujar cowok itu sambil meletakkan gelas dan meraih garpu serta pisau roti. “Makanlah yang banyak. Aku bisa pesan lagi kalau kurang.”
Violet mengibaskan tangan, merasa tidak enak. “Nggak. Ini sudah cukup. Makasih,” Violet meraih kukis gandum dengan taburan kepingan cokelat. Makan makanan manis ternyata membuatnya merasa lebih nyaman dan tanpa sadar, dia sudah hampir menghabiskan cokelat panas, tiga keping kue kering dan juga setangkup besar roti lapis.
Kapan, y, terakhir kali aku makan selahap ini? pikir Violet getir ketika menaruh garpu di atas piring putih yang licin tandas. Lalu dia mendongak dan melihat Hanz sedang memandangnya. Wajah cewek itu sontak memerah dan dia tertawa canggung.
“Wajahku pasti kelihatan kacau, ya?” tanya Violet, berusaha agar tidak tersipu.
“Vi,” ujar Hanz dengan suara yang membuat jantung Violet berdegup. Suara itu terdengar lembut dan dalam. “Kamu tahu, kan, kalau Asami menyukaimu, Vi? Aku belum pernah melihatnya bersama seorang teman sejak terakhir kali dia mengadakan pesta di rumahnya pada saat musim panas lalu.”
“Aku juga menyukainya,” kata Violet sungguh-sungguh. “Dia gadis yang manis. Sangat jauh berbeda dari gosip yang ada di sekolah. Aku belum pernah ketemu cewek yang sangat jujur sepertinya.”
Hanz mengulas senyum lagi. “Jadi, kamu tahu, kan, kalau gosip itu nggak bisa dipercaya dan kebohongan apa pun nggak bisa menutupi sebuah kebenaran? Jadi, jangan pikirkan hal-hal yang dikatakan Casey atau Dave. Mereka mungkin hanya iri atau sakit hati padamu karena kamu nggak bisa diperintah atau dikendalikan.”
Violet terpekur sambil memainkan serbet kertas yang ditindih cangkir cokelat panasnya. Jujur saja, Violet juga ingin meyakinkan dirinya untuk tidak berpikir macam-macam. Namun, dia bukanlah Asami yang bisa tak acuh dan menjalani hari-hari biasa. Apalagi saat ini, masalahnya bukan hanya ada di sekolah, tapi juga di rumah. Perkataan dan tawa dari anak-anak di sepanjang koridor, membuatnya bergidik ngeri.
Entah apa yang ada dalam pikiran mereka saat melihat gambar-gambar dirinya. Mungkin semua orang sekarang berpikir kalau Violet Moon adalah cewek murahan yang juga seorang pencandu narkoba dan suka teler berat. Penikmat gosip akan terus berusaha menciptakan asumsi-asumsi berdasarkan khayalan mereka sendiri dan hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar. Itulah yang ditakutkan Violet.
“Kamu baik-baik saja?”
Violet tersentak dari lamunan dan melihat tatapan Hanz yang kelihatan cemas. “Aku nggak apa-apa. Jadi, kita mau ke mana sekarang?”
Hanz menengok jam tangannya. “Ini sudah hampir jam makan siang. Apa kamu nggak mau pulang dan istirahat? Aku bisa mengantarmu.”