Hanz tidak terlalu kaget saat mendapati Dave berdiri di teras rumahnya. Apalagi dia tahu kalau Senin bukanlah jadwal kerja sampingan Hanz. Cowok itu suka melakukannya kalau sedang berkunjung ke rumah Hanz. Menunggu di serambi depan sampai Hanz kembali.
Muka Dave terlihat buruk dengan memar di sekitar tulang pipi dan sudut bibir yang robek. Hanz tidak menyangka kalau tinjunya sekeras itu dan ada sedikit perasaan bersalah yang menelisik di hatinya. Bagaimanapun, Dave pernah membantunya beberapa kali dan cowok itu bisa bersikap sangat baik pada saat-saat tertentu.
Hanz mengenali sepedanya yang tersandar di tembok rumah. Tidak rusak. Sepertinya Dave yang mengantar langsung. Kedua cowok itu berdiri dalam diam, berhadapan seperti petarung yang siap berkelahi. Atmosfer terasa kental, canggung, dan menegangkan bagi Hanz. Perasaan marah, tidak enak, kesal, sedih juga bingung, campur aduk jadi satu.
“Kamu bahkan nggak mau bertemu dengan aku, Evan dan Kirk di sekolah?” Dave akhirnya bersuara. Cowok itu tampak kesal, mengepalkan tangan di kedua sisi tubuh. “Apa kamu benar-benar nggak sadar apa yang sudah terjadi kemarin?”
Hanz menaikkan kacamata yang melorot di hidung dan mendengus. “Harusnya aku yang bertanya begitu. Dave, aku tahu kalau kamu ini seorang playboy. Tapi, apa kamu harus jadi cowok tolol yang melakukan kejahatan?”
Dave merangsek maju dan menarik kerah jaket Hanz. Wajah cowok itu memerah dengan mata memelotot tajam.
“Apa urusanmu dengan Violet Moon, hah? Kenapa kamu lebih memilih cewek itu daripada aku, temanmu sendiri?”
Hanz mencengkeram lengan Dave, melepas pegangan dan mendorong cowok itu. Sekarang, dia juga mulai merasa amarah menguasai dirinya. “Soal itu, kamu nggak perlu tahu. Kamu sadar nggak kalau yang terjadi kemarin adalah tindak kriminal? Bagaimana kalau Violet melapor ke polisi? Kamu kira penjara anak-anak itu mal atau kafe yang nyaman?”
“Cerewet!” bentak Dave. “Aku cuma ingin menakutinya sedikit sampai kamu merusak semuanya. Sekarang, cewek itu bakal jadi besar kepala.”
Hanz membuang napas panjang, tidak menyangka kalau temannya sejak SMP ini bisa bersikap kekanakan hanya karena seorang gadis menolaknya. Namun, di saat bersamaan, Hanz juga sadar kalau seharusnya dia yang paling tahu. Itulah cara Dave menghibur dirinya. Pergi dengan cewek-cewek karena kedua orang tuanya terlalu sibuk bekerja. Jalan dengan gadis-gadis yang menuntut perhatian.
“Jujur saja, deh,” Dave berkata dengan suara serak, “Kamu naksir cewek itu, kan? Kalau nggak, kenapa membelanya mati-matian kayak begini? Kamu bahkan berani meninjuku padahal kamu nggak pernah peduli dengan siapa aku kencan sebelumnya.”
Hanz berjengit. Pikiran itu bahkan tidak terlintas di benaknya. Malam itu, dia hanya tahu kalau harus menyelamatkan Violet.
“Atau jangan-jangan,” lanjut Dave, menaikkan sudut bibir dan memandang Hanz dengan tatapan sinis, seolah menang, “Violet Moon mengingatkanmu akan seseorang? Itu sebabnya kamu menolong dia? Untuk menebus rasa bersalahmu di masa lalu?”
“DIAM!” seru Hanz dengan suara meninggi. Lalu mendadak dia tersadar kalau tetangga yang melintas, menengok ke rumahnya dan cowok itu khawatir kalau Mrs. Stephanie bakal melapor ke ibunya.
“Pergilah,” ujar Hanz sambil melangkah ke tangga serambi. “Aku nggak ingin bertengkar denganmu lagi.”
Dave mengerang, terdengar betul-betul marah sekarang. “Jadi kamu nggak meminta maaf karena sudah menghajarku? Baiklah. Aku akan mengingat ini, Hanz.” Lalu cowok itu berbalik dan pergi dan menghilang di balik tikungan.
Hanz memutar kunci dan membuka pintu rumah. Dia segera menyalakan pemanas dan melepas mantel lalu mengaitkannya di paku yang tertempel di dinding. Dia menyalakan lampu dan mencium aroma tomat samar-samar, mungkin saus yang dibuat ibunya sebelum berangkat untuk bekerja.
Cowok itu melangkah ke dapur dan menemukan catatan di lemari es. Ibunya menyuruh Hanz memanaskan makan malam dan tidak perlu menunggunya karena dia akan bekerja sampai agak larut. Hanz memandang dapur yang sepi lalu keluar dari dapur dan berjalan ke kamarnya yang ada di loteng.
Setelah menaruh tas di atas meja belajar, cowok itu merebahkan diri di atas ranjang dan mengembuskan napas. Mata pemuda itu menatap langit-langit yang dipenuhi sketsa. Sebagian besar adalah gedung-gedung bertingkat sementara yang lain berisi gambar rumah-rumah di pedesaan yang kelihatan tenteram. Satu-satunya sketsa yang berbeda dari semuanya, tertempel tepat di bagian tengah. Sekuntum bunga krisan. Ada tulisan kecil di bagian bawah kertas dan meski tidak terlihat, Hanz tahu apa yang terbaca di sana.
Perkataan Dave terlintas di benak Hanz dan itu mengusiknya. Benarkah dia menolong Violet karena gadis itu mengingatkannya akan ….
Tapi mereka sama sekali berbeda, batin Hanz, bangkit dan memandang ke luar jendela. Salju masih menumpuk di sebagian besar rumah. Seorang lelaki paruh baya melintas di pedestrian, memakai mantel hijau mencolok dan membawa tas belanjaan besar. Pria itu tampak berjalan pelan, kelihatan berhati-hati agar tidak terpeleset di atas lapisan es yang licin.
Hanz menarik kacamata dan meletakkan benda itu di atas nakas. Dia memijit batang hidungnya, seolah-olah itu bisa mengeluarkan segala hal yang menyesakkan pikiran dan hati. Sebenarnya, dia sendiri bertanya-tanya kenapa bisa sangat peduli pada Violet.
Apa karena hari itu dia tidak sengaja mendengar percakapan Miss Sonya dan Mr. Robert di koridor? Dokter sekolah itu sedang bertanya soal sikap Violet di kelas dan juga mencari tahu apakah gadis itu mengalami perundungan atau sejenisnya. Menurut Miss Sonya, Violet mengalami kelainan yang disebut self harm disorder dan juga depresi. Mulanya, Mr. Robert terdengar tidak percaya karena Violet Moon adalah salah satu muridnya yang pintar dengan prestasi baik dan kelihatan akrab dengan siapa pun di kelas.
“Mr. Robert, apa yang tampak di luar belum tentu kenyataannya juga seperti itu. Saya sarankan agar Anda bisa bicara dengan orangtua Violet Moon dan mencari tahu apa sebenarnya masalah yang dimiliki anak itu. Kalau tidak ditangani segera, kecenderungan ini bisa sangat fatal.”
Sejak saat itu, Hanz merasa sulit melepas pandangan dari Violet—meski dia berusaha agar tidak terlalu kentara. Dan dia menemukan hal-hal yang menurutnya juga kurang wajar. Violet mungkin tampak ceria saat sedang bersama teman-teman sekelasnya—kecuali Casey dan kelompoknya—tapi tidak begitu ketika dia makan dan duduk sendirian di kafetaria. Hanz bisa melihat tatapan hampa Violet yang menyantap roti lapis dalam diam dan bagaimana cewek itu buru-buru menyingkir saat ada orang yang tidak dikenal mampir ke mejanya. Violet juga kelihatan sering mengenakan baju-baju panjang bahkan dalam ruangan dengan pemanas yang udaranya terasa hangat.
Hanz menggeleng-gelengkan kepala, seolah ingin mengusir semua rasa gelisah dalam dirinya. Cowok itu beranjak dari ranjang dan meraih salah satu album kecil dari rak buku. Tertulis nama sekolahnya di sampul dan Hanz mulai membalik-balik halaman. Tangan cowok itu berhenti di salah satu lembar dan sorot matanya berubah, seolah dipenuhi kepedihan. Hanz memandang potret kecil seorang gadis berusia tiga belas tahun. Anak perempuan yang terlihat manis dengan rambut pirang panjang dan jepit di salah satu sisi kening.
Lalu, Hanz mengenali tulisannya sendiri di bawah foto itu. Berbunyi, ‘Maafkan aku’.