Pada hari berikutnya, Violet menemukan kursinya basah oleh cat minyak berwarna merah yang masih menetes-netes ke lantai. Casey duduk di meja lain, menyilangkan kaki dan tampak menikmati setiap detik. Dia menyunggingkan senyum pada Violet, disambung cekikikan gadis-gadis lain. Tidak ada yang bersuara atau berusaha membantu Violet saat cewek itu meraih berlembar-lembar tisu dari dalam tas dan berusaha membersihkan bangkunya sebelum guru jam pelajaran pertama tiba.
Tidak berhenti di situ. Saat jam pelajaran kedua dimulai, seorang mahasiswa dari jurusan pendidikan hadir dan menggantikan guru biologi. Lelaki berbadan kurus dengan kemeja hijau dan rompi rajut biru itu mulai menyebut nama-nama penghuni kelas dan entah bagaimana, nama Violet terlewat. Suara tawa yang pelan terdengar dari barisan Casey. Lagi-lagi, tidak ada yang bersuara.
Violet hanya bisa menunduk sepanjang pelajaran dan merasa tidak bersemangat seperti biasa. Dia menulis dengan pelan dan berusaha agar tidak menarik perhatian guru. Pada pelajaran lain, saat guru bahasa Inggris tidak melihat, beberapa cewek sepertinya memotong kecil-kecil penghapus karet dan melemparkannya ke arah Violet. Ketika guru itu mengelilingi meja murid-murid, tak ayal dia menegur Violet karena mejanya kelihatan kotor.
Lima menit sebelum jam pelajaran terakhir berdering, pesan beruntun masuk ke ponsel Violet. Berbagai macam gambar menjijikkan dengan tulisan kasar memenuhi layar. Tanpa diketahuinya, Violet ternyata dimasukkan ke sebuah grup.
Violet keluar dari grup karena tak tahan membaca pesan-pesan yang menyerangnya, tapi kemudian dia menerima pesan pribadi, setidaknya sepuluh pesan dengan kata-kata sama kasarnya. Beberapa bahkan melecehkan. Gadis itu melihat ke sekeliling dan Casey tampak memegang ponsel pipih yang dibalut warna merah muda. Jari-jari Casey mengetik cepat dan pesan-pesan itu terus masuk ke ponsel Violet sampai akhirnya dia tak tahan lagi dan mematikan gawainya lalu menghambur keluar ruangan.
Violet hampir menabrak orang-orang yang berkerumun di koridor dan gadis itu tidak peduli. Dia berlari menuju kamar mandi dan segera masuk ke salah satu bilik lalu menguncinya. Napasnya tersengal dan rasa mual kembali menghampirinya. Violet menutup kloset dan duduk di sana sambil menyandarkan kepala di tembok. Kedamaian itu tidak berlangsung lama karena setelah beberapa saat, terdengar suara langkah-langkah kaki.
Tubuh Violet menegang dan baru akan membuka pintu bilik ketika badannya basah oleh guyuran air dingin. Bukan sekadar air tapi cairan kotor dengan aroma pembersih lantai samar-samar. Air keruh itu menetes-netes dari rambut dan siku Violet yang tertegun sambil berdiri.
“Air kotor cocok untuk cewek murahan. Ini balasan karena sudah pamer kemesraan di depanku tempo hari. Oh, kalau kamu pikir Dave benar-benar menyukaimu, salah besar. Cowok itu yang menyuruhku datang karena ingin memperlihatkan sesuatu yang menarik. Kamu akan tahu nanti. Ayo teman-teman, hari ini sampai di sini saja.”
Violet tahu kalau itu suara Casey. Pintu terbanting keras sebelum sunyi menyergap. Riuh rendah di luar lama-lama semakin berkurang sementara badan Violet terasa menggigil kedinginan. Kulitnya terasa basah dan mengeluarkan aroma tidak sedap. Namun, gadis itu tidak berani keluar sampai dia benar-benar yakin kalau tidak ada siapa pun lagi di dalam atau di luar kamar mandi perempuan.
Pintu berderit saat Violet akhirnya keluar. Gadis itu melihat ke cermin dan sebuah bayangan dengan rambut menutupi wajah, kaus dan kemeja flanel yang berubah warna juga air menetes di bahu, balas memandangnya. Violet memeras ujung bajunya dan air keruh itu memancar di lantai. Violet membilas wajah di wastafel dan berusaha mengeringkan rambut dengan tisu toilet yang segera hancur saat menyentuh kepalanya. Cewek itu kemudian menuju kelas dan menemukan kalau tasnya sudah sobek di beberapa bagian sementara buku dan bolpoinnya ada di lantai. Sepertinya ada yang sengaja merusak ranselnya menggunakan gunting.
Gadis itu memungut alat tulis dan bukunya, menjejalkan benda-benda itu di bagian tengah ransel yang tidak berlubang lalu menyeret kaki keluar dari kelas. Dia memakai tudung jaket dan berusaha tidak mengacuhkan tatapan murid-murid yang masih ada di halaman sekolah. Violet berjalan melewati halte bus dan saat sampai di salah satu tikungan, menyetop taksi yang lewat.
Meski tidak ingin, pada akhirnya kejadian-kejadian yang dialami Violet berpengaruh pada konsentrasinya. Gadis itu mulai sulit fokus dan akhirnya, nilai-nilai pelajaran mulai turun. Violet yang keletihan membersihkan diri saat tiba di rumah, merasa tidak sanggup membuka mata untuk membaca buku-buku dan mengerjakan tugas-tugas. Dan akhirnya, kabar soal turunnya nilai itu sampai ke Mr. Moon.
“Bisa jelaskan mengapa kamu bisa mendapat nilai C dan D belakangan ini?” Mr. Moon terdengar sangat marah ketika berhadapan Violet di meja makan. Pria itu menerima telepon dari pihak sekolah kemudian menemukan berbagai kertas hasil tes dengan skor jauh dari memuaskan di atas meja belajar putrinya.
“Aku ….” Violet mendesah sambil memainkan jari-jarinya. Dia menimang-nimang, apakah harus mengatakan hal yang sebenarnya atau tetap diam.
“Apa, sih, yang merasuki kepalamu?” suara Mr. Moon semakin tinggi. “Tugasmu hanya belajar yang baik dan itu saja nggak bisa kamu lakukan? Apa kamu tahu betapa malunya aku saat ditelepon oleh wali kelasmu tadi?”
“Dad, aku sedang letih.”
“Itu bukan alasan yang bagus, Vi!” bentak Mr. Moon dan itu membuat Violet tersentak. “Aku benar-benar kecewa padamu. Setelah apa yang terjadi di rumah ini, aku berharap kalau kamu bisa dewasa. Kamu anak tertua yang seharusnya bisa memberi contoh pada Rosie, bukan bertingkah seperti bayi yang merengek!”
Violet ingin menutup kedua telinganya karena merasa tidak tahan. Apa pun yang terjadi di sekolah atau kehidupannya, ayahnya jelas-jelas hanya peduli soal nilai dan nama baik.
“Jangan meniru ibumu yang pergi dari rumah secara tidak terhormat dan meninggalkan kalian di sini dengan alasan dibuat-buat. Ibu kalian tidak bisa dijadikan panutan. Jangan membuat aku kecewa pada kalian seperti aku kecewa padanya. Kamu dengar, Vi?”
“HENTIKAN!”
Mr. Moon mundur dengan kaget saat tiba-tiba Violet berdiri di tempatnya dan kelihatan marah.
“Kalau Dad kecewa padaku, nggak apa-apa. Tapi, jangan bawa-bawa Mom dalam masalah ini. Lagi pula, kalau Dad nggak suka dengan kehadiranku, Dad bisa menendangku keluar!”
“Apa-apaan cara bicara itu? Beraninya kamu menggunakan nada seperti itu pada ayahmu?” suara Mr. Moon terdengar murka. “Aku tidak pernah mengajarimu menjadi anak yang tak tahu sopan santun begini.”
“Kalau begitu, Dad buang saja aku dan cari anak laki-laki seperti yang Dad inginkan!”
Mulanya, Violet tidak sadar kalau Rosie juga menguping pembicaraan mereka sampai terdengar jerit kaget gadis itu. Kemudian, pipi Violet terasa perih setelah tangan ayahnya mendarat dengan suara nyaring. Mr. Moon terperangah, seolah kaget dengan perbuatannya sendiri.
“DAD!” Rosie memekik sambil menghambur ke ruang makan. “Apa yang baru saja Dad lakukan?”
Mr. Moon menurunkan tangannya, tampak terpukul lalu membalikkan badan. Lelaki itu tidak berkata apa-apa dan hanya berjalan menuju ruang kerja.
“Aduh, Vi. Merah banget. Jangan dipegang, aku ambilkan sesuatu untuk mengompresnya.”
Violet tertegun di kursi dan merasakan nyeri yang menjalar, tidak hanya di pipi tapi juga hatinya. Rosie kembali ke meja makan dengan sekantong es batu kemudian perlahan menempelkannya di pipi Violet. Muka gadis itu seolah ikut sakit saat melihat Violet meringis.
Kakak beradik itu tetap di ruang makan beberapa saat sebelum akhirnya Violet menurunkan kantong es dan meletakkannya di atas meja. Gadis itu bangkit dari kursi dan naik ke kamar dalam diam sementara Rosie menyusulnya. Rosie kaget saat mendapati kamar Violet berantakan dengan baju kotor dan juga benda-benda lain yang saling tumpang tindih di sana sini.
Violet naik ke ranjang dan tidur dalam posisi menghadap ke jendela. Rosie masih bungkam dan saat menyelimuti kakaknya, Violet memejamkan mata sambil berkata, “Aku ingin mati.”