Hanz baru melepas celemek di pinggang saat melihat Violet masuk ke kafe. Cewek itu tampak menggigil kedinginan dengan mantel basah dan hidung merah. Sepertinya gadis itu belum menyadari keberadaan Hanz karena saat mengantre, dia terus menunduk. Violet baru mendongak saat tiba gilirannya dan seperti yang diduga Hanz, cewek itu kelihatan kaget saat mendapat wajah yang dikenalnya.
“Hai,” kata Hanz sambil membetulkan kacamata. Dia menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh ke kening dan memandang Violet yang masih kelihatan terkejut.
“Aku kerja paruh waktu di sini,” jelas Hanz dan Violet mengangguk-angguk, paham kenapa tiba-tiba bisa bertemu cowok itu di luar sekolah begini.
“Aku pesan … sandwich telur dan teh apel. Hm … itu saja.” Cewek itu mengeluarkan dompet dan meraih beberapa lembar pound.
Hanz mengatakan sesuatu pada barista di bagian belakang konter sementara tangannya menekan tombol-tombol di atas mesin kasir. Kemudian pemuda itu mengambil piring dan menghangatkan roti lapis di dalam mesin besar berbodi logam yang ada di sisi lain konter. Hanz kemudian menyerahkan piring itu di atas nampan hitam putih dengan garpu dan pisau roti.
Hanz memperhatikan saat Violet menggeser posisi dan menunggu minumannya. Dahi cowok itu mengernyit heran. Dia tahu kalau seharusnya Violet sedang bersama Dave saat ini. Temannya yang playboy itu mengirim pesan kalau tidak bisa ikut nonton film di garasi Evan malam ini karena akan keluar bersama Violet. Dan sekarang cewek itu mampir ke kafenya di waktu Dave seharusnya masih bersama Violet.
Ada yang nggak beres, batin Hanz.
Perhatian pemuda itu kemudian teralih pada tangan Violet yang tidak terbungkus apa-apa dan kelihatan gemetar hebat. Setelah melayani seorang lelaki bersetelan kemeja dan memberi uang kembalian, Hanz keluar dari konter menuju area karyawan di bagian belakang. Cowok itu mengambil handuk bersih berukuran kecil dari loker dan mengalirkan air wastafel yang dihangatkan lewat pemanas. Dia memerasnya lalu membawa handuk itu ke ruang depan.
Violet sudah duduk di salah satu meja. Entah kenapa, bagi Hanz wajah cewek itu selalu kelihatan tertekan. Seolah ada yang sedang disembunyikan. Mata Violet nyaris tampak sayu dan bahunya juga melorot, lesu.
“Kamu kelihatan kedinginan. Pakai ini untuk tanganmu. Mungkin bisa lebih hangat,” ujar Hanz sambil menyodorkan handuk pada Violet.
Cewek itu berpaling dari jendela dan sejenak tidak berkata apa-apa. Wajahnya tampak bingung tapi akhirnya dia menerima benda itu dari tangan Hanz.
“Ini hangat. Makasih,” ujar Violet.
“Kenapa kamu nggak bersama Dave?”
Sontak, wajah Violet berubah pucat dan tampak tidak nyaman. Itu membuat alis Hanz bertaut dan semakin yakin kalau ada yang terjadi pada mereka berdua. Jika ada sesuatu yang memburuk, biasanya karena Dave yang terlalu memaksa. Cowok satu itu memang bukan tipe penyabar dan suka memaksakan kehendak termasuk saat bersama teman-temannya.
“Bagaimana kamu bisa tahu kalau hari ini aku bersama Dave?” Violet balas bertanya.
“Boleh duduk di sini?” Hanz menggeser kursi dan langsung mengempaskan diri di seberang meja. “Dia bilang nggak bisa ikut nonton film malam ini karena jalan bareng kamu. Harusnya kami ketemu di rumah Evan sebentar lagi tapi dia tahu-tahu kirim pesan dan bilang nggak bisa pergi.”
Violet mengaduk teh perlahan dan tampak tidak berselera. Sepertinya gadis itu tidak ingin bicara. Hanz kemudian diam dan beranjak dari kursi, membiarkan cewek itu menghabiskan santapannya.
Satu jam kemudian, Hanz tidak kaget saat mendapati Dave yang duduk di salah satu sofa rumah Evan dan tampak menikmati piza pepperoni dengan santai. Cowok itu bersandar di leher sofa dan terus menjejalkan makanan ke mulutnya sambil membaca salah satu majalah. Evan menyapa Hanz yang kemudian melepas jaket dan menggantungnya di pengait lalu bergabung dengan teman-temannya. Evan dan Kirk sedang menonton salah satu film James Bond. Mata keduanya hampir melompat keluar saat melihat aktris cewek dalam balutan gaun malam warna hitam. Tidak lama, mereka malah membicarak soal aktris cewek favorit yang jadi tipe ideal masing-masing.
Hanz melirik Dave yang tampaknya hanya ingin menghabiskan waktu di sana dengan bermalas-malasan. Mukanya tampak kesal dan tidak seperti biasa, cowok itu diam ketika Evan dan Kirk mulai membahas cewek-cewek yang mereka jumpai di museum tempo hari. Biasanya, Dave bakal berubah jadi guru cinta dan memberi tips bagaimana cara menggoda cewek.
“Aku ketemu sama cewekmu tadi,” kata Hanz sambil mengambil sepotong piza dari dalam boks bergerigi dan memasukkannya ke mulut.
Kali ini, Dave menoleh, terlihat agak kaget. “Siapa?”
“Violet. Memangnya kamu sudah ketemu yang baru lagi?” tanya Hanz sembari mengunyah.
Muka Dave berubah masam. Cowok itu menyingkirkan remah-remah piza dari tangan dan merebahkan diri di sofa berlapis kulit sambil mendesah panjang. “Cewek itu benar-benar sok jual mahal dan berlagak susah didapat. Aku merasa bosan karena dia terus-terusan diam tapi terpaksa menemaninya ke sana sini.”
Evan berpaling dari televisi dan ketawa terbahak. “Dia menolakmu? Wah, ini kabar besar. Nggak biasanya ada cewek yang berani menolak Dave Morris.”
Wajah Dave tampak terhina dan Hanz ingin tertawa dalam hati ketika cowok itu melempar bantal yang malah jatuh ke kepala Kirk.
“Dia nggak menolakku. Belum. Mungkin dia kaget karena selama ini nggak pernah bareng cowok,” Dave bersikeras. “Aku bisa lihat dia tersipu waktu kupuji dan cuma soal waktu sampai dia jatuh cinta padaku.”
“Terus, apa yang bakal kamu lakukan? Dia kelihatannya nggak senang dengan pertemuan kalian tadi. Mukanya lesu,” ujar Hanz. Lalu, cowok itu merasa kalau nada suaranya terdengar terlalu serius karena sekarang Dave memandangnya dengan tatapan penuh selidik.
“Soal itu tenang saja. Kamu tahu, kan, sedang bicara dengan siapa?” Dave menaikkan alis dan menyibak rambut. Sepertinya kepercayaan dirinya sudah kembali karena kemudian cowok itu turun dari sofa dan bergabung dengan Evan yang saat ini mengganti film. Mereka mulai saling membandingkan cewek-cewek sementara Hanz menghabiskan sisa piza dan soda yang masih ada.