GEMERCIK hujan membasahi kota. Hawa dingin menerpa lapisan kulit terdalam. Menikmati segelas teh hangat, menghitung uap tetesan yang mengenai jendela.
Disaat kelamnya pikiran berkecamuk, biasanya Ergantha akan ditemani segelas wine atau minuman alkohol yang menghangatkan. Mencari pelarian bersama teman sebaya, tak jarang berkelana di lautan music yang menggema. Sayang, kini Ergantha di Bandung. Jadi, ia tak dapat menikmati pelarian.
Ergantha mendengarkan seutas demi utas bacaan ayat suci Al-Qur'an dari Najwa, sedang ia asik menikmati tetesan hujan melalui jendela kamar di Panti. Ergantha ingin bertanya, apa bacaan yang tengah dibaca Najwa dapat menghilangkan perasaan lelahnya.
Apa itu bisa menenangkan pikirannya....
"Mau teh hangat lagi, Tha?" Tanya Najwa yang baru saja membuka mukenah. Ergantha menolak, tanpa terasa minuman digelasnya kandas tak bersisa. Padahal ia tak begitu menyukai teh.
"Tehnya enak, tapi perutku udah kembung. Kak Najwa selalu baca itu setiap hari?" Ergantha menunjuk Al-Qur'an yang baru saja Najwa letakkan di atas meja teratas.
Najwa yang tadinya ingin ke dapur panti mengurungkan niat. Memilih mendekati Ergantha, berdiri ikut menikmati tetesan hujan yang menguap di jendela.
Seharian penuh Najwa mengajak Ergantha mengunjungi Panti begitu selesai menghadiri kajian bersama. Mulai dari mengajar anak-anak sampai membantu Buk Menik membuat makan malam. Hujan turun begitu deras saat ia dan Ergantha akan pulang. Mau tak mau, mereka harus menunggu Adzkan untuk menjemput.
"Al-Qur'an 'kan sudah seperti pedoman untuk manusia. Ibarat navigasi yang mengarahkan jalan kalau kita nyasar. Pondasinya sendiri itu sholat yang sudah seperti nadi untuk manusia."
Ah, sholat!
Seingat Ergantha, ia hanya sholat dua kali dalam setahun— saat perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Selama disini ia bahkan berpura-pura sedang berhalangan. Kemudian Al-Qur'an? Mana paham Ergantha cara membacanya. Pantas tubuhnya seperti raga tanpa nadi dengan Jiwa yang tak bernafas.
"Kamu percaya Tuhan, 'kan, Tha?" Tanya Najwa.
"Di KTP ku masih tertulis Islam."
"Tapi percaya Tuhan?"
Ergantha menatap Najwa kaku, tak tahu harus menjawab dengan apa. Perkara Tuhan ia tak pernah ambil pusing. Meski kerap kali, ia bertanya-tanya.
Memangnya Tuhan, ada?
Jika ada mengapa tak pernah mendengar rintihan Ergantha?
Ergantha bukan tak percaya Tuhan. Hanya saja ia tak bisa percaya pada apapun, entah dirinya, maupun Tuhan.
"Allah ada disini, bisa kamu rasakan. Dia enggak pernah jauh." Najwa meletakkan tangan Ergantha ke dadanya sendiri, agar mendengarkan detak jantung yang tengah diatur Sang Kuasa.
"Aku enggak bisa ngerasain apapun." Cicit Ergantha, sebab hanya sakit yang terasa. Teringat caci maki keluarga, sampai kesendirian dalam jeratan masa lalu.
"Kenapa Tuhan enggak pernah ada buat aku? Apa karena dosa ku terlalu banyak, sampai-sampai Tuhan aja benci."
"Meskipun dosa manusia seluas air di lautan, ampunan-Nya jauh lebih luas dari itu, Tha."
"Aku juga pengen disayang sama Tuhan, biar hidupnya seperti kak Jwa— Tentram."
"Hidupku enggak seperti yang kamu banyangkan. Lagipula, kalau Tuhan enggak sayang sama kamu, kita enggak mungkin dipertemukan— Setiap yang datang dan pergi itu, selalu membawa pengajaran dan itu semua anugerah dari Tuhan, Tha, terlepas dari siapa yang dikirimkan."
Najwa sedikit paham, sekelebat amukan dalam diri Ergantha. Kesepian yang tiada henti tanpa adanya penopang.
"Setiap sholat Kak Najwa selalu berdoa?" Najwa mengagguk, "Berdoa mengenai apa?" Tanya Ergantha lagi.
"Semua— dari hal paling penting sampai yang receh."
"Aku boleh titip?" Najwa mengernyit, "Tolong bilangin, aku mau disayang tanpa tapi."
"Kenapa bukan kamu yang minta sendiri, Tha."
"Konon katanya, doa orang yang Sholeh dan Sholehah lebih di dengarkan— kalau doaku mungkin cuma nyangkut di atas pohon."
"Memangnya kamu sudah pernah coba berdoa ke Allah?"
Ah iya!
Memang kapan Ergantha pernah berdoa kepada Sang Pemilik Semesta?
*******
"Kang Adzkan!" Sambut anak-anak Panti.
"Kang Adzkan bawa Es krim, Ndak?" Tanya Tyo.
"Gigimu kan lagi sakit, Tyo. Nanti kalau Buk Menik tahu kamu makan es krim lagi, habis kamu— sudah ndak punya jatah makan es krim bulan ini." Peringat seorang anak perempuan berjilbab hitam.
"Tyo 'kan cuma nanya!"
"Halah, alasan. Bilang saja kamu mau makan es krim lagi, 'kan?!"
"Enggak!"
"Bohong!"
"Tyo enggak bohong!"
"Awas aja, nanti aku aduin ke Buk Menik!"
"Sudah-sudah." Adzkan menengahi pertengkaran mereka. Ia sampai melupakan niat malam-malam kemari untuk menjemput Najwa dan Ergantha yang sejak siang hari berada di Panti.
"Kak Najwa sama Ergantha dimana?" tanyanya.
"Kak Najwa lagi di dapur, bantuin Ibuk. Kalau Kak Thata lagi tiduran di kamar anak-anak perempuan— tadi sempat mengeluh pusing." Jawab anak perempuan yang berkerudung hijau.
Saat mengantar Najwa dan Ergantha tadi siang, Adzkan pikir kondisi Ergantha baik-baik saja, karena gadis itu tak mengeluh akan apapun. Meski kemarin gadis itu baru saja tersayat oleh lidah manusia.
Tyo menarik lengan kemeja Adzkan, "Tyo mau bicara serius," bisiknya membentuk pola mimik bibir.
Anak laki-laki berusia delapan tahun itu menarik Adzkan untuk mengikutinya. Sampai di teras Panti, Tyo si pipi gembul menduduki diri di kursi menautkan kedua tangan di atas dada seolah ingin mendiskusikan hal serius.
"Mau bicara apa, Mas Tyo?" Adzkan sengaja menggunakan kata 'Mas' melihat gelagat Tyo yang sepertinya ingin dianggap sebagai si dewasa.
"Tyo ndak bisa begini terus, Kang. Rasanya dada Tyo sakit." Tyo menggeleng dan menghembuskan nafas secara kasar layaknya remaja galau merana.
Adzkan tertawa, "Kenapa lagi Kamu, Yo. Jatuh cinta sama anak perempuan mana kali ini."
Bocah dengan pipi gembul itu kerap kali memusingkan perasaan sukanya kepada lawan jenis. Cinta monyet yang melemahkan. Begitu Tyo menyebutnya.
"Tyo enggak bisa—" Ujar anak laki-laki itu berdiri. "Tyo butuh es krim!"
"Gigimu lagi sakit, Akang enggak mau kena omel Buk Menik."
"Bukan untuk Tyo, Kang... Buat Kak Ertata."
"Ertata?" Tanya Adzkan tak paham.
"Ertata itu nama kesayangan untuk Tyo seorang."
Butuh lama mencerna, Adzkan lantas tertawa nyaring. Paham Ertata yang di sebut Tyo adalah Ergantha.
"Oh, kali ini kamu jatuh hati sama Kak Ergantha rupanya..." Adzkan mengangguk seakan paham, tertawa geli dengan kelakuan Tyo.
"Tyo beneran butuh Es Krim, Kang. Jatah Es Krim Tyo bulan ini sudah habis karena sakit gigi."
"Kamu mau kasih Kak Ergantha es krim? Bukannya dia lagi pusing...."
"Tyo yakin kak Ertata butuhnya es krim bukan tidur, Kang. Dari tadi Kak Ertata melamun terus. Buk Menik minta diambilin Jahe, yang dikasih malah kunyit."
Setahu Adzkan, Ergantha memang tak paham masalah perbumbuan dapur. Jadi perkara jahe dan kunyit yang tertukar, bisa jadi itu murni karena Ergantha yang tak paham.
"Tyo galau, mau membeli es krim, pasti ketahuan sama yang lain." Tyo mengadahkan kepala menampilkan ekspresi seakan paling frustasi.
"Terus Tyo maunya gimana? Mau kang Adzkan bantuin apa?" Tanya Adzkan berlutut di depan anak laki-laki berusia delapan tahun itu.
"Di jalan pulang nanti, Kang Adzkan beliin Kak Ertata es krim ya— supaya enggak melamun terus. Soalnya Tyo kalau lagi sedih makannya Es krim."
Adzkan mengagguk, mengacak rambut Tyo. "Jadi sekarang kamu sudah move on dari Si Halimah?"
"Tsk! Jangan sebut nama Halimah, Tyo mau menjaga hati supaya enggak terperdaya rayuan Syaitan."
"Iya, Iya...." Adzkan tertawa geli.
Bocah ingusan seperti Tyo saja sudah bisa membentengi diri agar tak terkena rayuan syaitan. Kenapa Adzkan justru susah membentengi rasanya kepada perempuan yang belum tentu halal untuknya.