MENELUSURI minggu pagi ke daerah yang berkabut dengan hati yang tak terkondisi dengan baik. Hari ini Pati mengajak Ergantha mengunjungi makam Eyang. Namun kakak laki-lakinya itu justru tak ikut, hanya menitipkannya kepada Adzkan. Tentu saja Ergantha suka jika harus pergi berdua dengan Adzkan, ia hanya benci harus mengunjungi makam Eyang Putri—berujung pada munculnya emosi batin di permukaan.
Ergantha jadi teringat akan Mama, satu-satunya perempuan yang tak pernah memandangnya remeh. Tak seperti almarhumah Eyang ataupun keluarga besar lainnya. Ergantha selalu diperlakukan tak berharga, layaknya produk gagal tak bernilai. Tak ada sosok dewasa yang memberikan pelukan hangat, tak ada sosok perempuan yang mengajarkannya cara berpakaian dan tak ada makhluk pribumi yang bisa menyayanginya tanpa cela.
Menempuh perjalanan 30 menit menuju pemakaman, diisi oleh murotal Al-Qur'an, kemudian berganti kajian yang di putar oleh Adzkan di dalam mobil. Mobil ini tak ada AC, jadi mau tak mau jendela mobil harus terbuka.
"Memangnya perempuan dinilai dari apa? Selaput dara?" Tanya Ergantha, sarkas begitu mendengar kajian yang berisi seputar letak kehormatan wanita.
"Ada beberapa hal yang tidak seharusnya kamu telan bulat- bulat, Ergantha. Perkara menjadi perempuan juga tidak sedangkal tolak ukur yang kamu gunakan." Jawab Adzkan fokus menyetir tanpa melihat Ergantha.
"Terus apa kalau bukan selaput dara... Bukannya kehormatan terletak dari bekas apa yang tertinggal di tubuh perempuan." Adzkan lantas mematikan kajian yang tengah berputar. Tak etis rasanya jika mereka berbincang di tengah-tengah.
"Rasanya ungkapan bekas, tidak patut disematkan untuk manusia, terlebih kalau itu perempuan." Timbal Adzkan.
"Kenyataan ungkapan bekas emang selalu ada kok buat perempuan nakal!"
"Dan kamu setuju dengan diksi yang seperti itu?" Ergantha menggeleng, masih dengan wajah yang ditekuk. Percecokkan dengan Pati tadi pagi masih ikut serta berpengaruh dalam suasana hati.
"Enggak, aku enggak pernah setuju, karena enggak ada perempuan yang bekas."
"Jadi yang sebenarnya kamu mau tanyakan apa, Ergantha... Istilah barang bekas atau ketidakpuasan kamu atas stigma yang tidak berdasar?"
Ergantha terdiam, ia juga bingung sebenarnya apa yang tengah ia tanyakan. Pun, tak menyangka akan mendapatkan jawaban positif seperti ini, terlebih dari seorang laki-laki. Ia pikir Adzkan tak akan mau meladeninya mengingat percakapan terakhir mereka.
"Letak kehormatan seorang perempuan itu, tidak hanya diukur dari stigma buatan manusia. Seperti yang kamu bilang tadi. Perempuan bekas itu tidak ada. Hanya saja-"
"Mas Adzkan bisa enggak sih, jangan pakai bahasa formal. Mau pakai Lo Gue juga, aku lebih nyaman." Protes Ergantha memotong ucapan Adzkan. Ia merasa dibedakan.
"Dek Ergantha-"
"Ck!" Kesal Ergantha. Terbit sebuah kekehan di wajah tampan Adzkan. Mood Ergantha yang tadinya anjlok seketika terisi penuh.
"Dulu saat Pati menunjukkan photo adik perempuannya, saya pikir kamu bebeda dengan Pati."
"Satu darah mana bisa berbeda. Mas Adzkan, 'kan, udah tahu aku dari Mas Pati, kenapa kalau ngobrol selalu pakai bahasa formal."
"Terus kamu maunya saya pakai bahasa Lo-gue, seperti teman sebaya? Atau pakai aku-kamu seperti Najwa?" Ergantha mengangguk.
Aku-kamu, seperti nada bicara Mas Adzkan bersama Asih. Batin Ergantha.
"Seasing itu buat dekat sama adik teman sendiri?" Tanya Ergantha menatap Adzkan, mencoba memahami mimik tampan yang rupawan ini.
"Memangnya kamu sudah merasa dekat?"
"Aku udah jadi bestie sama Kak Najwa. Sama Apih juga akrab. Cuma Mas Adzkan aja yang pakai bahasa formal."
Pati bilang adiknya susah tersentuh, pembangkang, bahkan lebih senang menyendiri. Sepertinya Pati salah, sebab Ergantha, tak ada bedanya dengan Pati. Gampang mengakrabkan diri dan cerewet.
"Dulu saya pernah menggunakan bahasa informal kepada teman kelas Najwa. Seminggu kemudian saya mendapatkan banyak surat cinta dan hadiah. Jadi, dari pada orang lain salah paham dengan keakraban yang saya buat-buat, lebih baik ada batasan." Kata Adzkan menjelaskan.
"Kenapa Mas Adzkan enggak buat batasan untuk Teh Asih? Karena dia berbeda? Lebih istimewa?" Adzkan melirik Ergantha sebentar. Ia pikir problematika perasaannya kepada Asih tak akan menjadi topik lagi.
"Ergantha, saya minta tolong, jangan-"
"Mulutku enggak seember Mas Pati. Mas Adzkan tenang saja!" Seru Ergantha memotong.
Adzkan tak lagi menjawab, tadinya ia ingin membuat suasana hati Ergantha membaik. Namun kini justru semakin buruk. Adzkan tak tahu apa yang salah. Ia hanya meminta Ergantha agar mereka tak membicarakan perihal Asih lagi, Ergantha justru terlihat kesal.
Begitu sampai di pemakaman, Ergantha pergi meninggalkan Adzkan. Ergantha membuka pintu mobil dan menutupnya dengan bantingan kasar.
Emosi remaja memang tak pernah stabil!
Ergantha menatap nisan yang masih terlihat baru. Terhitung tiga bulan semenjak kepergian Eyang, tapi ia tidak merasakan kesedihan. Apa ia berdosa, menyimpan dendam pada orang yang sudah berpulang?
Hatinya terlampau sakit, sampai tak sadar menitikkan air mata. Ia duduk di dekat nisan dengan menggenggam nisan Eyang Putri. Orang-orang yang melihatnya pasti berpikir Ergantha kehilangan, nyatanya ia kemari menuntut permintaan maaf.
Jika Eyang menyayangi Ergantha seperti Pati, mungkin hidupnya tak secacat ini.
"Ngapain kamu disini?!" Ergantha menyeka air mata melihat wanita yang tak asing di depannya. Ia sudah menduga akan bertemu dengan jelmaan nenek sihir.
"Mah, sudah. Ergantha juga berhak ketemu sama Eyangnya."
"Jangan sebut nama dia Mas, kamu mau ketiban sial juga? Ibu terakhir kali ke Jakarta ketemu dia pulangnya sakit-sakitan."
Adzkan yang sejak tadi mengambil tempat berjauhan dengan Ergantha, kembali mendekat.
"Mainnya di diskotik, sukarela dipegang laki-laki. Mau jadi pelacur, 'kan, kamu?!"
Ergantha yang dituduh sembarang hanya menetralkan emosi. Kembali berdiri membersihkan Abaya milik Najwa, selendang penutup kepalanya ikut tertiup angin, jadilah hanya disampirkan dipundak. Meskipun ia tak berharga, setidaknya ia paham tata krama.
"Percuma Papa kamu banyak uang, ngurus anak aja enggak becus... Kamu tahu, Eyang kamu sakit-sakitan karena kamu!" Tunjuk si perempuan. Ergantha tetap diam, sebab wanita itu memang benar. Selain tidak becus, Papa juga tidak peduli.
"Masih kecil tapi sudah mabuk-mabukan. Syukur Mamamu sudah meninggal, kasian kalau punya anak perempuan kelakuan mirip pelacur!" Ergantha lantas menampar wanita tersebut. Ia tak suka jika Mama yang telah berpulang dibawa-bawa.
Tante Fira memang adik Mama, namun kelakuannya lebih mirip dengan Pramana—Papa Ergantha.
"Kamu nampar Tantemu sendiri?!" Fira memegangi pipi yang tertampar.
"Sudah Ma, Sudah..." Kata sang suami menenangkan. Fira tak terima, lantas maju dan berniat membalas Ergantha. Beruntung Adzkan menengahi mereka.
"Maaf Buk, ini pemakaman. Mohon—"
"Sialan!" Sarkas Ergantha memotong ucapan Adzkan. Ia mengumpat terang-terangan, tak takut akan perlakuan tantenya. "Jangan bawa-bawa nama Mama!" lanjut Ergantha kemudian berlalu pergi meninggalkan Fira yang semakin menjadi-jadi.
Mempercepat langkah sampai menuju mobil, Ergantha sudah tak kuat. Tak lama Adzkan datang dan Ergantha meminta untuk pulang. Didalam mobil Ergantha hanya memalingkan wajah, menatap hamparan jalanan yang mereka lewati.
Jika saja ia tak mengikuti kemauan Pati, mungkin Ergantha tak akan merasa rendah begini. Ia tak perlu bertemu Tante Fira, maka tak ada emosi yang terbuang percuma. Kini, perasaan benci kembali ke daratan.
"Kenapa laki-laki brengsek harus dimengerti, sedangkan perempuan pelacur enggak berhak buat dihormati." Ergantha bertanya dengan suara yang tengah menahan emosi.
"Ergantha..." Adzkan mengambil jeda, "Semua perempuan punya hak yang sama untuk dihormati, terlepas dari apa pun yang mereka perbuat."
"Tapi kenyataannya perempuan selalu dianggap barang bekas kalau menjadi pendosa, beda sama laki-laki, sekalipun jadi pendosa harga diri mereka enggak pernah berada di bawah!" Kata Ergantha menatap Adzkan terang-terangan meminta penjelasan. Laki-laki tampan ini justru terlihat sangat fokus menyetir tanpa terganggu.
"Saya tidak paham kamu bicara dari kacamata apa. Terlepas dari apapun gendernya, pendosa bukan lantas dihakimi, pribadinya cukup dimengerti tanpa harus dibenarkan."
Mereka masih dalam perjalanan dan Adzkan bukanlah laki-laki yang pandai menghibur. Sekilas ia sempat mendengar perdebatan Ergantha dengan Tantenya, terdengar rumit.
"Tapi aku bukan pelacur, kalau Mama masih hidup aku juga bukan pelacur." Ergantha melarikan pandangan ke arah jendela menggigit bibir menahan tangis.
"Sependek pemahaman saya, kamu perempuan baik-baik, Ergantha."
'Perempuan baik-baik.' Ungkapan yang tak pernah ia dengar dari siapa pun. Terasa hangat dan menyedihkan dalam satu waktu.
Tak ada tempat untuk perempuan seperti Ergantha, tak peduli apapun yang ia perbuat. Tak seperti Pati, meskipun pernah menikmati masa remaja penuh nista, tak pernah dihakimi. Keluarganya memang sialan, memberikan gelar sebagai pelacur tanpa tahu kebenaran.
Masih dengan memalingkan wajah, Ergantha meminta Adzkan menghentikan mobil.
"Keluar, tolong..." Pinta Ergantha. Suaranya tengah bergetar menahan tangis, tercekat perih.
"Tolong..." Pintanya sekali lagi, sebab dada Ergantha semakin sakit.
Adzkan mengikuti instruksi Ergantha. Menghentikan mobil, keluar, menutup pintu dan bersandar membelakangi mobil. Suara tangis Ergantha kemudian pecah, menyayat hati yang bahkan tak pernah ia sentuh.
Membuka ponsel Adzkan menimang, apa perlu ia memberi tahu Pati. Sedang Pati tengah sibuk di Sukabumi. Adzkan mengurukan niat.
Nanti saja, pikirnya.
Harusnya Ergantha datang bersama Pati, setidaknya mungkin Pati bisa menenangkan jiwa Ergantha yang tengah tersayat. Adzkan memejamkan mata, menghela nafas berat. Teringat makian yang Ergantha terima, mendengar tangisannya yang tak jua reda. Hatinya justru ikut terbawa oleh kesakitan Ergantha.
Mengadah menatap langit Adzkan berdoa, meminta Tuhan agar selalu menemani langkah Ergantha. Berbisik lirih dalam doa,"Ya Allah, Ya Rabbi, Sang pemilik semesta, tolong cintai Ergantha."