Saat Violet tiba, Asami sedang mengobrol dengan Hanz di depan pintu masuk. Ada beberapa kardus di dekat kaki Hanz, mungkin barang-barang yang Asami bawa. Cewek itu memakai sweater berleher tinggi sederhana dan jaket parka sementara Hanz mengenakan kaus, jaket dan mantel. Keduanya menoleh saat menyadari kehadiran Violet dan muka Asami kelihatan senang.
“Maaf aku telat. Harus mengerjakan hukuman detensi dulu,” kata Violet ketika Asami menyapa.
“Nggak masalah. Yuk, masuk.”
Violet membantu mengangkat salah satu kardus yang ternyata tidak terlalu berat sambil mengamati rumah lansia yang ada di perumahan Kenwood itu. Ada beberapa mobil terparkir di halaman saat Violet masuk dari pintu depan. Bangunan itu didominasi warna cerah dengan jendela-jendela menjorok keluar.
Setelah menyapa seorang petugas, Asami bilang kalau para lansia sedang menikmati teh di salah satu ruangan. Violet mengikuti cewek itu dan Hanz yang sudah tampak akrab dengan para penghuni rumah perawatan. Wajah-wajah keriput itu tampak senang saat menyadari siapa pengunjung mereka.
“Senang melihatmu. Pulang sekolah?” tanya seorang nenek berambut putih yang duduk di salah satu sofa berleher tinggi warna kelabu. Matanya berbinar saat melihat Asami yang segera menekuk salah satu kaki dan menyapa wanita tua di depannya.
“Aku membawakan beberapa pelembap dan alat tulis seperti yang Granny mau,” ujar Asami sambil mengelus tangan wanita yang dipanggil Granny itu dengan lembut.
“Anak baik. Cewek-cewek pasti bakal senang.” Granny terkekeh. “Dan kulihat kamu membawa teman baru? Siapa gadis manis ini?”
“Vi, kemarilah. Kenalan dengan Granny. Salah satu nenek tercantik di sini,” kata Asami sambil melambai sementara wanita tua dengan kardigan rajut di sofa itu tertawa.
“Ini Mrs. Wilson tapi kita boleh memanggilnya Granny. Ini Violet Moon, salah satu teman sekolahku selain Hanz.”
“Halo, gadis manis,” Granny mengulurkan tangan dan Violet tersenyum tipis sambil menyambut tangan kurus dan pucat itu. Dia nyaris tersentak saat Granny mengelus tangannya perlahan dan tersenyum, menyadari kalau sudah lama tidak ada yang membelainya dengan rasa sayang seperti ini.
“Ha … halo Mrs. Wilson,” Violet tergagap. Setelah melepas genggaman tangan itu, Violet menggaruk leher dengan salah tingkah, khawatir dipandang aneh oleh Asami dan Granny meski sepertinya kedua orang itu tidak sadar.
Asami menyapa beberapa nenek lain yang baru masuk ke ruangan. Wajah semua orang mendadak terang seperti lampu yang menempel di dinding berlapis wallpaper bebungaan. Tampaknya, Asami tidak hanya populer di sekolah tapi juga di sini. Wajah gadis itu kelihatan sangat berbeda, lebih ramah dan bersahabat.
“Aku akan membuatkan teh untuk kalian. Setelah itu, kita bisa mulai nonton film lama. Hanz punya film lain yang ingin ditunjukkan. Selama menunggu, Granny bisa memilih krim-krim ini. Aku buka ya.” Asami berlutut di lantai berkarpet tebal dan menarik perekat di kardus sampai lepas. Setelah itu, dia memberi isyarat pada Violet untuk mengikutinya ke salah satu ruangan lain.
Saat melintas, Violet melihat taman indah di bagian belakang gedung. Ada kursi-kursi anyaman berwarna gelap di lantai semen yang diletakkan tak jauh dari parasol. Beberapa bunga ditanam di pot kayu berbentuk kotak sementara rumput dipangkas pendek. Kata Asami, pada musim semi dan musim panas, para lansia senang duduk-duduk di sana sambil membaca buku atau mendengarkan radio. Kadang-kadang, mereka juga menikmati pesta musim panas di malam yang sejuk dengan jus buah dan keik lezat yang dibawa relawan.
“Aku pernah membawa kembang api dan memakai yukata waktu musim panas lalu. Aku bilang, beginilah cara orang Jepang menikmati musim panas dan kelihatannya mereka suka melihat kami bermain kembang api,” raut wajah Asami tiba-tiba kelihatan sedih. “Kakek dan nenekku sudah meninggal. Biasanya, kami bersenang-senang di vila saat musim panas. Kakek akan mengajakku memancing lalu malamnya kami akan memanggang ikan dan bermain kembang api sampai larut."
Mereka tiba di dapur yang didominasi warna putih. Ada beberapa lemari penyimpanan, wastafel dan rak berbahan logam untuk meletakkan peralatan yang sudah dicuci. Sebuah mesin pencuci piring berada di sebelah wastafel dan ada lemari es berukuran besar.
Salah seorang petugas yang melintas menyapa Asami dan berkata kalau mereka boleh mengambil sesuatu dari dapur lalu membiarkan dua gadis itu sibuk membuat teh earl grey. Asami menjerang air panas di teko sementara itu Violet membuka salah satu kabinet karena Asami bilang dia juga akan menyajikan kue-kue.
“Hm?” kening Violet berkerut saat melihat nama di kemasan. “Ini mirip sama namamu,” cewek itu tertawa kecil. Dia menunjuk nama yang dicetak dalam nuansa merah muda dan berlatar bunga sakura pada kotak.
Muka Asami tampak malu. “Sebenarnya, itu memang kue dari perusahaan keluargaku. Dad membuka bisnis roti dan kue. Baru dua bulan lalu, sih, dan waktu aku membawa sampel-sampelnya ke sini, ternyata banyak yang suka. Dad senang mendengarnya dan menyuruhku membawanya lagi.”
Violet melihat kue-kue yang didekor dengan gula-gula cantik itu. Asami menjelaskan kalau ayahnya suka makanan organik dan berusaha membuat roti serta kue yang rendah kalori. Kue-kue itu termasuk produk rendah lemak dan rendah gula jadi aman dimakan oleh orang lanjut usia seperti penghuni rumah perawatan ini.
“Kamu dan keluargamu sangat murah hati,” ujar Violet dengan nada sungguh-sungguh ketika menata kue di nampan. “Nggak seharusnya Casey dan yang lain mengejek, bilang kalau kamu cewek sombong. Mereka juga bilang yang jelek-jelek tentang keluargamu. Itu nggak adil.”
Asami mematikan kompor saat teko mulai berbunyi. Cewek itu menempelkan kain lalu menuang air panas di cangkir dengan hati-hati. Tak lama, wangi earl grey yang khas dengan nuansa bergamot menguar di udara, memberi perasaan nyaman dan hangat.
“Aku nggak peduli,” kata Asami sambil mengangkat bahu ketika dia mengaduk teh. “Kebenaran tetap kebenaran, dikatakan atau tidak. Lagi pula, kami nggak semurah hati itu, kok. Dad memang tipe orang yang royal. Mungkin karena di masa lalu pernah hidup susah dan memulai semuanya dari nol.”
Violet mengikuti Asami kembali ke ruang berkumpul. Sambil memandang punggung cewek itu, Violet berpikir kalau sekarang dia tahu kenapa Asami bisa terlihat dewasa di antara kebanyakan cewek di sekolah. Jelas kalau dia mendapatkannya dari keluarga.
Saat masuk ke ruangan, Hanz sudah ada di sana, sedang sibuk menyetel televisi. Tidak lama kemudian, wajah Julie Andrews muncul di layar. Violet bisa melihat kalau film dengan latar Salzburg, Austria itu segera menyedot perhatian para nenek dan kakek yang ada di sana. Mereka mulai mencoba bersandar dengan nyaman di kursi masing-masing sementara Violet dan Asami menghidangkan teh dan kue.
“Ini sudah hampir jam delapan, apa kalian nggak kena marah kalau pulang terlambat?” tanya Granny saat Violet meletakkan sepiring kue di meja bundar.
“Karena besok Sabtu, jadi nggak masalah. Dad akan menjemput nanti. Granny tenang saja,” kata Asami yang kemudian datang dan menaruh secangkir teh. “Nikmati film dan kuenya. Aku mau ajak Violet keliling dulu, ya.”
Selama sepuluh menit, Asami mengantar Violet melihat-lihat ruangan dan fasilitas lain di sana. Mulai dari kamar yang tampak nyaman dengan ranjang berseprai putih dan jendela besar sampai aula yang katanya biasa digunakan untuk ruang pertemuan. Kadang-kadang, ada yang datang dan memberi pertunjukan seperti drama pendek karena beberapa lansia juga suka menonton teater.
Mereka juga bertemu beberapa perawat dengan seragam merah gelap yang kebanyakan mengucir rambut. Ada yang sedang mengantar seorang nenek berambut kelabu kembali ke kamar sementara dari celah pintu yang terbuka, Violet bisa melihat seorang kakek sedang minum obat.
“Kebanyakan dari mereka yang ada di sini mengalami demensia,” ujar Asami sambil membuka pintu belakang ke arah taman. Langit terlihat agak cerah dan salju menumpuk di dekat pohon. Cewek itu menarik sebuah kursi dan merapatkan jaket. Violet mengambil kursi lain dan duduk di sebelahnya.
“Apa mereka nggak kesepian di sini?”
Asami mengangkat bahu. “Aku nggak benar-benar tahu soal itu. Kadang-kadang mereka terlihat gembira karena bisa berkumpul dengan orang-orang sebaya tapi Granny pernah bilang kalau dia sangat rindu pada anaknya yang bekerja di Amerika.”
“Karena itukah kamu dan Hanz sering berkunjung ke sini?” tanya Violet sambil melirik ke dalam rumah. Hanz tampak sedang berbincang dengan salah satu penghuni. Seorang kakek yang tengah tertawa dan kelihatan manis dengan kaus lengan panjang berlapis syal dan selimut di paha.
Wajah Asami terlihat tidak nyaman dan setelah menengok ke kanan dan kiri, cewek itu berkata lirih, “Kurasa Hanz kemari juga untuk menghibur diri. Ibunya sibuk bekerja dan ayahnya sudah lama meninggal. Mereka cuma hidup berdua dan aku bisa lihat kalau Hanz juga kesepian. Kamu lihat kakek yang bersamanya itu? Dia Mr. Rampstead dan sepertinya Hanz cocok sekali dengannya.”
Ternyata semua orang punya kesulitan masing-masing, batin Violet. Dia berpikir, pantas saja kalau Hanz agak pendiam. Violet bertanya-tanya, apakah Hanz juga kadang tidak ingin pulang ke rumah seperti yang dirasakannya saat ini?
“Oh, jangan bilang-bilang kalau aku cerita soal ini, ya. Hanz nggak suka ada orang yang merasa kasihan padanya.”
Violet mengangguk. “Kamu sepertinya tahu banyak soal dia.”
“Cuma beberapa hal. Hanz itu tertutup soal perasaan. Nggak seperti teman-temannya yang konyol dan nggak dewasa yang suka mengumbar apa saja.”
“Maksudnya Dave?”
Asami menengadahkan kepala ke langit. “Dia cuma salah satunya. Evan dan Kirk sama saja. Hanz dekat juga gara-gara mereka teman dari kelas satu. Dia itu tipe yang nggak mau menyakiti hati orang lain dan kadang-kadang membuatnya jadi terseret sana sini. Aku harap, Dave nggak kasih Hanz pengaruh jelek.”
Violet bisa melihat kalau Asami benar-benar tidak suka pada Dave. Cewek itu berpaling, menatap ke dalam rumah dan bisa melihat ekspresi lembut Hanz yang sekarang tampak menikmati film bersama para lansia. Tiba-tiba, cowok itu menoleh dan mata keduanya berserobok.
Violet membuang muka dan bisa merasakan mukanya memanas, malu karena ketahuan sedang menatap Hanz diam-diam.